A Little Love

By PoppiPertiwi

5.2M 329K 20.3K

[Sebagian cerita ini di private, follow dulu baru bisa baca] Rama Dwipayana dan Ocha Aryasastra terjebak dala... More

A Little Love
PROLOG
1. Hanya Dari Jauh
2. Perjodohan!
3. Senja
4. Hidup Baru
5. Penolakan Lagi
6. Bertahan Atau Mengalah
7. Tak Berpandang
8. Rama & Raka
10. Untuk ke Sekian Kalinya
12. Penasaran? [RAMA]
14. Janji Yang Terlupa
15. Sepucuk Surat
16. Terkuaknya Sebuah Rahasia
17. Ada Apa Denganku?
18. Pangeran Kebencian dan Tragedi di Apartemen
19. Kenangan yang Timbul Kembali
20. Cinta atau Benci
21. Penyesalan
22. Kembalilah Kedekapanku
23. Menguap Hilang Entah Kemana
25. Memaafkan
26. Takdir Itu Mempermainkan
27. Terima Kasih
-
28. Menentang Dunia
29. Terbalas Sepenuhnya
30. Belum Berakhir Sampai Di Sini
31. Senja Sempurna
32. Tak Akan Pernah Pudar (END)
Berikan Pendapatmu

24. Harapan?

132K 10.4K 511
By PoppiPertiwi

Jika kamu tidak bisa menyentuhnya dengan tanganmu maka sentuhlah ia dengan Doa. Tangan bisa saja menyentuh, tetapi tanpa campur tangan Tuhan, semuanya bukan apa-apa.

Tuhan itu maha kasih dan penyayang. Tuhan akan melihat usaha hamba-Nya yang terasa di ujung jalan, namun masih setia ber-Doa kepadanya.

****

"Terkadang ada ikatan paling lembut begitu hebat dan nyata. Ikatan itu lebih mengikat dari darah dan daging sendiri. Aku baru tau bahwa ikatan itu bernama cinta."

-Ocha

***

OCHA POV

Setelah Mama dan Papa pergi kini hanya tinggal kami berdua. Canggung, itu kata yang tepat bagi kami sekarang. Mama dan Papa katanya ada urusan mendadak di perusahan Papa dan mereka baru saja ke sana beberapa menit yang lalu. Mereka memang orang yang sibuk. Beruntung cuman kak Rama yang salah pergaulan.

Tadi Mama juga memarahi Kak Rama karena meninggalkanku. Dia juga bilang bahwa Kak Rama tidak boleh pergi dari sisiku. Terus bagaimana ini?

Apakah aku sanggup meminta cerai jika sudah begini?

Kak Rama berdehem pelan mencairkan suasana, dia duduk di kursi sebelah brankar rumah sakit yang aku tempati sekarang. "Jadi... Ocha, apa boleh aku minta sesuatu hal?" tanyanya serius membuatku terdiam cukup lama.

Dia sama sekali tidak marah.

Aku pikir dia akan marah karena tadi aku memperlakukannya seperti itu. Tidak. Dia tidak marah. Bahkan masih bersabar menghadapiku. Aku tau butuh perjuangan keras pasti bagi Kak Rama untum bersabar seperti ini saat menghadapiku. Secara dia orangnya bukan orang penyabar. Aku kenal dengannya. Rasanya tidak menyangka dia bisa sesabar ini. Tetapi nyatanya? Dia mampu bersabar demiku.

"Apa?" tanyaku.

Dia menatapku dengan kedua bola mata birunya, wajahnya pucat sekali. "Boleh aku tidur sambil meluk kamu Cha?" tanyanya. Hah? Tidur? Di sini? Peluk? Meluk?

"Boleh ya?" ucapnya sambil menatapku dengan tatapan memohonnya.

Jantungku berdegup sangat kencang sekali. Tidak bisa di gambarkan dengan kata-kata. "Aku janji nggak bakalan ada yang terjadi di antara. Aku cuman pengin tidur sambil meluk kamu. Boleh ya?" ucapnya seperti anak kecil yang sangat manja kepada ibunya.

Apa itu menyakitkan? Aku mendengar dia mendesah pelan sambil memegangi kepalanya. Aku takut terjadi apa-apa dengannya. Dia kenapa sih?

"Please, Cha...," mohonnya membuatku tidak bisa menolak. Aku menatapnya lama. Aku masih trauma. "Boleh ya Cha?" paksanya. Aku hanya mengangguk terhadapnya dan responnya sungguh luar biasa. Dia seperti orang yang habis menang hadiah uang 1 milyar.

Dia langsung duduk di sebelahku. Menelentangkan kakinya ke arah depan dan tersenyum manis. Kenapa dia?

"Deketin dong," ucapnya manja. Aku geli mendengarnya berbicara seperti itu sekaligus tidak tau kenapa dia bisa bersikap seperti ini?

"Cha please," ucapnya saat aku enggan dengan permintaannya yang ini. "Aku tau kamu benci sama aku. Tapi please sekali ini aja. Ya?"

"Cha?"

"Cha...."

"Ocha."

"Cha please Cha."

"Ya udah tapi--"

Dia langsung memelukku sambil tertidur. Aku juga mau tak mau tidur di sebelahnya. Pelukannya sangat erat sekaligus terasa nyaman.

Kudengar gumaman merdu menyapa telingaku. Dia ternyata bernyanyi tetapi aku tidak tau apa judul lagunya yang jelas dia hanya bergumam sembari tangannya yang satu mengeratkan pelukannya di tubuhku.

Aku lama-lama merasa mengantuk dan aku akhirnya tidur di dalam dekapannya.

***

RAMA POV

Ocha terus mendiamiku. Sepertinya dia tengah marah karena aku malah mengajaknya tidur bersama, dalam artian hanya tidur sambil berpelukan dan cuman aku yang memeluknya, tetapi itu cukup membuatku senang.

Wangi tubuhnya masih terasa di bajuku.

Ah sial. Aku mabuk wangi Ocha.

Wanginya sederhana. Minyak kayu putih. Tapi aku suka.

"Aku gerah mau keluar," ucapnya membuatku cepat-cepat bangkit dan menghentikannya. Aku mengambil alih infus yang ia pegang dan itu membuatnya melotot terhadapku.

Dia lucu.

"Mau kemana? Ini udah malem, Cha," ucapku terhadapnya.

"Mau kemana juga terserahku, ngapain kakak yang repot?" ucapnya sengaja memancing kemarahanku tetapi tidak berhasil. Pengendalian diriku jauh lebih besar dari apa yang mungkin ia bayangkan.

"Hm, kalau gitu aku yang antar," ucapku berusaha membujuknya agar tidak sendirian.

"Gak mau! Enak aja, aku maunya sendiri!" ucapnya rusuh. Ternyata susah ya menenangkannya yang sedang dalam sisi sensitifnya ini. Mama yang memberitahuku tadi pagi jadi aku tau hal-hal yang berbau-bau tentang kehamilan. Mana sempat aku belajar tentang hal ini. Apalagi aku taunya mendadak.

"Ocha, ini udah malem, kasian kan sama dia," ucapku sambil menunjuk perutnya dan masih bersikap sabar terhadapnya.

"Kak Rama jangan ngatur-ngatur aku deh. Lagian kita juga udah mau cerai kan?" ucapnya membuatku menatapnya tajam. Masih ingat saja dia mengatakan hal itu. Tapi setelah itu dia juga diam. Mungkin dia bimbang.

Kami terdiam lama.

Kalau boleh jujur aku marah mendengarnya namun aku berusaha menahannya agar tidak timbul.

"Gak ada kata-kata cerai. Sampai kapan pun aku nggak bakalan setuju. Apapun yang terjadi aku nggak bakalan nyerain kamu," ucapku masih mencoba menenangkannya dengan kepala dingin padahal aku ingin sekali memukul dinding sekarang juga karena emosi yang bergejolak. Sabar. Ya kata itu yang tepat untuk menghadapinya.

"Kenapa?" tanyanya dengan wajah polos.

"Karena aku cinta sama kamu," ucapku. "Jawaban apa yang kamu minta?"

Dia menggeleng. "Gak. Kak Rama gak cinta sama Ocha," ucapnya sedih, "Kak Rama cuman kasian 'kan sama Ocha karena Ocha hamil, iya kan?" ucapnya.

Dia benar-benar menguji batas kesabaranku.

"Kalau aku nggak cinta sama kamu, trus kenapa aku ada di sini? Nemenin kamu? Kalau kamu berpikir aku kesian sama kamu maka kamu salah besar Ocha," ucapku kepadanya.

"Salah besar apanya?! Hati kakak buat orang lain. Aku juga belum siap hamil di usiaku yang sekarang," ucapnya membuatku menelan ludah. Aku merengkuhnya ke dalam pelukanku. "Aku takut banget," ucapnya parau. Wajar dia takut, dia masih sangat muda sama sepertiku. Aku pun sebenarnya juga takut.

Seharusnya kami meraih cita-cita setinggi langit. Seharusnya kami masih bisa bersenang-senang layaknya remaja pada umumnya.

"Nggak perlu takut, ada aku," ucapku menenangkannya sambil mengelus rambutnya. Aroma minyak kayu putih menusuk hidungku. Sejenak aku terlena dengan aroma ini. Kenapa aku jadi salah fokus?

"Bukannya Kakak cinta sama Kak Lisna ya? Gimana dengan dia?" ucapnya membuatku melerai pelukan dan memperhatikannya tetapi dia malah mengalihkan pandang ke arah lain.

"Kan kamu udah liat sendiri dia kaya apa. Kebodohan terbesarku adalah mencintainya dulu. Mencintai seseorang yang jelas-jelas tidak akan aku miliki, sementara di belakangku masih ada orang yang mencintaiku lebih besar dari dia. Masih ada orang yang mencintaiku dengan kesederhanaannya. Dia mencintaiku tanpa kepura-puraaan. Dia mencintaiku dengan usahannya. Dia mencintaiku dengan ketulusan hatinya, bukan karena hartaku. Dia mencintaiku dengan harapan dan doanya. Dia mencintaiku dengan ketulusan hatinya. Dan dia adalah kamu," ucapku terhadapnya sambil menggenggam kedua tangannya.

Aku ingin dia benar-benar tau perasaanku. Aku sangat menyesal dan aku mencintainya.

"Aku mohon jangan mempersulit semuanya Ocha. Kita bisa menghadapinya bersama-sama. Apa kamu nggak mau memulai semuanya dari awal sama aku?" tanyaku kepadanya.

Dia tidak mau menatapku. Dia hanya menggeleng pelan. "Nggak. Aku nggak bisa," ucapnya lalu melepaskan paksa tangannya dari tanganku.

Dan aku hanya bisa terdiam.

Tuhan, jika ini semua karma untukku atas segala kesakitan yang kutorehkan dulu kepadanya maka aku akan menerimanya dengan hati yang lapang. Aku pantas menerimanya, tetapi satu yang kupinta, kumohon kuatkan dia di segala cobaan hidup yang menghadang dan buatlah dia tetap bersamaku.

***

OCHA POV

Setelah malam itu kami tidak ada yang berbicara satu sama lain. Hanya terkadang saat kemarin Mama, Papa dan Ayah bertanya tentang keadaanku yang hanya Kak Rama yang menjawabnya. Hari ini aku sudah boleh pulang tetapi aku bingung harus pulang kemana. Tidak mungkin aku pulang ke apartemen Kak Rama apalagi bersamanya.

Aku takut ke sana.

"Ada apa?" pertanyaan itu membuatku terlonjak kaget.

Dia mengerutkan keningnya menatapku dan aku hanya menggeleng menjawabnya.

"Oh ya, kamu ikut ulangan susulan aja gimana?" ucapnya. "Soalnya ulangan udah berlangsung di sekolah. Aku sama Papa udah nyiapin jadi kamu tinggal dateng seminggu lagi."

Terus terang aku lupa dengan hal itu. Bahkan aku juga lupa bahwa aku seharusnya ikut lomba puisi. Pasti teman-teman beserta guruku kecewa padaku.

"Ada apa?" tanyanya lagi. Aku hanya menggeleng menjawabnya. "Kalau ada sesuatu. Cerita. Jangan dipendem sendiri."

Aku hanya diam.

"Apa barang-barangmu udah semuanya di kemas?" tanyanya. Aku hanya mengangguk menjawabnya tanpa ada kata yang keluar dari mulutku.

"Kalau begitu ayo," ucapnya mengulurkan tanganya ke arahku. Dia tersenyum tetapi aku tau itu senyum palsu yang ia gunakan setelah aku menolaknya malam itu.

Aku hanya memandangnya. Dia masih tersenyum padaku. Dari dulu inilah yang aku inginkan. Dia tersenyum kepadaku.

Aku lebih memilih mengangkat tas besar yang Ayah bawakan kemarin untukku tetapi dia malah mengambil alih tas itu yang membuatku terkejut. "Aku aja yang bawa. Ayo," ucapnya. Dia masih bersikukuh mengajakku dan bisa sabar menghadapiku yang jelas-jelas sudah menolaknya.

Demi Tuhan, aku tidak tega, tetapi hatiku juga belum bisa memaafkannya semudah itu. Aku bisa saja memaafkannya, tetapi untuk hatiku.

Aku tidak bisa memberikannya lagi.

"Apa udah nggak ada harapan lagi buat Ama?" tanyanya lucu kepadaku. Sebenarnya aku ingin tertawa tetapi aku masih tetap diam. Kak Rama benar-benar terlihat beda. Dia persis anak kecil.

"Jangan serius gitu, ntar cepet tua loh, yaudah yuk kita pulang. Yang tadi jangan dipikirin," ucapnya mencoba mencairkan suasana.

"Kak Rama," panggilku setelah kami lama terdiam.

"Hm?"

"Aku mau pulang ke rumah Ayah," ucapku membuat dia menatapku dengan satu alis terangkat. "Aku mau tinggal di sana aja," ucapku membuat perubahan wajahnya terlihat jelas. Tegang. Rahangnya mengeras yang membuatku benar-benar takut menatapnya sekarang.

Dia diam menatapku datar. Bahkan bibirnya tertutup rapat-rapat tanpa senyum yang menghiasi wajahnya lagi.

Dia memejamkan matanya sekilas mungkin menetralkan emosinya, "Kita pulang ke apartemenku aja ya?" ucapnya dengan suara lembut. Dia membujukku. Dia masih bisa bersabar setelah aku berkata itu.

Aku menggeleng, takut. "Nggak. Jangan ke sana."

"Kenapa?"

Aku hanya menggeleng.

"Yakin gak mau pulang ke apartemenku?" tanyanya lagi. Aku menutup mulutku rapat-rapat. Aku tidak mau berbicara kepadanya. "Emangnya kamu gak kangen?" Aku menggeleng padanya.

"Kenapa cuman geleng-geleng?" tanyanya. Tumben dia cerewet.

"Males ngomong," ucapku ketus terhadapnya.

"Trus sekarang ngomong tuh," ucapnya enteng. Ish dia selalu saja bisa menjawab pertanyaanku. Maksudku, kenapa mudah sekali sepertinya dia berbicara enteng seperti itu?

"Ya tapi sekarang gak!" ucapku bertambah ketus. Tiba-tiba saja mood-ku jadi kurang baik.

"Enggak tuh, sekarang kamu masih ngomong sama aku," ucapnya dengan gaya santai. Aku mendengus dan lebih memilih diam mecuekannya. Sepertinya ini lebih baik daripada mendebatnya terus.

"Kenapa diem lagi?" tanyanya lagi. Kali ini dia menyelepikan rambutku ke belakang daun telingaku dan aku kaget setengah mati karena dia melakukan itu.

Aku menatapnya saja lalu mengambil alih tas besar yang ada di tangannya. Tas besar ini berisi bajuku, "Biar aku aja yang bawa," ucapku. Aku hendak keluar namun dia menarik tanganku padanya. Sehingga badanku yang masih tak bertenaga menuju padanya.

Cup

Dia mengecup pipi kananku. Pergerakannya sangat cepat yang membuatku tidak bisa berkutik. Mataku mengerjap lambat.

"Kita pulang ke apartmenku aja ya?" dia menarik tanganku yang masih terbengong-bengong sendiri, memikirkan apa yang telah ia lakukan.

****

NOTE: Nulis itu butuh proses. Liat kan? Karya ini salah satu contohnya. Fatal. Wkwk.

Continue Reading

You'll Also Like

EL By LULUK_HF

Fanfiction

32.4M 1M 59
(NOVEL TERSEDIA DI GRAMEDIA DAN SEGERA DIFILMKAN) "Kamu tau, Mario..." "Aku merasa seperti hujan dan kamu seperti langit." "Langit yang membuang huj...
7.1M 137K 14
Sudah diterbitkan oleh Grasindo. Tersedia di toko buku seluruh Indonesia. Untuk pembelian secara online, klik link di bio instagram : gal.gia Ini ada...
12.1M 825K 51
[ SUDAH TERBIT DAN TERSEDIA DI SELURUH TOKO BUKU DI INDONESIA ] 'Kita yang terluka, kita yang mencinta, kita yang sama.' Mungkin kalian sering menemu...
42.8K 1.2K 65
[KEJORA] : |KEtika JOdoh bermuaRA| Ini bukanlah kisah duniaku. Tapi sepenggal cerita tentang hidupku. Ini cerita tentang aku yang tak mau terus-terus...