Kidung Merah Jambu

By nonimukti

16.2K 4.4K 904

Rindu Rembulan terancam drop out jika tidak menyelesaikan tugas akhirnya semester ini. Di tengah tekanan pros... More

🍁 1. Duka Gila 🍁
🍁 2. Mati Gaya 🍁
🍁 3. Gagal Paham 🍁
🍁 4. Dipersulit 🍁
🍁 6. Kenyataan 🍁
🍁 7. Terkhianati 🍁
🍁 8. Kompromi 🍁
🍁 9. Sisi Lain 🍁
🍁 10. Belenggu Rasa 🍁
🍁 11. Intervensi 🍁
🍁 12. Bimbang 🍁
🍁 13. Kepo 🍁
🍁 14. Tak Rela 🍁
🍁 15. Satir 🍁
🍁 16. Terpojok 🍁
🍁 17. Spontan 🍁
🍁 18. Menghindar 🍁
🍁 19. Pacar? 🍁
🍁 20. Pemahaman 🍁
🍁 21. Bukan Liburan 🍁
🍁 22. Resah 🍁
🍁 23. Istimewa 🍁
🍁 24. Terlambat? 🍁
🍁 25. Fakta 🍁

🍁 5. Tujuan Tanpa Manfaat 🍁

548 163 15
By nonimukti

Malam, temans. Yang nungguin Rindu mesti langsung merapat. Jangan sampe ketinggalan. Siapin kuaci, gorengan, dan minuman bersoda😁😁

Pukul sepuluh pagi, Rindu sudah menapak tangga menuju lantai dua gedung A. Di luar, keadaan tidak begitu ramai. Dia pikir, akan menyelesaikan revisi bab satu hari ini, dan segera lanjut ke bab berikutnya.

Perkiraan Rindu salah. Di depan pintu ruang Segara, ada setidaknya delapan mahasiswa sedang berdiri dengan kesibukannya masing-masing. Ada yang memegang tumpukan berkas, sibuk dengan ponsel, dan membicarakan sidang yang akan datang.

Rindu iri mendengar kata sidang. Dirinya tidak tahu akan memiliki kesempatan itu atau tidak. Yang dipikirkannya murni tentang waktunya yang tidak banyak sedangkan kapasitas otaknya biasa-biasa saja, bahkan cenderung di bawah rata-rata. Sidang masih jauh dari jangkauannya.

Rindu berdiri, ikut antrean tunggu untuk menemui Segara. Waktu berjalan sudah lebih dari setengah jam dan belum ada tanda-tanda mahasiswa di dalam akan keluar. Apa yang sedang dikonsulkan? Apakah mahasiswa itu sebego dirinya?

"Mbak," panggil Rindu mulai tak sabar, "lama amat yang di dalam. Berapa orang yang konsul?"

Rindu terlambat menarik ucapannya. Mestinya, dia tidak menanyakan pertanyaan bodoh seperti itu. Segara biasa menerima konsul tugas akhir atau proyek berkelompok. Salahkanlah otak buntunya yang tidak sabaran.

"Belum ada yang masuk, Mbak. Yang di dalam itu, tamunya Pak Gara."

Jawaban itu menjawab keingintahuan Rindu. Kalau begini lama proses membuat tugas akhir, mestinya dia mendengarkan ucapan orang tuanya. Tidak menganggap enteng semuanya dan berusaha serius.

Ketika teman sekelasnya lulus dua tahun yang lalu, Rindu tidak iri. Pergaulannya yang luas tidak membuatnya kesepian atau kekurangan teman. Pecinta alam masihlah wadah yang menurutnya tepat. Ekspedisi demi ekspedisi dia ikuti. Kegiatan lintas alam sampai berbagai pengamatan membuatnya semakin dikenal sebagai perempuan tangguh. Belum lagi usahanya menyediakan peralatan-peralatan petualang. Dimulai dari tas, carrier, daypack, carabiner, sepatu, sandal, tenda, dan seluruh perlengkapannya. Tidak ada yang tak dapat Rindu siapkan. Semuanya dipenuhi sesuai dengan permintaan meski dirinya tak pernah berhenti dolan.

Dengan semua kesibukannya, Rindu terlena. Lupa bahwa kuliah memiliki tenggat pasti yang tak bisa dilawannya. Ketika saat itu datang, dirinya benar-benar kelabakan. Tak ada lagi kata tak sempat, lelah, atau nanti saja. Sempat tak sempat, mau tak mau, dia harus maju. Tidak ada kata nanti meskipun pikirannya lelah.

Pintu ruang Segara terbuka. Pria itu mengantar tamunya yang masih sesekali membicarakan tentang peninjauan proyek. Oke, fine, semua orang menunggunya dan Pak Dosen tersayang sedang berurusan dengan duit besar. Harapannya, semoga proyek apa pun yang dikerjakan kaprodinya itu berhasil dengan baik supaya suasana hatinya melunak.

"Selamat siang, Pak."

"Siang." Segara menjawab sambil menyentuh hidung dengan telunjuk. "Masuk saja!"

"Duluan saja, Mbak!" Satu mahasiswa, entah semester berapa, mempersilakan sambil menatap Rindu sopan.

"Aku?" Rindu merasa ragu. "Aku datang belakangan."

"Nggak apa-apa. Santai saja, Mbak."

Rindu masuk lebih dulu, lalu duduk setelah Segara mempersilakan. Tanpa banyak bicara, dia menyerahkan file yang sudah diperbaiki. Dosennya minum air mineral yang sisa setengah gelas sebelum memasang kacamata dan mulai membaca.

"Kamu tahu bedanya tujuan dan manfaat?" tanya Segara tanpa mengalihkan pandangan dari file Rindu.

"Tahu, Pak," jawab Rindu yakin.

"Kalau begitu, kenapa kamu menulis banyak tujuan dan nggak ada manfaatnya?"

Rindu berkedip. Tidak ada manfaat? Dia ingat betul kalau sudah menulis tujuan dan manfaat seperti yang dosennya mau. Kemudian, mengapa sekarang jadi tidak ada manfaat?

"Maaf, Pak, saya ingat sudah mengetik tujuan dan manfaat. Bagaimana bisa sekarang jadi tidak ada manfaat?"

Segara melingkari paragraf yang dibuat Rindu. "Ini, coba baca!" Didorongnya kertas yang dia baca menjauh. "Saya tidak membaca bagian yang kamu sebut sebagai manfaat."

Rindu membaca kembali paragraf yang dimaksud Segara. "Ini manfaat, Pak."

"Manfaat itu diperoleh ketika tujuan tercapai. Sedangkan pekerjaanmu, semuanya adalah tujuan."

"Tapi, Pak ...."

"Kalimatmu memang berbeda, tapi sama saja. Manfaat yang kamu tulis, ya, tujuannya."

"Saya merasa itu berbeda, Pak!" sanggah Rindu. Setengah mati dia berpikir dan bagaimana bisa hasilnya sama? "Saya sudah membaca berkali-kali sebelum mulai menulis."

"Nyatanya, pekerjaanmu masih belum benar."

Segara menyampaikan kesalahan Rindu dengan bahasa yang halus. Namun, Rindu yang merasa jengkel menganggap bahwa Segara mencari-cari kesalahannya. Dia beranggapan bahwa sebagai pembimbing, Segara terus mempersulitnya.

"Saya sudah membuat itu berbeda, Pak. Saya pikir, itu sudah benar."

"Ya sudah kalau kamu nggak percaya." Segara mendorong semua berkas Rindu. "Cari pembimbing lain sana!"

***

Rindu duduk di kursi kacang dalam sekretariat pecinta alam. Dia tidak peduli dengan hiruk pikuk yang terjadi di sana. Persiapan para pecinta caving, yang selalu memancing rasa usilnya, kali ini tidak. Matanya mengikuti hampir setiap kegiatan, tetapi bibirnya tetap terkunci rapat.

"Mbak Rindu, ada helm speleo yang ready stock?"

"Kalau warnanya random, ada," jawab Rindu tanpa berpikir. "Kalau pilih nggak ada. PO dulu!"

"Sekalian coverall, Mbak."

"Ada."

"Bisa bawakan besok, Mbak? Atau aku ke rumah Mbak Rindu?"

"Ke rumah boleh. Kalau aku nggak ada, ambil saja sama mamaku!"

"Oke, Mbak. Berapa kali pembayaran?"

"Gundulmu berapa kali," omel Rindu. "Cash. Aku nggak pernah kasih kredit."

"Iya, iya, Mbak. Dari tadi diam melulu. Sakit gigi?"

"Iya. Mau bayarin ke dokter gigi?"

"Susah kalau Suhu lagi bad mood. Kabur ajalah, istirahat sebelum dolan besok."

Rindu tak peduli. Sampai ruangan sepi, dia tetap tenang di tempat duduknya. Hampir saja lelap menghampiri, suara tas diletakkan membuat matanya kembali terbuka. Galang merebahkan tubuh di matras biru, tak jauh darinya. Di sisi lain, Adiyanto melipat dome yang baru diangkat dari jemuran.

"Kenapa mukamu itu, Ndu?" tanya Adiyanto setelah memasukkan dome ke tasnya.

"Paling kena semprot Pak Gara," ujar Galang masih dalam posisi rebahnya.

"Nggak cuma disemprot. Aku diusir."

Galang bangun dari berbaringnya, lalu bersila menghadap Rindu. "Kenapa diusir?" tanyanya.

"Pak Gara mempersulitku dan aku membela diri. Memangnya salah?"

Galang bertukar tatap dengan Adiyanto. "Membela diri? Memangnya Pak Gara ngapain?"

Rindu menceritakan kronologi pengusirannya, lengkap dengan kalimat menyebalkan yang Segara ucapkan. Dia merasa sudah menulis dengan sungguh-sungguh dan hasilnya masih disalahkan. Progresnya tidak dihargai dan mungkin Segara memang ingin membuatnya tersingkir dari universitas.

"Pikiranmu terlalu kreatif, tahu nggak?" omel Adiyanto. "Salah ya salah aja, sih. Tinggal revisi."

"Kamu ngomelin aku?" tantang Rindu.

"Nggak gitu maksudku, Sist." Adiyanto mengangkat kedua tangan di depan dada. "Cuman nyaranin supaya kamu lebih sabar."

"Kenapa, sih, Ndu?" Galang bertanya dengan mode kalemnya. "Sensi amat? Lagi dapet?"

"Lagi mikir."

"Mikir apa?" Galang membuka tutup botol dan meneguk isinya.

"Mikir ganti dosen pembimbing."

"Apa?" Galang hampir saja tersedak andai terlambat satu detik menelan minumannya. "Geblek arek iki (bodoh anak ini)."

"Mas Galang ngatain aku?" Mata Rindu menyorot tajam, memaku tatap Galang.

"Iya," jawab Galang santai. "Sudah mikir kalau ngomong mau ganti pembimbing?"

"Karena sudah mikir makanya ngomong gitu."

"Coba bilang ke aku, gimana cara ngurus ganti pembimbing?"

"Tinggal datang ke yang urusin. Ngomong mau ganti pembimbing. Selesai."

"Begini ini kalau ngomong sama cewek yang otaknya lagi sembunyi di dengkul." Galang menutup botolnya, meletakkan benda itu dengan keras di depan Rindu. "Hei Zubaedah ... mau ganti dosen pembimbing itu kudu ngadep dulu sama Kaprodi. Curhat dulu sama beliau. Nah, habis itu baru bisa mengajukan ganti pembimbing."

"Tinggal ngadep aja," cetus Rindu enteng. "Besok aku ke sana."

"Maemunah!" Adiyanto menarik rambut Rindu yang diikat di belakang kepala. "Siapa nama kaprodinya?"

"Segara ...." Rindu tertegun, menyadari kebodohannya.

"Nah ... geblek nggak?"

Rindu memukul dahi dengan satu tangan, lalu rebah di lantai. Bagaimana bisa mengeluh tentang Segara pada Kaprodi jika kaprodinya adalah Segara sendiri? Lagi pula, siapa yang akan mengurusi hal seperti ini?

"Ngalah saja, sih, Ndu! Minta maaf. Gimana pun, nasib tugas akhirmu ada di tangan beliau."

"Harga diri, Mamen!" bentak Rindu.

"Harga dirimu bisa bawa kamu melenggang menuju sidang apa nggak? Mampu membuatmu jadi sarjana?"

Sialnya, omongan Galang benar. Namun, Rindu bisa apa? Segara membantai hasil kerjanya tanpa ampun dan itu membuat dirinya merasa bekerja sia-sia. Semangatnya pun jadi terbabat habis tak bersisa.

"Aku kudu gimana?"

"Minta maaf pada Pak Gara!"

"Tapi ...."

"Beliau begitu karena pekerjaanmu mungkin memang salah. Nggak ada istilah-istilah membantai hasil kerja. Lagian, kamunya salah. Dikasih tahu ngeyel."

"Gengs, lihat grup!" Roni datang tergopoh-gopoh. Tangan kirinya menggenggam erat ponsel yang masih menyala. "Mas Raga meninggal."

"Apa?" Kalaupun ada guntur menggelegar disertai kilat menyambar dan merobohkan rumah, Rindu tak akan sekaget ini. "Itu Raga—"

"Iya, Raga pacarmu, Ndu." Roni memperjelas ucapannya.

"Aku mau per—"

"Ndu!" teriak Galang seraya memegang tangan kiri Rindu tepat waktu. Gadis itu sudah berdiri dan siap melesat pergi dari sekretariat jika tak ditahan. "Jangan pergi!"

"Gimana aku nggak mau pergi?" teriak Rindu kalut. "Raga itu ...."

"Iya. Raga pacarmu. Kita akan pergi ke sana sama-sama."

"Tidak!" tolak Rindu. "Aku mau ke sana, sekarang." Rindu tidak sadar kalau matanya sudah basah.

"Kita akan ke sana bersama." Galang kembali menegaskan ucapannya. "Kamu dengar, Ndu? Bersama, artinya kamu nggak boleh sendirian. Selama di sana, tetaplah di sampingku dan jangan pernah menjauh sekejap pun!"

Nah, Rindu ini berasa kaya sudah jatuh, tertimpa tangga, ya .... Btw, makasih yang selalu nungguin cerita-ceritaku. Itu sesuatu banget buatku. Aku padamu pokok e🥰

Love, Rain❤

Continue Reading

You'll Also Like

1.8K 567 8
Setelah diceraikan oleh suaminya, kepahitan masih enggan sirna dari hidup Safira, ia harus mengalami penculikan oleh orang yang memiliki dendam masa...
1.5M 73.4K 52
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
413 87 6
Langit seolah-olah runtuh menimpa kepala Zoya melihat perzinaan sang suami di rumah mereka. Kebahagiaannya baru melahirkan bayi cantik, berubah menja...
37.8K 7.8K 29
Cover by @DedyMR Lava menolak pria mapan yang berniat membina hubungan serius dengannya. Dia memilih Candra, pria biasa yang justru berhasil menarik...