Pandora's 7 Trials

By E0nine

103K 5.8K 930

<<Banyak typo terutama di chapter awal (1-5)>> Life is never flat... Sebuah premis yang memiliki... More

C-1 : The Pulse
C-2 : Ranker
C-3 : The Boss <P1>
C-4 : The Boss <P2>
C-5 : The Princess <P1>
Not a Chapter 1 : Biodata 1
C-6 : The Princess <P2>
C-7 : The Princess <P3>
C-8 : The Song <P1>
C-10 : The Song <P3>
C-11 : The Song <P4>
C-12 : Bloody Rose Group
C-13 : The Banquet <P1>
C-14: The Banquet <P2>
Not A Chapter 2 : Raid Team Formation
C-15 : Big Raid <P1>
C-16 : Big Raid <P2>
C-17 : Battle of Monsters
Not A Chapter 3 : Vote Result
C-18 : Black Princess and the White Eagle
C-19 : The Prodigy and The Genius
C-20 : Waves and Chains
C-21 : Fifth Member and Second Weapon
ANNOUNCEMENT (And Pandora's Fact)
C-22 : Betrayal and Giveaway
C-23 : Winner and Victor
C-24 : Friends and Comrades
C-25 : Payment and Interest
C-26 : Duellum
C-27 : Reunion
C-28 : Tournament
C-29 : Demon Continent
C-30 : Dunkelritter
C-31 : Rescue
C-32 : Truth
C-33 : Zurück (Back)
After Story 1 : Everything
After Story 2 : New Beginning
Announcement

C-9 : The Song <P2>

3.1K 180 25
By E0nine

"Eh?"

Saka dan kedua temannya yang berada di belakangnya kaget mendengar kata kata yang keluar dari mulut Julis. Bahkan dagu Yuki terjatuh.

"Ojou-sama, itu... maaf... apa yang anda maksud dengan pernyataan anda barusan?" Tanya Saka dengan nada sesopan mungkin. Tapi rasa kaget membuatnya tidak sesopan yang tadi.

"Aku benar benar bermaksud seperti itu. Aku ingin kalian berdua menjadi pemusik pribadiku!" Ucap Julis.

Sedang Saka diam dan berpikir, kedua gadis di belakangnya hanya bisa diam sambil menatap Saka dari belakang dengan tatapan khawatir. Mereka adalah orang biasa. Terlebih lagi mereka adalah seorang manusia yang sedang berada di negara bangsa lain. Jika saja mereka menolak perintah dari tuan rumah, apa yang akan terjadi pada mereka?

"Kami sangat menghargai permintaan yang mulia. Namun, dengan sangat menyesal saya mengucapkan kalau kami tidak bisa melakukannya."

Wajah senang Julis langsung berubah. "Kenapa? Apa karena kalian takut tidak dibayar? Tenang saja, aku akan membayar kalian sepuluh kali lipat dari orang yang mempekerjakan kalian sebelumnya." Ucap Julis masih belum menyerah.

"Kami masihlah para pemula. Sejujurnya, yang tadi adalah performa pertama kami di panggung. Selama ini, kami hanya berlatih secara pribadi tanpa mengasah kemampuan tim kami. Jadi, kami tidak yakin diri kami bisa memenuhi ekspektasi anda, Tuan putri..."

"Sudah berapa kali ku bilang jangan memanggilku dengan sebutan tuan putri!" Nada yang keluar dari mulut Julis tidak bersahabat.

"Maafkan saya, Julis-sama." Ucap Saka sambil menundukkan kepalanya. Saka jauh lebih tinggi daripada Julis. Jadi, meski ia menundukkan kepalanya, petap saja posisinya lebih tinggi daripada Julis.

"Aku akan membiarkan kesalahan kalian yang tadi. Tapi, sebagai gantinya, kalian harus bekerja untukku!"

"Itu..."

"TIDAK! Kau tidak boleh mengambil mereka, Ju-chan!"

Sebuah suara yang mereka kenal terdengar dari arah kiri tempat mereka berdiri. Seorang gadis pirang terlihat berlari lari kecil ke arah mereka.

"Celia-oneesama?"

Kali ini, Saka dan kawan kawan sesama Byrose makin kaget dengan panggilan Julis terhadap Celia.

Celia sampai di hadapan mereka beberapa detik kemudian. Gadis itu langsung melakukan inspeksi singkat kepada Saka, Yuki, dan Lumia. Setelah memastikan mereka tidak kenapa kenapa, gadis itu berpaling ke arah adiknya.

"Aku tidak akan membiarkanmu mengambil mereka. Aku adalah orang yang pertama kali menemukan mereka! Dan aku lebih berhak untuk menggunkaan jasa dan membayar mereka!" Ucap Celia berapi api.

Julis terlihat memandang kakaknya itu dengan raut wajah penuh persaingan.

"Aku tidak peduli! Yang penting, aku ingin membayar mereka dengan bayaran yang jauh lebih tinggi darimu. Aku kana mendapatkan merkea apapun yang harus kulakukan! Meski aku harus menjual diriku sendiri! Mereka sudah pasti akan membuatku memenagkan tahta!" Ucap Julis. Gadis tiu mengucapkannya dengan nada yang tidak kalah emosi dari kakaknya.

"Hey! Jaga ucapanmu! Jika putri kedua Imperium Alfheim menjual dirinya, mau di taruh di mana muka ayahanda?"

"Aku tidak peduli! Lebih baik aku melakukannya dibanding dengan membiarkan Imperium ini dipimpim oleh putri liar sepertimu!"

Ucapan Julis bagaikan tusukan tombak di dada Celia. Celia memilih untuk diam dan tidak berkata apa apa lagi pada adiknya yang sudah menatapnya dengan tatapan penuh permusuhan.

Di dekat mereka, Saka hanya bisa menarik kesimpulan dari paa yang dilihatnya. Meski tidak banyak, tapi ia sudah bisa tahu apa yang terjadi di sini. Lengkap dengan alasan kenapa Celli ameminta tolong akan sesuatu pada mereka. Dan alasan kenapa gadis itu tidak menyebutkan permintaannya beberapa waktu yang lalu.

"Jadi, apa yang terjadi?" Dari belakang, Yuki berbisik pad Saka.

"Kedua gadis itu bertengkar." Jawab Saka singkat.

"Kalau itu pun aku sudah tahu! Yang aku tanyakan adalah apa yang mereka pertengkarkan?"

"Tahta." Yang menjawabnya adalah Lumia.

"Tahta?"

Lumia menarik nafasnya. Bersiap untuk penjelasan. "Di Imperium Alfheim, sudah sewajarnya seorang kaisar harus menurunkan kekuasaannya kepada salah satu anaknya setelah ia sudah uzur atau merasa tidak lagi bisa memimpin Imperium dengan baik. Kebetulah saja, di tahun ini, sang raja sudah memutuskan untuk menurunkan tahtany akepada anak anaknya."

"Kalau begitu, kenapa sang Kaisar tidak menurunkannya kepada anak laki lakinya? Bukankah seorang laki laki adalah pemimpin yang jauh lebih baik daripada seorang wanita?" Tanya Yuki lagi.

"Hanya ada satu alasan yang mungkin."

Yuki menatap sumber suara yang berada di depannya.

"Karena sang raja tidak memiliki anak laki laki sampai sekarang."

"Heeh... lalu, bagaimana dengan perebutan tahta?"

Saka menghela nafasnya. Tidak ada orang lain yang mengetahui seberapa pintarnya Yuki lebih darinya. Dan karenanya, Saka menghela nafasnya karena ia tidak menyangka kalau Yuki tidak bisa mengambil kesimpulan.

"Sang kaisar pasti menggunakan sistem sayembara untuk menentukan siapa yang lebih berhak untuk meneruskannya. Dan sayembara tersebut pasti berhubungan dengan musik dan seni bersuara. Karena Celia begitu keras mempertahankan kita sedangkan Julis-sama berjuang keras untuk mengambil kita darinya meski harus kehilangan kesuciannya dalam prosesnya." Jelas Saka.

"Hoh... begitu. Berarti, yang harus kita lakukan hanyalah memilih pihak, ya!?" Klarifikasi Yuki.

Saka dan Lumia diam. Dan Yuki mengartikan diam tersebut sebagai tanda pembenaran.

"Aku yang pertama kali menemukan mereka! Mereka adalah milikku! Kau tidak memiliki hak untuk megambil mereka tanpa persetujuan dariku!" Ucap Celia melnajutkan pertengkarannya dengan adiknya.

"Tapi, segala pilihan ada di tangan mereka! Aku tidak peduli apakah mereka ditemukan oleh mu lebih dahulu. Tapi, yang penting aku menginginkan mereka! Biarkan mereka yang memutuskan!" Balas Julis.

"Tidak bisa! Aku sudah menjadikan anak buahku! Kau tidak bisa mengambil mereka begitu saja!"

Saka, Lumia, dan Yuki masih saja memperhatikan pertengkaran adik kakak yang sebenarnya tidak berguna bagi mereka. Bagi mereka, kesenanganlah yang terpenting. Setidaknya itulah yang diinginkan oleh Saka dan Lumia. Kalau Yuki, gadis itu akan mengikuti kemanapun Saka pergi.

"Tapi... aku masih tidak pernah menyangka sebelumnya kalau Celia adalah putri pertama Imperium Alfheim." Ucap Lumia tiba tiba.

"Begitu juga denganku. Sikapnya agak bebas, tingkahnya tidak kaku seperti halnya putri raja pada umumnya. Dan aku tidak bisa mengingkar kenyataan kalau dia sedikit liar." Lanjut Yuki.

"Bagaimana denganmu, Saka?"

"Aku sudah tahu, kok."

"Oh begitu, ya... jadi, kau sudah tahu... seperti yang diharapkan dari-EEEHHHHHHH??? KAU SUDAH TAHU?"

Menghadapi reaksi berlebihan dari Lumia, Saka hanya mengangguk kecil.

"Bagaimana kau tahu?" Tanya Lumia.

Sebenarnya, Saka tidak memiliki niat untuk menjawab pertayaan dari gadis setengah loli tersebut (Lumia sedang berada dalam wujud country girl-nya. Jadi tingginya lebih tniggi dari tingginya yang seharusnya). Hanya saja, begitu melihat Yuki di belakangnya yang juga menatanpnya dengan tatapan penasaran, Saka tidak memiliki banyak pilihan.

"Pertama, aku memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Pada awalnya, aku mengira pakaian mirip sari tersebut adalah pakaian sehari hari penduduk Alfheim. Tapi ternyata setelah aku menyaksikannya, tidak juga."

Mendengar penjelasan awal Saka, Lumia dan Yuki memperhatikan sekeliling mereka.

"Benar juga, sih... aku tidak melihat adanya elf lain yang mengenakan pakaian yang mirip dengan mereka berdua." Lumia menunjuk kedua putir raja yang maish saja bertengkar.

"Lalu? Kau tidak mungkin mengambil kesimpulan hanya dari itu, kan!?" Tanya Yuki dengan nada lembut.

"Tentu saja. Yang membuatku yakin akan identitasnya adalah reaksinya terhadap ini." Saka mengudapkannya sambil mengangkat tangan kanannya yang di jari manisnya sudah terpasang cincin emas dengan serbuk rubi merah sebagai penghiasnya.

"Apa itu?" Tanya Yuki.

Kalau Yuki hanya bertanya dengan nada polos dan lembut, Lumia malah menatap Saka dengan tatapan luar biasa tidak senang.

"Hey, Saka... apa yang kau maksud dengan ini?" Tanyanya. Adanya jelas jelas mengindikasikan kalau ia sedang marah.

Saka tidak menjawab, ia memunculkan sebuah sarung tangan hitam tak berjari dengan Black Arts-nya lalu memakainya. Setelahnya, ia memunculkan sebuah strap jari dan memasangnya di jari manisnya. Membuatnya tertutup dengan sempurna.

"Aku bertanya padamu, Saka... apa yang kau maksud dengan ini?" Lumia mengulangi pertanyaannya.

"Maksudmu?"

Lumia makin kesal. Gadis itu mendekati Saka sampai jarak mereka tidak lebih dari panjang lengan Lumia. Membuatnya bisa menggenggam bahu lelaki yang tingginya berbeda satu kepala darinya itu.

"Kenapa kau mengenakan cincin pengikat? Apalagi dari Kerajaan Winaro! Kau pasti sudah melakukan banyak hal sejak kunjunganmu ke Winaro beberapa waktu yang lalu, kan!?"

Ucapan kesal Lumia sukses membangkitkan rasa penasaran dalam diri Yuki. Mungkin dari mereka bertiga, hanya dirinya yang tidak begitu mengerti apa yang mereka berdua bicarakan.

"Bolehkah aku bertanya apa yang dimaksud dengan Cincin Pengikat?" Tanya Yuki menyuarakan isi hatinya.

Masih dengan kondisi marah, Lumia melepaskan genggamannya pada bahu Saka, berbalik menghadap Yuki dan menjelaskan semuanya pada gadis itu, "cincin pengikat adalah cincin tertentu yang selalu dibuat sepasang dengan model yang persis sama. Sesuai dengan namanya, orang yang sudah terpasang cincin itu di jarinya sudah terikat dengan orang lain yang memiliki cincin serupa."

"Apa yang kau maksud dengan terikat?"

"Mungkin, kalian mengenalnya dengan sebutan 'tunangan'."

Bagaikan disambar petir, Yuki langsung shock mendengarnya. Gadis itu bersusah payah menahan amarahnya sehingga membekukan tempat di sekitar mereka tanpa sengaja. Dan ia tidak bisa berbuat banyak. Hawa dingin tetap saja terasa di sekitar mereka.

"Kau masih belum menjawab pertanyaanku!" Lumia mengalihkan kembali perhatiannya kepada Saka.

"Untuk alasan yang tidak aku ketahui, Putri raja kerajaan Winaro memberikanku uang yang banyak sebagai apresiasi padaku dan gadis dari Knights of Round itu. Dia juga memberikan kami cincin masing masing satu. Tentu saja aku tidak mengetahui apa yang dinamakan dengan cincin pengikat sebelumya. Aku baru tahu satu malam sebelum resepsi pernikahanku dimulai. Dan aku langsung melarikan diri saat itu juga." Ucap Saka.

Dan ucapan itu belum menurunkan aura permusuhan dari Lumia.

"Benar, kah? Apa pernyataan yang ku dengar sebelumya adalah sebuah kebenaran?" Klarifikasi Lumia.

"Terserah padamu apakah kau ingin menganggapku berbodong atau jujur. Yang penting, kau lebih tahu bagaimana tanda tandanya kalau dua orang sudah berikatan." Ucap Saka.

Dan ucapannya membuat aura permusuhan menghilang.

"Baiklah... aku percaya padamu. Kau adalah pemimpin kami." Ucap Lumia akhirnya.

Tapi, lolos dari satu masalah, masalah lainnya datang menghampiri. Tentu saja Saka tidak melupakan keberadaan gadis kedua diantara mereka.

"Aku benar benar kabur, Yuki. Tidak perlu kaget begitu... aku sudah berkata kalau aku akan bertanggung jawab atasmu, kan!?" Ucap Saka dengan nada yang entah kenapa berubah menjadi lembut. Saka hanya pernah melakukannya pada Yuki seorang.

"Aku masih tidak percaya. Kau berhutang banyak pernjelasan padaku!" Ucap Yuki sebelum membuang mukanya.

Bukan berarti Saka tidak peduli, tapi dia hanya tidak ingin menyiramkan minyak ke atas api. Ia memutuskan untuk diam dan membiarkan emosi gadis tinggi di hadapannya ini mereda dengan sendirinya.

"Hey! Apa kalian bertiga mendengarkan kami?"

Suara yang baru saja mereka kenal terdengar dan membuat ketiga orang yang sedang berbicara sendiri mengalihkan perhartiannya ke arah sumber suara.

"A...apa?" Yuki tergagap.

"Aku bertanya apakah kalian akan memutuskan untuk ikut bersamaku atau kalian memutuskan untuk membelot kepada gadis tidak tahu malu ini?" Tanya Celia.

"Tentu saja kami akan bersamamu. Kau adalah orang yang membawa kami ke sini. Tentu saja kau bertanggung jawab atas kami!" kali ini, Lumia yang berucap.

"Tapi, aku akan membayar kalian lebih!" Julis masih belum mau kalah.

Denngan tenang Saka berjalan dan berhenti tepat di hadapan Julis. Saka menatap gadis itu dengan tatapan dingin miliknya. Hilang sudah citra lelaki elegan di mata Julis.

"Hey, tuan putri... di dunia ini, ada barang yang tidak bisa dibeli dengan uang, kau tahu!?"

"Tapi, setiap makhluk memiliki harga, kan!? Aku akan membayar dengan apapun!" Ucap Julis dengan nada putus asa. Gadis itu benar benar tidak inign kehilangan kesempatan menemukan pemain musik yang handal.

"Memang benar setiap makhluk memiliki harga. Meski begitu, tidak pernah ada orang yang pernah menyebutkan harga dirinya masing masing. Mau itu elf, manusia, halfling, terserahlah... yang penting, aku akan dengan senang hati berbelok mengikutimu jika kau bisa menemukan harga yang sesuai dengan harga diriku." Ucap Saka sebelum berbalik.

Tapi, sungguh kaget dirinya begitu menyadari siapa yang sudah sampai di dekat mereka begitu ia berbalik.

"Julis-sama... kenapa anda langsung pergi begitu saja?" Tanya Valeria. Gadis itu datang bersama dengan anggota Knights of rounds lainnya yang berjumlah lima orang. Saka tidak melihat keberadaan Yusa, Alice, dan Niki di situ.

Julis tidak menjawab pertanyaannya. Gadis itu hanya melangkah pergi sambil menggandengan tangan Valeria.

"Lihat saja, Yonkaime... aku akan dengan senang hati menemukan orang yang sebanding denganmu. Dan jika saat itu tiba, aku ingin sekali melihat wajahmu yang meminta minta belas kasihan sambil menjilati kakiku."

"Heeh... aku akan menunggunya dengan sabar. Kalau begitu, Sore dewa, Alfheim no Julis Ojou-sama..." ucap Saka menyambut kepergian Julis bersama para Knights of Round lainnya.

Saka dan teman temannya menatap kepergian rombongan rival mereka itu. Dari kelima angoota Knights of Round yang ada, terdapat dua orang yang membalas tatapan mereka.

Fia dan Ivan.

Tapi akhirnya kedua orang itu berbalik meninggalkan mereka tanpa berkata apapun.

Dan Saka hnaya bisa menatap mereka tanpa berkata apa apa.

"Hey, Saka... menurutmu, apakah mereka menyadari siapa kita?" Tanya Yuki yang berada di sebelahnya. Memecah lamunan Saka.

Saka terdiam sebentar sebelum memberikan jawabannya, "aku rasa tidak. Satu satunya Knights of Round yang pernah bertemu denganmu hanyalah Fia. Dan ia bertemu denganmu saat rambutmu masih di cat pirang. Sedangkan Yusa dan Alice yang merupakan dua orang yang pernah bertemu dengan Lumia tidak ada."

"Oh... begitu... kalau begitu, bagaimana denganmu?" Tanya Yuki lagi.

"Aku tidak yakin. Aku belum pernah memperlihatkan diriku yang seperti ini pada Fia. Jadi, aku juga tidak yakin kalau mereka tahu aku adalah Black Reaper. Nasib baik bagiku aku tidak bernyanyi tadi. Kalau aku bernyanyi, sudah bisa dipastikan kalau Fia akan mengenaliku." Ucap Saka.

"Baguslah..."

Tiba tiba, seorang gadis berambut pirang muncul di wilayah pandang Saka dan yang lainnya. Gadis itu sangat mereka kenal. Dan gadis itu langsung menunduk penuh hormat.

"Aku sangat berterima kasih kepada kalian! Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan kalau kalau kalian memilih adikku." Ucap Celia.

Melihatnya, Saka tidak bisa menahan tatapan terganggunya. "Naikkan kepalamu, Celia. Kau adalah putri pertama kaisar, dan kau menundukkan kepalamu seenaknya."

Celia langsung menegakkan kembali kepanya.

"Tapi, tetap saja aku sangat berterima kasih pada kalian."

"Hai...Hai... kau bisa simpan pembicaraan seperti itu untuk lain hari. Dan sekarang, aku ingin tahu alasan kenapa kau ingin sekali kami menjadi pemusikmu?" Tanya Saka.

"Soal itu, aku akan memberitahukan kalian di istana. Untuk itu, aku sudah menyewa kereta untuk kita kembali ke istana."

Saka dan kedua temannya hanya bisa berpandangan mendengarnya.

*****

Di kegelapan malam, hanya ditemani oleh cahaya bulan yang sedang tertutup awan, seorang sosok tinggi besar yang mengenakan zirah lengkap berdiri bersandar pada sebuah tembok dengan menyilangkan tangannya di depan dada. Kesannya seakan akan dia sedang menunggu seseorang.

Tak lama kemudian, seroang laki laki yang lebih tinggi darinya tapi lebih kurus datang dan bersandar di tembok di sebelahnya.

"Kau datang, ya!?" Ucap laki laki yang pertama.

"Pasti. Aku tidak bisa mengabaikan teman lama ku begitu saja." Ucap sang laki laki kedua.

"Tapi, aku tidak pernah menyangka kalau kau sebenarny memiliki wajah yang lebih tampan daripada yang biasanya kau tampakkan di sekolah kita dulu, Saka."

"Aku tidak ingin dipuji karena tampangku. Terlabih lagi oleh seorang laki laki."

Mendengarnya, laki laki yang satunya tertawa terbahak bahak. "Tentu saja, ya... tapi aku tidak bisa mengatakan apa apa lagi. Kau benar benar mencuri lampu sorot, Saka. Dan itu adalah pertama kalinya aku melihatmu memainkan alat musik. Aku tidak tahu kau bisa memainkan piano dengan sangat hebat."

"Ivan kawanku... kau masih jauh dari tingkat mengerti diriku. Sebenarnya aku cukup beruntung karena aku tidak menyanyi. Kalau saja aku menyanyi, sudah bisa dipastikan Fia akan mengenaiku. Dia mengenalku lebih baik daripada kebanyakan orang lain." Ucap Saka.

"Benar juga, ya... aku juga tidak sedang ingin bertarung menggunakan pedang dan perisai. Kalau bisa, kita damai sekarang, ya!?" Ucap Ivan.

"Apa yang kau bicarakan!? Di sini, aku bertemu denganmu sebagai seorang Sakamaki Kurogami. Bukan Black Reaper dari Bloody Rose."

"Hey, hey... kau memang teman terbaikku, Saka." Ucap Ivan sambil menyodorkan tinjunya.

"Selalu." Ucap Saka sambil menyambut tinju Ivan dengan tinjunya.

"Jadi, apa kau akan melaporkanku kepada Fia atau Valeria?"

"Aku tidak mungkin melakukannya. Tenang saja... selama bukan dirimu sendiri yang membuat mereka sadar tentunya." Ucap Ivan.

"Terima kasih."

"Heeh... itu adalah pertam kalinya aku mendengarmu berterima kasih padaku. Apa hidup di dunia ini sudah membuat hatu nurani terbentuk?" Tanya Ivan.

Terjadi keheningan yang singkat diantara mereka.

"Entahlah... aku juga tidak tahu... tapi, bertemu dengan orang orang, merasakan apa yang dinamakan kebersamaan, permusuhan, persaingan, aku tidak yakin bisa mengabaikannya begitu saja. Dan tiba tiba saja, aku sudah mendapati diriku seperti ini." Ucap Saka dengan nada seakan sedang bernostalgia.

"Tidak perlu sentimendal seperti itu. Ini adalah pertama kalinya kita mengobrol semenjak kita terdampar di dunia ini. Jujur saja, hari hariku sekarang terasa seperti mimpi. Aku tidak kayin yang mana kenyataan dan yang mana yang maya. Sebagian diriku selalu berharap untuk terbangun dan mendapati diriku sedang menatap langit langit kamarku yang begitu kukenali. Tapi, sebgaian diriku yang lain justru tidak menginginkannya." Ivan menghela nafasnya.

Saka menunggu lanjutan dari ucapan temannya.

"Karena jika hal itu benar benar terjadi, maka seorang Ivan dari Knights of Round akan kembali menjadi Ivanovich Vladivostok yang meyedihkan dari Rusakala High School. Yang berteman dengan grup orang orang hebat dan hanya bisa berharap untuk tidak mencoreng nama baik mereka."

"Diamlah... kau tidak menyedihkan. Tanpamu, kami akan mati kebosanan." Ucap Saka.

Kedua orang itu tertawa bersama sama.

Tidak terasa waktu telah terlewat hingga bulan merangkak naik. Menandakan kalau tengah malam akan tiba sebentar lagi.

"Sepertinya aku harus pergi sekarang. Aku tidak ingin membuat sesama rekan Knights of Round ku bertanya tanya kemana aku pergi dan menyelidikiku. Meski aku adalah anggota Knights of Round, Erika sepertinya masih belum bisa mempercayaiku."

"Erika... kalua kau tidak salah, dia adalah orang yang selalu bersama dengan adikmu, kan!?"

Ivan mengangguk. "Dia adalah orang yang hebat. Aku bersyukur adikku yang kaku bisa bertemu dengannya. Meski ia sebenarnya begitu terpaku padamu, Saka. Bahkan lebih dari ketergantungannya padaku sebagai kakaknya."

"Tenanglah... aku tidak akan mencuri adikmu. Kami hanya teman." Ucap Saka.

"Aku tidak menyalahkan dirimu akan hal itu. Justru aku malah bersyukur kalau kau tidak menolak pertemanan adikku."

"Keu begitu sayang dengan adikmu, ya!?" Goda Saka. Membuat wajah Ivan sedikit memerah.

Setelah melewati keheningan singkat, keduanya berdiri tegak dan mulai berpisah jalan.

"Sampai jumpa di medan perang selanjutnya, Black Reaper."

"Senang bertemu denganmu, Shield of Aegis."

Dan dua detik kemudian, tiada lagi suara yang terdengar di daerah itu.

*****

"Meski begitu, tetap saja kau akan menemukan kesulitan yang hebat untuk mencari pemusik yang lebih handal dari mereka di sini, Julis-sama..." ucap Valeria pada Julis yang tengah frustasi di meja makan.

Sekarang, para anggota Knights of Round sedang makan bersama dengan Julis di meja makan kerajaan. Sang kaisar dan istrinya sedang berada dalam sebuah urusan yang tidak memungkinkan mereka untuk makan bersama dengan anaknya sendiri. Alhasil, mereka makan hanya berenam.

"Aku tahu... hanya saja aku tidak ingin kalah dari kakakku." Ucap Julis.

Julis sudah memberitahukan segala kondisi yang tengah ia hadapi kepada teman temannya di Knights of Round. Ia sedang mencari seorang pemusik yang akan membantunya untuk menyanyikan lagu yang akan menarik dukungan rakyat baginya untuk menjadi penerus kekaisaran.

"Yah... kalau kau ingin menang melawan mereka, kau harus mencari seorang penyanyi, pemain drum, dan pemain piano yang hebat. Jangankan ketiganya, sang penyanyi saja sudah sangat hebat dan bisa dibilang satu satunya di dunia. Bagaimana kita bisa mencari ketiganya?" komentar Cole.

Entah kenapa, rasa simpati dari Valeria yang terlalu besar membuatnya rela membantu Julis untuk meraih tahta kekaisaran. Dan sekarang mereka sedang berpikir keras untuk bisa mengalahkan para Numbers (Julukan yang diberikan Julis kepada Saka dan teman temannya. Diambil dari nama mereka).

"Kalau boleh tahu, apa ada alat musik yang bisa kau gunakan, Julis-sama?"

Yang bertanya adalah Fia. Pertanyaan itu cukup membuat Julis kaget karena ini adalah pertama kalinya gadis itu membuka suaranya ke arah sang putri.

"Aku ingin bisa bermain piano. Tapi aku tidak begitu hebat dengannya." Ucap Julis dnegan nada putus asa. "Melihat Yonkaime memainkan piano dengan sangat brilian sungguh membuatku kehilangan semangat hidup." Lanjutnya.

Fia terlihat sedang berpikir keras. Setelah melalui keheningan beberapa lama, gadis itu mengangkat kembali wajahnya.

"Apa kau bisa menyanyi, Julis-sama?"

Wajah Julis berubah cemberut. "T-tidak... aku memiliki masalah yang cukup serius dengan suara." Ucap Julis.

Benar juga ya... wajahnya saja seperti patung... tidak berekspresi. Gumam Fia dalam hati.

"Kalau begitu, bolehkah aku mengklarifikasi sesuatu?"

"Silahkan..."

"Apa diperbolehkan bagi sang kandidat penerus untuk tidak menjadi seorang penyanyi dalam kompetisi itu?"

Julis terlihat sedang berpikir. Ia menaruh jarinya di bibirnya. "Sepertinya tidak masalah. Persyaratan yang tertulis hanyalah sang kandidat diharuskan untuk ikut serta dalam grup pemusik yang ikut serta dalam kompetisi."

"Heeh... begitu ya..." ucap Fia.

"Memangnya apa yang ada di pikiran anda, Fia-sama?"

"Kalau begitu, kenapa kita tidak membuat grup sendiri?"

"HEEH??? Grup sendiri? Kita?" yang bereaksi adalah Ivan. Wajar kalau mengingat dirinya bukanlah orang yang bisa menggunakan alat musik.

"Iya... kita biarkan Julis-sama menggunakan piano seperti yang biasa digunakannya. Aku akan memegang kendali atas bass, seperti yang biasa aku lakukan. Valeria akan menyanyi, Erika akan menggunakan gitar, dan drum akan kuserahkan kepada Cole."

Usul dari Fia yang tiba tiba itu mengundang sesi berpikir keras untuk setiap pribadi yang hadir di ruang makan saat itu.

Secara pribadi, Fia sudah belajar menggunakan bass sejak kecil. Ia berlatih bass karena keberadaan sebuah bass misterius yang entah kenapa sudah ada di kamarnya bahkan sebelum ia pindah ke ruangan itu. Karena rasa penasaran menguasai dirinya, gadis itu memainkannya dan ketagihan. Ia berlatih terus menerus sampai ke tingkat dimana ia bisa menjadi salah satu anggota band. Tak ayal, salah satu grup band di Rusakala High School juga pernah mengundangnya untuk bergabung. Tapi tawaran itu ditolaknya.

"Boleh juga..." ucap Valeria akhirnya.

"Bagaimana dengan kalian, Cole? Erika?" Tanya Fia lagi.

"Aku tidak masalah."

"Sama denganku."

Mendengar jawaban dari kedua temannya, Fia tersenyum. Gadis itu mengubah arah pandangnya menuju sang putri. "Bagaimana, Julis-sama... apa anda siap?"

Melihatnya, Julis serasa ingin menangis. Ia haru akan kesungguhan teman temannya dalam memikirkan dirinya.

"Dengan senang hati!"

*****

Di depan balkon kamarnya, Saka menatap langit malam bertabur bintang bintang berkilauan yang tidak bisa dijangkau mata.

Sudah hampir satu bulan berlalu semenjak pertama kalinya ia mendaratkan kakinya di ruangan putih buatan Lumia. Ia sudah melalui banyak hal. Dan si sinilah dia, berdiam diri sambil menatap langit malam yang biru dengan tatapan kosong. Membawa nama Black Reaper dari Bloody Rose di bahunya.

Sejujurnya, Saka tidak pernah menginginkan kehidupan yang seperti ini. Ia selalu menginginkan kehidupan yang biasa biasa saja. Sebagai orang dengan kecerdasan biasa, ketampanan biasa, dengan teman teman biasa, dan berkelana ke mana mana dengan cara biasa.

Semua itu tidak akan pernah bisa ia dapatkan.

Tapi, beberapa minggu yang lalu, seseorang menawarkan kepadanya-tidak hanya kepadanya, tapi semua orang yang masuk ke dapam dunia ini juga-kesempatan untuk memperbaiki kehidupannya yang serba sempurna menjasi biasa saja.

Bukannya ia berjuang keras untuk mendapatkannya. Sejujurnya tidak terbesit sedikitpun keinginan untuk mendapatkan bola keinginan yang ditawarkan oleh figur misterius tersebut. Ia hanya ingin menyelesaikan apa yang ada di depannya.

Tapi, sedikit demi sedikit, dirinya berubah.

Dahulu, Saka hanya akan melenggang pergi jika melihat ada orang yang sedang dipukuli atau di palak. Tapi di sini, dia tidak bisa meninggalkan seorang gadis yang mengidap penyakit tipes. Ia bahkan menggunakan kemampuan rahasianya untuk menyembuhkannya.

Saka menghela nafasnya.

*TOK* TOK* TOK*

Seketika setelah Saka menghela nafasnya dan menatap langit kambali, pintu kamarnya diketuk dari luar.

"Siapa?" Tanya Saka.

"Ini aku."

Saka mengenal suara itu. Suara kekanak kanakan yang hanya dimiliki oleh satu makhluk di dunia ini.

Saka berjalan ke arah pintu kamarnya dan membukakaknnya. Seorang gadis pendek berambut coklat bob menyambutnya di depan pintu.

"Apa urusanmu datang ke sini?" Saka bertanya dengan nada dingin.

"Aku ingin berkunjung. Tidak boleh?"

Mendengarnya, Saka mulai kesal. Ia menutup pintunya kembali. Tapi dengan sigap Lumia menahan bilik pintu itu.

"Oke... oke... aku ingin membicarakan beberapa hal. Boleh aku masuk?"

Saka menatap gadis itu dengan tatapan tajam yang menyelidik. Seakan akan Saka menagih kejujuran dari lawan bicaranya itu.

"Aku serius." Ucap Lumia. Kali ini, nadanya benar benar serius.

Saka menghela nafasnya. Ia meyerah. Ia tidak ingin membuat kerusuhan di malam hari. Dan ia tahu tidak ada orang yang lebih baik dalam membuat kerusuhan dari Lumia.

Jadilah Saka membuka pintu lebih lebar untuk mempersilahkan Lumia masuk.

"Jadi, apa yang menjadi urusanmu?" Tanya Saka. Ia menanyakannya sambil mengambil kursi dan duduk di atasnya.

Sedangkan Lumia duduk di kasur miliki Saka. "Tidak... aku hanya ingin berterima kasih."

"Hah? Terima kasih? Sepertinya aneh mendengarnya dari orang sepertimu." Ucap Saka penuh sarkasme.

"Aku juga bisa berterima kasih, kau tahu!? Aku adalah orang yang terhormat!" ucap Lumia dengan nada kesal.

"Baiklah, baiklah... jadi, apa hal itu sajakah yang ingin kau bicarakan denganku malam ini?" Tanya Saka.

"Tentu saja tidak..."

Meski ia berkata seperti itu, tapi Lumia benar benar tidak tahu apa lagi yang harus ia bicarakan dengan Saka. Tujuan utamanya ke sini hanyalah untuk berduaan dengan Saka. Tapi, entah strateginya yang kurang hebat atau memang Saka yang jual mahal, ia berakhir menjadi pengganggu.

"Oh ya... aku bertemu dengan gadis Knight of Rounds itu di depan tadi."

"Siapa?"

"Aku tidak tahu namanya. Yang rambutnya panjang dikepang mahkota."

"Oh, namanya Fia. Jadi, apa yang kau bicarakan dengannya?"

"Sebenarnya, dialah yang memulai pembicaraan denganku. Dan kelihatannya gadis itu memiliki sorot mata yang sama denganmu entah kenapa. Jadi, aku merasa takut akan terbocorkan dan hanya menjawab seperlunya."

Saka menatap Lumia dnegan tatapan tajam.

"Apa saja yang dia tanyakan?"

"Dia menanyakan namaku."

"Dan kaujawab?"

"Sankaime." Ucap Lumia takut takut.

"Lalu, apa dia menanyakan namaku?" Tanya Saka. Entah kenapa tatapannya lebih dingin dan tajam dari sebelumnya.

Lumia mengangguk. "Aku mengatakan padanya kalau namamu Yonkaime." Ucap Lumia.

Mendengarnya, Saka menepuk dahinya yang tertutupi rambut lurus indahnya.

"Kenapa, Saka?"

"Bodoh."

"HAH?" Lumia bereaksi aneh terhadap jawaban Saka yang tiba tiba.

"Dia sudah mengetahui siapa kita sekarang."

"APA? Bagaimana caranya?"

Saka diam sejenak. Lelaki berambut panjang itu berdiri dan melangkah ke balkon kamarnya lagi. Di sana, ia duduk di bangku tidak jauh dari pagar pembatas sambil menatap langit. Sepertinya ia tidak tertarik untuk menjawab pertanyaan Lumia.

Lumia yang melihatnya kesal dan mendekati lelaki itu.

"Aku bertanya padamu! Bagaimana caranya dia bisa sampai mengetahui kalau kau itu Black Reaper?" Tanya Lumia. Kali ini dengan nada kesal.

"Simpelnya, karena dia tahu darimana aku mengambil nama itu." Jawab Saka.

Lumia sedikit kaget. Tapi gadis itu bisa menahan dirinya agar tidak menunjukkan reaksi yang berlebihan.

"Memangnya darimana kau mengambil nama itu?" tanya Lumia.

"Aku cukup yakin kalau kau mengetahui fakta kalau aku dan Fia adalah seorang player, kan!?"

Lumia mengangguk mengiyakan.

"Di hari pertama kami sebagai seorang player, kami bertemu dengan seorang makhluk aneh besar yang memberitahukan kami tentang dunia ini. Dan fakta bahwa kami tertarik ke dalam dunia ini bukan karena kamauan kami melainkan karena kami diberi kesempatan untuk memberbaiki hidup kami. Dan kesempatan itu hanya akan didapatkan oleh tujuh orang yang beruntung bisa mengalahkan sang raja Iblis di duniamu."

"Lalu, apa hubungannya dengan cara gadis itu mengetahui identitasmu?"

"Setelah dia melepas kami masing masing, kami semua diberikan ini." Setelah mengucapkannya, Saka menggeser telapak tangannya dari kanan ke kiri. Menghasilkan sebuah layar transparan yang melayang layang dan menampilkan beberapa paragraf.

"Apa itu?"

"Ini disebut dengan window. Hanya para player yang bisa melihat sebuah window."

"Aku tidak bertanya tentang namanya. Aku bertanya untuk apa benda itu!?" Ucap Lumia. Ia merasa kalau Saka sedang meremehkannya.

"Hologram yang kau sebut dnegan 'benda' itu memiliki kemampuan untuk mengetahui berbagai macam info di sini. Sebagai contoh, di duniaku, aku bukanlah seorang pembunuh sekaligus perampok yang bisa menggunakan Black Arts. Aku hanyalah seorang lelaki SMA biasa."

"Dan... Window itu memberitahukanmu segala hal yang harus kau ketahui untuk bisa bertahan hidup di dunia ini? Termasuk cara menggunakan Black Arts?" Tanya Lumia.

"Bagian awalnya benar. Window ini membantuku mengethaui sebagai apa aku di dunia ini. Dan ternyata, di dunia ini aku merupakan seorang perampok murah hati yang senang membunuh. Tidak hanya itu, jika kami para player mendekati musuh kami sampai jarak tertentu, kami bisa melihat parameter musuh yang bersangkutan. Sebagai seorang Knights of Round yang sudah lama memburuku, sudah bisa dipastikan kalau gadis itu memiliki banyak informasi tentangku. Termasuk nama nama lain yang pernah kugunakan."

Lumia terlihat bingung dengan penjelasan dari Saka. "Apa itu parameter?" tanyanya.

Saka menghela nafas. Bukan salahnya Lumia menanyakan hal itu. Bahkan Saka tidak yakin kata Parameter pernah disebutkan oleh penghuni dunia ini barang sekali.

"Biar kuubah bahasaku. Kami, para player bisa melihat ukuran kemampuan lawan kami dalam skala angka. Tentu saja kami juga bisa melihat milik kami sendiri. Dan itu membuat kami bisa dengan cermat memperhatikan apakan sebuah pertarungan bisa kami menangkan atau tidak."

"Heeh... curangnya..." ucap Lumia.

"Aku tidak pernah menggunakannya. Sama denganmu... aku menganggapnya sesuatu yang curang. Dan membuat sebuah pertarungan tidak lagi seru."

"Hmm... kalau begitu, apakah kau bisa melihat parameterku?" Tanya Lumia.

Mata Saka yang tadinya menatap tajam terbuka sedikit.

Memang benar kalau diingat ingat, Saka sudah melalui waktu bersama dengan Lumia lebih dari siapapun di dunia ini. Tapi, tidak sekalipun ia pernah menyempatkan waktu untuk skdar melihat parameter gadis itu.

Karenanya, Saka mengalihkan pandangannya ke arah Lumia dan menatapnya. Di kepalnya, ia memfokuskan dirinya untuk melihat Window milik Lumia. Jaraknya dengan Lumia tidka lebih dari tiga kaki. Dan seharusnya ia bisa melihatnya dari jarak segini.

STR 49
DEF 23
AGI 70
SPD 66
INT 280
WSD 300

Dalam keadaan normal, Saka akan heran dan dengan susah payah mencari tahu labih lanjut alasan dibalik status parameter Lumia yang jauh dibawah miliknya. Padahal, menurut Saka, seharusnya gadis itu sama kuat dnegan dirinya. Bahkan mungkin lebih.

Tapi, Saka masih tidak kehilangan ketenangannya.

"Jadi, bagaimana parameterku?" Tanya Lumia. Sepertinya gadis itu benar benar penasaran.

"Apa kau benar benar ingin mengatahui parametermu?" tanya Saka pada gadis yang menatapnya dengan tatapan super penasaran itu.

Lumia mengangguk.

"Apa kau yakin? Aku tidka ingin kau mengira kalau aku mengada ada..." ucap Saka.

Saka mengucapkannya bukan karena ia ingin Lumia salah paham. Ia sebenarnya tidak ingin Lumia mengetahui parameternya. Bukan karena khawatir, tapi karena Saka ingin menginvstigasi lebih lanjut mengenai kemampuan dari Lumia.

"Aku yakin. Aku mengahrapkan kalau parameterku tinggi, tentu saja."

"Sejujurnya, parametermu hanya tinggi di bagian kecerdasan dan kebijaksanaan. Dan kedua parameter ini hanya mengindikasikan dirimu sebagai seorang ahli sihir yang luar biasa."

Entah apa yang dirasakah oleh Lumia. Tapi gadis itu menampakkan wajah yang sedikit murung.

Bukannya Saka tidak menyadarinya, hanya saja lelaki itu tiak ingin mencampuri urusan gadis itu lagi. Hubungannya dengan Lumia bisa dibilang bukan teman. Malah mereka tidak mungkin menjadi teman. Seroang manusia dan iblis.

Tapi, kalau dilihat dari dekat, meski Lumia adalah anak dari raja iblis, tetap saja gadis itu terlihat seperti gadis gadis desa pada umumnya.

Saka memutuskan untuk kembali ke dalam ruangan kamarnya dan tiduran di kasurnya. Ia melakukannya untuk memberikan kesan pada Lumia agar gadis itu segera kembali ke kamarnya.

Tapi Saka kembali terbangun karena suatu cahaya. Cahaya singkat yang berwarna putih mengkilap luar biasa terang.

Dan begitu Saka bangkit dan melihat ke belakang, ia melihat Lumia dalam wujud aslinya. Yakni seorang gadis loli berambut merah panjang dan mengenakan gaun gothic. Lumia menatap Saka dengan tatapan aneh. Antara penasaran dan tersulitkan.

"Kalau begini, apa aku cukup kuat untuk bisa bersanding denganmu?" Tanya Lumia dengan nada parau.

Oh... ternyata begitu... akhirnya Saka mengetahui arti tatapan aneh dari Lumia saat gadis itu mendengar angka parameternya sendiri.

Saka berdiri dan menghampiri gadis itu. Dan dan dengan senyum ia mengelus ngelus kepala Lumia.

"Aku tidak akan meninggalkanmu, Lumia. Mungkin saja kau ini menyebalkan dan pendek." Begitu Saka berucap, Lumia menggenggam lengan baju Saka dengan gemas. "Tapi aku tidak bisa meninggalkan seroang gadis yang menemukanku di tengah hutan, kan!?"

Mendengarnya, Lumia tersenyum.

"Kau adalah orang yang pertama kali menemukanku. Jadi, bisa dibilang aku adalah teman pertamamu di dunia ini. Dan sebaliknya." Ucap Saka.

Lumia langsung memeluk lelaki yang tingginya jauh melebihinya itu dengan erat. Saka tidak menghindar. Yang terpikir olehnya sekarang hanyalah tidak membuat gadis itu marah.

Ucapan yang tadi diucapkannya tidak datangdari hati Saka. Meski Saka sudah berubah, tapi tetap saja lelaki itu tidak bisa memungkiri sifat dasarnya yang begitu dingin. Ia mengucapkan hal hal itu karena beberapa hal.

Diantaranya karena ia sudah melihat Window Lumia yang sebenarnya.

STR ???
DEF ???
AGI ???
SPD ???
INT ???
WSD ???

Begitulah yang dilihatnya.

Sepertinya aku harus senang gadis itu tidak lagi mengungkit masalah nama... gumam Saka dalam hatinya.

*****

Sinar matahari pagi yang hangat merembes masuk ke dalam kamar dari sela sela gorden yang terbuka sedikit di kamar yang ditempati oleh Fia. Cahaya itu membangunkannya dari tidur nyenyaknya yang begitu nyaman sampai sampai ia melupakan dalam urusan apa dia berada di tempat ini.

Beberapa detik setelahnya, gadis itu telah menyadari untuk apa dia berada di sini. Begitu ia menyadarinya, Fia langsung berdiri dari kasurnya, merapikannya, membuka semua gorden beserta jendelanya, dan memasang baju mandi berupa kimono yang sudah disediakan oleh pelayan kerajaan di hari sebelumnya. Ia berniat untuk pergi mandi setelah ini.

Permandian seharusnya berada satu lantai di bawah tempatnya berada sekarang. Fia perlu keluar kamarnya, lalu berjalan sekitar 50 yard untuk bisa sampai di permandian.

Tidak lama waktu yang dibutuhkannya untuk bisa sampai di tempat permandian. Di sana, ia tidak mendapati adanya seorangpun yang sedang menggunakannya. Wajar saja mengingat hari sudah mulai siang. Fia tidak mengambil pusing hal tersebut. Bahkan di sunia nyata sekalipun, Fia sudah terbiasa mandi lebih siang dari orang lain karena ia harus mempersiapkan banyak hal terlebih dahulu seperti memasak, mencuci, menyapu, dan hal hal rumahan lainnya sebelum ia mendapat waktu untuk memikirkan dirinya sendiri.

Setelah ia masuk, Fia langsung membuka pakaiannya tanpa menunggu lebih lama lagi. Gadis itu tidak ingin membuang buang waktu kunjungannya yang berharga untuk bersantai di dalam kamar mandi yang memang harus diakui, sangat luar biasa.

*BUKKK*

Jika saja Fia hidup di dalam novel atao cerita romansa picisan lainnya, sudah dipastikan gadis itu adalah satu dari dua tokoh utama. Dengan satu tokoh utama lainnya adalah orang yang ditabraknya.

Fia tidak bisa menahan teriakannya begitu menyadari seorang lelaki yang ditabraknya menatap tubuhnya yang sedang tidak ditutupi sehelai benangpun.

Tapi, tepat sebelum Fia sempat berteriak, lelaki itu sudah menutup mulut Fia sambil menahan kedua tangannya agar tidak melakukan gerakan yang tidak diperlukan.

"Kumohon... ini bukan keinginanku. Tempat ini tidak memiliki kamar mandi terpisah." Ucap sosok lelaki berambut panjang terikat di belakang yang menabraknya.

"HMMPPHH-Hmppphh!!!" Sekuat tenaga Fia berusaha untuk melepaskan diri dari lelaki itu. Hanya saja entah kenapa lelaki itu begitu kuat dan dirinya-yang notabene adalah Knights of Round-tidak bisa memberontak.

Jika saja ada orang lain yang melihat posisi mereka berdua, sudah bisa dipastikan mereka berdua masuk ke dalam surat kabar pagi ini. Posisi mereka pasti tertulis dengan jelas di dalam kama sutra. Bahkan Fia bisa merasakan otot keras lelaki itu yang tertempel di punggungnya.

"Kumohon... aku tidak sengaja... kalau kau mau memukulku, membakarku, lakukanlah... tapi jganan beritahu siapapun mengenai hal ini..."

Mendengar lelaki itu berkata seperti itu, Fia mengendurkan perlawanannya. Sedemikian rupa ia memberikan kesan bahwa dirinya sudah tidak akan melawan lagi.

"Apa kau berjanji?" Tanya lelaki itu sekali lagi.

Fia mengangguk. Setelah memastikan Fia menerima tawarannya, lelaki itu melepaskan bekapannya pada Fia.

Tanpa menunggu satu tedik terlewat, Fia langsung mengambil handuk miliknya yang terjatuh dari lantai dan menggunakannya untuk menutupi bagian bagian tubuhnya yang tidak bisa tertutupi semua. Setidaknya gadis itu memastikan dua daerah terlarangnya untuk tidak terlihat.

Dilihat oleh Fia lelaki yang membekapnya beberapa saat yang lalu itu. Lelaki itu sudah mengenakan handuk dari pusarnya sampai menutupi sebagian pahanya. Meski begitu, Fia masih dapat melihat bagian tubuh lelaki itu yang dipenuhi dengan otot kekar tapi tidak begitu besar sehingga membuat lelaki itu terkesan langsing.

Fia mengenali wajah orang yang berada di depannya. Dan wajah itu adalah wajah yang sedang tidak ingin ditemuinya.

"Kau! Kau adalah orang yang bernyanyi kemarin!" ucap Fia setengah berteriak.

"SSHHH!!! Jangan berteriak!" lelaki itu mendesit sebelum ia berbisik. "Ya... aku adalah orang yang kau maksud."

Fia menatap orang yang berada di depannya dnegan tajam. Satu hari sebelum ini, dia sudah berbicara dengan Nikaime, salah satu dari tiga orang personil Numbers yang bermain sebagai drummer kemarin. Dan sedikit banyak berhasil mengorek informasi darinya. Entah informasi itu dia inginkan atau tidak.

Dan sungguh kaget begitu ia menyadari sesuatu yang amat... kebetulan.

"Sungguh... aku minta maaf. Aku tidak berniat untuk mengintip. Aku berada di ruangan ini lebih dahulu. Dan tiba tiba kau masuk. Tempat ini tidak memiliki kamar mandi yang terpisah. Jadi, kalau bisa... komohon... maafkan aku... aku akan melakukan apa saja." Ucap lelaki itu. Wajah 'cantik'-nya sungguh menjadi cobaan berat bagi Fia.

Dewi fortuna tengah memberikan berkatnya kepada Fia. Gadis itu tepat memiliki satu pertanyaan yang mengganjal di otaknya. Dan mungkin hanya akan bisa dijawab oleh seseorang yang bernama "Yonkaime".

"Aku akan memaafkanmu dan melupakan kejadian tadi jika kau meu menjawab satu pertanyaan dariku."

Dia mengucapkan kalimat tersebut dengan diksi dan nada yang sedikit 'dere' bukan karena alasan tertentu. Gadis itu ingin melihat reaksi yang diberikan oleh Yonkaime sebelum ia menanyakan pertanyaannya.

Fia mendapati adanya rasa kaget yang terpancar dari dalam mata sang pianis. Tapi rasa kaget tersebut hanya berlangsung sangat sebentar dan langsung hilang lagi. Tidak hanya itu, tatapan Yonkaime berubah menjadi sedikit berbeda dari sebelumnya. Mungkin tidak akan ada orang yang menyadarinya selain Fia.

"Tergantung pertanyaanmu."

Dengan mendengar satu pertanyaan itu, Fia membentuk seulas senyum iblis di mulutnya. Ia sudah mendapat jawaban dari pertanyaan yang bahkan belum ditanyakannya. Tapi ia akan tetap menanyakannya sebagai formalitas.

"Baiklah... pertanyaanku adalah... apa kau adalah Black Reaper dari Bloody Rose?"

Lelaki itu tidak menunjukkan adanya pertubhanan ekspresi sama sekali begitu Fia menanyakan pertanyaan itu. Beberapa detik berlalu dengan Fia ditatap oleh lelaki itu dnegan tatapan super menyelidik.

"Seperti yang bisa diharapkan dari Fia. Kemampuan analisismu memang hebat."

Mendengarnya, Fia mearasakan dua hal. Yang pertama, ia merasakan rasa lega. Lega karena ia tidak harus menggunakan kekerasan untuk memaksa lelaki itu tutup mulut tentang kejadian tadi. Dan yang kedua, ia merasakan rasa menyesal. Menyesal karena kenapa tidak membiarkan Saka melakukan hal macam macam terhadapnya.

"Sebagai contohku, kau tidak berhak berkata seperti itu, Saka." Ucap Fia dengan Bahasa Indonesia.

Mendengarnya, Saka langsung melepas kepangan rambutnya dan membiarkan rambutnya tergerai seperti yang biasanya ia lakukan di Rusakala High School. Membuat Fia benar benar mengenali siapa yang ada di hadapannya.

Tapi, Saka langsung bergerak menuju pintu keluar begitu selesai melakukannya. Di sepanjang jalannya, lelaki itu mengikat kembali rambutnya sehingga mirip dengan keadaan rambutnya saat kemarin ia konser.

"Tunggu! Mau kemana kau, Saka!?" Fia mengubah bahasanya kembali ke inggris.

"Keluar, tentu saja. Kau adalah perempuan dan aku adalah laki laki. Meski tidak ada masalah bagi para elf, tapi hukum di dunia manusia memaksa kita untuk tidak boleh mandi bersama."

Mendengarnya, Fia tidak bisa menahan dirinya untuk merasa kesal. Jika saja kesempatan berusan dilelang kepada orang banyak, tidak akan sedikit orang yang mau membelinya dengan uang berjuta dolar. Siapa yang tidak mau mandi berama dengan gadis secantik dan seseksi Fia.

"Saka! Aku tidak keberatan, kok..." ucap Fia. Entah kenapa suaranya terdengar putus asa.

"Aku yang keberatan." Ucap Saka.

Dalam hati, Fia mendengus begitu kesal. Ini pertama kalinya ada seorang laki laki yang tidak tertarik sama sekali dengannya. Padahal, sebagai ketua kelas, dulu Fia sering sekali minta tolong pada anak lelaki di kelasnya hanya dengan seulas senyum.

Tepat begitu tangan Saka mencapai gagang pintu geser, Fia langsung memeluknya dari belakang. Gadis itu tidak peduli kalau handuknya terjatuh sehingga ia memeluk Saka tanpa mengenakan sehelai benangpun.

"Kumuhon... Saka... kau tidak tahu seberapa rindunya aku pada dirimu..." ucap Fia. Nadanya terdengar seperti akan menangis.

Selama beberapa detik, Saka memutuskan untuk tidak membuka pintu tersebut. Tapi iu bukan berarti Saka ingin memanfaatkan keadaan ini untuk berbuat macam macam pada Fia. Lelaki itu hanya tidak lagi ingin membuat masalah dengan seorang wanita.

"Jadi, apa yang ingin kau lakukan?" Tanya Saka. Nadanya terdengar dingin.

Fia mengendurkan pelukannya. "A-aku bisa menggosok punggungmu..." ucap gadis itu malu malu.

"Kalau aku tidak mau?" Tanya Saka.

"Aku akan memaksamu." Ucap Fia. Ia memasang wajah tegas.

Saka menghela nafasnya. Ia menyerah. Jika ia memaksakan kehendaknya, sudah bisa dipastikan kalau dirinya tidak akan selamat dari amukan Fia setelah ini.

Dan begitulah mereka... beberapa detik setelahnya, Fia telah duduk setengah bersimpuh di belakang Saka yang duduk diatas sebuah kursi pendek yang biasa ada di pemandian. Sedangkan tangan gadis itu menggunakan sabun untuk menggosok punggung Saka dnegan lembut.

"Bagaimana?" Tanya Fia.

"Aku tidak bisa berkomentar. Aku takut apa yang keluar dari mulutku akan menyakitimu." Ucap Saka. Tentu saja lelaki itu tidak berniat menjadi puitis.

"Apa kau tahu kalau kau itu tidak romantis, Saka!?" Ucap Fia.

"Aku tahu... dan kau lebih tahu dari siapapun kalau aku tidak tertarik dengan lawan jenis." Ucap Saka.

"Lalu, kau tertarik pada sesama jenis?" Tanya Fia sedikit bercanda.

"Tentu saja tidak, bodoh..."

Fia tertawa kecil mendengarnya. Gadis itu mengambil lebih banyak sabun karena entah kenapa punggung Saka begitu besar dan kasar. Setelahnya, Fia kembali melanjutkan pekerjaannya.

"Hey, Saka... apa kau tidak ingin bergabung dengan Knights of Round?" Tanya Fia. Suaranya terdengar lembut.

"Tidak, terima kasih." Tanpa pikir panjang, kalimat tersebut keluar dari mulut Saka.

"Kenapa? Aku yakin kalau kau memutuskan untuk menjadi loyal terhadap kerajaan, kau akan menggeser tempat Valeria."

"Hal tersebut makin membuatku tidak ingin menjadi anggota Knights of Round."

"Tapi Valeria tentu tidak akan keberatan! Justru mungkin dia lebih ingin dipimpin olehmu!"

"Soal itu, aku lebih tahu darimu..."

Wajah Fia berubah murung. Ia sudah bersiap untuk mendapatkan jawaban seperti ini sejak pertama kalinya ia memutuskan untuk bertanya hal tersebut pada Saka.

"Lalu, apa yang harus kami lakukan agar membuatmu bergerak ke jalan yang benar?" Tanya Fia.

"Bukannya kau sudah mengetahui jalannya?"

Ucapan Saka membuat Fia makin murung lagi. Bahkan gadis itu menurunkan intensitas gosokannya. Ia sadar kalau Saka bermaksud pada hasil kesimpulannya yang diberitahukannya pada Valeria beberapa hari yang lalu.

"Sungguh... aku benar benar tidak ingin bertarung denganmu..." ucap Fia. Nadanya terdengar seakan dirinya ingin menangis.

Karena gadis itu sibuk menutup matanya dan tidak menggosok punggungnya lagi, Saka berbalik menatap gadis itu.

"Hey... aku juga tidak ingin bertarung denganmu. Tapi, keadaan memaksa kita untuk bertarung demi peran yang sedang kita mainkan di tempat ini. Lagipula, kalau kalian para Knights of Round benar benar ingin mengalahkanku, kalian pasti akan bisa. Tapi, mengalahkan Bloody Rose? Itu urusan lain." Ucap Saka.

Fia tahu kalau Saka berniat untuk menghiburnya. Tapi, entah kenapa kalimat kalimat itu justru membuat Dia menangis. Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua tangannya yang masih berlumur sabun.

Melihatnya, Saka menghela nafas. Lelaki itu menepiskan kedua tangan Fia itu dari wajahnya sendiri, lalu memegang kedua pipi Fia dengan kedua tangannya.

"Dengar... jika tiba tiba saja kami, para Bloody Rose menjadi bagian dari Knights of Round, sudah bisa dipastikan akan ada banyak sekali tentangan dari banyak orang. Terutama dari kalangan konglomerat yang pernah menjadi korban kami. Tapi, jika saja kami menjadi bagian dari Knights of Round atas dasar ancaman dan hukuman, tentu saja tidak akan ada masalah."

Fia menarik nafas dan berusaha untuk bicara, "Aku tahu..." dan yang keluar adalah nada parau bekas menangis.

Saka menghela nafasnya. Ia tidak memiliki cara lain yang bisa ia pikirkan untuk mendiamkan anak di hadapannya ini.

"Baiklah... aku akan berkencan denganmu jika kau berhasil mengalahkanku jika saat itu datang." Ucap Saka.

Ucapan itu membuat mata Fia terbuka lebar. "Benarkah?" gadis itu bertanya dengan antusias.

Saka mengangguk. Dengan catatan kau melawanku satu lawan satu.

Wajah Fia kembali murung. "Kalau itu sudah pasti mustahil..."

"Jika kau bisa mendarat bahkan satu serangan, kau menang. Aku akan menyerahkan diriku bersama dengan seluruh Bloody Rose pada kerajaan." Ucap Saka.

Fia langsung mendekatkan wajahnya kepada Saka sampai sampai mereka berdua seakan ingin berciuman. "Kau berjanji?"

Meski agak kaget, Saka tetap bisa menjaga ketenangannya.

"Aku berjanji."

Dengan hati senang, Fia mundur sedikit. Meski tidak mengekspresikannya dengan lantang, tapi Saka cukup tahu kalau ekspresi itu berarti kebahagiaan tiada tara bagi gadis di hadapannya itu.

Merasa keadaan sudah cukup tertata, Saka berdiri untuk meninggalkan ruangan itu. Sejak awal sebenarnya Saka sudah mandi. Hanya saja, karena ia memiliki daerah pandang yang terbatas, lelaki itu tidak bisa benar benar membuat punggungnya bersih.

"Saka... tunggu!"

Saka berbalik dan melihat Fia tengah duduk membelakanginya tanpa mengenakan apapun.

"Bolehkah aku meminta satu hal padamu?"

"Biar kutebak... menggosok punggungmu?"

Fia mengangguk.

"Apa aku punya pilihan lain?"

Fia menatap Saka dengan tatapan kesal. "Kalau tidak, aku akan memperkosamu!" ucap Fia dengan tegas. Aneh mendengarnya dari mulut seorang perempuan cantik yang sedang berduaan bersama dengan seorang lelaki muda.

Saka menghela nafasnya... "Terserahlah..."

*****

Setelal keluar dari tempat pemandian yang memiliki hawa yang sama dengan neraka itu, Saka kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian. Semalam, ia sudah menggunakan Black Artsnya untuk membuat sebuah pakaian berupa seragam mirip dengan butler tanpa renda yang berwarna hitam. Ia mengenakannya dan berjalan jalan berkeliling istana.

Kalau Fia ada di sini, pasti yang lainnya juga ada di sini... pikirnya dalam hati.

Kenyataan tersebut memberatkannya dan teman teman Bloody Rose-nya. Kemungkinan mereka ketahuan lebih tinggi jika mereka tinggal satu atap dengan lawan yang sudah bertahun tahun memburu mereka (meski kenyataannya tidak).

Menggunakan baju ala Butler adalah salah satu upaya yang Saka lakukan untuk tidak begitu dikenali oleh para Knights of Round. Ia juga mengikat rambutnya ke belakang seperti kemarin. Ia lebih memilih untuk tidak ketahuan dibandingkan dengan wajah 'cantik'nya terlihat oleh seisi istana.

Dan benar saja... setiap kali ia bertemu dnegan penghuni istana yang lainnya. Apalagi para maid maid yang bertugas melayani tuan mereka di istana, dirinya pasti ditanyai dan tidak jarang yang mengajaknya kenalan. Saka bukanlah orang yang ingin dan suka menghafal nama. Tapi, terima kasih atas memori fotografisnya, ia tidak bisa melupakan mereka.

Setelah Saka berjalan selama beberapa lama, ia berhenti di depan sebuah pintu besar yang berbilah dua. Katunya berwarna merah tua dan bergagang serta berhias potongan potongan emas yang diukir sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah kalimat. Saka tidak tahu apa yang dikatakan oleh kalimat tersebut. Yang ia tahu hanyalah, aksara yang dilihatnya tersebut rasanya pernah ia temui. Tapi ia lupa.

Bukan hanya karena rasa penasaran yang membuatnya tertarik pada ruangan di balik pintu tersebut. Tapi, seperti apapun ruangan yang ada di balik pintu tersebut, sudah pasti ruangan itu memiliki sistem kedap suara yang luar biasa. Saka dapat mendengar suara dentingan piano. Tapi ia tidak bisa menerka apa yang sedang dimainkan oleh siapapun yang ada di ruangan tersebut.

Secarap perlahan, Saka mencoba untuk membuka ruangan tersebut.

Tapi ia gagal. Ruangan tersebut terkunci.

Tapi bukan Saka namanya kalau ia gagal hanya karena ketiadaan sebuah kunci.

Ia menggunakan Black artsnya untuk memunculkan sebuah peniti besi dan jepit rambut kecil yang berbahan sama. Ia menggunakan kedua alat tersebut dengan perlahan dan membobol pintu tersebut.

Pintu tersebut tidak berderit sama sekali begitu Saka membukanya. Dari celah kecil yang dibukanya, Saka dapat melihat dengan jelas siapa yang ada di dalam sana dan apa yang sedang diperbuatnya.

Seorang gadis berambut coklat dengan ujung kuning sedang duduk di depan sebuah grand piano yang besar. Gadis itu terlihat sedang begitu bersusuah payah untuk memainkan sebuah lagu.

Setiap kali gadis itu menekan tuts tutsnya, pasti ada bagian dimana satu dentingan dan dentingan setelahnya terputus. Padahal lagu tersebut akan sangat bagus jika saja bagian tersebut bersambung.

"ARRGHH!!! Kenapa aku tidak pernah bisa memainkannya????" Gadis itu berteriak dengan nada yang begitu kesal.

Awalnya, Saka hanya ingin melihat lihat. Tapi, terima kasih atas afinitasnya yang begitu tinggi terhadap lagu, dirinya memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan. Diam diam, tentunya...

"Kalau begini... bagaimana aku bisa menang dari mereka?" Gadis itu merutuki dirinya sendiri dengan nada hampir menangis.

"Anda harus melatih fingering anda, Julis-sama..."

Ucapan Saka yang seakan angin singkat yang datang tanpa diundang yang pergi tanpa diantar tersebut memuat Julis terkaget dan dengan segera menghapus air mata yang sudah mulai jatuh ke pelupuk matanya. Kasihan dia... Saka melihatnya.

"Kau... apa yang kau lakukan di sini, Yonkaime?" Tanya Julis. Nadanya terkesan jutek. Tapi nadanya terkesan sehabisa menangis.

"Awalnya saya hanya berniat untuk berkeliling istana atas usul dari Celia-sama kemarin. Tapi, saya mendengar suara piano dari ruangan ini. dan anda tahu sendiri kalau saya adalah seorang pemain piano. Tentu saja hal tersebut membuat saya tertarik."

Julis mendengar penjelasan Saka dengan tatapan permusuhan. Sepertinya gadis itu masih mengingat saat saat dirinya ditolak oleh anggota Byrose kemarin.

"Dan kau masuk dan langsung mengoreksi orang yang memankan piano tersebut? Lancang sekali anda..." ucap Julis. Berbeda dengan kemarin, Julis yang sekarang terlihat jauh lebih ekspresif.

"Maafkan saya, Julis-sama... saya menyesal."

Saka mengucapkannya dnegan aksen yang begitu menghormati. Sulit bagi Julis untuk mempertahankan sikap juteknya terhadap perlakuan sopan Yonkaime.

"Jadi, apa yang kau maksud dengan finderin tadi?" Tanya Julis akhirnya.

"Fingering..." Saka berusaha untuk mengoreksi.

"Terserahlah..."

"Fingering adalah tekhnik untuk tekhnik penggunaan jari dalam menekan tuts piano untuk menghasilkan nada nada bersambung yang membutuhkan lebih dari lima tuts bersambung."

"Aku tidak mengerti... jelaskan dengan mudah dan bisa kumengerti." Ucap Julis. Nadanya tidak terdengar memusuhi lagi.

"Bisakah Julis-sama memainkan lagu yang barusan anda mainkan? Saya akan mengoreksinya sebisa saya." Ucap Saka.

Julis langsung memperbaiki posisi duduknya dan mulai memainkan pianonya. Awalnya, lagu tersebut terdengar bagus dan tidak ada masalah. Sekilas, lagu tersebut mirip dengan lagu hungarian dance. Bersemangat tapi tetap mudah untuk diikuti.

Tapi, permainan Julis mulai aneh begitu ia mencapai bagian yang mengharuskan dia untuk menekan tuts secara cepat dan menaik. Gadis itu tidak bisa menempati tangannya yang relatif kecil dan terpaksa untuk melepas jari kelingkingnya dan meneruskannya dengan jari itu. Menghasilkan nada yang terputus.

Saka berdiri tegak begitu ia melihat dimana letak kesalahan dari Julis.

Dengan sabar, Saka menunggu sang putri untuk menyelesaikan lagu yang sedang dimainkannya. Sebagai seorang pianis, ia juga tahu bagaimana rasanya dihentikan di tengah tengah permainan. Dan itu tidak etis.

Begitu lagu selesai, dengan malu malu Julis menatap Saka yang ada di sebelahnya. "Bagaimana permainanku? Ada yan salah?" Tanya Julis.

Itu pertanyaan yang sulit bagi Saka. Karena,. kalau lelaki itu jujur, permainan yang tadi dimainkan oleh Julis penuh dengan kesalahan. Jarinya tidak terbuka dengan lebar. Masih terdapat beberapa miskomunikasi antara tangan kanan dan kirinya. Dan gadis itu sekaan tidak mengerti yang dinamakan dengan fingering.

Dengan sabar, Saka tersenyum dan melihat ke arah Julis. Gadis itu menatap balik Saka dnegan tatapan yang mirip dengan seorang murid yang sehabis pamer pada gurunya dan minta pujian.

Tapi sampai kapanpun, Saka tidak akan pernah memuji permainan seperti itu.

"Apa anda memperbolehkan saya untuk jujur, tuan putri?" Tanya Saka dengan sopan.

Mendengarnya, wajah Julis berubah murung. "Ternyata permainanku tidak bagus, ya!?"

"Bukannya tidak bagus... hanya saja permainanmu itu penuh dengan kesalahan. Aku bisa mengetahui seberapa banyak latihanmu untuk itu." Ucap Saka. Yang makin membuat gadis di hadapannya murung.

Beberapa saat kedepan, Saka menghabiskan waktunya untuk menatap piano besar yang terhampar di depannya itu.

Dan setelah 20 detik berlalu, Saka akhirnya berbalik dan menatap Julis dengan tatapan hangat. Tatapan yang sangat jarang ia tunjukkan.

"Biar saya tunjukkan bagaimana caranya memainkan lagu seperti itu." Ucap Saka.

Mendengar ucapan Saka, secara refleks Julis menyingkir dari tempat duduk untuk pianis dan duduk di tempat yang tadinya Saka duduk. Bedanya, gadis itu menyeret bangku itu sampai berada persis di sebelah Saka.

Dan Saka mulai bermain. Saka tidak mengetahui lagu itu sebelumnya. Ia bermain hanya berdasarkan apa yang tadi dilihatnya dari sang putri. Jadi, kalau memang ada kesalahan not, itu bukanlah salahnya.

Suara piano yang mengalun lembut membuat hati Julis merasakan dua hal. Yang pertama, hatinya mencelus. Orang yang ada di hadapannya sekarang ini adalah lawan yang harus ia kalahkan dua hari ke depan. Dan entah kenapa Julis malah menerima pelatihan dari orang tersebut.

Dan yang kedua, gadis itu merasa terharu. Orang yang ada di depannya ini adalah lawannya. Tapi ia tetap saja mengajari Julis yang kesulitan.

Apa aku salah pilih lawan, ya!? Gumamnya dalam hati.

Meski Saka telah berhenti bermain, Julis masih tetap saja tidak bisa menurunkan pandangannya terhadap lelaki itu.

"Yah... aku tidak tahu lagu apa yang anda mainkan tadi, Julis-sama... jadi, hanya seperti itulah yang bisa aku lakukan." Ucap Saka.

Julis menunduk sambil tersenyum. "Apa lebih baik aku berganti alat musik saja, ya!? Tanganku yang kecil ini tidak bisa menekan tuts tuts sebaik kau, Yonkaime-san..." ucap Julis.

Saka berdiri dari tempat duduknya yang sekarang. "Ayolah, Julis-sama... sekarang giliranmu." Ucap Saka.

"Sudah kubilang kalau aku tidak terlalu bisa bermain piano!" Ucap Julis.

"Itu kan dirimu yang sebelumnya... saya belum memperbaiki anda sama sekali. Katakan itu jika keahlian anda masih tetap sama bahkan setelah saya mengajari anda!" Ucap Saka dengan nada dingin sekaligus tegas.

Menghadapi tatapan Saka yang sangat intimidatif, Julis tidak bisa mengelak lagi. Gadis itu lebih memilih diajari sampai ia lelah dibanding dengan meninggalkan piano yang disukainya sejak dahulu kala.

Setelah Julis duduk di atas kursi pianis, Saka langsung memposisikan dirinya tepat di belakang sang putri.

"Hey, Yonkaime! Apa yang kau lakukan? Posisimu terlalu dekat!" Ucap Julis.

"Aku akan mengajarimu... tenang saja... saya tidak memiliki ketertarikan aneh terhadap anda, kok... saya bisa jamin keselamatan anda dengan leher saya sebagai taruhannya." Ucap Saka dengan nada datar.

"Maksudku bukan begitu... aku hanya tidak terbiasa berada sedekat ini dengan lawan jenis." Ucap Julis dengan nada sedikit malu malu.

"Oh... begitu... tapi, aku tidak melihat adanya cara lain untuk mengajarimu selain dengan begini. Jadi, mohon maaf atas pengalaman baru anda." Ucap Saka. Lelaki itu tidak mengubah posisinya sama sekali.

Menyadari kalau lelaki di belakangnya tidak akan mendengarkan perintahnya, Julis memutuskan untuk mengikuti alur saja. Lagipula, ia percaya dengan apa yang diucapkan oleh Yonkaime tadi.

Dengan hati sedikit berdegup lebih cepat dari biasanya, Julis memulai permainan pianonya. Seperti sebelumnya, ia memainkan bagian awal dengan sempurna. Tanpa adanya sedikitpun kesalahan.

Tapi, begitu ia mencapai bagian susahnya, Saka menghentikan tangannya tanpa memindahkan posisinya dari atas tuts piano.

"Nah... untuk bagian ini, sebaiknya Julis-sama melakukan ini..."

Saka mengucapkannya sambil menggerakkan jari jempol Julis ke arah tuts di sebelah kanan jari kelingking Julis yang akan dipencetnya setelah itu.

"Setelah tuan putri menekannya dengan ibu jari anda, pindahkan semua jari sisanya ke sebelah kanan ibu jari tersebut."

Melakukan perintah Saka, Julis melanjutkan permainan pianonya.

Dan gadis terkejut karena dengan cara yang diajarkan oleh Saka, ia dapat menekan banyak tuts secara menyambung dan tanpa terputus barang satu kalipun.

Oh... jadi, jika aku ingin menekan tuts yang tidak bisa aku capai lagi karena keterbatasan jumlah jari tangan, aku harus menggunakan jempol dan memindahkan jari lainnya untuk menyesuaikan...

Julis sedikit terkejut sekaligus terkesan. Ia sudah menekuni piano selama beberapa tahun. Tapi ia tidak pernah diajari untuk melakukan hal ini. Mungkin itu dikarenakan semua guru yang mengajarinya menggunakan piano memiliki tangan yang begitu besar.

"Untuk bagian yang nadanya menurun, anda bisa melakukannya dengan melompati ibu jari anda dengan jari tengah atau jari manis anda." Ucap Saka sambil menuntun Julis untuk melakukannya.

Hati Julis menjadi berbunga bunga begitu ia mendapati kalau ajaran dari Saka begitu berguna. Ia mulai melupakan kebenciannya terhadap lelaki itu.

Beberapa menit kemudian dilalui mereka berdua dengan mengulangi lagu yang sama banyak kali. Tentu saja tidak semuanya luput dari kesalahan. Saka baru menghentikan latihan Julis setelah gadis itu bisa menyelesaikan lagu tiga kali berturut turut tanpa kesalahan.

"Akhirnya... selesai juga..." ucap Julis diselingi dengan helaan nafas leganya.

Saka menatap jam dinding yang terletak di bagian atas dinding di belakang piano tersebut. Begitu ia menyadari seberapa lama mereka berlatih, Saka langsung menunduk ke arah Julis dengan hormat.

"Tuan putri... sudah saatnya makan siang. Anda sudah dipastikan ditunggu di ruangan makan oleh yang mulia raja dan teman teman landa dari Knights of Round." Ucap Saka sesopan mungkin.

Julis yang sedang berbahagia merubah raut wajahnya menjadi sedikit terganggu.

Dan Saka yang melihatnya menelengkan kepalanya sedikit seraya meminta penjelasan secara isyarat.

"Aku tidak mau makan sebelum kau memanggilku dengan namaku!" Ucap Julis. Entah sejak kapan gadis itu sudah menjadi ekspresif.

"Hah?" Saka menunjukkan ratu wajah bingungnya.

"Ya... aku ingin kau memanggilku dengan namaku... sama seperti kau memanggil kakakku. Dan aku juga meminta dirimu untuk memperlakukanku sebagaimana kau memperlakukan kakakku!" Ucap Julis dengan nada yang jelas jelas memerintah.

Menyadari kalau gadis di depannya tidak akan menerima jawaban negasi, Saka memutuskan untuk mengiyakan.

"Baiklah, Tuan Put--"

Ucapannya terhenti oleh tatapan Julis yang terlihat marah.

"Julis-sama." Koreksi Saka.

Tapi gadis itu masih saja tidak mengubah ekspresinya.

"Julis."

Barulah Gadis itu berubah kembali seperti semula.

*****

Pada akhirnya, Julis mau pergi ke ruang makan. Tapi, gadis itu mengajukan satu syarat. Yaitu Saka ikut makan di meja makan sebagaimana dirinya dan para anggota Knights of Rounds lainnya.

Tentu saja Saka menolaknya. Tapi, jika ia menolaknya, sudah bisa dipastikan kalau Julis tidak akan pernah mau pergi ke ruang makan. Dan jika sang Kaisar sudah memutuskan untuk mengirim seseorang untuk menjemputnya, Saka bisa berada dalam masalah.

Dan kajadian itulah yang melatar belakangi keadaan Saka yang tengah terhimpit oleh dua orang putri raja. Sedang dihadapannya lima pasang mata tajam dari Knights of Round menatapnya.

"Jadi, bisa kalian menceritakan sedikit tentang diri kalian?" Tanya sang kaisar setelah pria paruh baya itu meneguk arak hangatnya sampai habis. Dengan sigap seorang pelayan mengambilkan lagi untuk sang kaisar.

Sang kaisar menggunakan kata 'kalian'. Jadi, Saka mengambil kesimpulan kalau pertanyaan itu tidak ditujukan kepadanya. Melainkan kepada lima orang sosok yang berada di hadapannya.

Seperti biasa, Valeria adalah orang yang mengangkat suara. "Tidak banyak yang bisa kami ceritakan. Kami mendapati adanya kesulitan menjawab jika makna pertanyaan yang mulia begitu luas. Jikalau yang mulia mengubah bentuk pertanyaan menjadi sesi tanya jawab, kami akan dengan senang hati menjawab segala pertanyaan yang yang mulia ajukan."

Sang kaisar terkejut sekaligus terkesan. "Baiklah kalau itu yang kalian inginkan... baiklah... aku akan bertanya. Kalau begitu, mungkin sebagian pertanyaan yang aku ajukan nanti juga akan kutujukan kepada Yonkaime sebagai perwakilan dari The Numbers. Apa ada masalah?"

Tentu ada, bodoh! Aku adalah buronan mereka! Ingin sekali Saka mengeluarkan kalimat itu dari mulutnya. Untung saja penjaga gerbang mulut di otaknya masih berfungsi dengan sangat baik.

Alih alih berkata seperti itu, Saka hanya mengangguk ringan.

"Baik... karena tidak ada masalah, pertanyaan pertama... kalian bleh mengatur sendiri seberapa banyak yang boleh kami ketahui dan menyembunyikan sisanya. Aku akan menganggapnya sebagai rahasia pribadi dan tidak akan menggunakan obligasiku untuk memaksa informasi tersebut keluar dari mulut kalian." Ucap sang Kaisar.

Saka dan Valeria bersiap untuk pertanyaan pertama. Valeria dengan filter informasinya, sedangkan Saka dengan kobohongannya.

"Apa aku boleh tahu bagaimana cara kerja kalian, Knights of Round? Aku mendengar kalau kalianlah pemimpin penyerangan untuk menaklukkan layer satu dari dinding iblis pertama."

Valeria mengambil nafas panjang. "Sebenarnya tidak begitu sulit. Kami adalah sekelompok orang yang memiliki keahlian masing masing dan sudah saling kenal satu sama lain selama beberapa lama. Jadi, tidak salah kalau kami bisa menjadi begitu kuat dan tahan banting." Ucap Valeria dengan penuh kebanggaan.

"Pertanyaan kedua ini hanya keluar dari sisi kepenasaranan diriku. Tapi, apa tepatnya kemampuan kalian?"

Valeria agak kagok mendengar pertanyaan itu. Karena dirinya sebagai seorang pemimpin diharuskan untuk menjadi juru bicara dan perwakilan mereka. Dan kalau sampai ia keceplosan menyuarakan rahasia Nesoindia, bisa habis dia.

Valeria berusaha menatap Fia untuk meminta bantuan.

"..."

Saat menatap Fia, Valeria juga mendapati kalau gadis itu tengah menatapnya juga. Tatapannya begitu hangat seolah mengatakan kalau dirinya diperbolehkan mengumumkan kemampuan mereka semua yang sesungguhnya.

"Saya akan memulainya dari rekan saya yang duduk paling kanan sampai saya sendiri yang duduk di paling kiri."

Sang kaisar mengangguk.

"Ivanovich Vladivostok adalah Tanker kami. Kemampuan fisiknya tiada duanya. Dia bahkan bisa bertahan dari serbuan puluhan bahkan mungkin ratusan monster biasa dalam menara. Di daerah menusia, dia terkenal akan sebutan Shield of Aegis. Diambil dari kemampuannya yang bernama sama."

Untuk membuktikan ucapannya, Valeria melempar sebuah garpu dengan presisi tepat ke sebelah wajah Ivan. Lelaki itu tidak bergerak sedikitpun. Garpu tersebut dengan sendirinya bengkok karena menubruk suatu dinding tak terlihat beberapa centi jauhnya dari wajah Ivan.

"Selanjutnya, Cole Wiseman. Dia adalah otak dalam operasi kami. Dia bisa berperan sebagai Tanker, Warden, atau bahkan keduanya sekaligus. Dengan catatan ia akan begitu kesulitan tentunya."

"Heeh... jadi dia itu The Wiseman yang terkenal itu, ya!?"

Ucapan sang kaisar membuat Valeria sedikit kaget. "Anda sudang mengetahui julukan Cole?"

"Tentu saja... di sini, dia adalah yang paling terkenal dibandingkan dengan Knights of Round yang lainnya. Karena kami, bangsa elf, sangat menghormati seorang Warden." Ucap sang kaisar.

Valeria tidak mengambil repot dan memutuskan untuk melanjutkan perkenalannya.

"Selanjutnya, Fiana Wisma Kartika. Dia tidak memiliiki tandingan dalam permainan pedang jarak dekat dan kemampuan pengendalian tanahnya luar biasa. Tidak hanya itu, dia adalah Warden cadangan kami jika Cole tidak ada atau memilih menjadi seorang Tanker. Biasanya dia adalah seorang Parameter. Dan dia juga kadang kadang menjadi Niryokuro saat keadaan memaksa."

"Kalau dia pasti Black Princess." Ucap Kaisar.

Valeria tidak lagi menanyakan darimana sang kaisar mengetahui asal muasal julukan Fia.

"Selanjutnya, Erika Dariella. Teman lama saya. Dia adalah pengguna elemen unik kehidupan. Posisinya adalah Parameter. Dikenal juga dengan nama Morihime."

Sang kaisar hanya tersenyum penuh arti.

"Sedangkan saya sendiri, seharusnya yang mulia sudah mengetahui kalau kemampuan saya adalah telekinesis. Dan saya tidak perlu menyebutkan lagi apa nama lain yang saya miliki, bukan!?"

Sang kaisar hanya tersenyum.

"Baiklah... pertanyaan kedua dariku... apa kalian mengenal yang namanya Black reaper?"

Ucapan sang kaisar membuat semua orang yang ada di ruangan itu kaget dan menatap lelaki nomor satu di Imperium Alfheim itu.

"Darimana yang mulia mengetahui nama tersebut?" Tanya Valeria. Ia melupakan penggunaan nadanya.

"Kan sudah kubilang... kami, para Elf, sangat menghormati Warden, dan juga sangat menjunjung tinggi ilmu sihir."

"Lalu?" Cole mendesak.

"Menurut informasi yang kudapat dari para musafir yang melewati tempat ini, Black Reaper terkenal karena ia sering mencuri dari orang orang yang kaya dan memberikannya pada orang miskin. Ia juga tidak pernah turun langsung ke lampangan. Ia memerintah anak buahnya yang dikenal dengan nama Bloody Rose dalam setiap aksinya."

";Aku tidak menyalahkan pengetahuan baginda..." ucap Valeria.

"Jadi, kami menyimpulkan kalau Black Reaper adalah seorang Warden yang hebat karena ia belum tertangkap sampai sekarang. Lalu... akhir akhir ini aku mendapat informasi dari suatu sumber kalau dia menguasai Black Arts."

Semua anggota Knights of Round memucat. Informasi yang keluar dari mulut sang kaisar adalah sebagian besar dari informasi yang sudah mereka dapat.

"Jadi, apa yang membuat yang mulia menanyakan akan dirinya?" Valeria bertanya dengan nada sesopan mungkin.

Sang kaisar tersenyum. "Aku ingin menjadikannya penerusku."

Dan kalimat itu diakhiri oleh semburan teh dari mulut Saka yang sedang meneguk isi gelasnya.

[To be Continued on part 3]

*****

Eonine's Here!

Well... well... well... i was planning to finish 'The Song' arc by only two part. But i suddenly came with much conversations, more information to told the readers, and more bad pun. Sorry... the arc'll be finished next thursday and the next next chapter will be full of action.

That's all... thank you for reading...

Eonine's out!

Continue Reading

You'll Also Like

55.8K 7K 52
Agneta keola, aktris muda dan cantik itu seketika terkenal saat memiliki skandal dengan lawan mainnya. Perilakunya yang berubah membuat semua orang m...
986K 58.7K 58
Setelah menerima banyak luka dikehidupan sebelum nya, Fairy yang meninggal karena kecelakaan, kembali mengulang waktu menjadi Fairy gadis kecil berus...
90.5K 3K 78
[COMPLETED] Hana, kelas 1 SMA, sering dibully, gak populer, gak punya temen. Tapi hidupnya berubah semenjak dia jadi trainee dan pindah ke Korea. Ber...
10.2K 2.5K 31
[PART MASIH LENGKAP] Kedatangan Azka di kelas 10 IPS-Geografi, membuat Zara mengalami kejadian tak mengenakkan. Ia sering kehilangan barang. Entah it...