Little Mother

By Tehseduh

382K 25.7K 2.1K

[ REPOST ] Menjadi seorang ibu merupakan impian setiap wanita. Tapi itu jika kehidupan wanita itu normal. Nam... More

SATU
DUA
EMPAT
LIMA
ENAM
TUJUH
DELAPAN
SEMBILAN
SEPULUH
SEBELAS
DUABELAS
EKSTRAPART Zu and Priko
TIGABELAS

TIGA

27.3K 1.7K 94
By Tehseduh

PART 3

Mitos, sebuah kepercayaan yang datang dari orang zaman dahulu. Mitos bahkan memiliki kekuatan melebihi dari sebuah fakta bagi siapa pun yang mempercayainya. Dan sebuah mitos inilah yang membuat warga desa mulai merubah sikapnya terhadap Bunga.

Percaya atau tidak mitos kalau anak yang terlahir di luar nikah berjenis kelamin perempuan itu artinya sudah pasti kesialan dan itu merupakan isyarat Tuhan kalau sampai kapan pun bayi perempuan itu hanya pembawa sial. Berbeda kalau yang dilahirkan anak lelaki, banyak yang bilang itu isyarat Tuhan kalau dosa orang tuanya sudah di hapus dan kesialan itu hanya berhenti tepat setelah bayi laki-laki itu dilahirkan. Konyol bukan? Yah, tapi mitos itu sudah menjadi bagian kehidupan di desa terpencil itu.

Bunga masih tinggal di gubuk ditengah hutan namun kini tak ada warga yang melarangnya keluar dari hutan. Beberapa warga mungkin masih menggunjinginya namun beberapa lagi mulai menerima Bunga dan anaknya.

Bunga sekarang sibuk memasangkan popok pada anaknya. Baru saja Alif selesai dimandikan oleh neneknya. Bunga sudah bisa memasangkan baju untuk anaknya. Awalnya semua dilakukan oleh neneknya namun lama kelamaan Bunga mulai belajar. Dan walau raut keibuan belum terlihat, namun naluri seorang ibu terhadap anaknya tak akan bisa dibohongi. Bunga begitu cepat mempelajari setiap ajaran neneknya dan semuanya dilakukan dengan penuh kasih sayang. Sudah satu bulan sejak kelahiran Alif, kini keluarga kecil mereka begitu terlihat bahagia.

Dokter Ratih dan keluarga Ustadz Makmur memberi hadiah perlengkapan bayi. Sahabatnya Zainab juga mengirimkan sedikit uang untuk Bunga dan anaknya. Alif masih tertidur pulas. Bayi berumur satu bulan itu begitu sangat menggemaskan. Walau masih sangat kecil Alif terlihat begitu manja terhadap Bunga. Bahkan Alif akan terbangun ketika Bunga tak berada disampingnya.

Tangan Bunga kini sedang sibuk membelai pipi Alif. Bibirnya terus tersenyum melihat malaikat kecilnya tertidur. Nenek Sharmi yang melihat keduanya turut tersenyum. Dia bersyukur kini semuanya berjalan semakin membaik. Tepat setelah Alif berusia 40 hari nanti, mereka akan kembali ke pemukiman. Ummi Salamah telah menawarkan pekerjaan untuk mereka. Bunga dan Nenek Sharmi akan berjualan di kantin pondok pesantren milik Ustadz Makmur. Dan bukan hanya itu, Bunga akan kembali menuntut ilmu walau pun hanya menjadi santri dengan ilmu-ilmu non formal saja. Bunga dan Nenek Sharmi kini sudah merasa cukup dengan segala anugerahNya.

Kehidupan Bunga terus berjalan, walau jalan hidupnya tak seperti remaja biasanya namun Bunga tetap belajar untuk menerimanya. Tapi Bunga tetaplah manusia biasa kadang ada dimana Bunga mengalami titik jenuh dan lelah. Dia jatuh sakit dan parahnya keadaan Bunga yang menurun menular terhadap Alif. Nenek Sharmi menjadi sangat kerepotan. Melihat hal itu Bunga menjadi sedih. Apalagi beberapa hari yag lalu teman-teman sekelasnya kedapatan sedang menggunjingnya.

"Bunga itu menjijikkan, dia masih kecil tapi udah punya anak. Palingan dia suka godain cah lanang(laki-laki)." Ucap salah satu temannya.

"Iyalah, sok manis. Semuanya disenyumin sama dia." Sambung yang lainnya.

"Eh! Kalian denger nggak? Kemarin si Tommy anak pak lurah yang cakep itu katanya juga digodain sama Bunga."

Semuanya bergidik jijik.

"Murahan." Celetuk yang lainnya.

Bunga hanya bisa menitikkan air mata mendengar segala gunjingan teman-temannya. Namun dirinya bingung kenapa dirinya harus dipergunjingkan? Apa salahnya? Bunga akhirnya menceritakan segala yang terjadi padanya di pesantren. Nenek Sharmi tersenyum lalu memeluk Bunga, dia mengelus punggung Bunga sayang. Dan Nenek Sharmi berfikir mungkin ini saatnya Bunga benar-benar mengerti dengan semua kebenaran yang terjadi padanya.

"Mbah harap setelah kamu mendengarkan semua ceritanya kamu bisa tegar ndok, jangan minder. Gusti Allah dan mbah akan selalu bersamamu, ndok." Pesannya.

Alif kini berada dalam gendongan Bunga, bayi kecil itu tertidur begitu pulas.

"Apa Bunga masih ingat kejadian dulu saat Bunga beli obat buat mbah?"

Bunga terdiam dia terihat termenung. Dia memeluk Alif semakin erat. Bunga tak akan pernah melupakan kejadian yang membuat malamnya tak pernah bisa tidur dengan tenang itu. Bunga sejenak menatap neneknya, lalu dia mengangguk.

"Malam itu kamu diperkosa ndok, yang membuatmu hamil dan harus menjadi ibu diusia muda adalah kejadian malam itu. Lelaki itu yang membuat kita harus menanggung semua ini ndok." Nenek Sharmi memang tak pernah bisa menahan amarahnya jika sudah mengingat hal itu.

Bunga terlihat membulatkan matanya. Dan bayangan tentang lelaki jahat itu berputar-puar dalam ingatannya. Nenek Sharmi sadar menceritakan masalah ini sama saja membuka luka lama bagi cucunya. Tangan Bunga kini bergetar. Tanpa sadar dia mulai terisak.

"Kenapa harus Bunga mbah? Kenapa harus Bunga?" suaranya bergetar. Alif mulai terbangun.

Nenek Sharmi menggeleng dengan air mata yang mulai terjatuh. "Karena Allah sayang sama kamu ndok." Nenek Sharmi menghapus air mata Bunga. Lalu tangannya meremas kedua bahu Bunga.

"Dengarkan mbah," matanya menatap Bunga tegas.

Bunga menatap dengan sesenggukan.

"Jangan pernah menganggap semua yang terjadi padamu adalah kesalahan ndok. Anggaplah semua ini adalah cobaan buat kita. Ingat Allah akan selalu bersama orang-orang yang sabar dan ikhlas. Jaga Alif, dia adalah anugerah untuk kita." Pesan Nenek Sharmi sembari tersenyum.

Namun mata Bunga malah menampakkan ketakutan.

Kini tangan Nenek Sharmi pindah membelai kepala Bunga yang tertutup jilbab biru.

"Lihat bayimu. Pandang dia dan sayangi dia dan mbah yakin kamu pasti bisa menghadapi semua ini. Seperti halnya Mbah yang selalu melihatmu ndok."

Bunga mengangguk lalu melihat anaknya yang sudah terbangun didalam gendongannya. Bunga pun tersenyum dan perlahan dia menghapus air matanya. Tangan mungil Alif mencoba menggapai-gapai wajah Bunga. Senyum kecil Alif begitu indah. Dan benar, tanpa disadari Bunga, seorang anak akan selalu bisa membuat seorang ibu menjadi kuat dan tegar. Melihat hal itu Nenek Sharmi yakin cucunya kini akan bisa hidup dengan lebih baik.

***

"Ibu punya mainan baru!" teriak Bunga antusias.

Alif hanya tertawa dan langsung mengambil mainan barunya.

Bunga tersenyum begitu gemas. Usia balitanya sudah menginjak satu tahun, Alif kini tumbuh dengan sehat. Walau masih kecil wajahnya sudah terlihat tampan. Semua kejadian kelam itu sudah lama berlalu kini Bunga bisa hidup bahagia dengan keluarga kecilnya. Walau kata-kata miring masih didengarnya namun dia malah semakin tegar. Bunga sekarang semakin manis, diusianya yang ke 14 tahun dia tetap terlihat seperti remaja biasanya, namun sikapnya lebih dewasa. Dipesantren dia terkenal sangat cerdas. Sekarang dirinya juga menjadi salah satu guru yang mengajarkan Al-Quran pada anak usia 4 sampai 8 tahun.

"Mbah mana?" tanyanya seraya mengangkat Alif dalam gendongannya.

Tangan mungil Alif menunjuk dapur kecil mereka. "Situ." Katanya.

Bunga tersenyum dan melangkah ke arah dapur. Sedangkan Alif masih sibuk bermain dengan mainannya. Balita itu tidak pernah rewel, dia sangat mudah diatur. Dan pastinya sangat menggemaskan.

"Gimana pesantrennya."

Bunga tersenyum "Alhamdulillah lancar."

"Uhuk!" batuk Nenek Sharmi begitu kencang.

"Mbah sudah minum obat dari Dokter Ratih?"

Nenek Sharmi tersenyum sembari melanjutkan kegiatannya mengupas bawang. "Sudah, sekarang mandi sana, sekalian ajak Alif mandi juga. Biar mbah yang nyiapin makanannya."

Namun Bunga hanya memandang neneknya khawatir. Kesehatan neneknya memang semakin memburuk. Dan wajahnya sekarang masih pucat. Menyadari tatapan cucunya, Nenek Sharmi menatap Bunga dengan senyumannya.

"Mandilah, mbah baik-baik saja ndok ...." ucapnya seakan meyakinkan Bunga.

Akhirnya Bunga menurut, dia berharap neneknya akan baik-baik saja. Dan mimpinya semalam hanyalah sebuah bunga tidur. Berminggu-minggu sakit neneknya tak kunjung membaik malah semakin parah setiap harinya dan akhirnya kenyataan pahit harus kembali dihadapinya.

Neneknya meninggal. Duka itu mampu membuatnya hilang arah, tempatnya bergantug kini telah tiada. Tempatnya untuk mencurahkan suka duka telah meninggalkannya. Hingga dua bulan lebih Bunga larut dalam kesedihan dan kehilangan. Dia tak lagi pergi mengajar. Hidupnya serasa sangat amat hampa. Bunga kehilangan senyumannya, matanya kosong. Keadan Bunga yang memprihatinkan benar-benar membuat Ummi Salamah tak tega.

Bunga duduk dipinggir sungai dengan memangku Alif yang sedang tertidur. Dan dia sedang melamun.

"Nak, kamu harus tegar." Ucapnya seraya mengelus bahu Bunga.

Bunga menatapnya dengan pandangan kosong. "Kenapa?"

"Apa?"

"Kenapa harus aku? Kenapa bukan orang lain, kenapa harus orang yang kusayangi diambilNya? Kenapa harus aku yang diuji seberat ini?! Kenapa?" ucapnya seakan menumpahkan segala amarahnya.

"Astagfirullah, istigfar nak ...,"

Bunga memeluk Alif yang bangun dan menangis karena mendengar teriakan ibunya. Namun air matanya pecah. "Kenapa harus aku? Aku lelah ...," Alif terus menangis dalam pelukannya.

Ummi Salamah menatapnya iba. Lalu dia tersenyum lembut seraya menghapus air mata Bunga. "Dengarkan ummi, Allah tak akan memberi cobaan diluar kemampuan hambaNya. Dan semua yang kamu alami adalah ujian agar kamu makin dekat padaNya. Berhenti bersedih, seperti inilah hidup tak akan ada yang abadi nak. Dunia hanya tempat kita diuji, semua sementara dan di akhirat sanalah tempat yang abadi. Ikhlaskan semuanya, insyaAllah, Allah akan meridhoi setiap langkahmu." Ujarnya seraya tersenyum.

"Jangan pernah menganggap semua yang terjadi padamu adalah kesalahan ndok. Anggaplah semua ini adalah cobaan buat kita. Ingat Allah akan selalu bersama orang-orang yang sabar dan ikhlas. Jaga Alif, dia adalah anugerah untuk kita." Pesan Nenek Sharmi kembali terngiang dalam ingatannya.

"Astaghfirullah hal adzim ...," Bunga langsung beristighfar.

Hampir saja dia jatuh kedalam keterpurukan. Bunga memandang anaknya yang masih terisak lalu dia menghapus air matanya dan segera mencium dua kelopak mata Alif dengan sayang. Alif langsung berhenti menangis. Bunga tersenyum, "Maaf ..., maafkan ibu nak." Ucapnya seraya memeluk Alif.

Bunga kembali berusaha hidup dengan tegar. Walau rasa kesepian akan lebih sering dirasakannya. Namun senyum Alif kembali membuatnya merasa lebih baik. Ada anak yang harus dijaganya dan dia harus lebih kuat.

"Ummi, terima kasih." Katanya tulus.

"Sekarang tenangkanlah dirimu dan ummi mau besok kamu sudah mulai mengajar kembali." Ucap Ummi Salamah seraya mengelus bahu Bunga.

Walau neneknya kini sudah tiada, tapi masih ada Alif. Anaknya membutuhkanya.

"Gusti Allah dan mbah akan selalu bersamamu, ndok." Bunga memang harus terus mengingat segala pesan neneknya dulu agar dia tak lagi merasa terpuruk.

Satu bulan lebih sudah Bunga kembali menata hidupnya sendiri. Dia semakin memperdalam ilmu agamanya. Bunga kini sangat menikmati perannya sebagai seorang ibu. Melihat pertumbuhan Alif membuatnya bisa lebih tegar.

"Assalamualaikum ...," suara berat membuatnya menoleh.

"Waalaikum salam." Balas Bunga dengan senyum lembut.

"Mau ke mana? Ayo abang anter." Tangan lelaki itu mencoba mengambil belanjaan Bunga.

Bunga menggeleng seraya menolak bantuan lelaki dihadapannya itu. Makasih, tapi Bunga bisa pergi sendiri. Tolaknya halus.

Tommy anak lurah di desa ini sudah lama mengincar Bunga. Namun sampai sekarang Bunga masih tak tertarik padanya.

"Kenapa kamu tak pernah menerima tawaranku?"

Bunga masih menunduk. "Kita bukan muhrim, nggak baik kalau ngobrol berdua seperti ini. Bunga permisi dulu. Assalamualaik-"

"Sok jual mahal. Kamu itu udah nggak perawan masih untung aku tertarik sama kamu." Ucapnya sombong.

Bunga menatapnya tak suka, dia ingin marah namun dia harus menahan diri. "Sekarang saya tahu kenapa saya nggak suka sama kamu." Ucapnya kesal lalu meninggalkan Tommy yang menatapnya marah.

"Kamu akan menyesal nggak nerima aku!" teriaknya yang tak dihiraukan oleh Bunga.

Dan sejak kejadian itu sebuah gosip tentangnya membuat harinya kembali tak tenang. Semua warga mengatakan kalau dirinya menggoda Tommy bahkan mengajaknya tidur bersama di rumahnya. Bunga tak habis pikir, Tommy dengan teganya memfitnahnya seperti itu. Hanya keluarga Ustadz Makmur yang tak termakan oleh fitnah murahan seperti itu.

"Bunga, kamu ke sini saja. Kerja bareng aku di kota, dari pada terus di desa lama-lama kamu bisa stres." Suara dari telepon itu terdengar begitu berapi-api.

"Tapi nanti siapa yang ngajarin anak - anak ngaji kak."

"Nggak usah dipikirkan entar biar ummi aja yang ngurus. Lagian Tommy nggak bakal bikin hidup kamu tenang di situ. Jauhi berurusan sama anak mama itu, warga desa pasti lebih percaya sama anak pak lurah itu dari pada kamu, kasihan anak kamu juga takutnya nanti akan mengganggu pertumbuhan mental Alif." Saran Zubaidah.

Bunga terliha berfikir seraya menatap Alif yang berada dalam gendongan Ummi Salamah.

"Aku juga sudah bilang ke ummi soal ini, dan abah sama ummi setuju kalau kamu ikut aku ke kota."

Mungkin hanya inilah satu-satunya caranya agar dia bisa menjauhi Tommy. Tidak ada gunanya dia terus melawan anak orang terpandang seperti dia, lebih baik dia mengalah.

"Seminggu lagi Bunga berangkat. Bunga harus siap-siap dulu."

"Nah gitu, yaudah salam buat ummi sama abah. Assalamualaikum."

Bunga tersenyum, "Waalakum salam." balasnya lalu menutup sambungan telepon mereka.

Bunga mengembalikan heandphone milik ummi lalu mengambil anaknya. Bunga tersenyum seraya mencium dua kelopak mata anaknya. Lalu menatap anaknya yang tertawa renyah.

"Ayo kita ke kota nak." Ucapnya bersemangat.

***

Abah dan ummi mengantar keberangkatan Bungan dan Alif sampai di depan stasiun kereta terdekat. Setelah berpamitan akhirnya Bunga menaiki kereta mereka. Di dalam kereta Alif terlihat sangat gembira, Bunga pun juga terlihat bahagia. Ini memang pengalaman pertama bagi keduanya. Lebih dari 5 jam mereka berada di dalam kereta. Alif sudah tertidur pulas setelah berlarian digerbong kereta. Banyak penumpang yang gemas melihat Alif. Sebenarnya Bunga juga sudah mengantuk namun dia takut salah turun stasiun jika tertidur, jadinya dia berusaha bangun.

Dan akhirnya setelah 6 jam, kereta yang mereka tumpangi telah sampai di stasiun tujuan mereka. Tepat saat kakinya turun dari salah satu gerbong kereta Bunga langsung menghirup udara kota.

"Hm... bau desa masih lebih baik dari bau di sini." ucapnya kepada Alif yang sudah terbangun.

Alif hanya tertawa dalam gendongannya. Lalu Bunga kembali melangkah keluar stasiun dia duduk dikursi di samping loket pembelian tiket. Zubaidah tadi mengirim sms menyuruh dirinya menunggu di tempat itu. Ummi memberikan heandphonenya kepada Bunga, katanya agar Bunga bisa menghubungi Zubaidah. Kebaikan keluarga mereka tak akan pernah dilupakannya.

"Bunga? Woaaa! beneran Bunga adik dan sahabatku yang manis!!" Teriaknya seraya akan memeluk Bunga.

Namun gerakannya terhenti saat melihat wajah lucu Alif menatapnya. "Woaa Alif! Ih kamu lucu bangettt!" Teriaknya makin histeris.

Tangannya langsung terbuka lebar untuk memeluk Bunga dan Alif. Namun tangis Alif pecah membuat Zubaidah menghentikan aksinya. Bunga langsung tertawa melihat sahabatnya yang masih tak berubah setelah sekian lama mereka tak berjumpa. Walaupun 6 bulan yang lalu mereka sempat bertemu dihari lebaran, sebentar karena Zu dan keluarganya harus pergi ke desa sebelah. Dan saat sudah kembali, Zu langsung kembali ke kota.

"Aduh! Alif jangan nangis dong ..., Bibi baik kok Lif ...," bujuknya namun Alif makin menangis kencang.

Beberapa orang yang lewat tertawa namun beberapa lagi malah menganggap Zubaidah gila.

"Kakak masih belum berubah yah." Ucap Bunga kagum.

Zubaidah mengepalkan tangannya lalu menepuk-nepuk dadanya. "Tentu saja, apapun yang terjadi Zu yang dulu dan sekarang nggak bakal pernah berubah!" ucapnya bangga.

Bunga terkekeh. Alif masih tertidur dalam pangkuannya. Kadang Alif terbangun saat mendengar tawa atau pun saat Zu bicara. Gadis itu memang selalu ekspresif dalam hal apapun. Walau dia menggunakan kerudung tapi jangan masukkan dirinya dalam daftar wanita kalem dan pemalu. Karena sebelum menggunakan hijab dia memang gadis tomboy.

Keberadaan Zubaidah di kota besar ini bukan karena kuliah, gadis itu memilih bekerja di kota besar tak lain hanya karena keinginnannya bisa merantau dan berjuang sendiri di sana. Kedua orang tuanya sudah melarangnya namun keinginan Zubaidah untuk berkelana sudah tak bisa dibendung lagi. Akhirnya kedua orang tuanya menyerah, umur 18 tahun Zubaidah dengan kenekatannya pergi merantau sendirian di kota besar yang kejam itu.

Kini mereka sedang duduk di sebuah warung bakso dekat stasiun. Keduanya sedang mengobrol banyak hal, sedikit bernostalgia dengan masa kecil dulu.

"Jadi si supri itu sekarang nikah sama gendut?"

Bunga mengangguk.

"Pasti tuh bocah tengik kena sumpah keramat dari gendut. Udah kubilang dari dulu jangan suka ngejek gendut entar malah demen. Nah sekarang kejadian beneran deh." Ucapnya seraya tertawa keras.

Bunga hanya ikut tertawa mengingat kenakalan salah satu teman meraka dulu di desa.

"Baksomu udah habiskan? ayo kita lanjut ke kontrakan kakak."

"Ayo, Bunga juga udah capek pengan tidur." Ucapnya.

Lalu saat keduanya melangkah ke arah parkiran motor Zu tiba-tiba berhenti. Dia seakan menyadari sesuatu.

"Bunga sekarang usiamu 14 tahun'kan?"

Bunga mengangguk.

Lalu Zu melangkah mensejajarkan tubuhnya dan tubuh Bunga. Telapak tangannya menyentuh kepala Bunga lalu perlahan mengarah menyentuh kepalanya sendiri. "Kamu setiap tahun bertambah tinggi berapa centi ?"

Bunga mengerutkan dahi lalu menaikkan bahu seraya menggeleng.

"Gk tau yah? Hm ..., aku udah 20 tahun tapi kok tinggi kita sama yah? Ya Allah kenapa engkau menakdirkan aku pendek!!" ucapnya tiba-tiba sedih.

Bunga kembali tertawa. "Hus! pamali loh kak kalau nggak bersyukur." ucap Bunga seraya terkekeh.

"Astagfirullah! ampun ya Allah!" ujarnya menyesal dan kembali sukses membuat Bunga tertawa lepas.

"Yeh! nih ibu-ibu bocah malah ngetawain aku. Ayoh berangkat." ucapnya seraya mengerucutkan bibirnya lucu.

Sesampainya di kontrakan Zu, Bunga langsung merebahkan tubuhnya dan Alif di kasur kapuk Zu. Sedangkan Zu mengambil kasur lipat yang baru dibelinya. Dan di bentangkan di samping Bunga.

"Bunga?"

"Hem?" jawab Bunga tetap dengan mata tertutup.

"Kamu nggak ada niat buat minta pertanggung jawaban pria bejat itu?"

Bunga membuka matanya lalu duduk dengan punggung yang menyentuh tembok. "Melihat Alif sehat itu lebih dari cukup bagiku kak. Aku udah nggak mau memperbesar masalah kak." ujarnya seraya membelai rambut Alif.

Zu ikut bangkit dari tidurnya dan menatap Bunga. Gadis yang selalu dianggapnya sebagai adik. "Tapi suatu saat Alif butuh identitas ayahnya. Walau dalam agama dia bukan ayahnya lagi tapi secara biologis lelaki bejat itu tetap ayahnya."

"Bunga tahu, tapi membayangkan bertemu dengannya saja udah bikin aku sesak nafas, apalagi bicara dan meminta hak Alif. Itu mustahil kak." ucapnya seraya menunduk.

"Kalau sampai kakak ketemu sama dia, kakak pastikan mukanya hancur karna bogemanku!" ucap Zu geram.

Bunga tersenyum. "Makasih kak." ucapnya.

"Sekarang tidurlah, kamu pasti capek."

Bunga mengangguk dan mulai merebahkan tubuhnya kembali seraya menatap jagoan kecilnya.

"Ibu sayang Alif." gumamnya lalu mengecup pipi anaknya yang terlelap.

***

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 6.1K 10
Kocok terus sampe muncrat!!..
518K 15.9K 52
Menjadi ayah diusia yang terbilang masih muda, attaya ghazali altezza yang kerap dipanggil attaya. Attaya menjadi ayah diusianya yang masih muda, ber...
SCH2 By xwayyyy

General Fiction

131K 18.2K 48
hanya fiksi! baca aja kalo mau
Balance Shee(i)t By Raa

General Fiction

66.1K 5.6K 43
Padahal kan ingin Mosha itu agar mereka dijauhkan bukan malah didekatkan. -·-·-· Mosha, mahasiswi jurusan akuntansi ingin kehidupan kuliahnya seperti...