Kidung Merah Jambu

By nonimukti

16.2K 4.4K 904

Rindu Rembulan terancam drop out jika tidak menyelesaikan tugas akhirnya semester ini. Di tengah tekanan pros... More

🍁 1. Duka Gila 🍁
🍁 2. Mati Gaya 🍁
🍁 3. Gagal Paham 🍁
🍁 4. Dipersulit 🍁
🍁 5. Tujuan Tanpa Manfaat 🍁
🍁 6. Kenyataan 🍁
🍁 7. Terkhianati 🍁
🍁 8. Kompromi 🍁
🍁 9. Sisi Lain 🍁
🍁 10. Belenggu Rasa 🍁
🍁 12. Bimbang 🍁
🍁 13. Kepo 🍁
🍁 14. Tak Rela 🍁
🍁 15. Satir 🍁
🍁 16. Terpojok 🍁
🍁 17. Spontan 🍁
🍁 18. Menghindar 🍁
🍁 19. Pacar? 🍁
🍁 20. Pemahaman 🍁
🍁 21. Bukan Liburan 🍁
🍁 22. Resah 🍁
🍁 23. Istimewa 🍁
🍁 24. Terlambat? 🍁
🍁 25. Fakta 🍁

🍁 11. Intervensi 🍁

576 171 19
By nonimukti

Malam, temans. Yang kangen Rindu langsung merapat, yaa ....

"Ndu, senggang?"

Rindu yang baru keluar kamar menoleh pada Rina di ruang tengah. Mamanya terlihat sibuk melipat kotak-kotak nasi, sedangkan papanya sibuk dengan kalkulator dan tumpukan nota.

"Kenapa, Ma?" Alih-alih menjawab pertanyaan mamanya, Rindu pilih balik bertanya. Mamanya butuh pertolongan jika sudah bertanya begitu.

"Kamu antarlah adikmu berangkat sekolah!" Rina meletakkan selembar uang di meja. "Sekalian mampir ke pom bensin."

"Iya." Rindu menutup pintu kamarnya. "Ayo, Dek!"

"Tunggu, Ndu!" Suara Dayat menghentikan langkah Rindu. "Kamu hitunglah nota-nota itu, sekalian buatkan tagihan untuk pelanggan yang nasinya harus diantar siang ini!"

Rindu mengeluh dalam hati. Bakal lama urusan kalau berkutat dengan nota dan tagihan. Meski begitu, apa yang bisa dikatakannya? Orang tuanya jarang meminta tolong. Rasanya tidak etis kalau dia menolak padahal sering merepotkan orang rumah dengan urusan dagangannya.

"Oke, Pa!"

Rindu mengambil alih tempat duduk Dayat setelah beliau beranjak. Matanya mengamati angka-angka beserta nota-nota yang sudah dipisah termasuk tagihan yang harus dibuat. Kapan selesai kalau kerjanya manual begitu? Taruhan, di rumah sebelah pasti sedang terjadi keributan karena makanan harus diantar tepat pada jam makan siang.

Tanpa banyak bicara, Rindu beranjak ke kamar. Dia keluar lagi dengan laptop di tangan dan mulai bekerja. Untuknya, bekerja dengan lembar excel lebih cepat daripada harus menekan kalkulator. Lagi pula, minim kesalahan atau bahkan tanpa kesalahan asalkan input angkanya benar.

"Aku ke sebelah dulu, Ma," kata Rindu setelah selesai dengan pekerjaannya.

"Beresin dulu notanya, Ndu! Mama mesti bayar pesanan di toko depan."

"Sudah, kok, Ma." Rindu menunjuk tumpukan kertas di sisi printer. "Total belanja bahan di toko depan dan semua yang harus dibayar serta tagihan untuk pesanan siang sampai sore. Semua beres."

"Cepat amat?" Rina tampak heran. "Papamu ngerjakan itu sejak selesai subuh gak selesai, la kamu nggak ada sejam beres."

"Pakai komputer, Ma. Lebih cepat."

"Sakjane (sebenarnya) pintar, kenapa tugas akhir aja kok nunggu mau DO? Aneh."

Rindu berlalu dari hadapan Rina sebelum segala sesuatunya jadi panjang. Menurutnya, tidak ada hubungan antara pintar dan tugas akhir tepat waktu. Yang benar-benar pintar saja ada yang mendadak bego, apalagi yang pas-pasan macam dirinya. Jangan berharap terlalu tinggi, daripada kecewa.

"Mbak Risma ... Rindu bisa bantu apa?" Rindu sudah duduk di lantai seraya mengamati karyawan mamanya yang sedang sibuk dengan sambal. "Itu ngapain sambel kok masuk plastik begitu? Cup khusus sambel mana?"

"Cup apa maksud Mbak Rindu?" Risma tidak paham ucapan Rindu. Selama dia bekerja, sambal selalu dimasukkan plastik.

"Kudet!" olok Rindu. Dia bangkit dan berjalan menuju lemari penyimpanan. Diraihnya sebuah plastik besar berisi cup mungil yang sudah jadi satu dengan tutupnya. "Ini apa?"

"Mbak Rinduu ...." Risma tertawa dengan wajah memerah. "Lupa kalau itu tempat sambel. Bapak sudah bilang padahal."

"Pikun." Rindu kembali duduk setelah menerima kerupuk yang sudah dimasukkan plastik. "Tuang lagi sambalnya, Mbak Ris! Trus pake cup itu aja. Lebih cepat dan nggak ribet."

"Siap, Mbak Rindu. Untung sampean (kamu) datang. Jadi nggak diomelin sama Ibuk."

"Memangnya, Mama suka ngomel?"

"Ya enggak, Mbak. Cuma kalau pas keteteran aja jadi suka panik. Trus panjang urusannya."

"Ya wes. Tak bantu, tapi semangat kabeh (semua)."

Rindu memasukkan kerupuk ke dalam kotak nasi yang sudah berisi nasi bungkus daun pisang, ayam bakar, dan sambal. Setelahnya, dia menutup kotak itu sebelum diserahkan pada Risma untuk diikat per sepuluh kotak. Dengan empat orang melakukan pekerjaan ini, satu pesanan hampir selesai.

"Pesanan ini berangkat sama apa, Mbak Ris?" Rindu menutup kotak terakhir.

"Berikutnya, kita kemas nasi, sayur asem, nila goreng, dan sambal. Pesanan kantor kabupaten itu."

"Gas saja kerja. Aku bisa bantu itu." Rindu membuktikan ucapannya dengan menggeser tumpukan nasi bungkus daun pisang dalam loyang besar. Cup berisi sayur asem menyusul muncul dari dapur beserta nila goreng yang masih panas.

"Woi, ada Mbak Rindu. Kok diam-diam aja datangnya, Mbak Ndu?" Wanda, perempuan lincah bagian dapur muncul dengan mentimun yang baru dicuci.

"Masa mau teriak-teriak?"

"Waah, makasih, Mbak Rindu. Pasti cepat kelar kalau Mbaknya bantuin juga."

"Makasih tok (saja)? Kecut (asem), Mbak."

"Tak buatkan bening bayam nanti, sama udang cabe garam," janji Wanda antusias. "Sudah, Mbak. Aku lanjut bantu Budhe Parti masak dulu."

Rindu kembali ke tempat duduknya dengan pisau di tangan. Sebentar saja, dia asyik memotong mentimun dan selada keriting. Tangannya bergerak cepat, sudah terbiasa dengan pekerjaan itu.

"Sampean nggak dolan, Mbak?" tanya Risma di antara kesibukannya memasukkan makanan ke kotak. "Sudah lama nggak lihat bawa tas yang tingginya melebihi kepala."

Rindu tersenyum. Tentu saja dia rindu untuk mendaki gunung. Sekadar panjat tebing atau arung jeram. "Lagi tugas akhir. Nggak bisa pergi-pergi."

"Jadi sarjana itu menyenangkan ya, Mbak?"

Mau dikatakan senang, ya, senang. Mau dikatakan tidak, ya, tidak. Tinggal dilihat dari sisi mana. Di posisi Rindu, bisa jadi sarjana itu tidak menyenangkan karena melewati proses yang menurutnya sulit dan menyebalkan. Kalau proses menjadi sarjana harus mendaki ke Puncak Mahameru sebanyak sembilan kali, dia akan lulus dalam tujuh semester.

"Tergantung dari mana Mbak Risma lihat," jawab Rindu.

"Gimana maksudnya itu, Mbak?"

"Ada, 'kan, yang lulus SMK sudah kerja? Mereka nggak mau kuliah karena sudah punya bekal cukup untuk diaplikasikan di dunia kerja. Atau, yang merasa cukup hanya setelah lulus SMK jurusan tata boga. Mereka sudah bisa kerja di dapur hotel atau restoran. Dengan pemikiran itu, mereka tidak suka jadi sarjana. Buat apa jadi sarjana kalau mereka sudah bisa bekerja di tempat bagus?"

Seperti aku, batin Rindu. Sebenarnya aku tak butuh sarjana, tapi orang tuaku ingin punya anak sarjana. Jadi, aku tersesat di antara pemikiranku dan keinginan orang tuaku.

"Tapi, kudengar kuliah itu asyik, Mbak?"

"Ya tergantung masing-masing orang."

"Tugas akhir katanya sulit, Mbak?"

Rindu menatap Risma. Karyawan mamanya ini berusia dua puluh tahun, memiliki semangat kerja tinggi dan supel. Gadis itu bekerja karena orang tuanya bercerai. Tidak tega membiarkan ibunya menjadi tulang punggung keluarga. Budhe Parti, tukang masak mamanya adalah ibu Risma.

"Dibilang sulit ... ya, nggak juga. Nyatanya banyak yang bisa. Dibilang mudah ... nggak begitu juga karena banyak yang telat."

"Jadi, tergantung niat masing-masing, ya, Mbak Rindu?"

"Iya." Rindu mengangguk. "Itu, tahu."

"Ya karena Mbak Rindu jelasinnya detail banget."

Pekerjaan terus berjalan diselingi obrolan ringan. Tak terasa, kiriman siang selesai dan diantar tepat waktu. Setelah ruangan dibersihkan, Rindu membantu menyiapkan untuk kiriman sore. Sepuluh tampah nasi liwet.

"Rindu!"

Ruangan yang semula ceria penuh canda, mendadak senyap. Wanda malah sudah melipir ke dapur menyelamatkan diri. Begitu pula Risma. Budhe Parti muncul dari dapur dengan wajah lelah bersimbah keringat.

"Ya, Tante?" Rindu menoleh ke arah pintu penghubung yang menghubungkan tempat kerja dan rumah utama. "Tante mau makan?"

"Nasib kuliah sudah diujung tanduk, malah asyik di sini. Memangnya kalau suara tawamu kedengaran sampai luar sana, kamu bisa lulus?"

"Memangnya salah kalau aku bantu kerjaan Mama?" Rindu masih kalem.

"Salah!" jawab Leni keras. "Prioritasmu sekarang itu menjadi sarjana. Jangan malu-maluin papamu!"

"Jangan malu-maluin Papa atau Tante?"

"Anak kemarin sore, dikasih tahu bantah terus. Begitu tata kramamu?"

Kali ini, Rindu tidak menjawab ucapan tantenya. Setiap hari, kapan pun mereka bertemu, si tante selalu mengomelinya perkara kuliah. Bagi Leni, Rindu tak lebih dari anak nakal yang tak bisa dibanggakan.

"Pantesan ndak laku-laku, galaknya begitu. Lakik ya takut mau dekat-dekat," bisik Budhe Parti. "Jangan begitu kelakuanmu, Ndu. Biar banyak lakik yang seneng. Nikahnya tinggal milih."

"Iya, Budhe."

"Kalian ngatain aku?" Tak disangka, bisikan itu didengar Leni hingga perempuan itu berbalik.

Mampus, batin Rindu. Sebentar lagi, papanya akan memberi kuliah dua sks dan dia harus berpikir cepat untuk mencari jalan keluar. Punya satu tante, sensinya sampai ujung langit.

Nggak selamanya punya tante dosen itu menyenangkan. Iya apa iya? Hyuk lah kasih saia komen yang banyak.

Love, Rain❤

Continue Reading

You'll Also Like

820 100 18
Ini cerita tentang Haras dan Arindu. Ditengah kesulitan ekonomi yang menghimpit, Arindu harus mengencangkan pinggang dan bekerja jauh lebih keras, sa...
9.5K 1.6K 25
Sebuah kisah yang menceritakan tentang pengorbanan seorang lelaki untuk gadis yang dicintainya, tapi tidak mendapatkan balasan yang sepadan.
1.5M 73.4K 52
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
37.8K 7.8K 29
Cover by @DedyMR Lava menolak pria mapan yang berniat membina hubungan serius dengannya. Dia memilih Candra, pria biasa yang justru berhasil menarik...