Wanting My Brother

By nates392

331K 17K 1.5K

Savannah Parker sudah mengatur hidupnya dengan rapi dan sempurna. Menikah pada umur 26 tahun dengan pacarnya... More

Section 1 - Childhood Memory
Section 2 - Years Passed
Section 3 - Problem From DC
Section 4 - Look, Just Don't Touch
Section 5 - Sweet Jayden
Section 6 - Doctor Jayden
Section 7 - Naked Jayden
Section 8 - Give You What You Like
Section 10 - You Know What?
Section 11 - Fuck It List

Section 9 - Big Family Time

24.4K 1.4K 203
By nates392

Section 9 – Big Family Time

Hari ini seluruh keluargaku akan datang ke apartement untuk makan malam bersama, hal yang sudah lama tidak kita lakukan. Aku ijin pada Sir Murray untuk pulang lebih awal agar bisa membereskan rumahku. Aku sangat beryukur Mama Vic dan Papa Ernest tidak jadi ikut kesini karena apabila Mama Vic datang, dia akan meminta semuanya perfeksionis, dan aku tidak bisa mengabulkan hal itu.

Aku bukan tipe wanita yang suka membersihkan rumah, aku lebih kearah wanita karir. Untuk urusan memasak, aku hanya bisa memasak yang gampang, seperti telur, menanak nasi, merebus mie goreng, dan paling susah membuat nasi goreng dengan bumbu instan. Bahkan Stanley lebih jago memasak dariku. Dia bisa memasak sup ayam dan chicken steak medium rare dengan sempurna disaat umurnya 13 tahun. Dia mendapatkan bakat itu dari papa, dan aku anak perempuannya hanya dapat bakat suka bekerja darinya.

Aku sudah menelpon restaurant langgananku didekat apartement, dan memesan beberapa makanan untuk acara makan malam ini, agar aku tidak perlu menyajikan masakanku yang pasti akan membuat papa malu melihat anak perempuannya tidak bisa memasak.

Saat ini aku sedang meja makanku yang cukup untuk 10 orang. Meja makan ini kudapatkan dari rumah papa dan mama, setelah mereka membeli meja makan yang baru. Aku mengelap meja makanku yang terbuat dari kaca itu hingga mengkilap, lalu menaruh taplak putih panjang diatasnya. Sudah lama sekali aku tidak membersihkan meja makan ini karena aku dan Blake, serta Jay juga, biasanya makan di kounter dapur.

Setelah selesai membersihkan apartement, Jay dan Blake datang bersamaan. Tepat sekali mereka datang setelah aku membersihkan apartement ini sendirian. Mereka langsung pergi kekamar masing-masing. "Ada makan malam hari ini, guys! Jangan lupa dandan yang ganteng dan cantik ya!" teriakku pada mereka berdua, dan aku sendiri segera masuk kekamarku.

Hari ini tidak ada hanya kami sekeluarga besar yang akan hadir makan malam. Karena absennya papa Ernest dan mama Vic, akhirnya aku memutuskan untuk mengajak Avery untuk bergabung, Spence yang tidak mau kalah mengajak pacarnya yang sudah bersama selama 2 tahun, Clarissa, untuk bergabung.

Aku selesai mandi setelah jam menunjukkan pukul 5 sore. Janjian acarnya dimulai jam setengah 7, maka papa dan mama akan hadir jam setengah 6. Mereka selalu seperti itu, hadir terlebih dahulu. Aku segera menggunakan kaos sifon warna pink pucat dan celana jins. Aku ingin tampil kasual, karena acaranya hanya di apartement-ku.

Jayden sudah duduk diruang tamu, sedang menonton TV menggunakan kaos lengan panjang warna biru muda dan celana jins. Aku duduk disebelah tanpa banyak bicara. Kami tidak banya berbicara pagi ini setelah kejadian tadi malam, dan rasanya aku senang kami sudah berbaikan dengan masa lalu kami.

"Bagaimana pekerjaannya?" tanyaku berbasa-basi membuka pembicaraan.

"Baik. Rumah yang kubangun di New Jersey hampir selesai," gumamnya pelan. "Setelah ini aku ada proyek di Nashville, jadi akan jarang pulang," tambahnya.

Aku mengangguk mengerti. "Kembali kekampung halaman?" tanyaku, masih ingat betul kota kelahiran Jayden Wilson, dan juga mama Georgia. Nashville, Tennessee.

Jayden tersenyum tipis. "Ya. Aku punya misi rahasia disana," katanya sambil mengedipkan satu matanya padaku menggoda.

Aku tertawa pelan. "Bagaimana kehidupan di DC selama sepuluh tahun?" tanyaku tiba-tiba, tanpa dapat kutahan.

Dia terdiam selama beberapa saat. "Baik, bagus? Entahlah. Jawaban macam apa yang ingin kau dapatkan?" tanyanya. "Bagaimana denganmu?"

Aku menghela nafas panjang. "Kau tahu kan aku selalu menyusun segalanya dengan rapi dan sempurna? Aku akan menikah dengan Avery saat umurku 26 tahun, aku akan terus bekerja di perusahaan papamu sampai aku merasa puas dengan diriku sendiri, dan kelak..." Aku tersenyum tipis memikirkan cita-citaku sendiri. "Kelak aku akan membangun sebuah panti asuhan ketika aku sudah tua."

Jayden hanya terdiam beberapa saat mendengar kata-kataku. "Yeah, aku masih ingat yang terakhir. Itu keinginanmu sejak kau kembali ke New York dari panti asuhan Bibi Lexi di Colorado."

Aku mengangguk cepat. "Aku tidak akan pernah berhenti memimpikan punya panti asuhan sendiri. Bibi Lexi adalah panutanku untuk memiliki panti asuhanku sendiri," ujarku, dan selang beberapa saat kemudian, bel apartement-ku berbunyi.

Aku berdiri dari tempat dudukku bingung. Masih jam 5.15, siapa yang sudah datang? Apa papa dan mama? Aku membuka pintu dan menemukan Avery sudah berdiri diambang pintu dengan senyuman lebar. Dia menggunakan baju lengan panjang warna krem dengan celana jins. Dia tampak kasual dan mempesona seperti biasanya.

"Kenapa kau datang sangat pagi?" tanyaku menyipitkan mataku padanya, tidak membiarkannya masuk terlebih dahulu.

"Seharusnya kau berkata, selama datang, Avery sayang atau apa kabarmu, sayang. Pertanyaan macam apa itu?" tanyanya.

Aku langsung tersenyum lebar dan merangkulnya dengan erat. "Selamat datang Avery, sayang," kataku mengikuti kata-katanya tadi, dan mempersilahkannya masuk. "Lalu, kenapa kau datang sangat pagi? Biasanya kau selalu telat," kataku penasaran.

"Aku ingin memberi impresi yang baik pada calon mertua," jawabnya sambil mengedipkan matanya, membuat pipiku langsung memerah dalam sekejap.

Aku memukul dadanya pelan, lalu menyuruhnya bergabung bersamaku dan Jayden diruang tamu untuk menonton TV. Beberapa menit kemudian, Blake keluar dari kamarnya menggunakan terusan sederhana berwarna hitam, bergabung dengan kami, menonton TV.

"Jadi, tumben papa dan mama belum datang?" tanya Blake membuka pembicaraan sambil melirik pada jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 5.30.

"Sebentar la –" Aku memotong perkataanku sendiri ketika bel apartement-ku berbunyi. Aku tersenyum lebar pada Blake, dan dia hanya memutar matanya pelan. Aku hendak berdiri dari tempat dudukku, tetapi Jayden menahanku. Dia yang berdiri untuk membukakan papa dan mama pintu.

Avery yang duduk disampingku langsung menarik tubuhku, dan merangkulku dari belakang. Dia mencium kepalaku dengan lembut, membuatku tersenyum tipis. Aku kembali melihat tayangan TV didepanku ketika papa dan mama memasuki ruangan dengan senyuman lebar diwajahnya.

Aku segera berdiri dari tempat dudukku dan merangkul papa dan mama bergantian. Aku kangen sekali pada mereka berdua. Papa menggunakan baju polo dengan celana kain warna krem, tampak kasual dan tetap terlihat muda walaupun usianya sudah 44 tahun. Mama menggunakan atasan berwarna merah dengan rok selutut yang tampak indah dipakai olehnya. Tinggi mama dan aku hampir sama, dan dia tersenyum lebar melihatku. Setelah itu, Blake merangkul papa dan mama bergantian. Avery berdiri dari tempat duduknya, tampak sopan memberi salam pada papa dan memberi rangkulan singkat pada mama.

"Savannah Parker. Sudah lama kau tidak menelpon mamamu ini," kata mama setelah acara rangkul merangkul selesai.

"Blake juga tidak pernah menelponmu, Mam!" jawabku sambil melirik pada Blake.

"Kalau adikmu itu tidak pernah menelpon kami, siapa yang memberitahumu kalau hari ini kami akan datang?" tanya mama memicingkan matanya padaku.

Aku memutar mataku. Yeah. Tentu saja si Blake menelpon papa dan mama. Dasar Savy anak durhaka. "Oh ya, dimana Stanley?" tanyaku mencari keberadaaan adik keduaku itu, Stanley Parker.

"Cara mengganti topik yang bagus, Nak," jawab papa mengedipkan salah satu matanya. "Dia memarkirkan mobil dulu," tambahnya.

"Stanley sudah bisa menyetir mobil sekarang?" tanyaku tidak percaya.

"Usianya 17 tahun, Kak Savy," jawab Blake memutar matanya, mengganti acara TV.

"Ya Tuhan, apa saja yang kulewatkan? Aku sudah lama sekali tidak ketemu Stanley!" kataku benar-benar kesal. "Seandainya saja Stanley yang tinggal disini, bukan si Blake," sindirku sambil mengerling pada Blake.

Blake hanya tertawa sarkastik, sepertinya dia sudah kebal dengan hinaan dariku.

"Dia banyak membantu papa di restaurant setelah pulang sekolah. Dia semacam asisten-ku sekarang" gumam papa pelan, mengambil remote TV dari Blake dan menggantinya ke acara favoritnya, membuat Blake berdecak kesal.

Dua orang ini sering bertengkar karena masalah TV.

"Kau tahu kalau minggu depan adikmu akan menjalani pemotretan pertamanya?" tanya mama padaku kagum.

"Pemotrertan apa?" tanya Blake langsung menoleh pada mama.

"Seorang agen foto model pernah mengunjungi restaurant, dan dia tidak sengaja melihat Stanley, dan katanya Stanley punya potensi menjadi model terkenal," jawab mama.

"Aku tidak bayangkan adikku yang pendiam itu akan menjadi model," gumamku pelan. "Dia memang ganteng sih, lebih ganteng dari papa ataupun kau, Av!"

"Hei!" Papa dan Avery langsung berteriak tidak terima secara bersamaan. Laki-laki dan ego-nya.

"Itu dia orang yang baru saja kita bicarakan!" ujar Blake langsung berdiri dari tempat duduknya dan merangkul Stanley yang baru datang bersama Jayden dibelakangnya.

Aku melihat dari tempat dudukku. Stanley Parker, adikku, anak ketiga dari papa dan mama. Dia memang ganteng. Apalagi dengan rambutnya yang berwarna hitam dan matanya yang sewarna dengan langit. Dia terlihat memikat. Lalu laki-laki dibelakangnya, dengan rmabut coklat tua dan kulit kecoklatan yang mencolok, terlihat berbahaya, dan memikat secara bersama.

Oh God.

Stop Savy.

Aku memejamkan mataku. Aku baru saja membandingkan adikku dengan Jayden sialan itu. Sebentar lagi apa hah? Membandingkan Avery dengan Jay? Hell no. Aku membuka mataku, berusaha mengontrol diriku.

Stanley sudah berdiri didepanku dengan senyuman tipis. Aku membalas senyumannya, dan berdiri, lalu merangkulnya. Adikku ini sangat tenang, terlalu tenang malahan. Padahal saudara-saudara lainnya sangat hiperaktif. Aku tidak tahu sifat dari mana itu. Papa mungkin? Kata mama Georgia, dulunya papa Ben itu pendiam dan tenang.

"Aku dengar kau akan melakukan pemotretan minggu depan?" tanyaku basa-basi, menyuruhnya untuk duduk disampingku. Aku melihat papa dan Avery sedang mengobrol disebelahku tentang ekonomi dan semacamnya, sedangkan Blake masih mencoba mengambil remote TV dari papa. Mama dan Jay minggir keruang tamu, mengobrol sesuatu yang terlihat serius.

"Yeah. Aku sedikit gugup tentang ide pemotretan itu. Mama menyuruhku untuk mencoba, begitu juga dengan Harper. Jadi, ya, mungkin aku akan mencobanya hanya untuk pengalaman."

"Harper? Teman masa kecilmu itu?" tanyaku lupa-lupa ingat siapa Harper itu. Maklum, aku tidak bisa mengingat nama orang dengan benar dan tepat.

"Yeah, siapa lagi," jawab Stanley sambil memutar matanya. Seolah-olah dia mengatakan sudah seharusnya aku mengingat hal itu. Aku yakin tidak lama lagi mereka berdua akan jadian.

"Jadikan aku manajer-mu kalau kau nanti terkenal," kataku sambil mengedipkan mataku menggoda Stanley.

Stanley hanya menggelengkan kepalanya.

"Jay! Chad juga akan datang kan?" teriak papa tiba-tiba pada Jayden.

Mataku langsung melebar, apalagi setelah Jayden menjawab iya. "Sir Murray akan datang?" pekikku pelan pada papa.

"Yeah, tentu saja. Aku sudah lama tidak berbicara dengan Chad," jawab papa santai.

"Atasanmu, Savy?" tanya Avery penasaran.

Aku mengangguk kepalaku dengan cepat. Oke. Tenang, Sev. Hanya ketambahan satu tamu dan itu tidak berarti apa-apa. Berhenti untuk terlalu memikirkan semuanya, dan berusaha mengontrol semuanya.

Tiba-tiba bunyi bel apartement-ku berbunyi. Aku segera berdiri dari tempat dudukku.

"Tumben sekali Spencer datang tepat waktu?" tanya papa.

"Itu Sir Murray," jawabku yakin dan berjalan membukakan pintu. Aku melihat Sir Murray berdiri didepan pintu dengan senyuman lebar melihatku. Aku membalas senyumannya, dan melihat dia membawa sesuatu ditangannya.

"Pie blueberry dari toko baru bernama Stairways," ujar Sir Murray mengangkat bingkisan ditangannya. "Kata Jay, kau suka blueberry," tambahnya.

Air liurku rasanya ingin menetes mendengar kata-kata blueberry.

"Silahkan masuk, Sir – maksudku, Chad," jawabku mempersilahkannya masuk, walaupun secara teknis, apartement ini adalah miliknya. "Dan kau tidak perlu repot-repot membawa makanan," tambahku, walaupun dalam hatiku sama sekali tidak kebaratan.

"Yeah, yeah," jawabnya sambil menyerahkan bingkisan itu padaku. Sir Murray langusng beramah tamah dengan papa dan mama. Mereka bertiga, orang-orang tua, langsung menuju ruang makan untuk mengobrol.

Aku kembali keruang tamu, bersama Avery, Jayden, Blake, dan Stanley sedang menonton TV. Kali ini remote TV dikuasai oleh Jay, sepertinya Blake sama sekali tidak punya kesempatan untuk mengambil remote TV. Apartement ini terasa sempit karena terlalu banyak orang didalamnya, apalagi si idiot yang suka mencari masalah itu belum datang, pasti apartement-ku akan pecah sebentar lagi.

Oke. Terlalu banyak mengomel.

"Apa yang kau pikirkan sekarang, babe?" bisik Avery pada telingaku, membuyarkan lamunanku.

"Tidak ada," jawabku singkat, tersenyum padanya. Aku melihat layar TV didepanku yang sedang menayangkan Grey's Anatomy. Film-nya si Jayden. Aku melirik melihatnya yang sedang mengobrol dengan Stanley, dan Blake yang berusaha mengambil remote dari tangan Jayden.

"Dimana Spencer? Dia sangat terlambat," gerutu Blake kesal, akhirnya menyerah mengambil remote dari Jayden.

"Macet mungkin?" jawabku asal.

"Kenapa Spence tidak berangkat bersama kalian Stan?" tanya Avery pada Spencer.

"Kak Spencer sudah tinggal sendiri sekarang, Kak Avery. Dia punya apartement dekat Harvard" jawab Stanley. "Oh ya, bulan depan Kak Spence akan wisuda jurusan dokternya, dia akan lanjut S2 kedokteran, dan katanya ingin menjadi dokter spesialis bedah."

"Wow. Spencer pintar ya? Tidak terlihat," gumam Jayden.

"U-huh, dia juga sudah lulus kuliah bisnis tahun lalu," jawabku mengangguk setuju. Anak itu genius, mungkin karena terlalu genius jadi sedikit gila. "Dan dia mengikuti olimpiade renang, beberapa minggu lalu baru bertanding di London."

Jayden tampak pusing menerima semua informasi itu. Apa saja yang sering diceritakan Spencer pada Jayden ketika mereka bertemu? Pasti guyonan tidak bermutu dan tentang perempuan. "Dia tidak memberitahuku kalau dia sepintar itu," katanya.

"Sudah kuduga," jawabku.

Bel apartement-ku tiba-tiba berbunyi dan aku segera berdiri dari tempat dudukku. Si idiot ini pastinya akan punya umur yang panjang, karena kita baru saja membicarakannya dan dia datang.

Aku membukakan pintu apartement dan menemukan Spencer Parker, adikku yang paling kubenci dan kucintai sekaligus berdiri diambang pintu tampak memikirkan sesuatu. Dia jauh lebih tinggi sekarang dan rambutnya yang kecoklatan tampak indah. Matanya coklat seperti mama Georgie. Disampingnya seorang perempuan yang sudah jadi pacar Spencer selama 5 tahun berdiri, perempuan cantik berumur 20 tahun seperti Spencer, dengan rambut pirang dan senyuman manis. Namanya Clarissa. Dia langsung merangkulku dan aku membalasnya.

"Apa yang sedang pacarmu pikirkan, Clarissa?" tanyaku sambil mempersilahkan masuk.

"Jangan berisik, Sev," jawab Spencer melewatiku dan duduk diruang tamu bersama yang lainnya.

"Dasar orang aneh," gerutuku kesal, dan kembali duduk disamping Avery.

"Aku merasa prihatin," kata Spencer tiba-tiba memandang kami satu persatu. "Apakah kau ingat film yang pernah kita lihat dulu Sev?" tanyanya padaku.

"Banyak film yang kita lihat bersama," jawabku sambil memutar mata kesal.

"Teletubbies. Aku merasa prihatin dengan para mahluk di film Teletubbies."

"Ya Tuhan, teori konyol lagi," gerutu Blake.

"Oke. Pertama Teletubbies itu yatim piatu, mereka tidak punya papa dan mama. Apakah kalian pernah melihat orang tua mereka? Untungnya saja mereka punya satu dengan yang lain," katanya sambil mengangguk pelan. "Kedua. Teletubbies itu sepertinya kampungan, mereka selalu bermain di padang rumput ataupun di gunung. Like what? Kita tidak pernah melihat mereka ke mall kan? Aku sangat prihatin akan hal itu," katanya sambil mengangguk prihatin.

"Stop, Spence. Omonganmu tidak penting," gerutuku sambil merebut remote TV dari Jayden dan mengeraskan suara TV.

"Sev! Nanti dulu nonton TV-nya!" gerutu Jayden marah, merebut remote TV dari tanganku dan mematikannya. Dia menyembunyikan remote TV dan memperhatikan Spencer dengan serius. Serius nih? Apakah informasi itu sepenting itu sampai dia begitu seriusnya mendengarkan hal itu?

"Terima kasih, Jay. Kau memang pendengar setiaku," kata Spencer sambil mengedipkan salah satu matanya padaku. "Fakta ketiga dan terakhir. Kehidupan sosial Teletubbies sangat memprihatinkan. Mereka hanya saling berbicara dengan satu sama lain, dan apakah kalian tahu satu-satunya teman mereka? Vacuum cleaner! Bayangkan saja betapa kasihannya mereka harus curhat pada sebuah alat pembersih rumah kalau mereka sedang bertengkar satu dengan yang lain."

'Wow. Aku tidak tahu Teletubbies sebegitu memprihatinkannya," ujar Avery tiba-tiba.

Aku menoleh cepat melihatnya tidak percaya. What? Dia mendengarkan omongan tidak penting itu dan menganggapnya serius? Avery menatapku dan aku membalas tatapannya. Aku berbalik dan melihat Jayden menyalakan TV kembali.

"Adrian menelpon, dia bilang tidak bisa datang besok malam," ujar Clarissa sambil menaruh ponselnya kedalam tas, menatap Spencer.

"Dia selalu tidak bisa datang kalau diajak berpesta," gerutu Spencer.

"Adrian Cornwell? Temanmu?" tanya Blake tampak penasaran.

"Dan kau adik kecil, Blakey. Seharusnya kau tidak perlu seterus terang itu, oke? Aku tahu kau menyukai teman baikku itu," ujar Spencer sambil mengedipkan matanya pada Blake.

Wajah Blake langsung memerah dalam sekejap. Dia jelas-jelas menyukai Adrian atau siapapun itu. Aku tidak mengenalnya, atau tidak ingat padanya. Sorry. Ingatanku akan nama dan wajah orang terbatas.

"Dan aku juga mau berterima kasih sudah menjaga Yorkie selama ini. Aku akan membawanya pulang hari ini," tambah Spencer sambil tersenyum lebar pada Blake.

"Bagaimana kau tahu kalau aku yang menjaga Yorkie selama ini?"

"Kau kira aku bodoh membiarkan anjingku tercinta ditinggal begitu saja didalam apartement berisi dua perempuan labil seperti kalian? Aku memasang alat penyadap suara pada kalung Yorkie agar bisa memantau keadannya."

"Ya Tuhan," gumam Blake sambil menutup wajahnya tidak percaya.

"Ingat ya, Blakey-ku sayang. Adrian itu cowok baik-baik, temanku sejak kecil. Dia tidak pernah pacaran, berhubungan seks saja tidak pernah, dan mungkin tidak tahu bagaimana caranya. Jangan dekati dia kalau kau hanya bermaksud mematahkan hatinya," ujar Spencer tampak serius, kejadian yang jarang terjadi padanya.

"Adrian temanmu itu masih virgin? Umurnya sudah 20 tahun kan?" tanya Jayden penasaran sambil menggelengkan kepalanya tidak percaya.

"Jangan samakan Adrian denganmu, Kak Jay. Dia bersih, sesuci baju warna putih yang baru dicuci. Sama saja seperti perempuan galak yang menjengkelkan dan menyebut dirinya ka-" Spencer menghentikan omongannya ketika melihat mataku menatapnya tajam. Seandainya pandangan mata bisa membunuh, mungkin Spencer sudah meninggal sekarang karena hampir membongkar rahasiaku.

Jay menatap Spencer tidak mengerti, lalu menatapku. Dia tampak berpikir beberapa saat. Oke. Aku hanya berharap Jayden cukup bodoh untuk tidak bisa menyambung semuanya. Lalu seringanya melebar. Dia pintar. Dia jelas mengerti. Aku tersenyum kecut padanya. "Kau masih virgin, Sev?" tanya Jayden langsung tertawa terbahak-bahak.

Aku memutar mataku kesal.

"Dia ingin menyimpannya untuk kami setelah kita menikah," jawab Avery, menggenggam tanganku dengan erat, berusaha membelaku. Aku tersenyum berterima kasih padanya. Aku tidak suka membicarakan hal privat seperti ini didepan umum.

Jayden langsung berhenti tertawa dan rahangnya mengerang. Ada apa dengan dia? Suasana hatinya berubah secepat itu? Dasar orang aneh.

"Bagaimana kalau kita ke meja makan sekarang? Aku sudah kelaparan," ujar Spencer berdiri dari tempat duduknya.

Kami mengikutinya menuju ke meja makan. Papa, mama, Sir Murray, dan Stanley sedang mengobrol disana. Spencer langsung mencium pipi mama, dan merangkul papa ala laki-laki. Setelah itu aku dan Blake menyajikan makan malam yang sudah kubeli di restaurant keatas meja makan. Kami semua mulai makan, menikmati hidangan yang berada diatas meja makan. Aku cukup puas dengan makanan pada acara ini. Setelah semua makanan utama habis termakan, saatnya dessert. Aku segera membuka pie blueberry dari Sir Murray dan memotongnya, membagikannya pada semua orang.

Setelah itu aku segera menyantap pie blueberry itu. Apakah kalian tahu bagaimana rasanya? Surga. Nirwana. Ya Tuhan enak sekali. Aku memang pecinta segala sesuatu yang berhubungan dengan blueberry dan pie ini tiada duanya. Kulitnya garing dan bertekstur, blueberry-nya lembut dimulut.

"Kau terlihat sangat menyukai pie-nya ya?" tanya Avery tertawa pelan disampingku.

"Ini sangat enak, Av!" bisikku padanya sambil menghabiskan pie-ku.

"Aku alergi blueberry. Kau mau?" Jayden yang duduk disampingku memberikan pie blueberry-nya padaku.

Aku memicingkan matanya curiga. Aneh. Seingatku dia tidak alergi makanan apapun dulu. Ah, biarkan saja. Pokoknya, aku dapat tambahan pie blueberry lagi! Aku segera mengambil potongan pie blueberry milik Jayden sebelum dia berubah pikiran atau pie-nya diambil oleh orang lain. Aku tersenyum manis padanya dan langsung menyantap pie-nya.

Aku harus bertanya pada Sir Murray nanti dimana dia membeli pie lezat ini.

Setelah acara makan malam selesai, semuanya mulai mengobrol satu dengan yang lain kembali. Aku berdiri dari tempatku, mengambil inisiatif untuk memindahkan piring-piring kotor dimeja kedapur. Avery juga ikut berdiri disampingku, dan memegang tanganku. Wajahnya tampak serius. Aku memicingkan mataku. Ada apa dengan dia?

Avery tiba-tiba berdehem, membuat perhatian semua orang langsung tertuju pada kami berdua. Wajahku memerah dalam sekejap menjadi pusat perhatian seperti ini. Oke. Ada apa ini? Ada apa ini? Apakah dia mau memutuskanku? Apa dia sudah dapat perempuan baru yang lebih baik daripada aku? Jantungku berdebar sangat keras, menatap Avery menunggunya untuk mulai berbicara.

Dia tertawa pelan, lalu melihat papa Ben. "Mengingat usahaku yang sangat payah untuk mendapatkan Savy menjadi pacarku, sampai aku ditolak tiga kali olehnya." Semua orang langsung tertawa mengingat hal itu, kecuali Sir Murray dan Jay, ya karena mereka memang tidak tahu. "Aku masih ingat benar ketika Savy menerimaku untuk menjadi pacarnya ketika ada acara makan bersama seperti ini, jadi hei, kenapa aku tidak melakukannya sekarang saja?" Dia tertawa canggung.

Melakukannya sekarang juga? Apa maksudnya?

Dia mengerling pada sesuatu dibelakangku, lalu melihatku lagi dan tersenyum tipis. Dia memegang kedua tanganku. "Lihat kebelakang," ujarnya pelan.

Aku tidak mengerti apa maksudnya. Dibelakangku adalah jendela yang langsung menuju pemandangan diluar apartement. Gedung-gedung pencakar langit yang tampak indah dimalam hari. Avery menyuruhku untuk melihat a–

Mulutku langsung membuka lebar ketika melihat gedung tepat diseberang apartement-ku. Lampu yang tadinya menyala pada tiap ruangan digedung itu tiba-tiba satu persatu mati. Oh my God. Apa yang terjadi? Apakah itu kebetulan? Aku berjalan mendekati jendela dan melihat lampu-lampu itu terus mati satu persatu. Setelah itu beberapa lampu menyala kembali. Aku terkesiap ketika melihat sebuah tulisan dari lampu-lampu digedung sebelah.

WILL YOU MARRY ME?

Apakah itu benar tulisannya? Aku menoleh untuk bertanya pada Avery apakah yang kulihat itu benar, namun aku tidak menemukan Avery disampingku lagi. Dia sudah berlutut dan membuka sebuah kotak beludru warna merah, berisi sebuah cincin yang sangat indah, dengan permata ditengah-tengahnya.

Aku merasakan air mata kebahagian turun memenuhi mataku. Oke. Aku tidak tahu kalau ini yang akan terjadi. Aku menutup mulutku tidak percaya.

"Will you marry me, Savannah Parker?" tanyanya.

Perasaanku benar-benar menggebu-gebu saat ini. Aku melihat papa dan mama yang tersenyum bahagia untukku. Spencer dan Blake yang mengacungkan jempolnya, dan Clarissa yang bertepuk tangan pelan. Muka Spencer tampak polos seperti biasanya. Sir Murray hanya tersenyum tipis padaku, lalu mengerling pada seseorang didepannya. Aku melihat Jay duduk terdiam, bahkan tidak melihatku, hanya melihat kosong pada dinding didepannya. Rahangnya mengatup keras. Aku menelan ludahku. Perasaanku menggebu-gebu itu tiba-tiba menghilang entah mengapa.

Aku melihat wajah Avery, dia tampak cemas.

Oke. Ini yang seharusnya kau lakukan, Sev! Just say yes! Teriakku dalam hati. Namun perasaanku, perasaanku seperti tidak menentu sekarang. Mungkin ini efek dari terlalu bahagia? Aku menggigit bibirku, tidak tahu harus menjawab apa.[]


HELLO.

new chapter again, hope u like it.

seneng rasanya bisa nulis ada georgie & ben lagi. wukakka. trus ada stanley sama spencer juga.

sooo

what do you think guys?? si avery bakal diterima kagakk? wuakkka

komen & vote ya, thankyouu

Continue Reading

You'll Also Like

6.6M 338K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
806K 51.9K 33
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...
1.1M 44.2K 37
Mereka teman baik, tapi suatu kejadian menimpa keduanya membuat Raka harus menikahi Anya mau tidak mau, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas apa ya...
356K 27.6K 58
Elviro, sering di sapa dengan sebutan El oleh teman-temannya, merupakan pemuda pecicilan yang sama sekali tak tahu aturan, bahkan kedua orang tuanya...