REPEATED

Door shaanis

2.1M 190K 43.9K

[ Sebagian cerita ini sudah diunpublished ] REPEATED • re·peat·ed /rəˈpēdəd/ Butuh lima tahun untuk benar-be... Meer

Hello there ...
Kagendra & Lyre
1. | Oke!
2. | Transaksional
3. | Memulai proses perpisahan
4. | Have you ever
5. | Berhati-hati
6. | 'Teman' baru
7. | What if ...
8. | Toples Bintang & Harapan
9. | Camping: Day I
10. | Camping: Day II
11. | Camping: The last day
12. | Detik kehidupan berubah
13. | Berita baik dan buruk
14. | Keluarga Kanantya
15. | As a parents
16. | Tolong, maaf, terima kasih
17. | Perhatian & Penantian
18. | Waktu yang terhenti
19. | Istri yang tidak dikenali
20. | Mama ...
21. | Commit with me
22. | ♪ Namanya kesayangan
23. | Unconditionally
24. | Menjatuhkan hati
25. | In pain
26. | Scared me
27. | Precious memory
28. | Family setting
29. | Tapi bohong
30. | I promise to you
31. | Indikasi, manipulasi
32. | Keterangan Pribadi
33. | Keluarga kecil sempurna
34. | Another baby?
35. | Ingatan membawa kegugupan
36. | Putra kedua keluarga Kanantya
50. | Happy ending

37. | Penting, enggak penting

44.9K 5K 1K
Door shaanis

Aloha,
kaget apa seneng apa biasa aja ketemu lagi sama KagenBi hari ini?
Minggu produktif, banzaai✨

.

3.730 kata untuk bab ini
bacanya pelan-pelan aja, karena banyak soal side pemikiran Lyre untuk Kagendra dan karena mostly hanya narasi, semoga enggak bikin bosan.

.

selamat membaca
have a good weekend

thank you so much
❤️🐷🦕

🌟

37. | Penting, enggak penting




"Kamu cek ponselnya Kagendra dan ada kolega yang godain dia?"

Lyre mengangguk pada sang kakak. "Kelihatan banget binalnya ... dia kirim foto lagi pole dance, pas banget bagian anunya ngejepit tiang, eww jijik."

"Is he respond to that photo?"

"Enggak ... ada banyak rentetan chat modus, ajakan entertain, ke pesta ulang tahunnya, acara amal sampai event di hotel, yang dibales Kagendra cuma soal progress kerjaan, ada kerja sama tender."

"Kamu stalking semuanya?" tanya Esa, selalu takjub dengan betapa jeli perempuan ketika penasaran.

"Iyalah! Bahkan, sempat telepon video juga semalam dan aku angkat, sepertinya kami pernah ketemu, dia bilang aku paham situasinya dan kedekatannya sama Kagendra." Lyre mencibir dengan raut kesal. "Unbelievable."

"Cantik?"

"Semua perempuan dasarnya cantik, tapi kalau hobinya godain suami orang ya najis."

Esa tergelak. "Kalau Kagendra tahu kamu terang-terangan cemburu begini, dia pasti senang banget."

"Aku enggak cemburu! Bukan aku yang rugi kalau Kagendra mau main-main sama perempuan begitu." Lyre geleng kepala dengan yakin. "Rasanya tuh kayak, aku emang enggak espektasi Kagendra bakal setia. Semacam kalau dia beneran enggak main-main ya syukur, dan semisal beneran main-main sama cewek lain, aku enggak kaget."

"Tante Kinar sering lho memuji Kagendra berubah banyak sejak menikah, kamu juga sering dibelanjain Mamanya Desire ... reward menantu idaman keluarga."

"Mereka sekeluarga selalu stylish gitu, ya? Dede emang selera fashionnya bagus, tapi enggak sangka Mamanya, Papi sampai Kagendra sendiri tetap all out walau cuma di rumah aja." Lyre menunduk pada terusan oversized bergambar Ninja Turtles yang dikenakannya. "Dia tadi protes coba, kenapa aku pakai baju kegedean begini ... enggak cocok katanya."

"Itu juga lusuh, baju sejak kamu masih SMA."

"Enak tahu, longgar enggak bikin gerah," kata Lyre dan melengkapi detail ingatan terbarunya, menulis cepat pada komputer tablet. "Oh iya, baiknya aku minta ponselku kapan ya, Mas?"

"Kagendra belum ngasih?"

"Belum, katanya tunggu aku lebih tenang ... jadi curiga, kayak bakal ada yang bikin enggak tenang aja."

Esa tertawa geli. "Seringnya ingatan seseorang memang terpicu oleh barang atau perangkat yang memorial ... ponsel di era sekarang ini memang bagian penting keseharian manusia. Wajar, Kagendra hati-hati sebelum ngasih."

"Mbak Tian bilang lebih bagus proses mengingat ini terjadi secara bertahap, enggak perlu terburu-buru. Tapi aku berharap banget ingatanku pulih, seenggaknya pada bagian ... apa yang bikin aku memutuskan menikah sama Kagendra." Lyre menghela napas panjang, memperhatikan sang anak yang sibuk mewarnai kawanan pterodactyl. "Ada beberapa hal yang aku yakini terhadap diriku ketika terbangun dari koma, hal yang sampai sekarang juga masih aku yakini."

"Hal apa aja?"

"Pertama, aku udah pesimis sama hubungan pasangan. Kedua, aku emang berencana ngasih tahu Kagendra tapi sebatas info bahwa hubungan kami menghasilkan anak. Aku enggak mengharapkan tanggung jawabnya juga, cuma minta waktu aja semisal kelak anakku mulai nanya. Aku bahkan udah langsung mikir untuk ikut tinggal di Tokyo sementara lho, Mas."

Esa menilai tekad adiknya itu, memang terasa seperti konsep berpikir Lyre yang dulu. Namun, jelas ada pilihan berbeda yang kemudian diambil. "Kamu enggak cerita detailnya ke aku, tetapi kamu bilang pas pengakuan kehamilan sama Kagendra ... Pak Tio dengar dan minta kamu untuk tinggal dulu di rumahnya. Privasimu harus terjamin, karena itu menyangkut keturunannya juga."

Lyre terkesiap, memikirkan kilas-kilas ingatan tatkala pertama kali berjumpa Arestio Pradipandya. "Aku ingat Papi minta ke aku untuk kasih kesempatan pada Kagendra menjadi ayah bayiku. Ekspresi wajahnya saat itu diliputi kesungguhan."

"Bagaimana pun, emang enggak mungkin kejadiannya akan sesederhana ngasih info; Ndra, gue hamil nih, anak lo." Esa mencontohkan dengan mimik wajah santai yang lumayan ekspresif. "Terus dia responnya juga santai; oh iya, Re, silakan lo urus ... nanti pas anaknya udah gede dan nanyain gue, tinggal ketemu ya."

Ekspresi Esa membuat Lyre seketika tertawa. "Ya, enggak gitu juga! Aku pas pertama bangun terus lihat dia, langsung rasanya bingung banget ... kok bisa dia bareng Mama, dia enggak pergi-pergi terus pas aku belum sadar soal memory gap lima tahun ini, how easy he accepting the pregnancy news. Dia malah nambahin kami udah menikah segala."

"Kamu emang espektasinya Kagendra bakal gimana?"

"Seharusnya dia memastikan dulu, nanyain kok bisa aku bikin statement hamil anaknya ... minimal minta bukti pemeriksaan, iya 'kan?" Lyre segera balik bertanya pada sang kakak. "Mas Esa kalau tiba-tiba Mbak Wyna bilang 'aku hamil anak kamu', pasti nanya buktinya dulu, iya 'kan?"

"Enggak."

"Lah?"

"Ya, enggak lah, orang dia perawan dan aku masih perjaka. Mama tuh selalu wanti-wanti dosa zina sampai kupingku pengang, makanya dulu maunya habis tunangan ya enggak lama menikahnya."

"Jadi, enggak ngapa-ngapain selama pacaran? Lama banget lho, satu kampus, satu organisasi, kalau pulang pagi juga ada banyak alasannya!"

"Dosa, Re! Wyna dulu juga diawasin banget sama Bundanya."

Lyre seketika mendengkus, ketara bahwa dirinya menyesal. "Yah, berarti di keluarga kita ... aku masuk neraka sendirian."

Sudut bibir Esa berkedut, menahan geli dan tawa. Ia mengibaskan tangan sekilas dan bercanda, "Ada Kagendra, santai aja, di akhirat juga kalian enggak terpisahkan."

"Asem!" gerutu Lyre meski seketika tergelak sampai harus menghapusi sudut-sudut matanya yang berair.

Esa mengendik pada Ravel yang sudah hampir menyelesaikan pewarnaan gambar. "Emangnya, sampai detik ini kamu enggak merasakan ada hal khusus gitu terhadap Kagendra?"

"Bukan enggak merasakan, ya, cuma enggak terasa sekhusus itu ..." Lyre agak tidak yakin dengan bagaimana perasaannya saat ini. "Dulu, aku awalnya tertarik melayani godaannya karena dia ganteng, dia juga easy person, kelihatan kalau cuma mau seneng-seneng doang. And I need that too, the having fun sensation."

"Seharusnya aku ajak kamu ke Tokyo," ujar Esa, mulai merasakan sesal karena kelemahannya membuat Lyre menjadi demikian tidak terkontrol.

"Nope! Seharusnya aku yang enggak terlena." Lyre sadar diri situasi yang menimpanya bukanlah kesalahan siapa pun kecuali dirinya sendiri. "Tapi aku rasa, aku tetap beruntung ... look at my baby, he's such an angel."

Lyre tidak bisa menutupi rasa bahagianya setiap kali mengamati Ravel. Sang anak memberinya rasa aman, kasih sayang, bahkan damai setiap kali mereka berinteraksi.

"Menurutku, hubunganmu sama Kagendra itu awalnya emang bukan couple with romance ... tapi couple with responsibility." Esa berusaha sebaik mungkin memberi gambaran awal hubungan adiknya dan Kagendra. "Ada beberapa ketegangan sewaktu Papa menolak menikahkan kalian. Kagendra jelas emosi, Pak Tio juga enggak bisa nunggu lebih lama dan yah, Pradipandya punya kuasa untuk mengatur legalitas pernikahan itu. That's why, aku bisa mendampingimu."

"Papa pasti kecewa banget sama aku."

"Sampai sekarang aku enggak tahu detail penolakan Papa itu gimana, yang jelas Kagendra emosi banget ... pas kamu lahiran, katanya dia ke sini lagi untuk kasih kabar, tapi tetap aja Papa enggak luluh." Esa dahulu tidak bisa berbuat banyak karena pilihan yang dibuatnya juga menihilkan peran orang tua. "Saat kita ketemu lagi, kamu sama Kagendra udah kelihatan siap, start new chapter tanpa pernah membahas orang tua kita di sini."

"Sama sekali enggak pernah bahas?"

"Kalau kamu sama aku ya masih ada sesekali pengakuan kangen Mama, tapi kalau aku mau gantian bujuk Kagendra biar coba lagi ketemu Papa ... kamu melarang, katamu itu enggak mudah juga baginya."

Lyre sadar memang tidak mudah. Lukito Kanantya selalu menjadi sosok ayah yang kaku dan tegas sejak dulu. "Padahal Kagendra jelas lebih dari Mas Raksa, lebih kaya, lebih ganteng, keluarganya lebih berpengaruh, lebih—"

"Brengsek juga," sambung Esa dengan suara bisik-bisik.

"Emangnya Papa tahu?"

"Pasti tahu, enggak mungkin Papa enggak cari tahu soal dia, apalagi kamu dibawa tinggal di rumahnya ... Papa pasti memastikan siapa Pradipandya's." Esa sekalian mengingatkan adiknya. "Kamu sendiri lho yang kata Mama cerita soal Kagendra sama teman-teman artismu dulu."

"Iya, tapi kalau aku bertahan dengannya selama hampir lima tahun ini, artinya he's not really that bad, right?" tanya Lyre, perlu meyakinkan dirinya.

"Love is always unpredictable ... seperti aku bilang kalian itu pasangan cool dan tertutup. Kalian selalu tampil kompak, liburan bareng, doing great parenting together, waktu kamu bikin bisnis sama Desire ... Kagendra juga support. Kamu sendiri juga enggak pernah absen nemenin Kagendra setiap ada event. Tapi apa yang ada di balik semua itu, beneran kayak cuma kamu sama Kagendra aja yang paham."

"Aku pun kayak merasa ada yang berbeda gitu, setiap melihat foto-fotoku sama dia, itu aku tapi kayak bukan aku ... styleku beda banget." Lyre sedikit merengut. "Aku jelas berubah, iya 'kan?"

"Yup, since you're a mother ... also a wife ... a member of Pradipandya's family." Esa kemudian menggenggam tangan adiknya, berusaha memberi ketenangan, sebelum Lyre membebani pikiran dengan beragam dugaan. "Hal paling permanen di dunia ini memang justru perubahan itu sendiri dan bagiku, pilihan apa saja yang kamu buat dalam setiap perubahanmu adalah baik."

"Why?"

"Karena ada konsistensi ... di awal hubungan kalian mungkin memang enggak selalu ada bahagia, seperti Kagendra bilang hubungan itu naik-turun, berantem-baikan ... tetapi konsistensi yang bikin kalian bertahan bersama jelas ada artinya."

Lyre paham maksud sang kakak. "Aku juga penasaran sebenarnya, is he love me for who I am right now ... atau dia cuma enggak punya pilihan, karena Lyre yang dulu bersamanya ada dalam diriku."

"Kamu sendiri juga harus punya jawaban untuk pertanyaan semacam itu, Re ..." Esa mengingatkan dengan nada lirih. "Apa kamu mencintainya sebagaimana adanya dia, atau kamu hanya enggak punya pilihan karena memiliki anak bersamanya."

"Anakku berhak mengenal siapa ayahnya."

"Iya dan sebagai pasangan, kalian juga berhak mengenali perasaan masing-masing, yang sesungguhnya seperti apa."

Lyre kemudian mengerjapkan mata dan semakin merendahkan suara tatkala meminta konfirmasi, "Eh, apa aku pernah bahas soal keinginan bercerai ke Mas Esa? Sekadar iseng-iseng atau serius?"

Esa hampir kaget mendengar pertanyaan itu. Di keluarganya tidak ada sejarah pasangan yang bercerai. Namun, ia kemudian teringat ada beberapa keganjilan dari email terakhir yang Lyre kirimkan padanya. "Enggak ada, tetapi—"

"Mamaaaa ... udah selesai warnanya!" seru Ravel semangat dan mengangkat kertas di mejanya.

"Wah, keren pterodactylnya warna-warni," ujar Lyre lantas segera menutup komputer tablet di pangakuannya.

"Vel bikin yang warna merah juga, soalnya arti warna merah 'kan berani. Jadi, pterodactyl yang gede ini dia pemberani, Mama," ungkap Ravel sembari mendekat, menunjukkan hasil mewarnainya lebih jelas. "Om Esa, tolong kacamatanya Mama."

"Oke, Dinoboy," sahut Esa.

Lyre memperhatikan anaknya yang dengan mudah memanjat dan duduk di sofabed. "Ravel tahu ya, kalau mata Mama minus?"

"Iya, Mama udah tiga kali periksanya, terus tunggu ketemu dokter mata yang bagus biar bisa sembuh minusnya."

Esa menahan sikap tenangnya dan mengulurkan kacamata Lyre. "Ini, Re ..."

"Makasih, Mas," jawab Lyre, memakai kacamatanya dan kembali mengagumi hasil pewarnaan sang anak. "Wah, udah mulai rapi ya, enggak keluar garis lagi."

"Sama bisa bikin tumpukan warna, lihat yang sayapnya ini Mama."

Lyre mengangguk, warna gradasi sayap yang bagus, sekaligus cerah. "Oh, iya, warna kuning ditumpukin warna biru jadinya warna ..."

"Hijau!"

Esa tersenyum lebar. "Pinternya, pasti yang ngajarin Mama, ya."

"Sus Emy yang ngajarin," ungkap Ravel lalu menoleh ke suara langkah pelan pengurus rumah keluarga Kanantya.

"Non Lyre, ini barusan ada telepon dari satpam komplek ... ada tamu, ya? Emilia Willemina," kata Mbak Anas.

"Oh, itu kayaknya susternya Ravel, Mas Ndra bilang emang datang hari ini." Lyre mengingat ucapan suaminya kemarin.

"Betul ini orangnya?" Mbak Anas menunjukkan foto di layar ponselnya.

"Sus Emy ..." cetus Ravel dan mengangguk.

"Kasih masuk ya, Mbak," ujar Esa lalu membereskan komputer tablet Lyre, memeriksa ke jam di tangan kirinya. "Mama juga harusnya sebentar lagi pulang."

"Tunggu di depan aja, Mas," ucap Lyre kemudian berpindah ke ruang tamu bersama anak dan kakaknya.

***


"Esa beli apa itu, ya?" tanya Soraya ketika Kagendra memarkirkan mobil di carport. Di samping pintu rumah memang terlihat ada kotak kayu khusus.

"Ah, Susternya Ravel udah datang," ucap Kagendra lalu bergegas keluar dari mobil, berjalan cepat menelusuri halaman dan teras rumah.

Suara obrolan ringan mulai terdengar, dominasi antusiasme Ravel menceritakan pengalaman liburannya, terjadinya kecelakaan, tinggal di rumah sakit, ikut Tante Dede ke hotel sampai akhirnya tinggal bersama Opa Dokter dan Oma Yaya.

"Papa!" seru Ravel, menjeda ceritanya karena melihat sang ayah.

Kagendra tersenyum dan mengangguk ramah. "Udah lama, Sus?"

"Belum, baru dua puluh menitan," ucap Sus Emy, tersenyum simpul ke arah Ravel. "Saya lega sekali, Ibu dan Ravel baik-baik saja ... itu koper titipan dari Bu Kinar, kemudian balance bike pesanan Bapak sudah saya bawakan sekalian."

"Iya saya lihat peti kemasnya di luar," kata Kagendra.

"Balance bike?" tanya Lyre.

"Keluarganya Sus Emy di Belanda punya usaha produksi rangka sepeda khusus anak." Kagendra kemudian tersenyum pada sang anak yang tampak penasaran. "Ravel senang enggak nih, punya sepeda balance, Papa minta yang rangkanya warna hitam-merah biar mirip Buggy."

"Wahhh ... mau lihat sepedanya!"

"Bilang apa dulu sama—" Ucapan Kagendra terjeda karena sang anak menghambur ke arahnya, membuatnya tertawa tatkala menggendong dan langsung diserbu ciuman pipi berulang yang dibarengi ucapan sayang.

Sus Emy sudah diberi tahu perihal kondisi terbaru Lyre. Ia juga telah melihat beberapa perbedaan menonjol nyonya rumahnya dulu dengan sekarang. Namun, tampaknya dalam hal mengagumi interaksi kedekatan Kagendra dan Ravel, Lyre masih tetap sama.

Sus Emy tetap melihat pancaran kegembiraan yang familiar, juga senyuman lembut di bibir Lyre yang terarah dan lekat, mengikuti Kagendra beralih membawa Ravel keluar untuk menunjukkan sepeda yang dimaksud.

Lyre sadar dirinya diperhatikan dan seketika kembali fokus pada suster anaknya. "Maaf, saya pasti kelihatan aneh ya, karena banyak bingung dan enggak tahu apa-apa."

"Saat ini Ibu terlihat seperti Ibu Lyre yang biasanya ... karena kesibukan Bapak, memang momen kedekatan bersama Ravel itu seperti hal yang selalu dinantikan."

"Mereka selalu seseru itu?"

"Iya, kita berdua memang yang sehari-hari bersama Ravel, tetapi begitu Bapak pulang atau punya waktu luang, itu kesempatannya bonding ... Ibu dulu ada bilang, itu juga kesempatan kita untuk istirahat."

"Oh? Pasti karena Ravel anak yang selalu bersemangat ya?"

Sus Emy mengangguk. "Rasa penasarannya gampang sekali terpicu dan memang tipe anak yang suka berinteraksi. Saya sudah lebih dari sepuluh tahun di bidang ini, Ravel jelas salah satu jenius yang akan menguatkan portofolio saya."

"Portofolio?" tanya Lyre dengan bingung. "Eh, memangnya durasi kerja Sus Emy sudah akan berakhir?"

"Iya, kontrak saya hanya sampai saat Ravel menyelesaikan grade lima, setelah itu Pak Arestio akan mencarikan tutor lain, yang lebih terarah untuk pembentukan bakat leadership."

Lyre merasakan lidahnya agak kelu. "Leadership for five years old kid?"

"Keluarga Pradipandya memang memiliki beberapa tradisi di bidang edukasi, seperti Bapak Kagendra ... beliau memulai pendidikan leadershipnya sejak kecil. Pak Arestio sendiri sangat puas dengan perkembangan Ravel, sehingga menurutnya sangat penting untuk memastikan kemampuan leadershipnya." Sus Emy mengingatkan dengan halus. "Di masa depan, Ravel yang akan memimpin Karya Pradipandya ... itu adalah tanggung jawab yang besar."

Lyre tahu itu, tetapi hal seserius itu terasa berlebihan untuk seorang anak. "Timeline semacam itu apakah sudah ditetapkan sejak awal?"

"Oh, ya, Ravel mulai jelas menyebut kata pertama pada usia sepuluh bulan. Saat usianya delapan belas bulan sudah bisa mengulang lebih dari dua puluh lima kata sederhana. Ciri-ciri kepintaran itu yang membuat Pak Arestio yakin pada potensi cucunya."

"Not all smart or even genius children are born leaders," ucap Lyre dengan hati-hati.

"Itu sebabnya pendidikan leadership dibutuhkan," balas Sus Emy.

Lyre geleng kepala. "Lack of leadership traits could make children vulnerable to bullying and manipulation."

"That's why we develop it very carefully, Ibu Lyre ..." Sus Emy kini menyadari hal-hal yang semakin berbeda terkait nyonya majikannya. "Mungkin karena saat ini Ibu dalam keadaan sakit, sehingga melupakan detail target pembelajaran Ravel. Namun, leadership skill sudah ada dalam—"

"Wait a minute." Lyre menyela cepat, meski jelas agak kewalahan dengan informasi dari suster anaknya ini. "Target pembelajaran semacam apa, selain Ravel menikmati sekolah dan bermain bersama teman-temannya?"

"Communication skills yang sejauh ini terus kita kejar, supaya lebih mudah saat nanti beralih ke target decision making and problem solving skills ..."

Itu terdengar hebat sekaligus berat di saat bersamaan, membuat Lyre seketika menipiskan bibir, menahan rentetan protes yang rasanya perlu disuarakan. Beruntung, Esa terlihat mendekat dengan nampan berisi cangkir-cangkir minuman.

"Lama banget?" tanya Lyre.

"Kagendra tuh, Mama nurunin belanjaan sendirian coba ... Mbak Anas makanya bantuin dulu di depan tadi." Esa kemudian meletakkan cangkir pertama di meja. "Silakan, Sus."

"Terima kasih," ucap Sus Emy.

"Sus, sehubungan dengan apa yang kita bicarakan ... dan sebagai sarana untuk membantu saya mengingat, boleh saya minta semua file atau kalau ada dokumentasi pembelajaran Ravel selama ini, termasuk juga target-targetnya."

Sus Emy mengangguk. "Tentu saja."

"Mas Esa tolong nanti pinjemin laptop rumah aja untuk collect file tersebut," ucap Lyre.

Esa memperhatikan adiknya dan segera mengangguk. "Sure."

***

"Bisa pasangnya, Ndra?" tanya Soraya.

Kagendra mengangguk, merapatkan baut pada bagian roda. "Bisa."

"Ini Mama buatin minum sama ada jajan pasar," kata Soraya sambil meletakkan nampan kecil di meja pendek, tidak jauh dari tempat menantunya merakit sepeda.

"Ng, soal tadi, maaf langsung tinggal Mama, enggak bantu keluarin belanjaan," ucap Kagendra kikuk, dia tidak pernah melakukan itu di rumah karena biasanya para asisten yang mengurus setiap belanjaan atau barang yang dibawanya.

"Iya, enggak apa-apa, terima kasih ya sudah temani Mama belanja."

Kagendra mengangguk, seru juga menemani ibu mertuanya berbelanja. Soraya Baiharni termasuk jeli dalam berhitung, sama sekali tidak butuh kalkulator ditambah sikap ramah dan tidak tampak keberatan ketika Kagendra menarik diri dari sikap sok akrab atau pertanyaan basa-basi khas pedagang.

"Mas, kamu enggak doyan lopisnya, 'kan? Buat aku aja," kata Lyre yang gantian mendekat pada Kagendra.

"Lopis?"

Lyre tersenyum ke piring makanan yang belum Kagendra sentuh. "Yes, kamu enggak doyan, buat aku aja."

"Apaan enggak doyan, aku belum coba."

"Ravel enggak doyan, kata Mas Esa kalau dia enggak doyan, kamu juga gitu," ucap Lyre dan langsung mengangkat piring makanan dari nampan.

"Tapi itu Mama kasih buat aku!" sergah Kagendra dan mengendik ke nampan. "Balikin."

"Ini lengket-lengket, Ravel aja—"

"Balikin," ucap Kagendra serius.

"Ck! Sini cobain dulu, doyan enggak!" kata Lyre dan beralih duduk di kursi teras untuk menantikan.

Kagendra juga tidak yakin akan menyukai makanan hijau dan terlihat lembek itu. Karenanya, segera mendekat untuk mencoba.

"Suapin, Re."

"Mas Esa yang tangannya sisa sebelah aja, selalu makan sendiri sampai detik ini."

"Kotor ini lho," ucap Kagendra menunjukkan dua tangannya.

"Manja," gerutu Lyre meski segera mengambilkan satu irisan lopis, menggulingkan ke parutan kelapa dan mencelupkan ujungnya ke cawan berisi saus karamel.

Ia mengamati raut serius Kagendra dan seketika punya ide bercanda, menggerakkan tangannya naik turun, "Aaa ... pesawat mau lewat ..."

"Ck! Aku bukan anak kecil," decak Kagendra.

"Hahaha, yang versi anak kecil ada di dalam," canda Lyre lalu mendekatkan makanan di tangannya.

Kagendra membuat gigitan pertama, geleng kepala meski tetap berusaha menelan makanannya. "Aneh, lembek sama lengket."

"Yes, buat aku," kata Lyre dan ganti memasukkan sisa gigitan Kagendra ke mulutnya. "Kalau minuman ini harus habis ya, enggak mau tahu."

"Apaan itu? Warnanya aneh," ucap Kagendra.

"Wedang secang, Mama sampai saring berkali-kali biar bening gitu, katanya kamu sensitif sama rempah."

"Rempah? Jamu maksudnya, ih, no way! Enggak mau."

Lyre memperhatikan ekspresi enggan suaminya dan mengambil secangkir minuman itu dari tatakan. "Ini bagus tahu, biar tubuhnya relaks ... buruan minum, mumpung anget."

"Aneh-aneh aja," ucap Kagendra, dirinya memang cukup menyukai teh atau tisane untuk relaksasi, namun baru kali ini mencoba yang lainnya.

"Mas ganteng, ayo diminum," ucap Lyre dengan nada yang biasanya khas digunakan untuk membujuk anak kecil.

Kagendra sebenarnya sebal, tapi baru kali ini juga dibujuk dengan cara seperti itu. Ia menundukkan kepala, menyesap sedikit dari ujung cangkir. Rasanya tidak seburuk yang dia kira, memang agak aneh, namun ada rasa manis dan hangat yang menyamankan tenggorokannya.

"Enggak pahit," ucap Kagendra.

"Habisin kalau gitu," kata Lyre dan tersenyum, dari jarak sedekat ini sikap takjub suaminya terlihat menggemaskan. Seperti Ravel saat pertama kali mencoba sate telur gulung ala Oma Yaya.

Kagendra menghabiskan isi cangkirnya dan mengangguk. "Aku mau lagi."

"Minta sendiri sama Mama," kata Lyre sambil meletakkan kembali cangkir yang sudah kosong.

"Kamu aja mintain ke Mama."

Lyre mengangkat tangan, menyentuh jejak basah di sudut bibir suaminya. "Mas Ndra bukan orang lain di rumah ini ... jadi dibiasain juga ke Mama jangan sungkan."

"Tapi ..." Kagendra tetap ragu karena situasinya sebagai menantu di rumah ini juga agak kurang ideal.

"Kata Dede aku akrab sama Papi dan Mama Kinar ... Mas Ndra juga gitu dong, minimal ke Mama." Lyre tahu bagaimana ibunya berusaha keras selama ini. "Mamaku terbaik sedunia tahu."

Kagendra menyadari tatapan mata istrinya yang berbinar kala mengucap kalimat itu. Dia juga sadar betapa baik, sekaligus murah hati sosok ibu mertuanya selama ini. "Iya, terbaik sedunia ... makanya anaknya juga pinter pilih suami."

"Idih! Kalau bukan karena Ra—" Lyre mendadak mengentikan ucapannya, selain karena tersadar akan bernada keterlaluan. Juga karena Kagendra yang seketika mematung. "Eh, aku ... enggak ..."

"Iya, semuanya emang karena Ravel," kata Kagendra dan memutuskan menegakkan diri, beralih pada sepeda yang harus dirakit lagi.

Lyre sadar situasinya akan lebih canggung jika meminta maaf, tetapi sudah terlalu terlambat juga menarik ucapannya tadi. Kagendra pun kini terlihat biasa saja. Ia akhirnya memutuskan beralih masuk ke dalam rumah secara diam-diam.

***

"Bagaimana menurut Mas Esa?" tanya Lyre setelah Sus Emy mengirimkan semua file terkait proses dan target pembelajaran Ravel. Mumpung Kagendra sibuk bekerja di atas, dirinya bisa meminta pendapat Esa.

"She's qualified dan kamu juga ... lihat panduan gizinya Ravel, ceklist diagram tumbuh kembang, enggak ada tahapan yang missed." Esa berdecak-decak dan memandang sang adik. "Kamu jadi kayak copian Mama, Re."

"Tapi ini lebih strict tahu, lihat jadwal konsultasi dokternya Ravel."

"Karena Ravel emang kondisi spesial, picky eater dan dengan ragam alerginya itu ... udah bener kamu konsul secara rutin, di sini ada kelihatan perkembangan untuk efek alerginya. Bahkan selama setahun terakhir enggak ada catatan penanganan alergi dengan obat, bagus banget ini."

"Parah banget emang, Mas? Kalau kambuh?"

"Parah. Kagendra yang biasanya ambil alih kalau Ravel mulai kelihatan ada tanda alergi, dia itu kayak bisa bedain bersin mau alergi sama bersin biasa ... terus kalau sebabnya makanan juga, kan reaksinya cepet tuh, Kagendra yang sanggup minumin obatnya."

Ada semacam rasa iri yang terlintas di benak Lyre. "Aku kenapa seolah enggak bisa diandalkan?"

"Bukan enggak bisa diandalkan, tapi emang Kagendra yang lebih paham, ini 'kan kondisinya juga." Esa sempat dua kali mendampingi kala Ravel dan Kagendra terkena alergi waktu mereka liburan bersama. "Kamu biasanya gantian urus dia kalau Ravel udah aman."

"Urus dia gimana?"

"Kalau Ravel alergi, terutama karena makanan, Kagendra pasti gitu juga ... dan karena urus Ravel duluan, dia biasanya sampai udah agak parah baru ditangani, sering harus disuntik."

"Harusnya dia dulu yang minum obatnya."

"Enggak mau, soalnya ada efek kantuk ... kalau dipaksa malah ngamuk dia, dokter aja dimaki-maki."

Lyre menyentuh pinggiran keningnya yang berdenyut, perlahan muncul bayangan rumah sakit, ruang rawat yang mewah dan Kagendra berbaring bersama Ravel di satu ranjang perawatan yang sama.

"Re ... pokoknya jangan kemana-mana, Ravel bangun harus lihat kamu ... dia emang lebih tenang sama aku sekarang, tapi kalau bangun pasti maunya sama mamanya."

"Iya, Mas."

"Jangan nangis terus, Re ... Papi udah banyak investasi ke rumah sakit, tinggal tunggu waktu aja penanganan alergi bisa jadi lebih permanen."

"Iya, Mas Ndra juga istirahat aja."

"Jangan lepas tanganku sampai aku beneran udah tidur, ya."

"Iya, enggak akan aku lepas."

"Re?" panggil Esa dan menjentikkan jari di depan wajah adiknya. "Lyre..."

Lyre menatap Esa, berulang kali mengerjapkan matanya. "Otakku rasanya aneh banget, selalu tiba-tiba ada ingatan soal Kagendra."

"Itu bukan tiba-tiba, tetapi kinerja ingatan memang seharusnya demikian ... ketika ada suatu momen, kemudian pikiran memunculkan memori serupa atau yang mendekati." Esa menyadari ketenangan sang adik. "Ingatan kali ini berarti cukup baik?"

"Iya, kayaknya momen Kagendra sama Ravel alergi, dirawat satu ruangan di rumah sakit ... aku megangin tangannya."

"Tangannya siapa?"

Lyre menggaruk dagunya. "Kagendra ... anehnya ya, aku 'kan nungguin di kursi sebelah kanan tempat tidurnya. Ravel tuh seranjang sama dia tapi dibaringkan sebelah kirinya coba dan aku malah megangin tangannya Kagendra!"

"Dia emang gitu, orang kata Ravel tidur bertiga aja Kagendra yang di tengah."

"Ih iya! Dan dia bilang itu karena aku rebutan sama Ravel, ngapain amat?"

Esa tertawa. "Jangan sinis gitu dong, Bu."

"Bukan sinis, tapi ngapain amat ngerebutin Kagendra. Justru dia yang kalau tidur suka nempel-nempel."

Esa memikirkannya, sebenarnya karakter manja agak tidak cocok dengan image Kagendra.

"Dia tuh seakan-akan mau menegaskan kalau aku segitu menggilai dan membutuhkan eksistensinya di dunia ini," ungkap Lyre dengan nada heran.

"It's an important-secure feeling lho ... aku bisa bertahan selama ini karena kamu selalu bilang keberadaanku penting di hidupmu."

"Mas Esa emang penting!" Lyre segera menegaskan, "Mas Esa satu-satunya kakakku di dunia ini."

"Ya, terus emangnya Kagendra enggak penting? Dia 'kan juga satu-satunya suamimu di dunia ini."

Eh?
Lyre seketika mengatupkan bibirnya rapat, mendadak tidak tahu bagaimana harus menanggapi pertanyaan sederhana itu.

"Orang menjadi penting bukan sekadar karena kita punya kepentingan terhadapnya, Re ... tapi karena keberadaannya membawa hal yang berarti untuk hidup kita." Esa mengingatkan nasihat sang ibu dulu.

Lyre juga ingat nasihat ibunya itu, namun terkait Kagendra entah kenapa tetap ada semacam keraguan, bahkan terkadang kecurigaan dan rasa sulit percaya, meski jelas ada debar-debar mengindikasikan cinta bersemi dalam hatinya.



[ to be continued ]



🌃

Hayoloooohhh Lyre~

.

Q: Asli penasaran POV-nya Lyre, perasaan sesungguhnya ke Kagendra gimana? Beneran cidaha apa enggak selama ini?
A: Ini udah mulai kespill ya di sini.
I know emang masih ada poin-poin yang perlu diperjelas lagi, tapi semoga cukup lah ya 12-15 bab lagi.

Q: Hamil darimane, Lyre tuh 'kan sempat koma habis operasi, pasti anestesi juga 'kan enggak mungkin bisa hamil.
A:  Weh, yang sengaja digugurin aja ada yang tetap bertahan tuh jabang bayinya ... emang kalau udah takdirnya hidup mau gimane?

there is miracle in medic ✨

Q: Mas Esa bijak kayak Dede ya?
A: Esa karena pernah gagal sih, jadi ya, lebih aware lika-liku perasaan berpasangan.


.

.

scroll

.

.

.

⤵️

.

.

.

ABB: Ada Babi Bahagia 💖

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

343K 52.6K 29
Mili sangat membenci kondisi ini. Dikejar-kejar oleh Mamanya sendiri yang mau menjodohkannya. Bahkan, titah untuk menikah sebelum usia 24 tahun terus...
359K 20.8K 26
Story Kedua Neo Ka🐰 Duda Series Pertama By: Neo Ka Gayatri Mandanu itu ingin hidup simpel, tidak ingin terlalu dikekang oleh siapapun bahkan kadang...
16.8K 326 36
"Gue akan berikan bayaran apapun yang lo minta asalkan lo mau menerima permintaan gue." "Apapun?" "Ya." Pria tersebut memastikan. "Gue mau lo, sebag...
1.7M 125K 22
Nara terpenjara dalam sangkar emas ciptaan Akira. Pria yang menikahinya lima tahun yang lalu ketika ia masih berusia dua puluh tiga tahun. Pernikahan...