Melodies

By temilladwenty

295K 21.6K 1.5K

[ TELAH TERBIT ] ====Sudah diterbitkan olehBukune Publisher | Tersedia di seluruh Gramedia Indonesia dan toko... More

TELAH TERBIT
Prolog
Melodies 2: "Boomerang."
Melodies 3: "Cosmic Railway."
Melodies 4: "Diamond"
Melodies 5 : "Eldorado"
Melodies 6 : "For Life"
Melodies 7 : "Good Night."
Melodies 8: "Hurt"
Melodies 9 : "I Like You"
Melodies 10 : "Juliet."
Melodies 11 : "King and Queen"
DO KYUNGSOO
Melodies 12 : "Lights Out"
Melodies 13 : "Moonlight"
Melodies 14 : "Never Know (They)"
Melodies 15 : "One and Only (유리어항)"
Melodies 16 : "Promise."
Melodies 17 : "Rhythm After Summer."
Melodies 18 : "Stronger."
Melodies 19 : "The One."
The Question

Melodies 1: "Angel"

26.6K 1.8K 92
By temilladwenty

Saat itu tahun pertamaku masuk ke Universitas. Sore hari, dimana langit berwarna merah muda bercampur jingga dan biru, indah bukan? Ini adalah hari keduaku menjadi mahasiswi resmi di Korea University, Kampus yang dulunya bernama Bosung College ini tercatat menduduki peringkat ke 21 berdasarkan survei dari QS World University Ranking, dan urutan terbaik ke-3 di Korea Selatan. Jadi wajar saja jika kampus ini menjadi kampus favorit yang banyak diincar oleh pelajar lokal maupun internasional.

Terlebih lagi prospek kelulusannya pun terjamin. Dikampus ini hampir semua program studi merupakan unggulan. Namun, yang paling unggul adalah program study Business dengan tingkat selektivitas yang mencapai 4.42% dari total peminat yang bisa mencapai lebih dari 6.000 orang. Dan, ya program study itulah yang aku ambil. Kenapa harus di Korea? Kenapa harus KU? Selain arsitektur bangunannya yang keren, dengan program kuliah yang canggih dan menarik, tidak bisa dipungkiri sebenarnya kedatanganku ke sini memang dengan sedikit terpaksa setelah ditolak Universitas ternama di negara-negara yang lebih sudah maju tentunya. Not bad, bahkan beruntung akhirnya bisa diterima dan mendapatkan beasiswa. I am not smart girl, just blessed.

Kenapa tidak kuliah di Indonesia? Bukan berarti tidak bagus, tapi memang sudah rencanaku semenjak Sekolah Menengah Atas. Mimpiku kuliah di luar Negri. Dan yang paling penting, pengalaman bergaul di luar Negri pasti akan berbeda jauh dengan di Negri sendiri, dari budaya, bahasa dan tentunya teknologi.

Keberuntungan tidak akan pernah datang tanpa perjuangan. Jangan banyak berharap, tapi memperbanyak usaha dan kerja keras. Seperti itulah usahaku selama ini. Terlihat mudah namun aku memang tak pernah memperlihatkan kesulitanku pada siapapun, termasuk pada kedua orang tuaku.

Sore itu angin berhembus sangat kencang hinga menerbangkan rambut panjangku kesana kemari. Terlalu banyak ruangan yang perlu dihafalkan karena gedung kampus yang cukup besar, sampai-sampai aku harus menyalin peta dengan bahasa Indonesia di kertas berukuran A4 yang saat ini sedang aku pegang. Oh tentu ada peta berbahasa Inggris, tapi itu terlalu lengkap hingga aku membuat salinannya dengan menghilangkan beberapa bagian.

Aku tak pernah melihat sebuah lapangan yang sungguh besar dalam lingkungan kampus selama di Jakarta, meskipun aku lahir di Bandung, Ayah memboyong keluarga besar kami sejak aku berusia 5 tahun ke Jakarta, tepatnya di Jakarta Timur kawasan yang masih banyak persawahan, lapangan bertanah yang luas, dan para tentara yang berlarian di pagi hari. Dengan yamaha rx king keluaran tahun 1983 si jago merepet dan raja kebul dengan suara brisiknya memekakkan telinga orang di dekatnya, ayah biasa mengantar aku dan saudaraku untuk bersekolah semasa sekolah dasar. Aku duduk didepan, di tangki bensin­−tempat paling asik untuk melihat pemandangan dibandingkan duduk dibelakang dan terhalang pundak Ayah.

"RUN RUN!!!" teriakkan kencang itu seolah mengalihkan kenangan lamaku untuk sekedar menoleh ke asal suara.

Didepan gedung kampus, terdapat taman-taman berumput hijau yang biasa diduduki oleh para mahasiswa, bukan sekedar berkumpul, melainkan membahas banyak hal. Dan kali ini aku melihat sekumpulan pria dengan baju putih bertuliskan KOREA UNIV berwarna merah sedang melambaikan tangan berteriak ke arah dibelakangku.

Duk!

"Sorry!"  seorang pria yang entah aku tak memperhatikan wajahnya berlarian dari belakangku menuju sekumpulan pria lainnya. Ia tak sengaja menabrakku sedikit dan membalas maaf. Kini ia mengambil ancang-ancang tepat didepan ku sembari mengambil satu minuman dari dalam plastik.

Ia tak terlalu tinggi, namun badannya cukup terlihat berotot. Teman lainnya yang asik duduk kini tiba-tiba saja berdiri, mengambil sebuah sarung tangan−yang aku tidak tau namanya apa, tapi aku pernah melihatnya di permainan baseball− dan bersiap menerima minuman itu seolah sedang berada dilapangan dalam pertandingan.

Baiklah, aku terpaku diam memperhatikan kedua nya bertingkah kegirangan saat minuman yang dilempar berhasil ditangkap, sedang teman lainnya sudah bersorak dan tertawa bersama.

Sambil menghela nafas aku mengalihkan pandanganku pada kertas yang ku pegang. Andaikan hari-hariku nantinya akan dipenuhi tawa seperti itu, pasti aku akan bahagia. Namun nyatanya, aku sendirian saat ini.

Aku masih berjalan sangat perlahan sembari memperhatikan peta, membolak-balikannya karna ternyata aku lupa dimana arah utara. Aku menghela nafas lagi untuk melihat kesekelilingku, sial karena kejadian tadi aku sampai lupa harus berjalan ke arah mana.

Kini tawa mereka semakin keras kembali mengalihkan perhatianku. Satu, dua, ya sekitar tujuh orang disana. Mereka semua terlihat cukup mirip, dari tawa hingga postur tubuh mereka, kecuali seseorang yang sedang duduk di paling tengah−yang tadi menabrakku, kini aku bisa dengan jelas melihat wajahnya, pria itu bermata tajam dan sedang tidak ikut tertawa, wajahnya cukup datar dan hanya tersenyum sesekali cenderung diam. Ia hanya mengangguk mendengar ocehan teman-temannya, dan lebih sering mengerutkan keningnya.

Ah, aku sampai lupa lagi berjalan kearah mana. Aku kembali memperhatikan kertas ditanganku, seharusnya didepan ada pertigaan sehingga aku bisa mengambil jalan ke kanan menuju jalan keluar. Aku kembali memastikan petaku, namun yang terjadi angin kencang menghempaskan kertasku.

Sial. Kertas itu terjatuh tepat digerombolan pemain baseball yang sedang duduk. Dan seseorang disisi paling kiri dengan posisi membelakangiku mengambilnya sembari memperhatikan tulisan didalamnya. Aku berjalan perlahan menghampiri, berusaha untuk meminta meskipun aku masih bingung bagaimana caranya.

Saat itu juga temannya yang lain tertawa sembari menggeleng melihat tulisannya, mungkin mereka tak mengerti.

"So-sorry" kataku pelan berdiri disamping pria yang ternyata memiliki lesung di pipinya.

Ia menengok ke atas untuk memandangiku dengan waktu yang cukup lama. Aku bahkan tak mampu berkata-kata saat dia kini memiringkan kepalanya seolah ingin mengatakan sesuatu.

"Yours?" pria bermata tajam itu mengambil kertas ditangan pria tadi sembari melihat tulisanku sebentar dan segera mengembalikannya.

Aku mengangguk segera sembari mengambilnya. "Th-thank you."

"Malay?" tanya pria bermata tajam itu dengan menaikkan sebelah alis matanya, membuat jantungku berdegup sangat kencang.

"Actually this is Bahasa." Jawabku sembari memberikan senyuman sebisaku.

"Indonesian?" tanyanya sekali lagi, dan aku mengangguk segera. Dia juga hanya mengangguk, menandakan bahwa basa-basinya sudah cukup.

Aku segera membungkuk kembali untuk sekali lagi berkata terimakasih dan ia pun melambaikan tangannya. Hanya ada sedikit senyuman yang mungkin bahkan tak terlihat jika dilihat sekilas.

Akhirnya seseorang mengenalku sebagai orang Melayu, setelah hampir beberapa hari aku selalu dikira warga Korea asli karena mataku yang juga kecil, belum lagi warna kulit yang cukup terang karena aku keturunan sunda, maka bisa dibilang wajahku sangat oriental. Dan bahkan dia paham bahasaku, entah hal kecil itu membuatku tersanjung dengan senang.

Seolah terbawa angin senyuman singkatnya membuat langkahku menjadi ringan. Dia begitu mempesona.

Dan setelah seminggu berlalu, aku melihat sosoknya lagi. Sebuah kesengajaan.  Korea University memang terkenal dengan beberapa kegiatan mahasiswanya yang sangat populer. Aku bahkan sangat terkejut dengan antusiasme semua kalangan mahasiswa baik baru ataupun mahasiswa lama, dari berbagai latar belakang, semuanya menjadi satu.

Salah satu yang paling aku tunggu, saat ini ada sebuah pertandingan Baseball. Pertandingan yang sangat dinantikan, dan menjadi andalan kampus ini. Dan bukan itu semua alasan kenapa aku berjalan menuju arena pertandingan. Namun sosok bermata tajam itu adalah alasan terkuatku untuk datang.

Aku tidak sendirian. Meskipun baru kenal satu-dua teman baru yang bahkan bahasa kami masih bercampur antara Inggris atau Korea. Persiapan sebelum menerima beasiswa memang cukup lama, waktu yang cukup untuk belajar sedikit demi sedikit Bahasa Korea, dan mempraktekannya mencoba menjadi warga lokal. Di hari pertama aku datang, aku tidak bisa langsung menemukan teman yang berasal dari Indonesia. Aku dipertemukan seorang teman dengan warna kulit kuning langsat dan berwajah asia tenggara, Damia Iris. Oh dia agak sedikit mirip dengan wajahku kecuali matanya. Ia berasal dari Negri jiran, Malaysia. Dan kenalan selanjutnya adalah gadis hitam manis satu ini, Ayesha Deepa asal India.

Pertemuan kami bertiga ialah problematika urusan dorm. Kami sama-sama mahasiswi yang beruntung dapat beasiswa dan dorm sebagai tempat tinggal bersama. Yang kebetulan, kita bertiga jodoh dalam satu kamar. Sama seperti aku, Damia dan Yesha adalah seorang muslim, kami sangat beruntung bisa bersama.

Kami memilih duduk dibarisan bangku paling depan tentu saja, bahkan sebelum pertandingan di mulai. Aku mempunyai banyak alasan yang bisa membujuk keduanya untuk ikut serta dalam menonton pertandingan ini. Aku tentu tak sabar untuk melihatnya lagi. Menurutku ini sangat menarik, bukan hanya karena aku memang ingin melihat pria itu, dan juga aku sangat tertarik melihat pertandingan baseball untuk pertama kalinya.

Di Korea olahraga Baseball mempunyai daya tarik tersendiri. Untuk ikut bermain ataupun menjadi penonton. Banyak atlet – atlet Korea yang mempunyai karir gemilang. Salah satunya adalah Ryu Hyun Jin. Ia merupakan pemain Baseball profesional Korea Selatan yang bermain untuk Los Angeles Dodgers dari Major League Baseball.

Dari mana aku tau semua itu? Rasa 'kepo' orang Indonesia sepertinya tidak perlu diragukan bukan? Aku memang sengaja mencari tau banyak hal tentang baseball dua hari lalu, tepat saat aku melihat jadwal pertandingan hari ini.

Kursi penonton kini sudah penuh dan beberapa orang terlihat membawa beberapa makanan dan minuman ditangan. Gemuruh suara penonton beriringan dengan sang pembawa acara telah memasuki lapangan tanda ingin dimulainya acara. Warna merah menjadi warna yang paling dominan saat ini, tentu karena warna ini melambangkan Korea University. Lapangan luas itu kini terlihat sempit ketika para pemain sudah masuk ke arena lapangan, dan dengan begitu mataku mulai awas mencari sosoknya.

Para pemain dibagi menjadi dua tim. Dan sosok yang aku tunggu sudah memulai langkah awalnya, dia adalah seorang pither atau seorang pelempar yang berada ditengah lapangan. Kini ia berusaha melempar bola  sedangkan pemain dari tim lawannya sedang fokus untuk  memukul  bola dengan menggunakan tongkat pemukul (bat).

"Yass! Keahliannya sebagai pelempar bola  sudah tidak perlu diragukan lagi!"  seorang penonton dibelakangku berkata dengan teman lainnya, ia seorang perempuan asing berwajah amerika kental, sepertinya ia sudah cukup lama menjadi mahasiswi disini. Dan benar, lemparan bola itu memang tak berhasil dipukul.

Aku memang tak tau banyak tentang Baseball selain istilah untuk pelempar bola dan pemukul. Sisanya, aku hanya berharap pria bermata tajam itu selalu berhasil membuat lawannya tak dapat memukul bola dan akhirnya ia menang.

Aku bahkan sempat melompat girang saat timnya berhasil mencetak angka, dan mengusap wajahku tegang saat angka di layar lebar itu bersusulan. Terjadi beberapa adegan menegangkan saat seorang timnya baru saja terjatuh karena perbuatan licik lawan mainnya. Dan seingatku, pria yang terjatuh itu adalah sang pria berlesung pipi 'itu' dia terjatuh dengan sangat keras dan melukai punggungnya, hingga ia tidak bisa melanjutkan permainan.

Aku bisa melihat kejadian itu membuat teman setimnya ramai-ramai menghampiri, kemudian mengantar kepergiannya dengan wajah yang tentu saja takut, cemas dan tentu juga, marah. Terlebih pria bermata tajam itu, wajahnya memerah menahan amarah.

Dengan terbenamnya matahari dari Barat, pertadingan pun sepertinya berakhir. Dan sebelum benar-benar berakhir, aku sendiri segera kembali ke lapangan pertandingan setelah sepertinya lebih dari satu jam mencari jalan untuk ke toilet dengan antriannya yang lumayan bisa dibilang tidak sedikit itu.

Dan disinilah aku, ketika kembali, semua sudah usai, sudah selesai... benar-benar selesai, sampai-sampai aku tak tau siapa yang menang dan kemana perginya ke dua temanku. Kursi penonton sudah sepi, begitu juga dengan lapangannya. Semua lampu sudah dimatikan, dan tersisa hanya diriku. Memang terasa aneh ketika keramaian itu tak terdengar lagi, dan ini menakutkan.

Aku segera duduk di kursi yang sebelumnya aku duduki. Dan kemudian berusaha menghubungi kedua temanku untuk mengetahui keberadaan mereka. Namun yah, handphone jaman sekarang memang mengesalkan! Baterai handphoneku menyisakan satu bar!  Ini pertanda bahaya, tak lama pasti akan mati.

Langit mulai benar-benar gelap, membuatku segera  bangkit dari kursi. Aku harus kembali menuju jalan keluar. Namun sebelum langah keduaku, aku mendengar sesuatu. Sebuah nafas yang tersenggal dengan erangan dari sisi kursi depan penonton, sisi paling berlawanan dari tempatku berdiri. Jauh memang, namun karena sunyi, suara itu menggema.

Dia bukan hantu'kan?

Perlahan, aku mendekati sosok yang sedang meraung kesal sekaligus terdengar beberapa kali isakkan dari hidungnya, nampak menangis namun marah disaat bersamaan. Berkali-kali sosok itu mengusap kasar rambutnya.

"K-kau baik-baik saja?" Tanyaku ragu saat berada disampingnya, sekitar ada dua bangku yang memisahkan jarak kami. Dia segera menengok, melihatku dengan tatapan tajam yang sungguh menyeramkan. Matanya seolah menyalak dari kegelapan, membuatku refleks untuk mundur selangkah. Ia mengerutkan keningnya, menyipitkan matanya berkali-kali.

"Nugu-?!" Katanya terpotong, sepertinya ia cukup terkejut dengan kedatanganku. Aku meneguk ludahku pelan. Jantungku berdegup sangat kencang saat ini.

"H-halo, aku Melodi, mahasiswa baru." kataku masih terbata sambil membungkukkan badanku.

Aku tak begitu bisa melihat wajahnya karena kegelapan malam, namun aku seperti pernah melihat mata ini. Ia tak segera menjawabku, ia seolah melihat diriku dari atas sampai bawah, namun selanjutnya ia berpaling menatap lapangan yang kosong dan tidak menjawab. Seolah aku adalah hantu, ia tak membalas sapaan kalimat sopan santunku.

Aku menghela nafasku, lalu memberanikan diri duduk disebelahnya, membiarkan satu kursi kosong membuat jarak diantara kami. Entah apa yang ada dipikiranku, namun tubuhku tiba-tiba saja ingin sekali berada disampingnya.

Apakah dia baik-baik saja? Ah, sepertinya tidak. Apakah dia dari tim baseball yang kalah? Karena ku rasa ia adalah salah satu pemain karena pakaian putihnya itu masih terlihat walaupun gelap.

"Bulannya indah," kataku berbisik menatap langit malam itu. Bulan diatas sana sungguh terlihat terang dengan bulat utuh, entah kenapa dia bisa muncul secepat ini. Aku menghela nafas untuk mencoba bertanya sekali lagi padanya, mungkin ini bukan waktu yang tepat, namun aku harus memastikan bahwa dia manusia dan siapa tau ingin keluar bersama.

Aku menoleh untuk menatapnya yang ternyata juga sedang memandang langit, "Bulannya tidak akan pergi hanya karena kau kalah hari ini, besok dia akan tetap berada diatas." 

Dia tak menoleh, "Tidak ada hari esok." satu-satunya kalimat yang ia keluarkan.

Aku membuka mataku terkejut, aku memang pernah mendengar bahwa tingkat bunuh diri di Korea memang sangat tinggi, apakah dia?

"Some of the most beautiful things we have in life comes from our mistakes."  kataku berusaha membuatnya tidak menyerah.

Omong kosong, baginya ini mungkin omong kosong.  Tidak semua hal buruk berakhir buruk. Pikiranku kini menerawang sembari mengawasi bahwa ia tak sedang memegang benda tajam, namun tentu saja aku tak bisa melihat dengan jelas karena gelap.

"If life didn't give you at least one person not wanting you to succeed then half of us would lose are motivation to climb that cliff, in order to prove them wrong." Sejujurnya, aku tidak ingin menyerah untuk memberinya semangat. Terkadang, kata-kata seperti itu memang tidak membantu, namun seseorang yang mempunyai masalah tidak bisa ditinggalkan sendirian, atau masalah itu akan terlihat seperti monster yang akan melenyapkan kehidupannya.

Kami terdiam lagi, mungkin akan sangat aneh jika aku masih disini. Aku mencoba menyentuh layar handphoneku yang masih menyisakan sedikit baterai. Apakah aku harus menguhubungi polisi untuk mengawasinya? Atau siapa yang harus aku hubungi? Aku mengetuk layar handphoneku berkali-kali, bingung.

Sepertinya aku perlu bergerak. Perlahan aku berdiri, kakiku mulai kesemutan jika hanya duduk terdiam.

DUK! Gubrak!

Suara sesuatu menghantam lantai cukup terdengar keras karena kesunyian, dan kemudian lampu sorot di lapangan tiba-tiba saja menyala membuat ada sedikit sinar diantara kami. Ya, diantara aku yang sedang duduk terjatuh menahan sakit, dan tatapan pria itu yang sedang menahan tawa setengah mati.

Kini wajahku panas sempurna saat kedua mata kami bertemu. Bukan saja karena malu, namun.. siapa yang menyangka bahwa pria dihadapanku adalah dia. Sang pemilik mata tajam itu.

Entah apa yang terjadi saat ini dengan diriku. Dengan pikiranku dan dengan hatiku. Keduanya memang telah bekerja sebagaimana fungsi organ tubuh pada umumnya. Namun, ada ketidaknormalan di sana. Jiwaku terperangkap disana. Diantara pikiran dan hati yang saling mengikat kuat.

Selama sepersekian detik, seakan waktu berhenti. Semua diam tak bergerak. Udara pun menggantung di langit-langit ruang kosong. Sampai-sampai aku dapat mendengar detak jantungku sendiri yang berdetak cepat.

"Pfft." suara itu berhasil membawaku sadar dengan segera. Ia mengeluarkan suara kecil sekali sepertinya tak tahan ingin tertawa. Dan entah, aku malah tersenyum melihatnya, aku bisa membuatnya tertawa? "Oh, maaf, mau bangun?" kali ini dia mengulurkan tangannya ingin membantu.

"Akh!" Aku ingin meraih tangannya namun ada sesuatu yang menahan. Nyeri di kakiku tiba-tiba saja menginterupsi.

"Kakimu terluka?" kini ia mendekat, berjongkok untuk melihat kaki kanan yang sekarang sedang aku pegang.

"No no no!" teriakku tak sengaja saat tangannya ingin menyentuh kakiku.

"Ke-kenapa? Sakit?" tanyanya dengan wajah terkejut.

"No no no!" kataku kembali sembari menggeser tubuhku menjauh sedikit.

"It's okay, It's okay," katanya kembali mendekat berusaha meyakinkanku.

Aku menggeleng segera membuatnya semakin kebingungan, dan kembali ingin memegang kakiku.

"No! Don't touch!" teriakku menggema membuatnya mematung.

Sejenak aku berpikir... bahasa Inggris kesemutan apa???!!! Aku berani bersumpah, aku sangat malu dan juga bingung. Kini ia masih terdiam menunggu jawabanku.

"Sorry," kataku kemudian membuatnya mengangguk dan bangun.

"Aku hanya ingin membantu." jawabnya dengan wajah yang sedikit bingung.

"Aku tau, maaf tapi-" aku mengusap wajahku bagaimana cara menjelaskannya, ini terlalu cepat, bagaimana bisa aku terjatuh didepannya lalu kesemutan dan sekarang aku membentaknya, "Ma- yaaak!!!" kini wajahnya persis didepanku.

"Kau takut?" tanyanya sembari mengangkat sebelah alisnya.

Aku membesarkan kedua bola mataku, aku mematung sungguh tak bisa berkata-kata.

"Hm?" kini ia memundurkan wajahnya dan kembali berdiri, sekali lagi ia mengulurkan tangannya.

Sebentar, sebentar saja ku mohon otakku ayolah, dari banyaknya kosa kata, aku lupa apa bahasa Inggrisnya kesemutan? Aku masih terdiam mengepalkan tanganku berharap kaki ku mulai normal kembali dan aku tak perlu bicara banyak hal.

"I'm okay now," aku mencoba untuk berdiri perlahan dengan memegangi kursi disisiku. Dan ya, aku merasa lebih baik. "Aku permisi dulu." kataku sembari membalikkan tubuhku, berharap ia tak mengingat wajahku untuk hal memalukan seperti ini, kumohon.

Aku melangkahkan kakiku perlahan menaiki tangga demi tangga menuju pintu keluar. Rasanya cukup menggelikan karena kakiku masih menyisakan sedikit nyeri. Hingga kemudian aku mulai kesal dengan menghentak-hentakkan kakiku. Aku sudah tidak berpikir dia akan bunuh diri atau bagaimana cara agar aku bisa menemukan jalan pulang, karena saat ini aku sangat malu.

Aku terhenti saat sudah melewati pintu keluar,"Akkh! Stupid!"

Aku menutupi wajahku menghadap dinding sembari memukul-mukul dinding yang tak bersalah itu. Hilang sudah semua kepercayaan diriku untuk mengenal pria itu. Sungguh, aku bukan orang yang sangat ceroboh, bukan. Hilang su-

"Yaak!!" teriakku lagi saat tiba-tiba saja lenganku disentuh seseorang.

Plak.

WHAT ARE YOU DOING MELODI?!

"Sorry."  kataku segera sembari membungkukkan badanku sebanyak mungkin.

Ia tak membalas perkataanku, masih terdiam sembari mengelus pipinya. Benar, aku menamparnya. Menampar. Kenapa juga ia mengikutiku? Sudah jelas aku menunjukkan gelagat malu dan tak ingin bertemu dengannya. Kenapa?

"Oke, hentikan." katanya menanggapi diriku yang masih membungkuk.

Aku menunduk sembari berbisik, "Sorry,"  aku bahkan tak berani menatap kedua matanya. Yang ku lihat sepatu baseball nya yang masih dipenuhi tanah coklat belum diganti.

Satu, dua, tiga. Aku berjalan segera dengan menutup wajahku ke entah arah mana untuk pergi dengan segera. Jangan ingat aku, jangan ingat aku. Bisikku dalam hati. Jalanku semakin kencang mengarah pada taman universitas yang cukup luas, beruntung disana masih ada lampu-lampu taman yang hidup dan menerangi.

Aku mengurangi kecepatan langkahku berjalan dengan instingku kemana arah keluar. Terlalu banyak pertigaan dan sangat amat luas membuat jantungku selalu berdetak lebih cepat. Haruskah aku minum obat setelah sampai dorm?

Setelah berputar berkali-kali, akhirnya aku berhasil menemukan jalan pulang, oh maksutku jalan keluar Universitas dengan gerbang berbatu diujung sana. Setelah menengok kebelakang, bangunan Universitas ini memiliki kemiripan dengan bangunan di Eropa, atau bahkan mirip  sekolah sihir dalam film fiksi remaja.

Tin Tin!

Klakson mobil terdengar mengikuti langkahku, ku pikir aku menghalangi jalan, namun sepertinya tidak, aku berjalan di trotoar untuk mencari taxi. Bunyi itu terus menggangguku, membuatku segera membalikkan tubuh.

Dari dalam mobil dengan kaca yang tidak terlalu gelap, aku bisa melihat dirinya dengan jelas. Ia membuka jendela kacanya, seraya menyusul posisi berada disebelahku. Ia menggerakkan dagunya menyuruhku naik kedalam mobilnya.

He's crazy?  Aku segera menutup wajahku lagi dan berjalan mundur kebelakang agar ia tidak bisa melihatku lagi. Kenapa dia mengikutiku? Aku tak habis pikir harus berapa kali aku ingin menghilang darinya.

Beruntung, sebuah taxi baru saja ingin melintasi jalan yang ku pilih. Aku segera memberhentikannya untuk menaikinya, namun ia menghentikan saat aku ingin membuka pintu. Ia membuka kaca jendela depannya, berbicara dengan bahasa Korea cukup cepat hingga aku membesarkan kedua mataku tak mengerti.

"Dorm, Dongdaemuneuro gajuseyo." kataku berusaha menjelaskan, aku tak paham kenapa supir ini tidak mengizinkanku masuk, biasanya aku cukup masuk dan mengatakan tujuanku.

Aku segera merogoh tasku untuk mencari kartu asrama dan menunjukkan alamatnya, "Ejusoro gajuseyo."

Ia masih menggeleng membuatku bingung. Aku mengangguk pura-pura mengerti dan berjalan mundur seraya membiarkan taxi itu untuk pergi. Namun  supir itu masih berusaha menjelaskan sesuatu yang jelas-jelas aku tak paham.

"Terimakasih." kata itu menjadi penutup agar akhirnya taxi itu pergi meninggalkanku, dan bukan aku yang mengatakannya. "Biar aku saja yang mengantarmu." kali ini ia menatapku. Pria bermata tajam itu tak meninggalkanku, ia memarkir mobil nya persis didepan taxi yang ku hentikan.

"Apa yang supir itu katakan?"

Ia menghela nafasnya, "Dia ingin mematikan argonya karena sudah malam, kau bisa membayar dengan harga yang ia tentukan."

Aku membulatkan bibirku seraya berpikir ternyata di Korea juga ada sistem ini.

"Aku bisa mengantarmu." katanya sekali lagi menawarkan. Kali ini ia membuka jaket yang ia kenakan, Ia mengangkat kedua alisnya sembari memberi isyarat bahwa bajuku terlalu tipis untuk malam yang dingin.

Aku tidak tau apakah aku harus menerimanya atau tidak, karena aku sudah terlalu malu dengan beragam kejadian gila yang baru saja aku alami bersama dirinya. Dan dia, dengan wajah yang menyeramkan itu bersikap sangat baik padaku.  Kenapa aku harus terus menghindarinya?

"Terimakasih," kataku sembari mengambil jaket berwarna merah dengan lengan putih itu dari tangannya.

Ia berjalan ke arah mobilnya, berbalik dan menyuruhku mengikutinya. Aku mengangguk perlahan, mengikutinya.Setelah dipikir-pikir, ada baiknya jika aku mengikutinya. Pertama, dia sudah pasti seniorku di Universitas. Kedua, aku mendapat tumpangan gratis. Ketiga, aku tidak perlu susah payah berbicara dengan supir taxi yang kebanyakan tidak bisa berbahasa Inggris. Dan terpenting, karena dia.

Aku sudah mengenakan jaketnya. Dan ya, aku sudah masuk kedalam mobilnya. Jika aku adalah seorang pria, mungkin aku juga tak akan membiarkan seorang perempuan dengan rok selutut serta baju tipis berkeliaran malam-malam sendirian, meskipun aku belum mengenalnya.

Aku segera mengetik alamat dorm yang ku tempati di GPS mobilnya. Dan ia segera melajukan mobilnya tanpa sepatah katapun.

Wajahnya kini terlihat sangat fokus pada jalan raya, sesekali melihat layar GPS. Ia tak bertanya sedikitpun, dan akupun tak ingin menganggu konsentrasinya.

Kami masih terdiam,  sampai akhirnya ia lebih memilih untuk menekan tombol radio dibawah layar GPS. Mungkin ia ingin membunuh rasa sunyi itu. Dan aku setuju dengan senang hati ikut mendengarkan. Radio itu kemudian memutar sebuah lagu dengan dentingan piano, bersusulan dengan suara serak dari penyanyi paling terkenal dimasanya, Justin Bieber sedang merayu melalui lagunya yang berjudul Boyfriend.

Sesekali ia mengeluarkan suaranya ikut bernyayi, dan menggerakan jemarinya mengikuti alunan lagu. Namun aku tak pernah terpikir jika wajahnya masih sama datar meskipun ia bernanyi, sungguh pria yang... unik?

Aku sempat tersenyum saat mendengar suaranya. Namun aku memutuskan untuk kembali menatap bangunan di pinggir jalan. Jalan raya sudah kembali ramai, jauh dari kesunyian sekitar Universitas. Banyak lampu-lampu berkelip dari tulisan hangul pertokoan yang berjejer. Dengan suara sepelan mungkin aku melafalkan tulisan hangul itu satu persatu, seperti seorang anak kecil yang baru saja belajar membaca.

Perjalanan ini tidak begitu jauh, hanya memutar lima lagu saja, kini aku sudah sampai didepan dormku. Seraya setelah aku membuka seat belt, mata kami kembali bertemu. Dengan sorot matanya, lagi-lagi ia berhasil menyapu seluruh udara didalam mobil. Aku menarik napas panjang mencoba menghirup udara di sekitarku. Tapi yang ada hanya udara kosong yang baunya penuh dengan kedinginan.

"Woah~" kataku tak sengaja membuatnya mengerutkan keningnya, "Oh, ini akan aku kembalikan nanti." kataku menepuk jaket yang masih aku kenakan, setidaknya aku harus mencucinya terlebih dulu.

"Tidak perlu." katanya singkat.

Aku menatapnya penuh bingung, maksutnya tidak perlu apa? Jaket ini untukku?

"Kau masih disini?" tanyanya sembari menunjuk luar dengan dagunya.

Aku segera menoleh salah tingkah dan membuka pintu untuk keluar, "Suaramu sangat bagus." aku kembali menoleh, "Aku suka suaramu, dan terimakasih tumpangannya. Aku tidak akan melupakannya."

Aku menunduk dan beralih untuk keluar pintu. Aku kembali menunduk saat sudah diluar, aku sangat berterimakasih padanya.

"Melodi." panggilnya membuatku sangat terkejut. "Terimakasih juga," lanjutnya.

Tidak, dia tidak tersenyum. Aku baru pertama kali melihat seseorang mengucapkan terimakasih tanpa tersenyum.Aku sampai-sampai bingung harus menjawab apa, tapi aku hanya bisa tersenyum kaku membalas perkatannya yang sebenarnya aku juga tidak begitu paham, letak ia berterimakasih padaku.

Ia melambaikan tangannya sekali kemudian melajukan mobilnya tanpa permisi. Aku tak percaya dia mengingat namaku, nama yang hanya sekali ku sebutkan. Dan aku tak percaya bahwa ia memberikan jaket nya padaku. Ketidak percayaanku juga masih banyak, bagaimana bisa aku bertemu dan bicara langsung dengan pria itu.

Aku tak bisa mengambarkan rasa bahagia ku malam ini. Tak bisa.

Semuanya telah berlalu. Hanya satu hari, atau bisa disebut hanya beberapa jam. Pertemuan singkat yang cukup singkat itu tak pernah berlanjut.

Berhari-hari kemudian, aku berusaha mencarinya di klub baseball. Namun, ia tak pernah muncul lagi, temannya bilang sang kapten mengundurkan diri. Jadi, ini sebabnya ia sangat frustasi saat itu, seorang kapten yang menelan kekalahan. Kenapa harus sampai mengundurkan diri? Aku tak pernah tau jawabannya. Benar, dia memang seniorku yang entah ada di jurusan mana, aku tak mencari tau tentang dirinya lebih lanjut.

Aku terlalu sibuk belajar banyak hal dan beradaptasi di kampus baru, jadi melupakan hal-hal seperti pertemuan singkat itu. Sebenarnya, aku selalu membawa jaket baseballnya di tasku. Aku tak pernah memakainya, itu ku lakukan agar saat tak sengaja bertemu lagi dengannya aku bisa mengembalikannya. Namun, nyatanya tak pernah lagi. 

Aku hanya mengenal namanya saat aku melihat dua huruf yang terukir di jaket yang saat ini ku pegang, "D.O"

Pria bermata tajam yang selalu menyita pandanganku, bernama Dio.


**to be continue**

Translate note :

Dongdaemuneuro gajuseyo. ( 동대문으로 가주세요.)
Please take me to Dongdaemun.

Ejusoro gajuseyo. ( 이주소로 가주세요.)
Please take me to this address.

Continue Reading

You'll Also Like

95.5K 17.7K 187
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...
1M 84.4K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
46.9K 7.3K 43
Rahasia dibalik semuanya
56.9K 5.1K 45
Sebuah cerita Alternate Universe dari tokoh jebolan idol yang banyak di shipper-kan.. Salma-Rony Bercerita mengenai sebuah kasus masa lalu yang diker...