Rasakanlah!

Autorstwa Peri_Anggrekkk

5.8K 617 1.4K

"Kamu nggak pernah bisa menempatkan diri kamu jadi orang lain. Itulah kekurangan kamu." "Aku memang nggak per... Więcej

Bab 01
Bab 03
Bab 04
Bab 05
Bab 06
Bab 07
Bab 08
Bab 09
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28

Bab 02

459 54 163
Autorstwa Peri_Anggrekkk

Sepuluh tahun yang lalu.

Bocah berpipi chubby yang saat itu berusia tujuh tahun terduduk di perkarangan rumah. Gaun princessnya telah kotor terkena genangan air akibat hujan yang turun pagi tadi. Bocah mungil itu mendongakkan kepalanya, sengaja memperlihatkan pada semua orang bahwa dirinya sedang menangis. Bibirnya bergetar dan air mata sudah membasahi pipinya. Wajahnya pun memerah, sepertinya ia sudah lama menangis.

"Nenek!!"

"Bunda!!"

"Papa!!"

Sasya terus memanggil sampai ada yang menghampirinya tanpa merubah pose duduknya. Seluruh penghuni rumah tersebut keluar---panik. Terlebih lagi Nenek Ulanni yang sering Sasya panggil dengan sebutan Nenek Ula itu melihat kondisi cucu kesayangannya sedang terisak di tanah.

Ada tiga bocah laki-laki yang berdiri melingkari Sasya. Masing-masing dari mereka ditarik orang tuanya untuk dimarahi. Kecuali Agam, orang tuanya tidak ada di rumah Nenek Ula.

Di hari-hari tertentu, seluruh anggota keluarga berkumpul di rumah Nenek Ula. Namun, kedua orang tua Agam enggan datang. Hubungan mereka memang kurang baik. Karena itu, orang tua Agam menyuruh Agam yang datang mewakili mereka.

"Nenek!!" Sasya makin sesenggukan.

"Cucu Nenek kenapa?" Nenek Ula berjongkok dan menghapus air mata Sasya.

"Nggak apa-apa, Ma. Sasya emang anaknya cengeng." Dania tidak enak pada mertua dan iparnya yang lain sebab puterinya yang sering mencari perhatian.

"Siapa yang jahat? Bilang sama Nenek," ujar halus Nenek Ula.

"Mereka jahat!!!" tuduh Sasya menunjuk ketiga sepupunya.

"Tadi, kami lagi main polisi-pencuri. Sasyanya marah karena kami nggak ajak," protes Adnan yang saat itu berusia delapan tahun.

Sasya kecil memperkencang tangisannya. Seolah-olah hal yang menimpanya lebih dari itu.

"Nggak mungkin cuman kayak gitu aja, Sasya bisa nangisnya kayak gini," ujar Rukma---menjewer telinga Adnan sembari membawa masuk puteranya ke dalam rumah untuk dimarahi.

"Sasya nggak jatuh, Buuu... Sasya tiba-tiba duduk disitu pas kami lagi main kejar-kejaran," ucap Kaivan meyakinkan Yumi---ibunya yang terkenal paling tegas dan kejam dari iparnya yang lain.

Yumi menatap sadis anak laki-lakinya yang berumur delapan tahun itu. Kaivan berkedip cepat. Hal yang paling ditakuti Kaivan di dunia ini adalah Ibunya.

"Besok-besok bikin Sasya nangis lagi ya," titah lembut Yumi dengan arti keterbalikkan sambil tangannya mencubit pinggang Kaivan.

"Masuk!" suruh Yumi.

Kaivan melangkah pelan disusul Yumi. Setelah itu, barulah Dania menggandeng Sasya---membawa Sasya masuk ke dalam rumah untuk dimandikan lagi.

Aturannya di keluarga tersebut---siapapun yang menangis akan selalu dibela.

Di tempat itu, tinggallah Nenek Ula dan Agam. Tatapan yang Nenek Ula berikan adalah tatapan kecewa. Agam tidak tau harus beralasan apa, sebab ia tidak melakukan kesalahan apapun.

"Nenek..." panggil Agam kecil yang sebaya Sasya.

Kemudian, Nenek Ula berjongkok, mensejajarkan tubuhnya agar setara dengan Agam. Nenek Ula tersenyum, lalu memegang kedua bahu Agam.

"Agam harus ngalah sama Sasya. Agam harus ngelindungi Sasya. Ingat?" pesan Nenek Ula.

"Kenapa?" polos Agam.

"Karena Agam... cowok," terang Nenek Ula.

"Cowokkan yang ngelindungi cewek. Jadi, Agam jangan bikin Sasya nangis," lanjut Nenek Ula.

"Tapi, kenapa Agam harus ngalah sama Sasya?" heran bocah laki-laki itu.

"Karena... Nenek sayang sama Sasya."

"Nenek nggak sayang sama Agam?" batin Agam sedih.

Agam diam sebentar, Ia menatap sorot mata Nenek Ula lekat. Hingga, tidak ada keraguan lagi di hati Agam, dan berani membuka suara.

"Agam janji bakal jagain Sasya," ucap Agam yakin.

Nenek Ula tampak bahagia, ia mengelus puncak rambut Agam. Lalu, Nenek Ula melenggang pergi meninggalkan cucunya yang masih mematung. Agam menatap nanar punggung Neneknya yang mulai menjauh.

Diantara sepupunya yang lain, Agamlah yang paling terabaikan. Agam seperti orang asing di rumah ini. Kalau bukan paksaan dari orang tuanya, Agam tidak akan datang ke rumah ini, tempat yang dirinya hanya dianggap angin.

Terkadang bocah laki-laki itu berpikir, apakah Agam diremehkan karena orang tuanya miskin? Bukankah itu tidak ada sangkut pautnya dengannya? Mengapa harus ia yang terkena imbasnya?

***

Kini, kembali di perlihatkan Sasya dan Agam yang sudah berusia tujuh belas tahun. Bocah kecil itu sudah tumbuh besar dengan baik.

"Agam janji bakal jagain Sasya." Janji yang Agam ucapkan sepuluh tahun yang lalu pada Nenek Ula tiba-tiba muncul di benaknya. Terlepas entah bagaimana perlakuan Nenek ula dan Sasya kepadanya. Bagi Agam, janji tetaplah janji. Sebagai Cowok, tidak ada alasan untuk Agam mengingkari janji tersebut.

"Akuuu takuttttt," rengek Sasya lirih yang mulai menangis.

Agam mengambil tangan Sasya, kemudian memegangnya erat. Hari ini, Agam akan melindungi satu-satunya sepupu cewek yang ia punya itu semampunya. Itulah tanggung jawab yang dipegang Agam saat ini.

"Kamu tau apa yang harus kita lakuin sekarangkan?" tanya Agam mengintruksi.

Sasya menganggukkan kepalanya pelan.

Tepat di detik ketiga, dua remaja itu pun berlari sekencang mungkin. Tidak ada arah dan tujuan. Yang terpenting bagi mereka adalah bisa kabur sejauh-jauhnya dari kejaran pria misterius yang mengenakan jas hujan berwarna hitam---padahal tidak sedang hujan.

Sasya dan Agam memasuki gang sempit dan sepi yang mereka sendiri tidak pernah lalui.

Langit yang mulai gelap dan mendung ditambah gerimis, juga tidak ada lampu yang terpasang menambah suasana mencekam di gang itu.

Hingga, genggaman tangan Sasya terlepas dari Agam. Sasya ngos-ngosan, ia belum pernah berlari sejauh ini. Sasya membungkuk---memegang lututnya yang ia gunakan sebagai tumpuan. Sasya mengatur deru napasnya yang tidak beraturan.

Seketika, Sasya melebarkan matanya saat merasakan bahu kanannya di tepuk seseorang. Bahkan, ia tidak memiliki keberanian untuk menoleh dan mencari tau siapa sosok yamg berdiri di belakangnya.

Berbarengan dengan hujan yang mulai turun, Sasya mencium aroma amis. Rasanya Sasya ingin muntah saat itu juga, benar-benar memualkan. Bau menyengat itu seperti ikan yang telah lama busuk.

Sasya memejamkan matanya, ia akan menggunakan semua keberaniannya saat ini.

"Tolong!!!" pekik Sasya melengking dan menggema di gang sempit itu.

***

Hari yang sama pada saat Sasya berbuat ulah yang mengakibatkan Adnan, Kaivan, dan Agam di marahi tepat pada sepuluh tahun yang lalu.

Sasya kecil sudah selesai mandi. Ia mengenakan dress selutut berwarna pink, senada dengan bando berbulu terpasang rapi di rambutnya.

Tadi, Tiga sepupunya dimarahi habis-habisan dan Sasya puas sekali. Begitulah akibatnya jika berurusan dengan Sasya.

Sasya kesal sebab mereka tidak mengizinkannya ikut permainan polisi-pencuri. Dengan alasan Sasya cewek, mereka tidak mau Sasya jatuh. Para sepupunya itu percaya, Sasya pasti mudah menangis. Jika Sasya nangis, bukankah mereka juga yang repot?

Ternyata, Sasya malah berulah. Ia mendudukkan dirinya di genangan air hujan, kemudian terisak tangis tanpa ada yang menganggunya.

Sasya melihat Kaivan, Adnan, dan Agam yang sedang tenang menonton kartun di tv. Sasya tidak akan membiarkan ketenangan mereka bertahan lama, Ia lalu duduk di antara mereka.

"Pengen jelly," ucap Sasya.

Tidak ada yang merespon. Mereka masih asik menonton tv.

"Pengen jelly!!" Sasya menaikkan nada bicaranya.

Ketiga sepupunya pun menghembuskan napas panjang. Sasya benar-benar membebankan mereka.

"Sana!" Adnan menoleh pada Kaivan dan menunjuk ke arah dapur menggunakan dagunya.

Kemudian, Kaivan menoleh pada Agam, "Sana!" suruhnya dengan gaya yang sama seperti Adnan lakukan.

Jika diurutkan, yang paling berkuasa adalah Adnan, lalu baru Kaivan. Namun, mereka semua masih berada di bawah Sasya. Bahkan, Nenek Ula saja kalah. Sasyalah bos sesungguhnya di rumah ini.

Agam mengalah, ia mengambilkan jelly yang ada di dalam kulkas. Barulah ia memberikannya pada Sasya.

"Makasihhh," ucap Sasya manis.

Ketika Agam hendak duduk. Adnan bersuara, "Ambilin keripik, tiga bungkus." kemudian Adnan melanjutkan, "Tolong."

Agam pun berdiri dan baru saja kakinya mulai melangkah. Kini, giliran Kaivan pula yang berucap, "Aku juga mau keripik, bawain juga ya?"

Bocah laki-laki itu mengangguk. Ia mengambilkan sesuai dengan permintaan dua sepupunya itu.

Sasya yang memakan jellynya pun tergiyur melihat sepupunya yang sedang memakan keripik, dan terlihat sangat lezat. Tanpa permisi, ia mengambil semua bungkusan yang ada di meja.

"Sasya, itu punya aku!!" berontak Kaivan dan Adnan bersamaan.

"Sasya pengen, berarti udah jadi punya Sasya," enteng Sasya.

Kaivan dan Adnan merebut keripik yang mereka yakini milik mereka dari pangkuan Sasya.

Sasya yang melihat pangkuannya sudah kosong pun menyenderkan punggungnya di sofa. Ia memajukan bibirnya. Menarik napas perlahan, kemudian mengeluarkan jurus andalannya.

"Nenek!!"

Kaivan dan Adnan panik, rasa sakit bekas dijewer dan dicubit oleh Yumi dan Rukma saja masih terasa sampai sekarang. Mereka tidak mau kejadian tadi terulang kembali akibat ulah Sasya.

"Nih, untuk Sasya semuanya," ucap Adnan sembari memberikan semua keripik yang ada di pelukannya dan Kaivan juga melakukan hal serupa.

Sasya membuka sebungkus keripik tersebut dengan gaya makannya yang sengaja ia buat-buat.

"Makanya, jadi Sasya!!" bangga bocah perempuan berumur tujuh tahun itu.

Agam sedari tadi hanya menyimak saja. Lalu, di kepalanya terbesit, "Seandainya aku jadi Sasya."

***

Remaja laki-laki itu berlari secepat yang ia bisa dari kejaran cowok misterius---memakai jas hujan berwarna hitam yang sudah mengikuti mereka sedari tadi.

Hujan yang turun mulai deras. Disaat genting seperti ini, Agam masih memikirkan nasib bukunya yang basah di dalam tas ransel berwarna hitam. Agam harus segera pulang dan menjemur buku-bukunya tersebut.

Agam sedikit lega, ia hampir sampai di ujung gang, namun teriakan itu membuat langkahnya terhenti.

"Tolong!!!"

Suasana gang yang sunyi, membuat Agam dengan jelas mendengar suara melengking yang sangat familiar di telinganya.

"Sasya?" tanya Agam pada dirinya sendiri.

Agam menoleh ke kiri dan kanan. Di manakah cewek cerewet itu?

Sejak kapan genggaman tangannya lepas? Bahkan, Agam sampai tak menyadari itu. Agam frustasi, padahal Agam bisa saja berhasil kabur jika Sasya tidak tertinggal.

Agam mengacak rambutnya yang basah. Lalu, pemuda itu memutar arah untuk menyelamatkan Sasya.

Tidak jauh Agam berlari, ia pun menemukan Sasya yang sedang menangis dan berdiri---punggung Sasya menghadap pria tersebut.

Agam tidak tinggal diam, ia menaruh tas ranselnya ke sembarang tempat. Setelah itu, Agam siap melayangkan pukulan.

Sayangnya, pukulannya tidak tepat sasaran. Pria tersebut selalu saja berhasil menghindar. Malah, Agam kalah telak. Beberapa kali Agam jatuh tersungkur.

Sasya tidak bisa hanya diam dan menonton. Sasya pikir, dua akan menang melawan satukan? Ia pun melemparkan tasnya yang ia tujukan pada Pria misterius itu, dan lagi, selalu saja tidak mengenainya.

Sasya pun berlari maju---berniat membantu Agam yang sebenarnya bagi Agam hanya merepotkannya saja.

"Mundur!!" titah Agam.

Sasya sama sekali tidak mengubris larangan Agam agar dirinya jangan mendekat. Sasya sudah membulatkan tekadnya. Sasya akan ikut bertarung melawan Pria aneh dan mengesalkan baginya.

Hujan masih belum reda. Dua remaja itu, kini berdiri bersampingan dengan seragam yang sudah basah. Kemudian, mereka saling pandang.

Sekarang, fokus Agam dan Sasya telah tertuju pada sosok pria di hadapan mereka. Pria yang entah dari mana asalnya itu, yang membuat Sasya dan Agam harus mengalami kejadian sial ini.

Penutup kepala Pria berbadan tinggi dan besar tersebut sedikit terangkat. Agam dan Sasya hanya bisa melihat bagian bawah wajahnya saja. Mereka belum tau, siapakah sosok dibalik jas hujan itu?

Pria misterius tersebut menyunggingkan senyuman smirk yang membuat Sasya bergidik ngeri.

"Semua ini gara-gara kamu," ceplos Sasya lirih yang mampu di dengar Agam.

"Udah mau di tolongin, nggak tau diri," balas Agam.

Sasya merasa sudah sepantasnya Agam membantunya, sebab masalah ini bermula dari Agam. Coba saja motor Agam tidak mogok di jalan, Sasya pasti sekarang sudah tiduran dengan santai di kamarnya.

"Agam!!" Sasya menghentikan langkahnya.

"Apa?!" nyolot Agam---membalikkan badannya menghadap Sasya.

"Aku sial banget hari ini, gara-gara kamu." Sasya mulai mengoceh dalam satu tarikan napas. "Udah motor butut kamu mogok, aku harus jalan kaki, terus di kejar-kejar orang gila. Baunya amis lagi, entah seminggu full diaaa---" tunjuk Sasya pada Pria misterius yang sedang diam mengamati Sasya dan Agam bertengkar---pria misterius tersebut telah mereka abaikan. "Rendaman pakai air ikan busuk. Bau banget, sumpah!!"

"Sasya, kamu pikir diri kamu itu yang paling berharga? Nggak mau dibilang salah. Sukanya nyalahin orang. Habis ini kamu mau apa? Mau ngadu ke Nenek? Ke Mama aku? Terserah! Aku nggak peduli." Agam yang lelah pun mulai terpancing emosi.

"Iya, aku bakal ceritain kejadian ini sama semuanya!!" ancam Sasya.

"Dari sudut pandang kamu?" tanya Agam.

Sasya bungkam yang artinya 'Benar'

Agam terkekeh sinis, "Kamu nggak pernah bisa menempatkan diri kamu jadi orang lain. Itulah kekurangan kamu."

"Aku memang nggak pernah bisa karena aku nggak pernah ada di posisi orang lain. Dan aku nggak akan pernah tau penderitaan orang lain sebelum aku ngerasainnya sendiri!!" sahut Sasya lantang.

"Kalau gitu, coba kamu ngerasain jadi aku bentar aja, bisa?" tantang Agam.

Jangan lupakan Pria misterius, ia masih ada di tempat itu. Kali ini, Pria berjas hujan itu benar-benar diabaikan oleh dua remaja yang masih sibuk berdebat.

Hingga kepala bagian belakang Sasya dan Agam di pegang erat oleh Pria misterius yang tadi hanya menyimak.

Pria misterius itu menarik sebelah sudut bibirnya. Kemudian, membenturkan kepala Sasya dan Agam dengan kuat hingga menimbulkan bunyi yang begitu keras.

Pandangan Sasya mengabur, ia merasakan telinganya berdengung hebat. Setelahnya Sasya pun tergeletak pingsan.

Disisi lain, Agam sudah terbaring di jalan. Matanya sayup-sayup hendak tertutup. Ia mendengar suara langkah kaki yang seperti sedang menuju kearahnya. Namun, Agam sudah terlebih dahulu tak sadarkan diri.

***

Suara bising yang ditimbulkan dari keluarga pasien yang berada disatu ruangan dengan Sasya membuat Sasya mulai pulih kesadarannya. Totalnya ada enam pasien yang di rawat---termasuk Sasya.

Perlahan Sasya membuka mata, ia mengedarkan pandangannya di ruangan yang serba putih dengan bau aroma obat-obatan yang menyengat tercium di hidung Sasya--bau yang sangat Sasya benci.

Sasya sudah pernah bilang jika ia tidak mau diruangan umum seperti ini. Pokoknya Sasya harus di rawat khusus VIP. Sasya jengkel sekali. Apakah Bunda dan Papanya tidak sayang lagi pada Sasya? Mengapa Sasya bergabung dengan pasien asing?

Ditengah-tengah kekesalannya, Sasya bertambah marah saat tidak ada seorang pun yang menemaninya. Kemanakah pergi keluarganya? Bisa-bisanya mereka membiarkan seorang Sasya di rumah sakit sendirian.

Tubuhnya masih tidak bertenaga, Ia mencari keberadaan tas ranselnya yang berwarna merah muda. Lalu, ia melirik tas ransel yang ada diatas brankar di sampingnya.

Sasya mengernyitkan dahinya. "Itukan tasnya Agam? Kok bisa ketukar sihh," batin Sasya jengkel.

Tidak lama, Vidya---mama Agam masuk. Melihat Sasya yang kesulitan meraih tas berwarna hitam tersebut, Vidya pun membantu mengambilkannya dan menaruh di pangkuan Sasya yang posisinya sedang duduk.

"Makasih, Tante."

"Tante?" heran Vidya dengan alisnya tampak berkerut.

"Iya. Tante. Tante Vidya," ulang Sasya penuh penekanan sembari mencari ponsel Agam dari dalam tas ransel sepupunya itu agar ia bisa menghubungi Bunda dan Papanya.

Sasya merasa aneh. Suaranya---terdengar lebih berat.

Sasya coba memastikan lagi, "Bunda mana, Tan?"

Sasya membekap mulutnya cepat menggunakan tangannya sendiri. Ia tidak salah dengarkan?

Tidak sampai disitu, Sasya menaruh ponsel Agam ke depan wajahnya. Dan, apa yang selanjutnya terjadi? Layar benda pipih yang tadinya terkunci kini telah terbuka!! Sasya syok setengah mampus.

Tolong yakinkan Sasya bahwa saat ini Sasya sedang bermimpi. Ini semua tidak nyatakan? Sasya masih pingsankan?

"Agam, kamu kenapa?" ujar Vidya yang khawatir melihat tingkah anak pertamanya itu.

"Agam?"  batin Sasya pilu.

Sasya pun menjambak rambutnya---lebih tepatnya rambut Agam yang sedikit cepak dengan kuat.

"Aaaaaa!!!!" jerit Sasya histeris.

Bersambung
Jum'at, 22 Desember 2023

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

14.3K 542 36
Gus Dingin,Tampan,suka menghukum para santri,galak,tau carannya sendiri dalam masalahnnya Yang dikagumi banyak kalangan ning,ustadzah,bahkan santriny...
92.8K 6.3K 66
*Nightmare The Es Journey* Mimpi buruk seorang lelaki Kehidupannya berjalan sesuai teorinya, tetapi tidak sesuai dengan hatinya Pria itu pun, Membunu...
6.1M 335K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
7.1M 297K 60
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...