A Little Love

By PoppiPertiwi

5.2M 329K 20.3K

[Sebagian cerita ini di private, follow dulu baru bisa baca] Rama Dwipayana dan Ocha Aryasastra terjebak dala... More

A Little Love
PROLOG
1. Hanya Dari Jauh
2. Perjodohan!
3. Senja
4. Hidup Baru
5. Penolakan Lagi
6. Bertahan Atau Mengalah
7. Tak Berpandang
8. Rama & Raka
10. Untuk ke Sekian Kalinya
12. Penasaran? [RAMA]
14. Janji Yang Terlupa
15. Sepucuk Surat
16. Terkuaknya Sebuah Rahasia
17. Ada Apa Denganku?
19. Kenangan yang Timbul Kembali
20. Cinta atau Benci
21. Penyesalan
22. Kembalilah Kedekapanku
23. Menguap Hilang Entah Kemana
24. Harapan?
25. Memaafkan
26. Takdir Itu Mempermainkan
27. Terima Kasih
-
28. Menentang Dunia
29. Terbalas Sepenuhnya
30. Belum Berakhir Sampai Di Sini
31. Senja Sempurna
32. Tak Akan Pernah Pudar (END)
Berikan Pendapatmu

18. Pangeran Kebencian dan Tragedi di Apartemen

154K 10.4K 1.1K
By PoppiPertiwi

RAMA POV

Saat ini kami sedang duduk. Maksudnya aku, Helga, Iwan, dan Fendy duduk di tengah-tengah lapangan. Kami habis latihan basket dan saat ini keadaan sekolah sedang belajar dikelas masing-masing tetapi kami lebih memilih bermain basket karena guru yang seharusnya mengajar dikelas tidak masuk.

"Ram," panggil Helga membuatku menoleh padanya. "Lo liat tuh Ocha sama Tera. Lo gak cemburu apa liat mereka sama-sama terus?" ucap Helga terhadapku. Aku mengikuti arah pandangnya. Terlihat Ocha sedang tertawa lepas dengan Tera sambil membawa buku ditangannya. Tera juga sama dengannya. Mereka sedang berjalan bersisian. Selalu begitu. Mereka seperti surat dan prangko yang selalu menempel. Aku kadang heran melihatnya.

Sebagian sisi hatiku mengatakan aku marah entah karena apa tetapi di sisi lain aku juga tidak bisa memungkiri bahwa aku tidak memiliki perasaan apapun terhadapnya. Hey, aku tidak pernah menyukainya dan tidak akan pernah sampai seterusnya.

Ingat, dia penyebab aku menikah muda. Maksudku Bundanya itu. Tetapi tetap saja aku tidak suka dengannya.

"Ram, gue saranin lo aja ya. Ini cuman saran gue sebagai temen. Jangan terlalu benci sama orang, Ram. Apalagi kebencian lo itu tanpa alasan. Nggak berdasar. Lo bisa aja kena karma. Disini bukan cuman lo aja yang ngerasa gak wajar, tapi dia juga," ucap Helga terhadapku. Seolah-olah dia tau segala hal. "Seharusnya lo yang lebih tua dari dia lebih ngerti."

"Iya Ram, setidaknya lo lindungin apa yang lo punya sekarang. Bukan malah ngelindungin apa yang lo paksa buat jadi milik lo," ucap Iwan terhadapku. Jadi kenapa mereka pada menasehatiku?

"Lo semua ngomong apa sih, gue gak ngerti," ucapku kepada mereka. Aku mengambil handuk kecil lalu mengusap wajahku dengan handuk itu.

Fendy menggelengkan kepalanya melihatku. "Lo emang bener-bener harus dibuka matanya lebar-lebar, Ram. Lo gak tau Lisna itu simpanan om-om, hah? Lo tau gak dia sering jalan sama Bapak-Bapak di taman kota?" ucap Fendy membuatku menatapnya. Kali ini meledak sudah aku.

Siapa dia bilang? Lisna simpanan om-om? Hah, ngaco!

"Fen," tegur Iwan terhadapnya. Nadanya seperti memperingatkan. Fendy langsung diam saat ditatap Iwan dan ia mengalihkan pandangannya.

Sebenarnya ini ada apa sih? Kenapa sepertinya ada yang ditutupi dariku?!

"Sebenarnya lo semua mau ngomong apa? Langsung aja ke intinya. Gue gak suka basa-basi. Dan apa maksud lo bilang Lisna simpanan om-om?" ucapku dengan nada marah.

Fendy terkekeh sinis ke arahku, "Lo kan pacarnya. Seharusnya lo tau dong apa pekerjaan dia selama ini. Lo tau Ram, Lisna itu cewek mata duitan."

"Brengsek lo!" teriakku di arahnya. Kami semua bangun dan aku mencengkram kerah baju Fendy dengan wajah memerah akibat amarah yang tidak bisa terbendung lagi.

"Jaga mulut lo itu ya!" ucapku dengan nada berapi-api, "Lisna gak kaya gitu!" ucapku lagi.

"Kalau lo bukan sahabat gue, udah gue tonjok lo karena ngomong kurang ajar kaya tadi," desisku terhadapku.

Kulihat Fendy, Iwan, dan Helga menatapku dalam. Sebenarnya ini ada apa? Mengapa mereka bertiga kompak sekali untuk menjelek-jelekan Lisna? Dari cara tatapan mereka saja aku tau ada yang tidak beres.

"Ram udah Ram, ini di sekolah," ucap Helga melerai. "Gue gak mau masuk BK gara-gara ini."

"Iya Ram. Kita sebagai sahabat lo cuman mau ngasi saran. Lo harus buka mata sama sekeliling lo. Kadang yang lo liat baik belum tentu baik. Dan yang lo liat buruk, itu belum tentu buruk," ucap Iwan.

"Sebenernya lo bertiga ngomong apa sih?! Gue gak ngerti!" ucapku geram terhadap mereka bertiga.

"Lebih baik lo sekarang cari Lisna. Dia ada di ruang cheers sekarang. Tadi gue liat dia masuk ke sana. Dan lo tanya sama dia tentang hal ini," ucap Helga terhadapku. Aku semakin tidak mengerti. Sebenarnya ini ada apa? "Kita nggak berhak ngasi tau. Kita cuman sahabat lo, Ram."

Aku mundur lalu melepaskan cengkraman itu. Aku segera berlalu dari mereka. Darahku benar-benar mendidih mendengar Lisna adalah simpanan om-om. Jalan dengan Bapak-Bapak. Bagaimana mungkin dia melakukan hal itu? Itu pasti tidak mungkin. Memikirkan itu aku jadi geli sendiri.

Lisna nggak mungkin kaya gitu.

Samar-samar aku mendengar Fendy berteriak, "Lo bukan orang bodoh, Ram! Gue tau lo ngerti apa kata-kata kita bertiga tadi!" hal itu membuatku tambah mempercepat langkahku lalu aku tanpa sengaja berpapasan dengan Ocha. Dia tersenyu kepadaku dan aku segera mengalihkan padanganku ke arah lantai. Sementara Tera di sampingnya kulihat menarik tangan Ocha untuk berjalan lebih cepat lagi.

Aku ini kenapa sih? Kenapa sekarang pikiranku bukan Lisna lagi isinya? Kenapa malah Ocha yang mengisinya kepalaku sekarang?

Aku tiba-tiba tercekat. Tidak-tidak. Aku pasti tidak mencintainya. Tidak mungkin aku suka sama dia. Aku pasti hanya stress belakangan ini karena akan ujian sekolah dan juga masalah rumah tanggaku dengan Ocha yang semakin hari semakin runyam.

Iya, pasti begitu.

***

Aku membuka ruang cheers dengan pelan lalu mengernyitkan dahi mendengar suara-suara dari arah dalam. Aku tahu suara ini. Suara ini suara Lisna. Aku kenal persis ini suaranya.

"Lo gila Lis! Lo selama ini cuman mau mainin Rama doang? Otak lo kenapa sih?" kulihat Indira berbicara kepada Lisna. Indira adalah teman seduduknya di kelas. Keadaan ruang cheers sangat sepi dan aku merubah posisiku menjadi berdiri di depan kaca dan mengintip disana. Lebih baik aku mengintip saja. Kenapa aku jadi keterusan mengintip orang?

"Hahaha, udalah. Biarin aja. Gue cuman mau uangnya dia. Gue sejujurnya gak suka sama Rama. Iduhhh, udah punya istri gitu. Males. Mending cari yang lebih ganteng."

"Hah?! Istri?!"

"Iya. Asal lo tau aja sih, Rama itu udah nikah. Dia nikah muda tapi gak ada yang tau," ucap Lisna yang masih bisa kudengar.

"Wih asik nih infonya. Pasti sekolah bakalan heboh kalau tau ini. Trus-trus?"

"Dia nikah sama adik kelas kita. Namanya Ocha. Dia anak IPA juga sama kayak kita. Maih kelas XI sih dan Rama juga bilang dia gak suka atau bahkan cinta sama Ocha. Itu tuh. Adik kelas yang sering sama Tera di perpus udah kaya pacaran. Nah, niat gue bakalan jadiin info ini buat morotin Rama. Lo tau kan Rama itu cintanya sama gue aja? Bahkan kalau gue suruh dia buat ngasih apa yang gue mau, dia pasti mau demi rahasia ini," ucapan Lisna membuat kedua tanganku terkepal sempurna sampai terasa kebas. Aku tidak percaya ini. Aku tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Kenapa dia tega?

Helga, Iwan, dan Fendy benar. Astaga bodohnya aku selama ini. Ternyata sifat aslinya begini. Aku baru tau.

"Lo bener-bener gila banget Lis! Tapi yah, Rama itu flat. Gue aja takut kalau liat lo sama dia. Rama selama ini tau gak lo sering main di club Paman gue?" ucap gadis yang sedang membuka majalah dihadapannya.

Kulihat Lisna menggelengkan kepalanya, "Belum, tapi sahabat-sahabatnya udah tau dan gue harus bertindak cepet supaya mereka gak lebih dulu kasi tau Rama tentang hal ini. Bisa-bisa gagal rencana gue buat shopping di New York kalau rahasia ini sampai terbongkar. Secara Rama bilang waktu ini dia mau kasi gue uang dua puluh juta secara cuma-cuma. Gue ngakunya sih buat bayar hutang nyokap dan dia percaya-percaya aja gitu sama gue. Bego banget kan ya? Gak tau aja dia kalau nyokap gue udah meninggal dan selama ini nyokap yang gue pake dirumah biar ketemu sama dia itu pembantu gue."

BRAK!

Aku memukul pintu dengan suara keras. Mereka terkejut melihatku berada di pintu. Aku sadar sekarang bahwa cewek yang berdiri di dekat kursi itu bukan gadis baik-baik. Dia busuk. Sekarang, yang kurasa hanya kehambaran untuknya. Sebenarnya sudah sejak lama aku merasakan hal ini.

Tidak ada lagi rasa cinta seperti kemarin. Tidak ada lagi rasa sayang seperti kemarin untuknya. Semuanya sudah lenyap begitu saja saat aku mendengar pengakuan itu keluar dari mulutnya.

"Ram-Rama," ucap Lisna gagu dengan wajah pucat saat aku menatapnya dengan satu alis terangkat. Aku memandang tubuhnya. Sudah berapa kali dia main dengan orang lain?

Aku bertepuk tangan. Dia berhasil membuatku menjadi bonekanya, seakan dia berhasil membuatku menjadi buta karena cinta yang aku tau sekarang bahwa hanya aku yang mencintainya. Bahwa hanya aku yang menganggap hubungan kami berlandaskan cinta.

Cih.

Aku benar-benar sangat bodoh!

"Hebat banget lo. Sekalian aja casting buat jadi artis," ucapku bersalut sinis terhadapnya. Kulihat kedua gadis dihadapanku terdiam dengan wajah takut. "Hebat banget lo, Lis. Lo berhasil buat gue jadi mainan lo. Gue gak nyangka lo sebusuk ini. Ternyata selama ini gue salah. Gue nganggep lo cinta sama gue tapi ternyata lo cuman cinta sama duit gue. Lo cewek paling murahan dan matrek yang pernah gue kenal. Dan lo tau? Gue jijik banget sama lo! Menyedihkan," tutupku padanya.

"Rama, dengerin dulu. Sayang kamu salah paham. Ini gak seperti yang kamu pikirin atau denger tadi. Itu cuman akting aku sama Indira."

Lisna menatapku dengan wajah memelasnya. Kali ini aku tidak akan tertipu. Matanya berkaca-kaca yang membuatku bertambah geram tetapi aku menahan amarahku sekuat tenaga. Aku tidak akan melakukan apapun meskipun aku kecewa telah dibohongi seperti ini. Tetapi dia harus mendapatkan balasannya dengan yang lebih parah dan aku tidak mau buang-buang tenaga atau mengotori tanganku untuk membalasnya sekarang. Nanti. Tunggu saja.

"Lo pikir gue bodo? Gak usah sebut-sebut kata sayang lagi. Gue jijik sama lo. Kita berakhir disini dan gue pastiin lo gak bakalan lolos dari gue."

"Ram... please kamu salah paham. Dengerin aku dulu."

"Dengerin apa lagi? Gue udah denger semuanya Lis. Gue sekarang tau... lo ternyata busuk."

Aku tidak mau mengeluarkan emosiku disini. Apalagi dihadapannya. Tidak akan pernah.

Karena detik ini juga aku sudah sangat membencinya.

"Rama... please ini gak seperti yang kamu denger tadi. Lisna cuman akting---"

"Selamat karena akting lo berdua hebat. Gue salut. Salut banget. Oh ya berapa harga lo? Gue bakalan bayar. Berapapun bakal gue kasi buat lo," ucapku memotong perkataan Indira yang berdiri disebelah Lisna. Aku yakin ucapanku tadi menyakiti harga diri Lisna. Terlihat jelas ketika Lisna terdiam menatapku tajam tetapi aku tidak akan terpengaruh.

Mau main-main sama gue? Gue mainin balik, batinku sambil menatap mereka berdua.

"Sampah," ucapku lalu pergi meninggalkan mereka. Bukannya aku menerima begitu saja tetapi dia akan mendapat balasannya nanti. Aku akan pastikan dia tidak akan lepas dariku. Aku bisa membuatnya hancur sehancur hancurnya.

Aku tiba-tiba terhenti di dekat kelas Ocha. Tiba-tiba saja ada angin menerpa tubuhku. Aku melihatnya dari jendela. Dia berdiri gugup di arah depan papan tulis sambil menghadap ke arah teman-temannya dengan membawa sebuah buku tulis ditangannya.

Kepada lelah.

Aku bertanya dalam duka.

Adakah tempat untukku mengadu?

Adakah tempat untukku berkata?

Cinta tak terbalas membuatku lelah untuk menunggunya lebih lama lagi

Cinta tak terbalas membuatku tak tau arah kemana harus pergi

Dan, adakah yang lebih menyakitkan dari ini?

Mencintai seseorang yang sama sekali tidak meganggapmu ada

Mencintai seseorang yang tidak mencintaimu balik

Mencintai seseorang yang menganggapmu angin lalu

Dimensi tak terbilang dan tak terjelang

Hapus luka, hapus dendam diri

Ribuan malam terlewati demi sang waktu

Teradanya benci tak pernah padam dalam luka nestapa yang diberi

Hadir dirinya senantiasa meluapkan rasa sakit

Tak bisa kurengkuh...

Tak bisa kumiliki...

Tak bisa kugapai...

Begitu amat tersiksa dalam kebodohan

Hanya satu harapan yang termiliki

Berdoa agar suatu keajaiban terjadi untuk kekal abadi nanti

Berdoa agar seluruh semesta bernyaksikan ini dalam belenggu waktu

Untukmu sang pangeran kebencian....

-Pangeran Kebencian

Aku melihat seluruh murid dikelasnya bangkit dari tempat duduknya. Mereka bertepuk tangan meriah sementara aku terdiam diluar. Untung saja tidak ada yang mengetahui kehadiranku saat ini. Kulihat Ocha tersenyum begitu bahagia. Begitu senang. Begitu tulus. Begitu manis yang membuatku terhenyak menatapnya.

Puisi buatan Ocha. Puisi yang aku rasa adalah penggambaranku. Tentang sikapku selama ini kepadanya. Puisi yang mengungkapkan seluruh isi hatinya. Puisi yang aku yakini dia membacanya dengan sangat tulus dan benar-benar menghayati. Bahkan seluruh teman dan ibu guru yang ada dikelasnya masih bertepuk tangan dan bersorak deminya.

Ocha tersenyum malu. Aku yakin saat ini dia pasti sangat senang.

Dia benar. Lisna memang hanya ingin uangku.

Ocha yang mencintaiku dengan tulus. Dia yang mencintaiku dengan apa adanya tanpa imbalan tetapi aku memperlakukannya dengan sangat jahat dan kejam. Aku adalah orang yang sangat jahat dan sekarang aku menyesalinya.

Aku benar-benar sangat menyesalinya.

Apa yang telah aku perbuat padanya?

Rasanya aku benar-benar berdosa kepadanya.

"Ocha, kamu akan ikut kontes puisi minggu depan di sekolah ya. Jadi persiapin diri kamu. Ibu bangga banget sama kamu. Semoga nilai kamu bertahan terus ya."

"Terima kasi Bu. Terima kasi."

"Baik, pelajaran ibu cukupkan sampai disini. Selamat siang."

Setelah Ibu guru pergi aku lihat Tera mendekatinya dan memeluk Ocha. Aku hanya dapat melihatnya dari jauh. Tubuhku langsung membeku. Aku juga tidak tau apa yang sedang aku rasakan sekarang atas tindakan Tera yang spontan itu. Tetapi Ocha tidak risi sama sekali diperlakukan seperti itu. Seluruh teman-temannya juga ikut bersorak riang sambil meneriaki nama mereka. Kulihat Tera membisikan sesuatu ditelinga Ocha dan Ocha langsung mengangguk kecil sambil tertawa kecil.

Mereka begitu serasi.

Aku hanya bisa melihatnya dengan tatapan lesu tetapi dadaku bergemuruh hebat. Bahkan hatiku seperti terbakar melihat mereka berdua seperti itu. Perasaan marah ini bahkan lebih besar saat aku mendapati Lisna berbohong terhadapku tadi. Belum pernah aku begini. Aku merasa ada yang mengganjal dalam dengan diriku.

Aku memalingkan wajahku lalu pergi.

Dan teman-temanku benar. Sekarang aku malah mencintai Ocha karena kebencian yang aku buat sendiri di dalam diriku.

***

OCHA POV

Aku melirik jam. Kak Rama belum pulang juga ke apartemen padahal ini sudah larut malam. Kulirik jam di dinding sambil menunggu kak Rama pulang dengan harap-harap cemas. Kali ini perasaanku tidak enak dan aku takut ada sesuatu hal terjadi terhadap kak Rama. Tadi kami sempat bertemu di koridor. Aku berpapasan dengannya tetapi kak Rama memalingkan wajahnya saat aku tersenyum ke arahnya lalu Tera menarik tanganku untuk berjalan dengan cepat ke arah kelas.

Sebenarnya aku ingin menyampaikan sesuatu kepada kak Rama tetapi dia belum pulang. Aku akan ikut lomba puisi di sekolah dan aku ingin dia datang nanti menontonku di urutan paling depan. Aku sangat berharap dia datang pada hari itu. Apa salahnya di coba kan?

Biasanya dia jam segini sudah pulang tetapi ini sudah malam sekali dan hampir jam satu pagi. Kucoba untuk menghubunginya lagi tetapi hpnya mati. Sudah berulang kali aku menghubunginya tetapi jawabannya tetap sama. Aku juga sudah menelpon sahabat-sahabat kak Rama tetapi mereka mengaku tidak bersama kak Rama sekarang.

Lalu kemana kak Rama?

Aku yakin dia juga tidak bersama kak Lisna karena pulang sekolah tadi aku lihat kak Lisna dijemput mobil lain. Mungkin saja dengan kerabatnya. Aku menaruh ponsel yang aku pegang sedari tadi di atas meja dekat sofa lalu aku berjalan mondar-mandir. Hari ini entah kenapa aku merasa tidak enak. Feeling-ku benar-benar tidak enak.

Cklek

Aku menoleh ke arah belakang dan aku melihat kak Rama menyenderkan dirinya di dekat pintu. Aku berjalan ke arahnya saat dia hampir jatuh tetapi dia menyangga tubuhnya di arah pintu lagi yang sudah ia tutup rapat-rapat. Astaga, ada apa dengannya?

"Kak Rama? Kenapa baru pulang?" tanyaku kepadanya. Dia tidak memakai baju sekolah. Dia menggunakan kaos polos biasa berwarna merah marun. Aku mencium bau menyengat dari tubuhnya. Bau ini bau alkohol. Yaampun kak Rama mabuk.

"Dasar murah. Lo murah banget tau gak Lis? Berapa sih yang lo minta? Ntar gue bayar."

Aku mengerutkan keningku. Kak Rama benar-benar mabuk.

"Astaghfirullah. Kak, ini Ocha. Astaga kakak mabuknya parah banget," ucapku saat dia tiba-tiba terkulai lemas dibahuku. Dia memelukku erat yang membuat jantungku berdegup kencang selama dua kali lipat dari biasanya. Perlakuannya ini membuat darahku berdesir hebat.

"Ocha," gumamnya lirih yang membuatku diam di tempat. "Ocha," racaunya lagi. Saat aku hendak mengajaknya ke arah kamarnya agar dia terbaring di sana. Tapi kami hanya diam di pintu kamarnya.

Aku mengerti. Dia mabuk jadi wajar berkata yang aneh-aneh, "Jangan deket-deket sama Tera," suaranya entah kenapa membuatku meremang dahsyat. "Aku sayang kamu Cha."

Dia masih memelukku dan aku masih terpaku di tempat akibat perkataannya tadi. Apa? Dia sayang sama aku? Nggak mungkin. Dia cuman mabuk. Tapi aku tak bisa memungkiri bahwa aku senang bukan main mendengarnya.

"Lo Lisna kan?" aku terkejut mendengar itu. Dia melepaskan pelukannya dan menatapku dengan mata yang menggelap liar. "Lo bukan Ocha," dia masih meracau sendiri.

"Kak Rama sadar Kak," kataku kepadanya. Aku mulai takut.

"Mana Ocha?!" aku sedikit menjauh darinya setelah mendengar itu. "Oh lo ke sini mau minta uang? Kalau gitu gue minta bayaran juga! Puasin gue!"

Jantungku berdegup kencang mendengar itu. Aku hendak lari namun kakiku gemetar. Kak Rama mendekatiku dengan cekatan lalu menarik tanganku.

"Ya Allah kak Rama sadar!" teriakku mulai menjauh namun dia menarik tangaku. Dia membuka pintu lalu mendorongku masuk ke dalam dengan kasar. Dia juga tidak peduli aku berteriak. Matanya sudah menggelap. Dia juga tak peduli kalau aku sudah mulai menangis diperlakukan seperti ini.

YaTuhan kak Rama kumohon jangan lakukan ini kepadaku.

Hari ini malaikat-malaikat seolah berbisik nakal kepadaku bahwa apa yang telah aku jaga selama ini telah direnggut paksa oleh orang yang aku cintai. Hari ini semesta dan seluruh benda mati yang ada di sini menjadi saksi bisu atas apa yang terjadi di apartemennya.

****

Continue Reading

You'll Also Like

18.7M 1M 54
Dear Heart, Why Him? "Ketika benci mengundang cinta" a story by Haula S "Pelajaran yang Bela dapatkan saat mencintai Dalvin adalah jangan mengh...
4M 311K 51
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
7.1M 137K 14
Sudah diterbitkan oleh Grasindo. Tersedia di toko buku seluruh Indonesia. Untuk pembelian secara online, klik link di bio instagram : gal.gia Ini ada...
518K 25.7K 73
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...