Flower

De anythinganiya

9.4K 963 45

Bagaimana mungkin dua orang yang selalu bersama tak pernah sekali pun memiliki perasaan satu sama lain? "I fe... Mais

prolog
1. little things
2. something between us
3. lust
4. ilusm
5. broken
6. one cloudy day
7. inevitable consequence
8. hide and seek
9. unbreakable bond
10. all the guts i had
11. a silly morning
12. the cure and the cause
13. talking to the wind
14. invisible string
15. missed connection
16. complication of words
17. clarity
18. above the clouds
19. starting anew
20. before the storm
21. a nightmare
22. dwelling place
23. we've been through
24. poinsettia; and the flower that bloom at night
catatan kecil (dan mungkin sedikit pemberitahuan)

epilog

341 27 1
De anythinganiya

you've already bloomed in my heart

***


Jeonghan baru keluar kamar dan akan memanggil nama putrinya ketika ia menemukan bekas bungkus Daim yang berserakan di meja dapur. Mangkuk makannya memang sudah bersih tak tersisa, tapi memakan Daim setelah makan malam adalah larangan besar untuk Elaine. Tapi Jeonghan sangat tahu siapa dalang dibalik cokelat-cokelat ini.

Dibalik sofa, Jeonghan bisa mendengar suara cekikikan nyaring dari sang putri. Elaine sedang tengkurap di depan Jisoo yang bersila menghadapnya. Putri kecilnya itu kini sibuk meletakkan tangannya di atas perut Jisoo yang besar.

Akhir-akhir ini, Elaine memang sangat terobsesi dengan perut besar Jisoo—apalagi setelah mengetahui fakta bahwa adik bayi tumbuh di dalam tubuh seseorang sebelum dilahirkan ke dunia. Tentu saja Elaine sudah melihat foto Jeonghan ketika mengandung dirinya—ia biasanya hanya mengangguk dan tidak pernah bertanya lebih jauh. Tapi satu-satunya orang dengan perut besar yang mondar-mandir di sekeliling Elaine dan bermulut besar hanyalah Jisoo.

Biar aku tekankan lagi, monolog Jeonghan pada dirinya sendiri, mencoba memahami pemahaman putrinya. Adik berarti seseorang akan menjadi kakak. Dan Elaine ingin sekali menjadi kakak.

Jeonghan juga tidak akan melupakan bagaimana sulitnya saat ia dan Seungcheol mencoba memberkan Elaine pengertian minggu lalu.

"Tapi Elaine mau adik! Elaine juga mau punya adik bayi!" kata Elaine begitu menyambut ayahnya datang. Jeonghan hanya duduk diam sambil memijit pelipisnya.

Seungcheol melirik Jeonghan yang sekarang pasti sedang menahan lelah. Entah sejak kapan, Elaine selalu rewel setiap kali keinginannya tidak dituruti. Jeonghan yang merasa sedang ditatap Seungcheol kini berbalik menatapnya dengan sengit. Seolah berkata, "Itu karena kau selalu memanjakannya."

Seungcheol yang baru datang malam itu pada akhirnya hanya bisa tersenyum ke arah sang putri, mencoba memberinya pengertian. Ia kemudian berlutut untuk menyejajarkan tubuhnya dengan sang putri. Tangannya meraih kedua tangan Elaine untuk digenggam.

"Iya, Ayah tahu, sayang. Tapi adik bayi tidak bisa lahir dalam semalam."

Elaine melipat tangannya di dada dan memberengut, merasa Seungcheol satu tim dengan Jeonghan untuk melawan keinginannya. Ia mengalihkan pandangan dan berujar kesal, "Tapi bisa dibuat dalam semalam."

Seungcheol bisa melihat Jeonghan menegakkan punggungnya tiba-tiba saat mendengar itu.

"Siapa yang sudah mengatakan hal itu padamu?" tanya Jeonghan, membuat dua orang dihadapannya lebih terkejut dari dirinya sendiri. Ia tak pernah berpikir bahwa Elaine bisa mengatakan hal seperti itu.

Jeonghan sebenarnya tidak berniat untuk menaikkan nada bicaranya. Seharian ini, Elaine hanya menuntutnya untuk memberinya adik tanpa henti setelah pulang dari rumah Jisoo—bukannya setiap hari Jeonghan tidak pernah mendengar permintaan itu. Kali ini Elaine benar-benar terus mengatakannya. Putrinya itu bahkan sudah hampir menangis kalau Seungcheol tidak segera datang.

Jeonghan dari tadi memang hanya mendiamkannya—tentu setelah banyak pengertiannya ditolak habis-habisan oleh Elaine. Ia menyerah, biar ayahnya yang akan mengurusnya nanti. Rewelnya Elaine biasanya lebih berhasil diredam kalau Seungcheol yang melakukannya.

Elaine yang terkejut mendengar suara Jeonghan merapat ke arah ayahnya. Menyembunyikan setengah wajahnya di dada Seungcheol.

Jeonghan yang merasa bersalah kemudian berlutut, mencoba mendekat ke arah Elaine. Ia memang kadang terlalu tegas pada Elaine untuk beberapa hal. Dan sudah ratusan kali pula ia berdebat dengan Seungcheol karena hal itu. Tentu saja perdebatan itu akan sepaket dengan Seungcheol si paling memanjakan anak.

"Oh, maafkan aku, Sayang. Bia tidak bermaksud menakutimu." Tangannya terulur untuk meraih sang putri.

Elaine menatap Seungcheol sebelum melepaskan pegangannya. Tangan kecilnya kini meraih Jeonghan dan dalam sekejap tubuhnya beralih rengkuhan.

"Jadi, kau mau memberitahuku siapa yang sudah mengatakan itu padamu?" tanya Jeonghan ketika Elaine sudah mulai merasa nyaman kembali dengannya.

Elaine mengerjapkan matanya. Bibirnya terkulum beberapa kali sebelum berujar, "Joshy." Itu nama baptis saudara kembar Jeonghan, dan panggilan kecil Elaine untuknya.

Jeonghan akui sampai saat ini, ia merasa harus memijit kening tiap mengingat hal itu.

"El," panggilnya pelan.

Elaine menyahut dari balik tubuh Jisoo. "Yaaaaaaaaa, Bia?"

"Kau sudah gosok gigi?" Jeonghan memilih melupakan untuk bertanya apakah Elaine makan beberapa Daim setelah makan malam tadi. Itu akan jadi drama yang besar sementara ayahnya tidak ada di sini.

Si gadis kecil menggeleng.

"Oke, gosok gigimu sekarang sebelum Ayah datang."

Elaine menunjukkan gestur 'aye-aye, capt' yang sudah menjadi hal wajibnya setiap kali diminta melakukan sesuatu. Tapi ia menyempatkan diri untuk mencium perut besar Jisoo sebelum turun dari sofa.

"Adik bayi, Kakak El mau gosok gigi dulu ya." Ia bahkan juga sempat menjelaskan kenapa ia harus rajin menggosok gigi. "Nanti kalau adik bayi sudah sebesar Kakak El, adik bayi juga harus rajin gosok gigi. Kata Bia, gosok gigi membuat gigi jadi kuat. Kakak El takut sekali kalau giginya dimakan kuman dan berakhir sakit gigi lalu tidak bisa mengunyah."

Jeonghan mendekat untuk mengusap kepala Elaine. "Ayo."

Elaine mengangguk dan turun dari sofa. "Aku sudah bisa sendiri, kalian tidak boleh mengikutiku. Jangan mengintip." Ia memperingatkan Jisoo dan Jeonghan, membuat dua saudara itu terkekeh bersamaan sembari menirukan 'aye-aye, capt' milik Elaine.

Setelah Elaine menghilang ke kamar mandi. Jeonghan langsung melirik curiga ke arah Jisoo, membuat pria itu mengangkat sebelah alisnya.

"Apa? Kesalahan apa lagi yang akan kau tuduhkan padaku, Paduka?"

Jeonghan mencebik. "Kau tidak habis mengajarkan sesuatu yang aneh pada putriku lagi bukan?"

Jisoo mendesah jengah. "Kan sudah kubilang waktu itu aku tidak sengaja. Aku tidak tahu kalau Elaine mendengar suaraku. Dia literally sedang mengobrol dengan Uncle Seok-nya."

"Tapi kurasa memberi Daim ke Elaine setelah makan malam bukan termasuk ketidaksengajaan."

Jisoo merapatkan bibir dan mengalihkan pandangan. "Yah kau tahu, mm, hamil membuatku ingin makan sesuatu yang manis-manis." Ia melirik Jeonghan dengan takut kemudian mencoba membela diri. "Elaine hanya makan satu!"

"Kau yakin?"

Jisoo mendesis. "Dasar strict parents!"

Jeonghan menunjuk perut Jisoo dengan dagunya. "Tunggu sampai kau menjadi orang tua."

Jisoo memutar bola mata dan meraih ponselnya.

"Ngomong-ngomong," kata Jeonghan. "Kau benar tidak mau ikut kami ke New York?"

Akhir tahun ini Jeonghan berencana membawa Elaine ke rumah Mom. Ia ingin merayakan ulang tahun Elaine yang ke 5 di sana dan menetap hingga akhir Januari. Rasanya sudah lama sekali Jeonghan tidak mempertemukan sang putri dengan neneknya—itu kata Mom. Tapi kalau dipikir-pikir, Mom memang hanya bertemu Elaine saat berkunjung ke sini ketika Elaine berusia 1 tahun.

Jadilah tahun ini Jeonghan yang sudah menabung banyak sekali uang (dan jatah cuti) dengan bekerja begitu keras—setelah kembali dari cuti melahirkan dahulu—akan membawa Elaine untuk pertama kalinya ke tempat yang cukup jauh. Lagipula ia memang butuh liburan, dan ada sesuatu yang ingin dibicarakannya dengan sang ibu secara langsung.

Jisoo baru saja selesai mengetik sesuatu di ponsel saat mengangkat wajahnya. "Kau mau aku melahirkan di pesawat?"

"Itu pasti pengalaman yang fantastis!" goda Jeonghan dan ia langsung mendapatkan pukulan di bahunya.

"Jangan memancing emosiku, si—ah, Yoon Jeonghan. Kau ini benar-benar ya?"

Jeonghan hanya tergelak di sampingnya.

"Tapi serius, Han. Mengingat bagaimana kau melahirkan Elaine secara mendadak waktu itu, aku takut sekali kalau aku juga akan melahirkan tiba-tiba di waktu yang tidak terduga." Raut wajah Jisoo yang ngeri berubah dengan cepat menjadi sedih. "Kau tahu, aku bahkan tidak tahu kenapa dia belum keluar padahal sudah lewat lima hari dari HPL-nya. Oh, anakku sayang, kenapa kau betah sekali di dalam perut."

"Masih menyiapkan mental untuk menghadapimu yang bermulut besar mungkin."

"Yoon Jeonghan!" Kali ini bahunya menerima pukulan lebih keras.

Elaine yang kembali dari kamar mandi berlari mendekat sembari memamerkan hasil gosok giginya yang sempurna. Setelah mendapat pujian dari Jeonghan dan Jisoo, ia mengatakan akan ke kamar untuk membaca sambil menunggu ayahnya datang. Sementara Jisoo dan Jeonghan masih duduk di tempatnya, sibuk dengan ponsel masing-masing.

"Oh, ya," kata Jisoo kembali membuka pembicaraan. "Kau jadi pindah setelah masa sewanya berakhir tahun depan?"

"Harus," keluh Jeonghan. Pembahasan ini terasa menyebalkan bagi dirinya. Hatinya masih sulit merelakan keputusan yang akan dibuatnya nanti. "Sebenarnya aku benar-benar menyukai apartemen ini. Aku sudah tinggal di sini sejak masih bekerja di stasiun TV." Jeonghan berhenti sejenak untuk mengembuskan napas. "Tapi Elaine akan masuk SD tahun depan, dan semua pilihan sekolah yang sudah aku diskusikan dengan Seungcheol jaraknya jauh sekali dari sini.

"Akan merepotkan bagi kami kalau harus bolak-balik dari kantor untuk menjemputnya. Apalagi jika harus mengantarkan salah satu dari kami pulang lebih dulu."

Selama ini, Jeonghan dan Seungcheol memang bergantian untuk berada di rumah demi menjaga Elaine jika bisa pulang kerja lebih awal. Kalaupun tidak, mereka akan membawa Elaine ke kantor sepanjang hari selama tidak pergi ke daycare—sekarang TK. Untungnya saja, gadis kecilnya itu seolah sudah hafal dengan seluruh lingkungan kerja Seungcheol dan Jeonghan. Ia akan duduk diam menggambar sesuatu atau membaca lewat iPad dan bukunya ketika menunggu ayah dan bia-nya selesai bekerja.

Obrolan Jeonghan dan Jisoo kemudian terhenti saat pintu apartemen dibuka, memperlihatkan 3 pria yang masuk bergiliran ke dalam. Elaine yang sedari tadi di kamar sepertinya mendengar pintu terbuka dan langsung berlari keluar.

Ketiga pria itu tersenyum menyambut kaki mungil Elaine yang mendekat ke arah mereka. Seungcheol sudah bersiap berlutut untuk memeluk sang putri kalau saja ia tidak ingat bahwa yang dituju putrinya sekarang sudah pasti bukan dirinya.

"Uncle Sollieee!!" teriak Elaine gembira. Ia menubruk tubuh Hansol yang sudah berlutut di lantai, merentangkan tangan untuk memeluknya.

"Halo, Angel!"

Seokmin dalam sekejap sudah bergabung dengan suaminya di sofa. Sementara Jeonghan kini ikut berdiri, mendekat ke arah Elaine dalam gendongan Hansol yang masih sibuk terkikik geli dan mencoba menjauhkan tangan Hansol yang sedang menggelitiknya.

"Kau sudah siap melihat awan lebih dekat?" tanya Hansol. Jemarinya sudah berhenti menggelitik tubuh keponakannya.

Tawa Elaine pun berhenti dan ia mengangguk dengan semangat.

Sejak Jeonghan dan Seungcheol memberitahu tentang rencana perjalanan mereka ke rumah sang nenek, Elaine langsung menelepon Hansol untuk bertanya. Ia begitu bersemangat menanyakan apakah itu artinya ia akan naik pesawat dan melihat awan lebih dekat seperti foto-foto yang sering Hansol kirimkan padanya.

Elaine memang belum pernah naik pesawat lagi sejak ia bisa mengerti dan mengenali banyak hal. Satu-satunya imajinasinya tentang pesawat hanya foto-foto yang dikirimkan Hansol padanya. Dibandingkan dengan Jeonghan dan Seungcheol—yang sejak kelahiran Elaine tidak banyak melakukan perjalanan bisnis—pekerjaan Hansol memang lebih banyak membawanya berpergian dari satu negara ke negara lain. Hal-hal baru seperti inilah yang selalu menarik bagi Elaine.

"Apa kita nanti akan bertemu Kak Boobear juga di sana?"

Hansol tersenyum dan mengangguk. Sudah sejak tahun lalu kekasihnya melanjutkan pendidikan di sana. Itu sebabnya saat kedua kakaknya menawarinya ikut ke New York tahun ini, Hansol langsung mengiyakan. Ia bersyukur pengajuan cutinya disetujui meski hanya satu minggu yang didapatkannya.

"Kalau begitu, ayo, ambil kopermu!"

Seungcheol dan Jeonghan yang kini berdiri bersisian hanya saling memandang sejenak sebelum sama-sama mengalihkan pandangan secara halus. Sudah dua hari komunikasi mereka memburuk, membuat keduanya lebih memilih untuk diam kecuali jika berhubungan dengan Elaine. Meskipun sedang dalam situasi canggung, mereka sudah berjanji tidak boleh dan tidak akan pernah memperlihatkannya pada Elaine.

"Aku akan mengambil koper kita," kata Seungcheol.

Jeonghan hanya menjawab "Ya" begitu pelan sebelum bergabung kembali dengan Jisoo dan Seokmin di sofa.

"Jangan lama-lama," sindir Jisoo pelan sementara Jeonghan hanya mencibir sebagai jawaban.

Seokmin dan Jisoo menunggu mobil mereka pergi sebelum pulang sendiri ke rumah. Dan selama perjalanan ke bandara, keheningan di antara Seungcheol dan Jeonghan belum juga berakhir. Apalagi Elaine sedang berbagi earphone dengan Hansol dan sibuk dengan iPad-nya, entah mendengarkan apa. Keduanya tentu saja tidak menyadari jika dua orang di depannya sedang terjebak dalam situasi sesak tak berujung.

Saat mereka akhirnya tiba di bandara, Elaine buru-buru menarik Hansol agar menemaninya ke toilet. Seungcheol kemudian berujar, "Pergi saja lebih dulu dan tunggu di dalam. Aku dan Jeonghan yang akan mengurus kopernya." Hansol pun berlalu begitu saja dengan menggendong Elaine, meninggalkan Jeonghan dan Seungcheol yang masih duduk di kursinya.

"Ayo, turun," kata Jeonghan setelah lima menit terjebak canggung karena anak dan adiknya pergi lebih dulu.

"Han," panggil Seungcheol, menghentikan semua niatan Jeonghan.

"Apa?"

"Kau tidak perlu—"

"Memikirkan obrolan kita tempo hari?" tanya Jeonghan dengan sedikit kesal. "Mana mungkin aku tidak memikirkannya."

Seungcheol meraih tangan Jeonghan dan menggenggamnya. "Bukan begitu maksudku."

Jeonghan hanya menghela napasnya dengan keras.

Mereka baru saja bercinta dinihari itu, keduanya berbaring berhadapan, saling melarikan jari-jari mereka untuk menelusuri tubuh satu sama lain.

"Han, kau sudah mau menikah denganku?"

Tangan Jeonghan yang sedari tadi meraba dada Seungcheol berhenti. Ia menengadah untuk menatap Seungcheol dibalik lampu tidur yang temaram. Meski ini bukan pertama kalinya ia mendengar Seungcheol melamarnya, bibirnya masih saja sulit untuk menemukan jawaban yang tepat.

Jeonghan sebenarnya tidak pernah mempermasalahkan kapan dan di mana Seungcheol melamarnya — bukan berarti sekarang tidak layak karena mereka sedang sama-sama telanjang dan lelah akibat bercinta. Dulu Seungcheol pertama kali melamarnya saat Elaine berusia dua tahun—itu pun setelah memastikan Jeonghan benar-benar sudah berdamai dengan masa lalunya. Seungcheol mengatakannya saat keduanya sedang duduk berdua di dapur setelah membereskan kekacauan pesta ulang tahun Elaine. Lalu tahun lalu, saat mereka berdua sedang merayakan ulang tahunnya sendiri. Hari itu Seungcheol bahkan menyewa restoran dan memberinya cincin secara resmi—Seungcheol memintanya tetap menyimpan cincin itu jika suatu hari ia sudah bisa menjawab.

Jeonghan hanya masih tidak tahu harus menjawab seperti apa, dan Seungcheol sudah sangat pengertian untuk menunggu dan memberinya waktu.

"Belum, ya?" Suara Seungcheol lebih dulu terdengar sebelum Jeonghan sempat menyusun kalimat karena sibuk dengan lamunannya. "Kita tidur saja sekarang kalau begitu."

Dan sejak kalimat itu terlontar dari bibir Seungcheol, mereka kemudian tidak saling bicara keesokan harinya hingga hari ini. Jujur saja, Jeonghan benar-benar merasa bersalah karena hal itu. Dan ia juga tahu Seungcheol merasakan hal yang sama. Pria itu pasti sibuk menyalahkan dirinya karena merasa terlalu menuntut jawaban dari Jeonghan.

Jeonghan memang sudah lama menyadari bahwa dirinya sudah berjalan di sisi yang sama dengan Seungcheol. Semua hubungan dan perasaan yang dulu terasa mustahil bagi mereka, kini mengikat erat menjadi satu simpul yang utuh dan kuat. Tapi sekalipun begitu, membicarakan komitmen seperti pernikahan bukanlah keputusan yang mudah. Toh selama ini mereka sudah cukup dengan hubungan yang terjalin di antara mereka. Hanya saja sampai kapan?

Jeonghan kemudian meremas tangan Seungcheol sebelum melepaskannya, membuat sang pria merasa kebingungan sesaat. Tangan Jeonghan kemudian merogoh sesuatu di sakunya sebelum berkata, "Kita mungkin harus menikah lebih cepat sebelum adik Elaine lahir." Ia meraih tangan Seungcheol dan menyerahkan test pack yang menunjukkan dua garis di atasnya.

Itu mungkin jawaban yang terkesan ambigu. Tapi Seungcheol tidak sebodoh itu untuk mengerti apa yang Jeonghan maksud, kan?

Namun, Seungcheol benar-benar masih membeku saat Jeonghan tersenyum jahil dan mencuri satu ciuman kilat di bibirnya untuk menyadarkannya dari keterkejutan. Jeonghan kemudian berniat keluar dari mobil untuk segera menyusul Elaine dan Hansol. Tapi sebelum tangannya berhasil menarik handle pintu mobil, Seungcheol lebih dulu meraih tubuhnya. Bibir Seungcheol dan Jeonghan kini kembali bertemu, sama-sama memberi ciuman yang terasa seperti seribu keabadian dalam satu waktu.

Continue lendo

Você também vai gostar

506K 37.6K 59
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
512K 5.5K 88
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
12.2K 715 17
8 tahun pernikahan dan tiba-tiba saja Seungcheol ingin bercerai. Bagaimana nasib Jeonghan setelah perceraiannya dengan Seungcheol. ______ 🏅Highest...
100K 9.7K 26
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...