Simplicity of Love

بواسطة beebaebees

13.9K 873 87

Almyra Syavana Alcatara pikir seorang Ares Efraim adalah orang yang mudah berbaur seperti teman-teman masa ke... المزيد

1. Double A
2. Sekretaris Baru Untuk Ares
3. Ciuman Termanis
4. Locked Away
6. Go Wake Up, Almyra
7. Good Bye, Ares
8. Opened
9. Ares-Almyra Zone
10. What the Hell?
11. Ares-Almyra Zone, Again?
12. And She Said: Yes
13. Problem Pre-Wedding
14. The Wedding

5. Teka-Teki Ares

818 63 5
بواسطة beebaebees

Tepukan tangan yang meriah serta sorak gembira dari para tamu yang datang mengiringi kelima laki-laki itu menuruni panggung.

Aku menghela nafas gusar ketika Ares berjalan ke arahku dengan kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya dan tatapannya masih sama, menatapku tajam sampai aku berusaha mati-matian menahan jantungku yang meloncat-loncat ingin keluar.

Nafasku semakin tercekat ketika laki-laki itu memilih duduk di sampingku, tangannya terulur merangkul pinggangku. Tubuhku membeku, aku tidak tahu apa yang terjadi padanya, setidaknya aku berusaha agar tidak terlarut pada kelakuan jahil yang dilakukannya.

"Almyra." Seseorang memekik ke arahku, astaga itu Ayah dan Bunda. Aku menoleh ke arah mereka, sialnya Ares tidak bergeming sama sekali.

"Aku pikir Ayah dan Bunda tidak di undang Mas Nio." Aku bersuara, meredakan perasaan aneh yang menjalar di seluruh tubuhku.

"Tentu kami di undang. Hai, Ares, rupanya kamu di sini juga."

Ares berdeham. "Ya, Bun, Nio mengundangku juga."

"Tanganmu.." Aku berbisik di telinga Ares. Dia terlihat tenang dan tidak menghiraukan ucapanku, Ares malah semakin mengeratkan rangkulannya di pinggangku. Damn!

Aku menghela nafas kasar, menyandarkan tubuh ke punggung sofa kemudian menekan tangan besarnya. Berharap dia kesakitan dan langsung melepaskan tangannya, tetapi nihil, dia malah menikmatinya dan asyik berbincang dengan Alfa.

"Ares.. Ta-ngan-mu.." Aku berbisik sekali lagi dengan mengeja apa yang membuatku risih diperlakukan seperti ini.

"Aku tahu kamu menyukainya." Akhirnya dia mulai bicara meski pandangannya diedarkan ke segala arah demi menghindar dari tatapan tajamku.

"Lepas." Aku memekik pelan, jika mereka semua tahu aku dan Ares melakukan hal ini sudah pasti menjadi sebuah pertanyaan besar.

"Diam saja." Dia memerintahku, terlalu bossy sekali sifatnya. Oh, baiklah, aku menyerah. Tidak ingin membuat keributan sama sekali, aku malas jika harus mendapat introgasi dari mereka semua.

"Sepertinya Putra bungsuku benar-benar serius pada Putrimu, Mal." Om Rendy bersuara, membuat kami semua menoleh ke arahnya.

Gelak tawa Om Maliq terdengar dan samar-samar ku lihat Renata tersipu malu.

"Dia masih 20 tahun. Rai, aku ingin selesaikan dulu kuliahmu baru datang menemuiku setelahnya." Orang yang di maksud tersenyum malu-malu.

"Aku tidak ingin di langkahi, Papa." Ares menyela, membuatku mendelik sebal ke arahnya. Aku benci pada saat seperti ini kenapa dia malah membahas rencana pernikahannya dengan si wanita berambut pirang itu.

"Oh, aku sampai lupa, jagoanku yang satu itu pencemburu." Tante Sania mengulum senyum, aura kebahagiaan terpancar di wajahnya. Jelas saja, siapa yang tidak bahagia memiliki Suami sehebat Om Rendy dan dua Putra yang tampan-tampan.

"Lagipula jangan lupakan Fania, dia yang harus segera menikah. Nah Calvin, aku tunggu orang tuamu untuk datang melamar kalau kamu serius pada Putriku."

"Ayah, jangan bicara begitu. Aku malu." Semburat merah menyerang kedua pipi Kak Fania. Om Mario tampaknya sudah tidak sabar ingin segera mengantarkan Putrinya ke jenjang pernikahan.

"Secepat mungkin, Om. Aku sudah janji akan menikahi Fania, karna aku mencintainya." Tatapan cinta terpampang jelas ketika Calvin menatap kedua mata Kak Fania yang tengah berbinar-binar.

"Benarkah? Kamu mencintai Putriku yang manja ini?" Suara Tante Venna membuat kami tergelak.

"Bunda, sekali saja tidak membuatku malu." Pinta Kak Fania memelas, aku rasa dia lelah dijadikan bahan olok-olok kami semua.

"Apapun sifatnya, Tante. Aku tetap mencintainya." Calvin meraih jemari tangan Kak Fania kemudian di kecupnya lembut. Blush! Kenapa aku yang jadi tersipu. Hmm..

"Ya Tuhan, sudah cukup, ini seperti mengulang kisah kita beberapa tahun lalu saja." Om Stevent mulai bicara, aku tersenyum saat pria humoris itu mengambil alih obrolan.

"Stev, mereka masih muda, biarkan saja." Tante Annisa memperingati.

"Maaf, Daddy ku mungkin sudah merasa dirinya terlalu tua jadi berbicara seperti itu." Aku tertawa, berani sekali Alfa meledek Daddynya.

"Daddy akan tarik lambhorginimu kembali." Kami semua terbahak, ancaman Om Stevent membuat wajah Alfa cemas bukan main. Aku tahu bahwa Alfa sangat mengidamkan mobil itu.

"Oh, jangan. Baiklah, aku mengakui bahwa Daddy adalah orang tertampan dan termuda di seluruh dunia. Maka dari itu, aku sangat menyayangimu." Oh, mereka so sweet.

"Keputusan tidak bisa di ganggu gugat." Sekali lagi kami terbahak. Lihatlah betapa lucunya Alfa ketika sedang merajuk pada Ayahnya. Dari sudut mataku, aku melihat Ares tertawa. Jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya, tawanya menggetarkan perasaanku.

"Apa aku telat?" Kami semua menghentikan tawa dan langsung menatap ke asal suara berat itu. Kakek Alexis Johansson, Oh betapa rindunya aku pada beliau.

"Tentu tidak, mari bergabung." Bunda membawa Kakek untuk duduk menempati sofa di sebelah Ayah sebelum Ares menarik lengan kokohnya dari pinggangku dan segera berdiri.

"Aku harus pulang." Suaranya terdengar dingin. Ares bahkan berani menatap Om Rendy yang sedang menatapnya tajam dengan tatapan menantang.

"Kenapa terburu-buru, Ares? Ayo beri salam pada Kakek." Itu suara Ayahku.

Aku melihat Ares menyunggingkan senyuman sinisnya, rahangnya bahkan mengeras. Bisa ku artikan saat ini dia sedang menahan emosi.

"Aku tidak sudi memberikan rasa hormatku pada laki-laki tua yang memiliki anak sebejat itu."

Satu buah tamparan keras melayang di pipi kiri Ares. Aku melihat siapa pelakunya, itu Om Rendy. Suasana berubah tegang, kami semua berdiri meninggalkan sofa empuk yang sudah sejak tadi di duduki. Om Rendy dan Ares saling memberikan tatapan tajam dengan jarak berdiri yang berhadapan.

Ku lihat Ares mengusap darah yang keluar dari sudut bibirnya menggunakan jempol tangannya dengan kasar, itu pasti sangat sakit.

"Aku tidak pernah mengajarkanmu berbicara kasar pada orang tua." Suara Om Rendy meninggi, samar terdengar seperti bentakan. Sebetulnya aku tidak tahu apa yang terjadi, kenapa Ares dan Om Rendy mendadak bertengkar ketika Kakek datang.

"Cukup! Jangan menghakimi Anakku begitu." Aku menggigit bibir ketakutan, suara Bunda juga meninggi kala membela Ares.

"Kita bisa bicarakan ini secara kekeluargaan. Ares, Ayah juga tidak pernah mengajarkanmu seperti tidak memiliki sopan santun begitu." Ayah menasihati Ares dengan lembut namun Ares tetap tidak mau mendengar. Dia benar-benar marah, aku bahkan takut hanya untuk sekedar melihat.

"Persetan. Bicara saja pada wanita yang telah melahirkanku di surga sana." Langkahnya kemudian menjauh, Ares pergi meninggalkan keramaian cafe.

"Aku segera kembali." Ku beranikan diri mengeluarkan suara kemudian berlari kecil menyusul Ares, meninggalkan kekacauan yang di perbuatnya. Segala pemikiran berkecamuk dalam kepalaku, yang pasti aku tidak ingin emosi membawa Ares pada jurang kecelakaan.

Laki-laki itu memasuki mobil sport merahnya. Dengan sigap, ku buka pintu mobil di samping kemudi dan segera mendaratkan bokongku di jok depan setelahnya memasang safe belt.

"Turun!" Ares membentak, aku terlonjak kaget menerima perlakuannya.

"Tidak mau." Kekeuhku berharap dia mengerti.

"Oke, aku akan membawamu ke neraka bersamaku." Suaranya begitu mengerikan. Ares segera menginjak pedal gasnya, membawa mobil sportnya menembus keramaian Ibu kota dengan kecepatan di atas rata-rata.

"Pelankan mobilnya." Aku menjerit, memegangi safe belt dengan kuat.

Ares semakin gila dengan menambah kecepatan mobilnya, bahkan ban mobilnya terdengar berdencit di belakang. Dia benar-benar seperti orang kerasukan sekarang. Memaksa mobilnya menyalip bermacam kendaraan yang menghadang di depan.

"What the hell? Ares awas!" Teriakku membuat Ares membanting setir ke pinggir jalan dan hampir saja menabrak trotoar jika dia tidak cepat menginjak rem.

Aku mengatur nafas yang tersenggal-senggal. Adrenalinku berpacu begitu cepat sampai membuat tubuhku berkeringat. Ku lihat Ares tertunduk di balik setir kemudinya, bahunya bergerak naik turun. Apa dia menangis?

Aku mengurungkan niat ketika ingin menyentuh punggungnya, dia mendongakkan kepalanya dan menatapku tajam. Kedua matanya memerah, Oh Ares benar-benar menangis.

"Turun!" Lagi-lagi dia membentak. Aku melihat ke sekeliling dimana mobilnya terhenti. Tempat pemakaman umum?

"Apa kamu gila?" Aku berteriak, takut tentu saja mengingat ini hampir pukul 9 p.m.

Ares mengusap wajahnya kasar, dia membuka pintu mobilnya sendiri kemudian turun meninggalkanku sendirian. Aku bergidik takut ketika Ares dengan santainya memasuki tempat pemakaman umum di samping mobil. Apa aku harus mengikutinya? Oh baiklah. Aku harus jadi pemberani, Bunda selalu mengatakannya.

Suasana sepi nan gelap yang hanya di terangi beberapa lampu jalan bersinar neon ini membantuku menemukan Ares. Laki-laki itu terlihat kusut, dia berlutut di samping sebuah pusara dengan kepala tertunduk. Aku segera menghampirinya, berdiri di belakang punggung lebarnya tanpa berniat ingin mengganggu. Ku tatap pusara yang masih terawat rapi di hadapanku, batu marmer licin itu mengukir sebuah nama wanita cantik, Acha Alexandra. Siapa dia untuk Ares?

"Aku tidak tahu kenapa orang-orang bejat itu kini datang menemuiku, Ma." Ma? Mama?

"Aku tahu, mereka telah menyakiti Mama dan sampai membuat Mama tertimbun di dalam sini. Maafkan aku." Sayup-sayup aku mendengar laki-laki itu terisak, dia mencengkram kuat-kuat rumput di atas pusara seorang wanita yang di panggilnya Mama sampai rumput itu tertarik dari akarnya dengan kasar.

"Aku benci kenapa Mama meninggalkan aku sendirian di dunia ini, kenapa aku tidak Mama bawa saja? Kenapa?" Ares mengeram, curahan hatinya begitu memilukan sampai tidak sadar membuatku berhasil meloloskan sebutir air mata.

"Mama, ayo jawab pertanyaanku. Kenapa diam saja?" Aku menangis dalam diamku, apa dia gila berbicara dengan orang yang sudah tidak bernyawa?

"Nak." Kami menoleh ke arah suara di depan pusara. Ares berdiri dari posisi berlututnya. Aku tidak mengenali siapa lelaki paruh baya di hadapan kami, tetapi begitu melihatnya tiba-tiba saja tubuh Ares menegang dan kedua tangannya terkepal kuat.

Laki-laki paruh baya itu tersenyum lembut ke arah Ares, tatapan matanya menyiratkan kerinduan yang begitu besar. Aku semakin tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, mengapa begitu banyak kebohongan yang mereka tutup rapat-rapat dariku.

"Jangan pernah menginjakkan kakimu di tempat Mamaku." Ares berteriak. Aku berjengit kaget ketika tiba-tiba saja Ares menarik kerah kemeja yang dikenakan pria paruh baya itu untuk menjauh dari barisan pusara.

Ku tatap pusara di hadapanku dengan sendu sebelum akhirnya menyusul Ares yang membawa pergi laki-laki misterius itu.

"Apa aku boleh menghajarmu, Huh?" Ares mengeram, membuatku segera menghampiri. Laki-laki misterius itu menundukkan kepalanya, seperti memohon belas kasih.

"Ayo jawab!" Ares berteriak setengah membentak tepat di depan wajah orang yang sudah tidak memiliki daya apa-apa lagi itu.

"Ares cukup!" Aku menarik tubuhnya menjauh, emosi telah membutakan mata hatinya.

"Kamu boleh melakukan apapun padaku, apa saja agar membuatmu lega. Lakukanlah."

Satu pukulan mentah melayang meninju perut laki-laki misterius di hadapan kami. Oh, Ares benar-benar serius.

"Lakukan, Nak." Aku menutup mulutku tak percaya, Ares terus menghajarnya. Wajah laki-laki misterius itu mulai banyak terdapat luka memar, tubuhnya meluruh ke tanah. Aku segera menghadang tepat ketika Ares ingin kembali melayangkan pukulannya.

"Cukup!" Bentakku membuatnya terkejut.

"Minggir!" Dia tak mau kalah, malah balik membentak.

"Aku tidak mau kamu masuk penjara." Aku menangis, memegang rahangnya yang masih mengeras.

"Ares, dia lemah. Bayangkan jika kejadian ini di alami oleh Papamu dan juga Ayahku, apa kamu tega?" Sambungku yang berhasil membuatnya menurunkan tangan. Dia mengerjapkan matanya, aku masih melihat betapa sedihnya sorot mata yang ia miliki.

"Kau selamat pria brengsek, aku tunggu keberanianmu lain waktu." Setelah mengucapkan kata itu dia pergi, meninggalkan aku dan pria misterius di belakangku yang masih terkulai lemah di tanah. Aku membantunya untuk bangun, tubuh ringkihnya terlihat begitu menyedihkan.

"Sudah. Tidak apa, lebih baik kamu mengejarnya." Lelaki paruh baya nan misterius itu menolak ketika aku menawarkan mengantarkannya pulang. Dia terbatuk, suara batuknya begitu menyedihkan, berhasil membuat hatiku tersayat.

"Apa kau yakin akan baik-baik saja?" Kepalanya menggangguk, memberikan senyum dengan banyaknya luka memar di wajah.

"Dia membutuhkan teman. Aku pantas mendapatkannya. Sampai jumpa lagi." Dan perlahan tubuhnya menjauh, berjalan terseok-seok udara malam yang dingin ini. Aku menghela nafas sesak, siapa Ares sebenarnya?

***

Aku mengetuk pintu rumah Om Rendy dan Tante Sania dengan ragu. 15 menit menunggu, seseorang membukakannya. Itu Rai, rupanya dia sudah pulang.

"Apa Ares ada di dalam?" Tanyaku hati-hati, wajah Rai terlihat penuh luka lebam.

"Laki-laki pengecut itu ada di dalam, mau menemuinya?" Pintu di buka oleh Rai lebih lebar, bermaksud mengizinkanku masuk.

"Ya.. Apa kalian baik-baik saja?" Rai tersenyum miring.

"Tentu, sesudah aku menghajarnya."

"Apa kalian bertengkar?"

"Tidak perlu khawatir, kami memang selalu seperti ini jika sifat pengecutnya muncul." Rai tersenyum, dia sepertinya tahu bahwa aku sedang ketakutan.

"Apa Tante Sania dan Om Rendy ada disini?"

"Tidak, mereka belum pulang. Papa mana mau melihat wajahnya jika sedang marah besar."

"Oke." Tanpa bertanya lagi aku segera masuk, Rai mengantarku menuju kamar Ares. Tepat di depan pintu kamarnya, Rai meninggalkanku. Aku terdiam sesaat, bermain pada pikiran jernihku. Haruskah aku masuk?

"Ares." Setelah mengumpulkan keberanian lebih banyak, aku mendatangi kamarnya. Laki-laki berambut hitam tebal itu terduduk di pinggiran ranjang. Astaga, dia tengah bertelanjang dada dengan kepala tertunduk.

Aku menghampirinya setelah ku sapa berkali-kali dia sama sekali tidak menyahut.

"Hei, Ares." Aku berlutut di hadapannya, dari sini aku dapat melihat wajahnya yang sama banyak luka lebamnya seperti wajah Rai.

Dia melamun, tatapan matanya kosong. Pemandangan ini begitu menyakitiku. Kemana Ares yang memiliki berbagai macam pesona itu? Kemana suara dinginnya? Kemana tatapan tajamnya?

"Ares." Ku guncang tubuhnya pelan, Ares tersentak, dia kembali ke alam bawah sadarnya.

"Mama." Kata itu meluncur dari bibirnya, terdengar seperti gumaman. Aku menangis, segera saja menarik tubuhnya ke dalam pelukanku. Dia tidak menolak dan malah balik memelukku, tubuhnya menghangat. Ya Tuhan, Ares demam.

To Be Continued.

Huhuhu.. Ares;(
Jangan lupa vote dan komentarnya yaaa..

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

2.1M 182K 29
Mati dalam penyesalan mendalam membuat Eva seorang Istri dan juga Ibu yang sudah memiliki 3 orang anak yang sudah beranjak dewasa mendapatkan kesempa...
672K 106K 41
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
1.1M 57K 49
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
206K 1.2K 24
[21+] Diadopsi oleh keluarga kaya raya bukan bagian dari rencana hidup Angel. Namun, ia anggap semua itu sebagai bonus. Tapi, apa jadinya jika bonus...