Tukar Pacar

By tjitsar

221K 16.5K 1.1K

Sekalipun mereka sudah sahabatan sejak SMA, ide untuk tukar pacar tetaplah menjadi ide yang tidak bisa diteri... More

Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24

Part 13

6.4K 580 10
By tjitsar

Siang yang panas masih ditambah dengan suasana hiruk pikuk dalam sekretariat mahasiswa pecinta alam Universitas Mediatama. Mereka baru kembali dari kegiatan bulanan mereka. Ketua mereka, Adrian masih sibuk menginstruksikan pada anggotanya untuk mengecek perlengkapan yang mereka bawa sebelumnya dan yang ada sekarang, setelah mereka selesai kegiatan. Setelah semua anggota melaporkan semuanya lengkap, Adrian keluar. Tak lama setelah Adrian keluar, Aben melangkah masuk. Dia baru kembali dan mengurus surat ijin untuk kegiatan yang akan mereka selenggarakan seminggu lagi.

"Woi, Ben!" sapa teman-temannya yang baru selesai merapikan semua perlengkapan mereka ke dalam lemari. "Sayang banget kamu nggak ikut." tambahnya.

"Yeah, kalian pada nggak mau ngurusin ini. Maunya pada senang-senang!" kata Aben sambil duduk di kursi yang disusun melingkari meja besar di tengah ruangan. Sekretariat masih ramai.

"Si Voland jadian sama Maharani dipuncak!" lapor teman Aben yang lain.

Aben langsung melirik Voland yang duduk di ujung meja. Bocah itu mengangkat dua jarinya ke udara menyimbolkan 'V'

"Di puncak gunung? Ya iyalaaah," kata Aben.

"Kenapa emang?" tanya Willy yang duduk disamping Voland.

"Ya disitu kan pemandangannya bagus, sayang banget kalo nolak cowok disana. Rani juga mikir kali kalau mau nolak, kalo Voland lompat gimana?" kata Aben. Jay yang duduk di depannya mengeluarkan jempolnya untuk Aben. Beberapa orang disana ikut tertawa, termasuk Voland si subjek penderita!

"Nggak ada juga kali cewek yang nolak gue, kalo gue nembak di puncak gunung!" kata Aben. Dia membuka map yang dari tadi dianggurin dan mulai mengeceknya sekali lagi.

"Wah ni anak emang nggak bisa diajak kalem!" ujar Hasta. "Emang kamu pikir semua cewek di kampus ini mau sama kamu?" dia tertawa.

Aben mengangkat wajahnya "Ada yang nggak?" tanyanya. "Jangankan di puncak gunung, di depan kampus aja mereka nggak bakalan nolak kok!"

"Halah, sombong kamu! Buktiin! Kalau emang gitu, kenapa kamu nggak jadian sama Fera?"

"Iya, tuh cewek cuma kamu bawa-bawa aja. Itu buktinya kamu nggak PD bakal diterima Fera!"

"Aku nggak jadian sama Fera lantaran aku nggak suka sama dia!" Aben menutup mapnya. "Jadi, sekarang kalian mau apa?"

"Ayo kita taruhan!" kata Voland.

"Taruhan? Hari gini masih mau taruhan?" kata Uli yang dari tadi berdiri di belakang Jay. "C'mon guys, nggak keren banget!"

"Taruhan apa?" tantang Aben.

"Jadian sama anak kampus kita. Tapi, bukan Fera atau cewek-cewek yang sering kita lihat sama kamu." kata Voland.

"Kenapa jadi serius gini, sih?" tanya Jay. Dia memainkan gitarnya.

"Ah, kamu berisik amat, Jay!"

Aben menatap sekitar, ada dua belas orang teman-temannya yang tergabung dalam satu organisasi Mapala ini. Mereka tampak sangat antusias dengan taruhan ini.

"Trus, siapa?" tanyanya.

Voland dan yang lainnya tampak mikir serius. Siapa yang harus dijadikan umpan untuk Aben,

"Bentar!" kata Aben. Semua laki-laki disana menoleh. "Bukannya kita mesti sepakat dulu tentang prize dan punishmentnya?"

"Kamu serius, Ben? Ya ampun," kata Jay tak menyangka sahabatnya itu begitu tak mau kalah dan pantang sekali ditantang!

"Kalo kamu kalah, lari pake celana dalam doang di lapangan depan Fakultas kamu selama seminggu berturut-turut!" seru Wayan seketika.

"Gila kamu! Dia bisa ditangkap satpam tahu! Dikira orang gila masuk kampus!" ujar Uli.

Oke, hukuman yang nggak berprikemanusiaan dan melanggar norma susila itu seketika dimusnahkan. Padalah, itu bisa jadi tontonan yang lumayan mengasyikkan. Kapan lagi mempermalukan idola kampus ini!

"Kalo gitu nggak usah di kampus. Di GOR Merah Putih!"

Itu tempat olahraga yang paling ramai di waktu pagi dan sore bahkan hingga malam.

"SETUJU!" seru Voland paling kuat. Disambut dengan suara mayoritas seisi ruangan yang jadi saksi taruhan ini.

"Gimana, Ben?" tanya Voland lagi.

Aben tampak mikir. Cewek yang akan dijadikan target, bisa siapa saja! Bisa orang yang tak dikenalnya sama sekali. Bisa juga cewek yang abis putus cinta yang nggak mau lagi pacaran, atau cewek lesbi yang nggak mungkin nerima dia!! Maka, kemungkinan buat lari dengan celana dalam doang dan jadi konsumsi banyak mata lumayan besar! Dia bisa malu! Aben nelan ludah.

"Takut, kamu?"

"Udah udah, lupain ah. Ini kan cuma becandaan aja tadi!" kata Willy sambil menepuk bahu Voland.

"Oke!" kata Aben. "Kalau aku menang, apa kompensasinya?"

"Kamu bisa servis, modif dan apapun di bengkel aku." kata Darel. Anak dari pemilik bengkel dan showroom terkenal "Setahun, full service!" tambahnya.

Bola mata Aben membesar. Dia bahkan tak sadar mulutnya juga ikut-ikutan ternganga. Bukan hanya Aben sebenarnya, hampir semua orang tak percaya Darel akan ngasih hadiah cuma-cuma buat Aben, lantaran taruhan ini!

"Kamu nggak becanda, Rel?" tanya Hasta.

"Kalau dia berhasil, kan? Karena aku menanti-nantikan kamu lari pake daleman doang, Sayang!" godanya.

"Kamu nggak mesti nanya bos dulu gitu?" tanya Oscar.

"Oh, aku ingat! Aku baru lihat e-Bay. Gimana kalo stir, velg sama knalpot mobil?" tanyanya.

"e-Bay? Jadi mesti impor gitu?" kata Voland.

"Mungkin aku bisa cariin!" kata Darel lagi. "Kirim email ke aku, gimana?"

"Hah, kalian becanda! Nggak serius nih!" kata Aben mengingat harga tiga barang yang dimintanya itu lumayan mahal.

"Berapaan tuh?" tanyanya.

"Terakhir aku cek sekitar $4500!" ujar Aben santai. Taruhan ini tak akan berani sampai setinggi itu.

"GILA!!" seru Uli dan Yoga nyaris barengan.

"Kalo gitu kita tambah hukuman kalo kamu kalah!"

"Tuh kan, makin nggak penting! Udahlah!" kata Willy lagi.

"Kamu jadi tukang cuci mobil kita sebulan! Kamu yang nyuciin!"

"Beneran kalian mau ngasih yang aku minta?"

"Ben, pikir lagi deh! Serius ini?" kata Jay yang mulai merasa ini makin nggak masuk akal.

"Deal?" kata Voland

"DEAL!" seru Darel

Hanya tinggal Aben. Mereka butuh persetujuan dari Aben.

"DEAL!" kata Aben tegas.

Sesaat, ruangan itu senyap. Beberapa mata mengarah pada Aben, sebagian lagi pada Darel dan Voland. Willy yang duduk di bangkunya, menggeleng menatap Aben.

"Jadi siapa targetnya?" kata Aben kemudian.

Dia deg-degan sekarang. Karena semua cewek bisa saja dijadikan target dalam misi kali ini. Bagaimanapun, mayoritas tentu saja ingin membuat dia malu di depan umum. Disaat semua lagi mikir, berusaha ngingat siapa yang bisa dijadikan bahan taruhan, tiba-tiba Willy datang dengan satu nama.

"Anak Informasi, namanya Dyta!" ujarnya.

Aben dan Jay kontan menatapnya bersamaaan. Dyta itu teman mereka waktu di SMA. Kenapa pula sekarang jadi dia? Okelah, Aben tahu cewek itu suka padanya waktu SMA, tapi kenapa dia? Aben tak suka padanya! Tapi, apa mungkin Willy menolongnya agar dia tak kalah dalam taruhan ini? Mungkin saja. Mungkin dia akan malu kalau sahabatan sama orang yang lari keliling di GOR cuma dengan celana dalam! Aben bersorak dalam hati. Ini pasti hari keberuntungannya!

"Anak Kedokteran dong, Humairah!" kata Oscar.

Shit! Ujar Aben dalam hati. Kenapa mesti ada nama lain!

"Kurnia, anak Matematika!" kata Galang.

"Dina, anak Desain Grafis. Taekwondo sabuk hitam!" ujar Wayan.

"Ah, kalian semua ini gimana sih? Nggak bisa dong kayak gitu! Biar aku yang cari. Gini aja, kita bisa selidikin diam-diam tuh cewek-cewek! Siapa tahu ada yang mau ambil untung!" kata Voland.

"Call!" seru Darel.

"Terserah kalian! Kalau sudah ada, kasih tahu aku!" kata Aben sambil berdiri. "Udah? Karena aku mau ketemu Rektor III lagi!" katanya sambil meninggalkan ruangan.

*

Entah bagaimana ceritanya, usul William yang diterima semua orang setelah melakukan penyelidikan. Dyta Mirasya, Sistem Informasi semester tiga! Yang Aben dengar waktu itu, lantaran Dyta kelihatan yang paling tangguh diantara enam nama lain. Dia yang paling mandiri, kemana-mana selalu sendiri kayak nggak punya teman atau memang tak ada yang mau berteman dengannya. Gayanya biasa saja, walaupun sebenarnya dia cantik. Selain itu, dia juga kelihatan tak tertarik sama urusan selain dunia perkuliahannya, nggak kayak calon target lain!

Aben tertawa dalam hati saat Voland memberi tahu siapa yang harus dijadikan pacar oleh Aben. Persyaratannya, Aben harus nembak di depan mereka semua, dan harus langsung diterima tanpa mikir sehari dua hari. Terserah Aben mau PDKT kayak apa, yang jelas sepuluh hari lagi mereka harus jadian! Mereka harus tetap berpacaran setidaknya selama empat bulan dan tak ada yang boleh memberi tahu kalau tuh cewek cuma bahan taruhan doang. Soalnya, mereka takut nanti si cewek akan berakhir dengan bunuh diri!

Gayung bersambut. Semua persyaratan disetujui Aben. Yang mereka tak tahu adalah, Aben dan Dyta dari satu almamater. Dan rahasia ini yang harus dijaga Aben beserta dua sahabatnya, William dan Jay.

Hari-hari PDKT dimulai. Dua belas orang saksi permainan Aben tak tahu apa-apa lantaran Aben melancarkan semua jurusnya saat perkuliahan telah usai dan dia sudah berpisah dari Willy dan Jay. Biar mereka tak curiga. Karena Aben pernah nggak sengaja ngeliat Uli ngawasin dia dan Dyta waktu pergi ke mall nemenin Dyta beli buku. Untung saja, saat itu Willy dan Jay yang kebetulan juga ikut, sedang ngantri pesanan mereka untuk makan siang. Maka, Aben merubah rencana awalnya. Karena rencana awalnya mengajak Willy dan Jay supaya Dyta tak kaget lantaran tiba-tiba diajak jalan sama Aben! Tapi, kini harus jadi seperti itu. Tak akan ada lagi Willy atau Jay.

Sekarang, mau tak mau dia harus membuat Dyta nyaman saat mereka hanya pergi berdua. Walau awalnya Aben males juga lantaran dia nggak begitu akrab sama cewek ini. Tapi, demi tiga hal yang akan meningkatkan penampilan mobil kesayangannya, apapun itu! Nembak senior pun sebenarnya bukan masalah!

"Aneh banget kalau kita cuma berdua gini." kata Dyta siang itu. Ini sudah H-2 dia harus nembak Dyta.

Aben merasa dia belum membuat perkembangan signifikan dengan Dyta. Empat hari pertama dia jalan, masih sama Jay dan Willy dan dia tak banyak bicara. Dia hanya menunjukkan dia berusaha mendekati Dyta dengan sikapnya. Saat kemudian hanya ada dia dan Dyta, dia makin tak jelas mau ngapain. Akhirnya mereka pergi nonton film berdua. Setelah itu, pulang tanpa kesan mendalam. Aben juga mulai tak yakin akan diterima Dyta. Sudah setahun soalnya mereka nggak berhubungan lagi. Apakah perasaan Dyta padanya masih ada? Masih seperti dulu?

"Kamu masih ngerasa ini aneh?" kata Aben.

"Iyalah!" kata Dyta. "Oh ya aku sudah bilang ada temanku yang naksir kamu! Ada dua orang!" Dyta memotong blueberry cheesenya menjadi beberapa bagian kecil.

"Gitu?" Aben mulai merasa tak aman. "Mereka tahu aku darimana?"

"Kamu terkenal di fakultas aku. Mungkin lantaran kamu pernah jadian sama anak SI dulu."

"Poppy?"

"Namanya Poppy? Mungkin, soalnya itu yang aku dengar!" satu potong kue masuk ke mulut Dyta.

"Mereka bilang sama kamu gitu? Sampe kamu tahu?"

"Iya! Mereka pernah ngeliat kamu nemuin aku!" jawa Dyta sekenanya. Soalnya Dyta lagi in state of ecstasy, dessertnya enak banget. Dyta bahkan tak sadar sedari tadi Aben memperhatikannya.

"Kenapa?" tanyanya. "Kamu mau aku sampein salam sama mereka. Cantik-cantik loh!"

Lalu, tangan Aben terulur ke bibir Dyta untuk mengelap sedikit krim yang menempel di bibir bagian atasnya. Dyta tak bergeming, hanya memperhatikan Aben yang tiba-tiba tersenyum super manis.

"Kamu kayak anak kecil!" katanya sambil mengelap jarinya dengan serbet.

"Oo..." Dyta mengelap bibirnya dengan serbetnya. "Maaf," katanya canggung.

Aben tersenyum lagi "Kenapa mesti ngelirik yang lain kalau yang aku mau ada disini,"

Aben benar-benar merasa dia sedang dikelilingi dewi fortuna. Krim itu benar-benar merubah suasana, membuat Aban sendiri terhanyut dalam keromantisan yang secara sadar dikendalikannya. Ini momen yang pas untuk meninggalkan sebuah kesan 'Aku mau Kamu' pada Dyta!

Dyta menggaruk dahinya sebentar, dia tak salah dengar kan? Apa maksud Aben barusan tadi dia mau Dyta? Dyta meneguk air putihnya yang tinggal sedikit sampai habis. Tapi, pandangan Aben yang masih mengurungnya itu membuat Dyta gugup hingga kini ia tersedak air yang diminumnya. Dia terbatuk-batuk.

"Kenapa?" tanya Aben cemas.

Cepat diulurkan gelas miliknya pada Dyta, menyuruh cewek itu meneguknya. Aben bangkit dari kursinya dan mendekati Dyta. Namun, Dyta menolak Aben untuk mendekat. Aben tak peduli. Wajah Dyta sudah sangat merah sekarang. Ditepuknya punggung Dyta perlahan dan sekali lagi mengangsurkan air padanya. Dyta meneguknya dan mencoba bernafas dengan baik.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Aben saat Dyta sudah normal.

Dyta meminta Aben untuk kembali ke kursinya "Maaf ya,Ben. Aku bikin kamu malu." kata Dyta sambil melihat sekeliling. Beberapa orang memang tengah memusatkan perhatian pada mereka.

Aben tertawa kecil "Malu gimana? Kamu nggak papa?"

"Iya, makasih ya!" Dyta nunduk. Malu berat!

Gimana bisa dia bisa begitu cerobohnya? Apa ini akumulasi dari jantungnya yang bekerja terlalu keras, lantaran begitu banyak darah yang harus dipompa? Detaknya luar biasa kencang dari tadi. Dia deg-degan tanpa henti sejak mereka masuk ke kafe ini.

"Ehm, Ben maaf, tapi bisa kita pulang aja sekarang?"

"Kenapa? Kamu ngerasa ada yang sakit?"

Bagus, Ben. Berusahalah, Nak. Buat Dyta tahu kalau kamu juga suka sama dia. Bisik Aben dalam hatinya.

"Eh, enggak kok. Tapi, kalo kamu masih mau disini, nggak papa. Aku bisa pulang sendiri!"

Aben mencibir "Masa aku biarin kamu pulang sendiri," ujar Aben. "Ya udah, ayo pulang." katanya.

"Maaf ya," kata Dyta saat mereka sudah masuk ke mobil.

"Ya ampun Dyta udahla, kenapa kamu minta maaf terus," Aben menyalakan mesin mobilnya.

"Aku udah bikin kamu malu tadi di dalam."

"Dyta," Aben batal menjalankan mobilnya. Dipegangnya tangan Dyta cepat dan ditahannya saat gadis itu ingin melepasnya.

"It's okay! Jangan dibahas lagi. Aku justru yang khawatir kamu kenapa-napa!"

Dyta menelan ludahnya, ini bukan mimpi. Kalau mimpi nggak mungkin mukanya terasa sepanas ini padahal pendingin udara dalam mobil Aben sukses membuat betisnya kedinginan.

"Oke? Biasa aja."

"Ben, kenapa kamu kayak gini ke aku?" tanya Dyta memberanikan diri.

Dulu, saat berpapasan muka Aben tak pernah menyapanya. Apa Aben bahkan tahu mereka dulu satu sekolahan, kalau dia tak dekat sama Willy atau Jay?

"Kenapa?" tanya Aben sambil melepaskan tangan Dyta. Dia menjalankan mobil keluar dari parkiran kafe.

"Kamu nggak lagi main-main, kan?"

"Huh?" Aben hampir ngerem mendadak kalau saja dia tak bisa mengendalikan rasa kagetnya. "Main-main gimana maksud kamu?"

Dyta membuang pandangannya keluar jendela "Ah, enggak!" katanya. "Lupain aja!"

Aben melirik Dyta sebentar. Apa dia ngerasa ada yang aneh? Apa Aben membuat sebuah kesalahan fatal yang dia sendiri bahkan tak sadar? Pasti ada sesuatu hingga Dyta bertanya apa yang sebenarnya terjadi padanya!

*

Inilah hari yang ditunggu para saksi dan Aben sendiri. Hari dimana dia harus menyatakan cintanya pada Dyta. Dia benar-benar sudah siap jika harus jadi orang gila di GOR Merah Putih dan jadi pembantu yang nyuciin mobil beberapa temannya itu. Dia hanya diberi waktu PDKT sepuluh hari. Walaupun dia sudah kenal Dyta sebelumnya, tetap saja perasaan orang bisa berubah.

Buktinya, Dyta sadar ada yang tak beres saat tiba-tiba Aben bersikap berbeda dengan dirinya dari setahun lalu. Kemaren juga, dia tak sengaja melihat Dyta bersama seorang laki-laki sedang bersenda gurau di taman fakultas mereka. Bodohnya dia tak pernah bertanya Dyta sudah punya pacar atau belum!

Aben sengaja memilih jam dimana dua sahabat dekatnya tak akan bisa hadir saat dia nembak Dyta. Karena ditakutkan Dytalah yang akan membongkar semuanya! Untunglah, Jay beda fakultas dengan dia. Sedang dia dan Willy yang sefakultas namun berbeda jurusan, juga sedang ada jam perkuliahan. Hanya dua orang itu saja yang dipastikan akan absen siang ini.

Aben membawa Dyta ke sekretariat Guruga untuk menjalankan misinya. Untuk membuat ini sedikit berbau kejutan romantis yang disukai para cewek, dia telah menyuruh Hasta untuk memainkan gitar saat dia nembak nanti. Karena dia nggak mungkin mau main gitar dengan sebuket mawar merah di tangannya. Dyta yang awalnya menolak untuk ikut, mau tak mau ikut juga lantaran Aben bilang ada yang penting.

Dia melongo saat melihat sekretariat paling besar ini begitu gelap di siang bolong. Saat dia dibawa Aben masuk, saat itu pula dentingan gitar terdengar. Dyta tercengang melihat seseorang memainkan gitar di pojok ruangan dan melantunkan lagu You're Beautiful. Dyta tak bisa lagi menyembunyikan kekagetannya saat Aben mengambil sebuket mawar merah yang terbungkus plastik putih besar dari seorang di belakangnya. Dyta menelan ludah saat dia berpikir inilah yang sering dilihatnya di TV. Apa Aben sedang nembak dia? Serius??

Perlahan, semua lampu dihidupkan dan Dyta bisa melihat siapa saja yang ada dalam ruangan ini. Mereka semua berdiri di belakang Aben, dengan baju kemeja berwarna putih kompak. Ruangan itu juga ternyaa sudah didekorasi dengan balon putih yang jumlahnya lumayan banyak. Dyta menutup mulutnya tak percaya. Dentingan gitar disertai alunan lagu masih terdengar.

"Dyta, aku Aben. Mau nggak kamu jadi pacar aku?" tanyanya.

"Ben..?"

Oke, Dyta kehilangan semua kosa kata yang dimilikinya. Hingga hanya satu suku kata saja yang bisa terucap. Matanya berkaca-kaca antara percaya dan tidak.

"Aku ulang deh, kamu mau nggak jadi pacar aku, Dyta?" ulangnya.

"Ben," Dyta menarik nafas."Apa ini nggak terlalu..."

Aben menggeleng lalu menyerahkan mawar di tangannya pada Dyta. Dyta tak mungkin menolak. Diterimanya mawar dari Aben, dan pandangannya tak lepas dari laki-laki yang juga mengenakan kemeja putih dan jeans berwarna abu-abu pucat itu. Wajahnya begitu tampan seperti kata orang-orang. Benarkan ini Aben yang dia taksir selama lima tahun?

"Dyta..." Aben memegang tangannya.

Dia sebenarnya panik setengah mati lantaran reaksi Dyta tak seperti dugaannya. Dia bahkan bisa mendengar suara tawa pelan dari belakangnya. Makanya dia perlu, sangat perlu meyakinkan Dyta agar menerimanya. Dyta memandang berkeliling mencoba mencari tahu kalau semuanya baik-baik saja.

"Aku nggak lagi dikerjain, kan?" tanyanya pada Aben.

"Aku, kamu mau nggak jadi pacar aku? Ini pernyataan aku yang ketiga, dan yang terakhir!" tersirat sebuah perintah dari kalimat Aben barusan.

Dyta menggigit bibir bawahnya dan mengangguk pelan. Aben tersenyum tipis. Digenggamnya tangan Dyta makin erat "Dyta..?"

"Iya!" kata Dyta

Seketika itu pula Aben menarik tangannya dari tangan Dyta. Suara ledakan kecil diikuti konfeti warna-warni bertebaran di udara. Orang-orang di belakang Aben berebut memeluknya dan memberi selamat.

"Selamat, kamu menang!" teriak mereka histeris.

Dyta yang saat itu tak tahu maksud perkataan teman-teman Aben, hanya tersenyum bahagia. Dia melirik ke arah pemain gitar yang masih duduk di pojok ruangan sendiri. Dyta mengacungkan jempolnya pada Hasta. Hasta mengangguk tak enak. Dyta masih memperhatikan Aben yang dikerubungi temannya itu yang kini malah memukulinya.

"Hei, udah-udah!" kata Voland. "Kita jadi nyuekin ceweknya Aben nih,"

Aben seketika terbebas dari serangan teman-temannya "Udah lihat, kan?" kata Aben. "Kita jadian! JADIAN!" ulangnya tegas.

Cepat, ditariknya Dyta untuk keluar dari ruangan itu. Sebelum cewek itu mendengar lebih banyak, melihat lebih jelas dan tahu lebih dari yang harusnya dia tahu. Karena insting Dyta benar-benar bukan main!

"Ah, sial si Aben. Padahal aku udah nyangka tuh cewek bakal nolak dia!" ujar Voland.

"Sama. Kayaknya dia ngerasa sesuatu yang aneh aja, kan?"

"Mungkin lantaran Aben nembak dia terlalu cepat!"

"Yeah, tetap aja kita mesti beli tuh alat!" kata Darel.

"Sumpah! Aku ngira dia bakal ditolak!"

"Udahlah! Kita juga udah mutusin mau bantu dia!"

"Pasti tuh cewek suka banget sama Aben sampe-sampe percaya sama dia. Sepuluh hari gitu langsung terima aja! Waah..." ujar Oscar.

"Dia lagi beruntung aja! Tenang aja, sebaik apapun bangkai disimpan, baunya akan tetap kemana-mana!" kata Galang.

"Hm, itu maksudnya apa ya?"tanya Uli.

"Astagaaa!" Uli segera ditimpuk Oscar. "Maksud si Galang itu, taruhan ini bakalan katahuan bagaimanapun juga! Bukan begitu, Lang?"

"Benar sekali Tuan Oscar!"

"Berarti, itu salah satu dari kita yang bocorin!" kata Voland. "Jadi please be a gentleman yang nggak ngelanggar janji!" katanya.

"Nggak harus jadi gentleman juga kali buat nepatin janji" kata Uli lagi.

"Nih anak!" sekali lagi Oscar menimpuknya. Kali ini, bahkan Voland menyentil keningnya lumayan keras sambil geleng-geleng kepala.

"Padalah aku sudah mau ngumpulin massa buat ke Merah Putih!"

"Akuilah, kita kalah." kata Jay yang sedari tadi berdiri di depan pintu, namun hanya memperhatikan saja tingkah teman-temannya ini. "Kemana pasangan baru kita?"

***

Continue Reading

You'll Also Like

20K 753 46
sendu menjiwa, luka ternganga, hati terbaca
1.4K 481 39
Teman-teman sekelasnya mengharapkan senior year SMA mereka begitu meriah, penuh kejutan, kesenangan, dan tentu saja romansa. Lain halnya dengan Xaqi...
33.2K 2.8K 17
Sejak usia 14 tahun, Ranti selalu merasa bahwa dirinya mendapat kutukan perihal percintaan. "Crushing Curse", begitu Ranti menamakan kutukan itu. Ran...
1.9K 348 35
Completed. Siapa kira kalau cowok yang menjadi tetangga barunya di sebelah rumah ternyata si Dewa Tawuran yang ditakuti satu sekolah? Nasib Sung Yi...