"Stop it, you stupid heart!"
—CHAPTER SIX—
Badan Jace kembali dingin ketika ia mendengar suara kendaraan dari depan flatnya. Namun alih-alih suara mobil, Jace mendengar suara motor dan mendengar suara mesin motor dimatikan dan kunci dicabut.
Jace mengintip dari jendelanya dan melihat laki-laki itu turun dari motornya -ralat, motor besarnya.
Bagaimana laki-laki ini membawa seluruh kendaraannya ke flatnya? Jasa pindah rumah, tentu saja Jace.
Laki-laki itu masih menggunakan pakaian yang sama dengan tadi, dengan kantung belanjaan Jace menggantung di tangan kirinya. Jace segera merapikan dirinya di depan kaca ketika tersadar ia tidak seharusnya melakukan hal itu.
Kenapa dia harus merapikan penampilannya? Ini bukan seseorang yang ia harapkan, yang ia harapkan adalah- stop! Dia tidak mengharapkan siapapun.
Jace segera menuju pintu dan membukanya secepat kilat, menemukan laki-laki itu dengan terkejut. Segera setelah melihat Jace, laki-laki itu tersenyum lebar. Membuat Jace ingin jatuh ke belakang dengan kepala duluan.
"Sorry, plastik kita tertukar. Nih belanjaan kamu." Laki-laki itu menyodorkan plastik yang sudah berada di tangan kanannya.
"Ah thanks, plastik lo di dalem, ada di dapur, tunggu sebentar. Ah itu gak sopan, nyuruh lo nunggu berdiri di luar begitu aja-" Jace berhenti sejenak, terkejut dengan apa yang baru saja akan ia katakan. Ia baru saja akan menyuruh laki-laki ini masuk.
MASUK.
Padahal Jace jelas sekali hanya ingin melakukan pertukaran di depan pintu. Dia benar-benar tidak ingin menghabiskan waktu lagi bersama laki-laki ini.
Jace melirik ke arah laki-laki itu yang masih tersenyum dengan memiringkan kepalanya, seperti menunggu kelanjutan kalimat Jace. Jace memejamkan matanya dan menggigit bibirnya pelan.
Oh God, how many times I am damned today now? Rutuknya dalam hati.
"Masuk dulu aja." Lanjutnya sambil meninggalkan laki-laki itu dan berjalan ke arah dapur dan mempersilakan laki-laki itu duduk di sofa -setelah menyuruhnya menutup pintu dibelakangnya.
Jace kemudian meletakan plastik belanjaannya yang asli dan mengambil plastik belanjaan laki-laki itu yang berada di atas top table kitchen set yang berada di tengah dapur kemudian berhenti sejenak, meletakan kembali plastik itu dan melirik laki-laki yang ternyata sedang memperhatikannya.
Jace menghembuskan napas, "Orange juice, teh, susu, kopi, air mineral?" Tanyanya kepada laki-laki yang ada di ruang tamunya -yang hanya dibatasi bar setinggi perut bagian atas dengan dapurnya.
"Yang gak repot aja." Jawabnya sambil tersenyum semakin lebar.
"Orange juice then." Balas Jace sambil membuka kulkas dan mengeluarkan botol jus jeruk, kemudian meletakannya di meja yang sama dengan plastik tadi, lalu berjalan ke arah kabinet yang berada di atas double bowl wastafel-nya untuk mengeluarkan gelas lalu kembali ke meja tadi dan menuangkan jus jeruk, mengembalikan botol jus jeruk ke dalam kulkas, dan mengambil plastik belanjaan Sam dan gelas berisi jus jeruk lalu berjalan ke arah ruang tamu.
"Makasih." Ucap laki-laki itu ketika Jace meletakan gelas berisi jus jeruk di meja dihadapannya dan memberikan plastik belanjaan miliknya. Jace hanya mengangguk dan duduk di sofa yang berbeda dengan yang diduduki laki-laki itu.
Laki-laki itu duduk di sofa untuk dua orang sehingga Jace harus duduk di single sofa yang diletakan persis di sebelah sofa yang satunya. Jace memperhatikan laki-laki itu meletakan plastik di sebelahnya kemudian meraih jus jeruk yang berada di atas meja, meminumnya pelan-pelan.
"Jadi gimana lo bisa tau nomor gue?" Tanya Jace begitu teringat kalau laki-laki itu belum menjelaskan darimana ia mendapat nomornya.
Sam tertawa pelan, "Kamu sadar kalau nomor kamu ada di halaman facebook kamu?"
Jace membelalakan matanya, "Eh, what?"
"Saya coba cari nama kamu di google, nama kamu keluar di halaman facebook, dan begitu saya cek ada nomor telepon kamu."
"There is?!"
Sam mengangguk pelan sebelum mengerutkan dahinya, "kamu nggak ingat kalau memajang nomor telepon kamu di halaman facebook kamu?"
Jace mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba mengingat kapan ia pernah memasukan nomor telp-
"MARYLN YOU LITTLE SHIT!" Teriak Jace tiba-tiba, mengagetkan Sam yang sedang memerhatikan Jace.
"Um, Jace kamu nggak apa-apa?"
Ucapan Sam dibalas dengan tatapan tajam mata Jace."
"Nggak! Maryln! Kalau ketemu itu anak- that little-"
"Oke! Jace, tenang. Tarik napas pelan-pelan, coba jelasin siapa Maryln ini dan kenapa tiba-tiba kamu marah-marah ke dia."
Jace terdiam menatap laki-laki yang melihatnya dengan pandangan terkejut yang bercampur geli, salah satu sisi mulut laki-laki itu terlihat bergerak menahan senyum.
"Sorry, gue nggak bikin facebook account gue, dulu si Maryln yang bikinin. Maryln ini sahabat gue dari SMA, dan gue yakin dulu udah bilang jangan pasang nomor telepon gue di halaman facebook gue. Pantesan banyak orang-orang gak jelas suka telepon dan sms gue! That girl! I'm going to-"
"Okay! Jace! You are rambling again."
"Sorry, I'm just so pissed. Gue harus hapus itu nomor secepatnya. Thanks for telling by the way."
"Sama-sama, Jace. Tapi saya harus berterimakasih ke teman kamu, sih. Karena tanpa keisengan dia, saya nggak akan ketemu kamu lagi."
"Excuse me?"
"Untuk balikin belanjaan, tentu saja."
Jace memicingkan matanya curiga, yang dibalas dengan senyuman lebar Sam.
"Oh ya Jace, jangan nerima orang yang baru kamu kenal ke dalam rumah kamu. Kamu nggak tau maksud orang itu ke kamu, terlebih kamu lagi tinggal sendirian."
"Apa itu maksudnya gue harus nendang lo keluar dari sini sekarang juga?"
Sam tertawa keras, "saya ragu kamu bisa nendang saya keluar, Jace. Badan kamu jauh lebih kecil dari saya."
"Doesn't mean I can't try to." Jawab Jace yang mengakibatkan tawa Sam terdengar lagi.
"Apa kita pernah ketemu, Jace?" Tanya Sam setelah tawanya mereda.
Tubuh Jace menegang, ia memalingkan pandangannya ke arah meja, menghindari tatapan Sam.
"Jace?"
"Nggak, kenapa lo tanya begitu?" Jawab Jace pelan.
Sam mengerutkan dahinya, "karena kamu ngelihat saya dengan tatapan seperi orang yang udah kenal saya dari lama."
"I don't think so."
"Tapi bersamaan, kamu seperti orang yang ingin kabur dari saya. Apa kita dulu pernah ketemu dan saya melakukan sesuatu hal yang bikin kamu nggak nyaman?"
"Gue nggak mau kabur!"
"Really?"
Jace terdiam, "yah oke, sedikit."
Sam menaikan sebelah alisnya dan membuka mulutnya, namun Jace memotong apapun itu yang ingin ia katakan.
"Tapi siapa yang nggak? Maksud gue, lo orang asing yang tiba-tiba nawarin bayarin belanjaan dan beliin gue makanan. Pasti seseorang ada rasa takut dan curiga, kan?"
"Seinget saya, kamu yang pertama nyapa saya."
"Tapi gue nggak nawarin bayarin belanjaan lo."
"Tapi kamu nemenin saya belanja seharian."
"Bantuin lo belanja, dan gue cuma berusaha jadi orang baik."
"So am I. Saya cuma mau membalas kebaikan kamu."
"Tapi nggak usah kayak gitu!"
"Terus harus gimana?"
"Just say thanks!" Ucap Jace keras.
Keduanya terdiam sejenak, saling menatap satu sama lain.
Sam mengalihkan pandangannya lebih dahulu, ia menghela napas pelan.
"Maaf kalau saya bikin kamu nggak nyaman, Jace."
"It's okay. Sorry I yelled at you."
"It's okay, you just got worked up." Sam tersenyum kecil sebelum menyodorkan tangannya.
"Friends?"
Jace memandangi tangan Sam lekat-lekat sebelum menatap wajah Sam dengan salah satu alisnya yang melengkung naik.
"I don't think we're in that level yet, but-" Jace meletakan tangannya di atas tangan Sam, yang segera menggenggam tangan Jace pelan.
"Kenalan kalau begitu." Jawab Sam sambil terkekeh.
"Acquaintance sounds good."
Sam mengangguk pelan sebelum melepaskan genggamannya pada tangan Jace, "Saya rasa saya harus pulang Jace, maaf kalau saya jadi terlalu lama di sini. Terimakasih udah nyimpenin belanjaan saya, untuk jus jeruknya, dan sudah nemenin saya hari ini. Thanks."
Jace bangkit berdiri ketika Sam bangun dari kursinya, mengantarkannya ke pintu depan dan memperhatikannya berjalan ke arah motornya. Sam tersenyum lagi pada Jace sebelum akhirnya pergi dengan motornya, menghilang di balik tikungan.
Jace masuk ke dalam flat, menutup pintu dibelakangnya kemudian merosot di balik pintu.
"Oh God."
****
Please hit that Vote and comment, everyone!
Thankyou!
Love, Jays.