AORTA

By MarentinNiagara

229K 18.7K 4.9K

-------------------💊💉------------------ 👶👶 Duuuhhhhh si imut yang ngegemesin. Bungsu yang akhirnya ikut m... More

00 • Prolog
01 • Little Crazy
02 • More Than That
03 • Love is Love
04 • Jelajah Rindu
05 • Mimpi Masa Depan
06 • Battle Bro
07 • Cerita Cinta
08 • Strunggle Love
09A • Pengawal Hati
09B • Pengawal Hati
10A • Stupidity
10B • Stupidity
11 • Contemplation
12A • Sacrifice
12B • Sacrifice
13A • Merenda Mimpi
13B • Merenda Mimpi
14A • Try To be Strong
14B • Try To be Strong
15 • Game Over
16 • Emergency Unit
17 • Mencoba Bicara
18 • Menunggu Mukzizat
19 • Gegabah
tok tok tok
11 • Contemplation
12 • Sacrifice
14A • Try To Be Strong
14B • Try To Be Strong
15 • Game Over
16 Emergency Unit
17 • Mencoba Bicara

13 • Merenda Mimpi

851 91 13
By MarentinNiagara


TIDAK perlu bertanya berat ringannya langkah ketika keputusan berat dalam hidup harus diambil. Kini tidak lagi ada pembeda antara sulung dan bungsu. Cheerful yang akhirnya memilih menjelma menjadi frezeer.

Katakanlah pada dunia jika matahari tak lagi bersinar dengan ceria meski demikian dia tetap harus menjalankan tugasnya untuk membuat dunia semakin nyata. Asal bukan terbit dari ufuk yang berlawanan, Hawwaiz masih harus menatap masa depannya dengan semangat. Ada banyak hal yang harus dibenahi, banyak hal yang wajib dituntaskan dan terlebih banyak hal untuk memperbaiki diri.

"Adik masih kepikiran dengan ucapan Om Arfan kemarin, Dad," kata Hawwaiz ketika mengantar Ibnu dan Qiyya ke bandara saat mereka memutuskan akan kembali ke Indonesia.

"Kita sudah sepakat bukan? Selesaikan janjimu di sini sesuai tujuan utama. Vira juga bersedia menunggu, dan selama itu berlangsung, Daddy tidak mau mendengar kejadian kemarin terulang lagi. Urusan dengan Om Arfan biar Daddy dan Bunda yang selesaikan." Ibnu tersenyum dibalik syal tebal yang dia kenakan.

"Benar kata Daddy, Dik. Tugasmu di sini hanya belajar, belajar dan belajar. Selesaikan semuanya dengan baik. Kami ingin datang ke sini lagi saat melihatmu berdiri bersama guru besar Oxford untuk menerima hasil studimu, sama seperti halnya dulu kami datang untuk Bang Hafizh," tambah Qiyya.

Hawwaiz menganggukan kepalanya.

"Ingatlah, laki-laki itu yang dipegang adalah janji sebagai komitmen keseriusannya atas semua hal. Jangan buat Daddy dan Bunda kecewa untuk kedua kalinya," tutup Ibnu sebelum suara announcer memanggil mereka untuk segera melakukan check in.

Hampa, tentu saja dirasakan Hawwaiz saat ini. menginjakkan kaki di London tapi dia harus merelakan hati melewatkan kesempatan bertemu dengan Vira. Janji hati yang sudah terpatri dan tak ingin mengingkarinya sekali lagi. Dalam benaknya membenarkan semua ucapan sang daddy. Kedewasaan yang dia miliki sekarang ternyata hanyalah sebuah proses karbitan yang justru akan terlihat semakin kekanak-kanakan jika dia harus tetap memaksakan diri untuk tetap maju sementara banyak ruang di belakang dirinya yang harus dia benahi terlebih dulu.

Dalam perjalanan pulangnya ke Oxford, Hawwaiz memilih untuk menyempurnakan time schedule yang kemarin dia buat secara garis besar. Outline kehidupannya harus kembali ditata dengan rapi supaya tidak ada celah yang membuatnya tergelincir kembali.

Kampus dan pekerjaan, dua hal yang kini dikejar oleh Hawwaiz. Jika dalam bekerja dikenal dengan sebutan workaholic mungkin sebagai mahasiswa Hawwaiz juga membabat habis pengetahuan yang seharusnya dikuasai sebagai seorang calon dokter. Kuliah, bekerja, belajar dan itulah rutinitas yang dijalaninya kini.

"Iz, santai sejenak yuk. Ada temen dari London kemari ngajak jalan. Mau ikut nggak?" Revan yang mulai menyadari perubahan Hawwaiz sejak sebulan terakhir mengajak hang out.

"Siapa, Indonesian?" jawab Hawwaiz.

"Iya, anaknya temen bokap. Temanilah, cewek dia. Nggak enak sendirian." Revan menutup buku tebal di pangkuan Hawwaiz.

"Nggak enak kasih ke kucing aja, repot amat." Hawwaiz berdiri untuk meletakkan kembali buku yang baru saja dia baca ke tempat semula.

"Hei, whats up, Bray? Ngegas gitu. Satu bulan belakangan ini aku perhatikan kamu cuma ngampus, kerja, belajar, nggak ada ritme kehidupan yang lain. Santailah, refresh, otak juga butuh nutrisi yang segar-segar." Revan mulai menarik lengan Hawwaiz supa mau ikut bersamanya.

"Kerjaanku juga santai, Rev. Bahkan bisa dikatakan itu refreshing yang menghasilkan, insyaAllah." Hawwaiz tersenyum tipis memilih mengambil buku lain yang tidak kalah tebal dari sebelumnya.

"Artis memang beda ngomongnya ya." Revan menggelengkan kepalanya.

"Apaan sih kamu." Hawwaiz akhirnya tertawa lebar mendengar sindiran sahabatnya.

"Ayolah, temani aku. Nggak enak juga nih kalau sendirian, dia cewek nih," pinta Revan.

Hawwaiz memutar bola matanya malas. Jika tidak memandang Revan seorang teman yang baik tentu saja Hawwaiz enggan untuk beranjak. "Ok, one hour enough not more than that."

"Thanks, Brother."

Tidak ada niat lebih selain menemani Revan menuruti perintah orang tuanya untuk bertemu dengan Regita. Salah satu anak wanita dari kolega papanya. Pebisnis seringkali memiliki maksud terselubung dari kata berkenalan. Dan Revan cukup memahami akan hal itu, alasan itu pula yang membawanya untuk mengajak serta Hawwaiz duduk bertiga di sebuah kafe yang cukup terkenal di Oxford.

Dari sekian banyak percakapan, Hawwaiz justru sering diam dibandingkan menanggapi obrolan mereka. Antara enggan atau dia kurang begitu memahami pokok perbincangan bisnis antara keduanya.

"Iz, diem aja sih. Diajak ke sini bukan sebagai arca lho," protes Revan.

Hawwaiz tersenyum lalu menjawabnya dengan jujur. "Sori, aku roaming dengan perbincangan kalian."

"Tumben, biasanya kamu nggak pernah roaming atas banyak hal. What's up, Brow, anything wrong?"

"Nothing, lagi—" Hawwaiz mencoba untuk tersenyum, "Ya beginilah. Pengen cepet kelar aja kuliahnya, jadi nggak pengen ngerti apa-apa selain duniaku."

"Tapi istirahatlah, Iz. Tuh lihat mata sudah seperti panda, badan makin kurus seperti orang nggak terawat aja sih." Revan menggerutu yang disambung tawa Regita.

"Hawwaiz ini mahasiswa kedokteran yang super istimewa banget Git. Belajar terus nonstop, kalau nggak gitu ngevlog, atau pegang kamera buat fotoin orang-orang. Nih ya perusahaanmu kalau butuh dokumentasi mending sama dia aja."

"Eh tunggu, Bang Hawwaiz ini youtuber ya? Sepertinya pernah lihat juga fotonya, eh tapi di mana ya?" Regita mengingat tapi tidak ada gambaran sama sekali.

"Kamu kerja di mana sih, Git?" tanya Revan.

"Perusahaan ekspor impor, sebenarnya perusahaan Jepang hanya saja dia ada cabang hampir di negara besar seluruh dunia."

Hawwaiz langsung bersuara. Ingatannya mengacu pada satu titik. "Fedsin Nomura Exporindo bukan?"

"Eh kok Bang Hawwaiz tahu?" Regita menjentikkan dua jarinya sampai berbunyi nyaring.

"Tempat kerja Vira juga Iz?" tanya Revan.

"Kalian kenal dengan Vira?" Regita sedikit terkejut mengetahui dua teman barunya mengenal salah seorang rekan kerjanya di kantor.

"Beneran Git?" tanya Revan kemudian.

"Vira masuk ke London setelah aku dua bulan berada di sana. Sebenarnya bergabungnya di FNE duluan Vira, tapi karena dia di Indonesia dulu jadi ya begitulah." Regita tersenyum.

"Git, boleh tukeran nomer telepon nggak?" Hawwaiz tiba-tiba meminta nomor HP Gita.

"Boleh, ketik nomer Abang di sini saja langsung." Regita menyerahkan gawainya kepada Hawwaiz.

Revan tersenyum melihat gerak cepat sahabatnya saat berkenaan dengan wanita pujaan hatinya.

Saat Hawwaiz sedang asyik menyimpan nomernya di gawai Regita, gadis itu tiba-tiba bicara. "Oh iya aku baru ingat, foto Bang Hawwaiz kan ada di meja Vira."

Dan dari sanalah Regita mendapatkan cerita dari Revan tentang siapa Hawwaiz dan Vira. Meski terkadang gadis itu mengerutkan keningnya, tapi senyuman selalu menghias bibirnya ketika mendengar cerita Revan. Dari pertemuan itu pula, Hawwaiz meminta tolong kepada Regita mengenalkan siapa sekiranya orang yang bisa dimintai bantuan untuk memenuhi kebutuhan harian Vira tanpa harus diketahui olehnya.

"Ih, Bang Hawwaiz sweet banget sih. Makanya kelihatan banget lho Vira cintanya. Kalau mendengar sekilas kisah kalian, aku bisa narik kesimpulan kalau kekacauan Vira di tempat kerja karena masalah ini."

"Maksudnya gimana, Git?" Hawwaiz bertanya.

"Mungkin karena rasa kangen, nggak bisa bertemu, jadi satu bulan belakangan ini, Vira banyak teledor dalam bekerja. Bahkan beberapa kali sempat ditegur oleh branch manager karena komplain dari rekanan. Aku sering melihat dia menangis, aku pikir karena teguran bos ternyata karena masalah kalian." Regita menggelengkan kepalanya.

"Jadi, setelah bertemu Om Ibnu itu kalian belum pernah ketemu lagi?" tanya Revan yang hanya mendapat jawaban senyuman Hawwaiz sekilas.

"Sudahlah Bang Revan, Bang Hawwaiz juga butuh privasi, kita sebagai teman sudah sepantasnya mendukung saja." Regita tidak ingin terlalu ikut campur dalam kisah asmara Hawwaiz dan Vira. "Aku bisa Bang, nanti tinggal minta tolong sama OB kantor untuk membelanjakannya dan meletakkannya di flat Vira."

"Terima kasih, Git. Tapi pastikan jangan sampai Vira tahu semua itu dari aku."

"Nanti aku kirim billnya setiap bulan," janji Regita.

Revan bahkan tidak habis pikir dengan Hawwaiz. Pria selalu menggunakan logika dibandingkan dengan perasaan ketika mengambil suatu keputusan. Namun, sepertinya Revan melihat sisi yang berbeda dari sikap yang diambil oleh Hawwaiz. Sebagai seorang sahabat, sepertinya dia harus mengingatkan.

"Iz, kamu yakin dengan semua ini? Sebesar itukah rasa cinta yang kamu miliki hingga seolah logika tak lagi bisa berkonsentrasi dalam menetapkan harga diri? Untuk apa kamu bertanggung jawab sementara kalian belum resmi—" Revan memainkan logikanya.

"Anggap aku gila saja, Rev," jawab Hawwaiz.

"Hei, aku tahu kamu. Untuk apa menjadi pengecut seperti ini? Hawwaiz, sahabatku bukan pria seperti ini. Perjuangkan kalau kamu mau, jangan justru bersembunyi untuk menyamarkan jati diri."

Hawwaiz berdiri dan tidak ingin terlihat konyol di depan Regita karena perdebatannya dengan Revan. Dia lalu menepuk pundak sahabatnya lalu mengajaknya pergi. Waktu satu jam yang dia janjikan sudah lebih lima menit.

"Aku hanya ingin memastikan. Viraku tidak kekurangan apa pun selama di London," kata Hawwaiz setelah mereka berpisah dengan Regita.

"Hawwaiz, come on. Andai keluarga Vira tahu sebesar ini kamu mencintainya. Aku yakin setidaknya mereka melihat dari banyaknya kebaikanmu dibandingkan fokus dengan satu kesalahan yang pernah kamu buat, whateverlah itu. Manusia tidak ada yang sempurna, sengaja atau pun tidak kita pasti pernah melakukan kesalahan."

Hawwaiz menggeleng perlahan. Hidup butuh pembelajaran maka bergurulah pada pengalaman.

"Sabar, Brow. Setiap manusia punya sisi kelam di masa lalunya. Nggak perlu diceritakan karena sesungguhnya semua itu aib yang memang harus disembunyikan. Kamu jangan merasa sendiri, bahkan aku adalah akibat masa lalu yang lebih kelam dibandingkan dengan kesalahanmu."

"Rev—" Hawwaiz bergumam lirih. Revan justru terlihat menggelengkan kepalanya.

Pada akhirnya Hawwaiz harus kembali fokus dengan janjinya pada diri sendiri. Dia harus lebih giat belajar dan lebih keras bekerja. Karena selain ingin lulus dengan segera, Hawwaiz juga ingin membeli rumah tinggal yang layak di Oxford atau di London nantinya.

Di sisi yang berbeda. Enam bulan berlalu sejak pertemuannya dengan keluarga Hawwaiz di Oxford, Vira pun kini sedang dikejar deadline pekerjaan baru. Heffry, bos Vira terkenal sangat perfeksionis, sehingga semua pekerjaan harus dikerjakan dengan sempurna. Dia tidak akan menoleransi sedikit pun kesalahan yang dibuat oleh bawahannya. Meski demikian Heffry merupakan sosok yang sangat hangat. Dia tidak canggung mengajari anak buahnya dalam pekerjaan dan juga bukan tipe orang yang pelit.

"Vira, surat dagang yang saya minta kemarin sudah dibuatkan?" tanya Heffry ketika Vira masuk ke ruangannya untuk meminta izin pulang cepat.

Semalam Arfan mendarat di London dan hari ini sengaja gadis itu ingin mengajak pipinya kencan untuk menikmati gemerlapnya kota London di malam hari. Vira segera memutar kembali ingatannya. Tidak ingin lagi mendapatkan teguran dari Heffry karena dia tidak fokus bekerja.

"Tadi pagi sudah saya berikan kepada Ms. Louisa untuk disampaikan kepada Bapak." Vira sudah bersiap balik badan untuk bertanya pada Louisa tapi Heffrey lebih dulu menemukan berkasnya di antara tumpukan pekerjaan yang belum diperiksa.

"Oh my God, sorry I missed it, harusnya saya periksa tapi—" Heffry melihat jam di pergelangan tangannya. Tak seberapa lama fokusnya kembali pada kedatangan Vira ke ruangannya. "Kamu tadi mau apa, Vir?"

Vira pun sedikit tergagap menangkis tatapan Heffry yang tiba-tiba terlihat berbeda dari sebelumnya. Terlihat kaku tapi Vira berusaha menguasai dirinya dengan cepat. Akhir-akhir ini Heffry seringkali terlihat menatap Vira dengan tatapan memuja sampai muncul rumor tak sedap di kantor yang mengatakan mereka sedang berkencan.

"Saya izin pulang cepat, Pak. Ayah saya tiba dari Indonesia semalam dan hari ini kami berniat untuk makan malam bersama." Vira berusaha mengabaikan berita yang dihebohkan orang satu kantor tentang mereka.

"Pekerjaan kamu sudah selesai?" tanya Heffry cukup merdu di telinga.

"Pekerjaan yang harus saya laporkan ke Bapak hari ini sudah saya selesaikan termasuk dengan laporan keuangan kuartal kedua sudah saya kirim ke email Pak Heffry," jawab Vira sebelum dia minta izin meninggalkan ruangan.

"Vir ...." panggil Heffry ketika kaki Vira hendak melangkah melewati pintu yang telah terbuka.

"Iya, Pak?" jawab Vira menoleh kembali ke belakang.

Tidak ada jawaban dari bibir Heffry setelahnya, hanya senyum sipu lalu dia bergegas mengibaskan tangannya ke udara yang membuat Vira mengerutkan kening untuk mengartikan sikap bosnya itu.

"Forget it, silakan." Heffry membuka tangan kanannya dan mempersilakan Vira melanjutkan aktivitasnya.

Malam hari yang dijanjikan, Vira benar-benar menikmati waktu bersama Arfan di sebuah restoran yang cukup terkenal di London. Masakan Asia menjadi hidangan yang tersaji di depan mereka. Kerinduan Vira tentang Indonesia membuatnya memilih restoran Asia untuk kencan mereka malam ini.

Mulai dari percakapan ringan, sedang, bahkan nyaris menjamah ke percakapan berat mewarnai cengkerama mereka sebelum akhirnya sebuah suara yang tidak lagi asing di telinga Vira menyapa mereka dari jarak yang cukup dekat.

"Hai, Heff, duduk. Om dan Vira sudah menunggu sejak tadi." Arfan menyambut kedatangan Heffry bergabung dengan mereka dengan sangat akrab.

Vira mengernyit heran. Sepertinya ada yang terlewatkan atau mungkin belum sempat Arfan ceritakan padanya tentang keakraban mereka.

"Kamu kok bengong begitu?" tanya Arfan pada Vira.

"Pipi tidak salah—?" kata Vira terbata.

Arfan dan Heffry tersenyum bersama melihat kecanggungan yang ditunjukkan Vira.

"Apa Pipi belum cerita kalau malam ini Pipi juga mengundang Arfan untuk makan malam bersama kita?" Arfan menggenggam jemari putrinya.

Vira langsung menggelengkan kepalanya. Namun, bukan masalah undangan makan malam yang menjadi pertanyaan besar dalam benak Vira melainkan tentang keakraban mereka berdua.

"Kalian kenal di mana?" tanya Vira lirih.

Tawa Arfan menyambut kalimat tanya yang baru saja Vira ucapkan. Heffry hanya tersenyum menikmati wajah kebingungan yang ditunjukkan bawahannya di kantor itu.

"Kamu tahu Pak Tazmir Herdian Mumtaz?" tanya Arfan.

Bagi imigran seperti Vira tentu saja tidak asing dengan nama itu. Karena setiap kali ada acara di KBRI pasti akan bertemu dengan beliau sebagai kepala kedutaan Indonesia untuk Inggris Raya. Namun, apa hubungannya dengan pertemuan mereka malam ini? Apa Arfan juga mengundangnya serta untuk makan malam bersama?

Vira berdeceh perlahan. Jika memang benar perkiraannya, pilihannya terlalu sederhana untuk seorang pejabat negara yang mereka undang.

"Dik, are you okay?" tanya Arfan.

Vira menggeragap, terbangun dari lamunannya.

"Tazmir Herdian Mumtaz, kepala KBRI London kan, Pi?" kata Vira.

Arfan menatap Heffry dengan senyuman yang sama seolah melimpahkan hak untuk menjawab pertanyaan putrinya.

"Tazmir Herdian Mumtaz itu papa saya, Vira," jelas Heffry dengan tatapan yang semakin membuat Vira risi. Meneduhkan hati, sama seperti tatapan Hawwaiz yang enam bulan terakhir ini sangat dirindukannya.

Vira menggelengkan kepala perlahan untuk menghalau pikiran buruknya. Namun, Heffry lebih dulu menangkap gerakan refleksnya sebelum Vira siap menguasai dirinya.

"Kamu tidak keberatan, kan, kalau saya ikut bergabung makan malam dengan kalian di sini?" tanya Heffry.

"Spertinya kalian harus belajar untuk menghilangkan kalimat formal karena di sini bukan lagi dikantor yang mengartikan ada atasan atau bawahan. Bukan begitu, Heff?" kelakar Arfan.

"Siap, Om." Heffry menimpali.

Meski sedikit canggung Vira akhirnya tersenyum juga menanggapi ucapan pipinya. Entah apa rencana dibalik pertemuan mereka, yang pasti Vira tetap menganggap Heffry sebagai atasannya.

Tidak perlu lagi bertanya sebaik apa hubungan Arfan dengan diplomat yang tersebut sebagai papa Heffry itu. Vira sering mendengar Arfan bercerita tentangnya. Sehingga sangat wajar jika mereka menjadi akrab karena Arfan mengenal baik orang tua Heffry.

"Titip Vira di kantor ya, Heff," kata Arfan ketika mereka akan berpisah.

"Pasti, Om. Vira juga sangat tangkas dalam pekerjaan. Jadi Om Arfan tidak perlu khawatir meski jarang bertemu dengannya. Saya siap menjadi kepanjangan tangan Om Arfan dan Tante Nia di sini."

Kalimat yang cukup menawan tapi terdengar sumbang di telinga Vira. Bukankah selama ini Vira seringkali melakukan kesalahan hingga membuat Heffry menegurnya dan seringkali mendampingi pekerjaannya untuk menghindari kesalahan yang fatal? Atau firasat hatinya mendominasi kebenaran atas mimpi yang coba direnda untuk merekatkan kebersamaan hari demi hari?

"Kami permisi dulu, Mas," kata Vira.

Sapaan yang akhirnya dirubahnya dengan terpaksa karena Heffry yang meminta di depan sang pipi.

Musim belum berganti tapi angin telah merubah arahnya untuk berembus.

☼☼

HAWWAIZ akhirnya mendapatkan tanda tangan dari dosen pembimbing untuk melakukan clerkship di sebuah rumah sakit besar yang ada di London. Akhirnya dia bisa bernapas dengan lega, setidaknya dia bisa mengawasi Vira dari jarak terdekat meski tanpa harus berkomunikasi dengannya.

"Aku kangen sama kamu. El. Apa kamu juga merasakan hal yang sama sepertiku?" Hawwaiz bergumam lirih.

Setelah mendapatkan tiket kereta yang akan membawanya ke London untuk mengurus segala sesuatunya di sana selama clerkship nanti, seperti biasa Hawwaiz menikmati guliran galeri foto yang ada di dalam gawainya. Foto yang banyak menyimpan kenangannya bersama Vira membuat semangatnya semakin menyala.

"Sebentar lagi, Sayang. Aku akan benar-benar datang untuk memintamu menjadi milikku seutuhnya." Hawwaiz bangkit dari duduknya. Dia segera bersiap ke stasiun karena kereta api yang akan membawanya akan berangkat empat puluh menit lagi.

Hawwaiz mendesah perlahan. Hubungannya dengan Arfan menjadi canggung setelah kejadian waktu itu. Meski dia telah meminta maaf secara langsung ketika Arfan berada di London, tapi tetap saja kata maaf yang telah diberikan Arfan tidak akan pernah cukup untuk menebus kesalahannya pada mereka.

Malam harinya, setelah dia menyelesaikan kegiatannya di Ormond Hospital, Hawwaiz berniat mengisi perutnya yang sedari tadi sore sudah keroncongan.

Memilih restoran Asia, karena akhir-akhir ini Hawwaiz sedikit mengalami masalah dengan pencernaannya. Selain karena rasa rindunya pada masakan Qiyyara.

Kedua matanya membulat seketika ketika dia hendak meletakkan pantatnya di kursi kosong yang ada di restoran itu, melihat dua orang yang sedang asyik bercengkerama. Tidak jauh dari tempat duduknya, hanya berjarak dua meja dari kursi pilihannya. Telinganya juga cukup bisa mendengar cerita apa yang sedang mereka bahas.

Hawwaiz berniat untuk menyapa, dia kembali berdiri dan melangkahkan kaki mendekat. Namun, semuanya urung dilakukan ketika seorang pria tampan lebih dulu berdiri di samping meja mereka dan menyapanya dengan hangat. Sambutan hangat pun terlihat begitu nyata di mata Hawwaiz. Pemuda itu mencium tangan kanan Arfan lalu tersenyum mengangguk kepada Vira.

Lelah telah mendominasi, dan rasa tidak suka mengganjal di hati. Tentu saja Hawwaiz menyadari cemburu telah menguasai dirinya. Namun, seolah semesta yang tidak lagi memberinya kesempatan untuk menampakkan diri. Hawwaiz mencoba untuk menahan diri, berkilah tidak ingin membuat Vira malu di depan banyak orang dengan kehadirannya yang mungkin sangat tidak diharapkan oleh Arfan.

Sampai akhirnya mereka benar-benar berpisah. Dan Hawwaiz mencoba peruntungannya untuk maju berjuang mempertahankan apa yang ingin dia miliki di dunia ini.

"Selamat malam, Om Arfan," sapa Hawwaiz.

"Bi—" sapa Vira terkejut.

"El, how are you?" Hawwaiz mencoba tersenyum.

"What are you doing here?" tanya Vira.

Arfan berdeham mengusik percakapan keduanya. Mata Arfan menatap tajam ke arah Hawwaiz. Hal berbeda ketika dia bertemu dengan Heffry di dalam restoran tadi.

"Bukannya kamu sudah berjanji untuk tidak mengganggu Vira lagi, Iz?" kata Arfan tak bersahabat.

"Maaf, Om?" kata Hawwaiz tanpa mengurangi rasa hormatnya pada Arfan.

"Daddymu yang datang kepada kami, Mas Ibnu bilang kamu sudah berjanji tidak akan mengganggu Vira di London lagi. Jangan lupakan juga janjimu di pertemuan kita tempo itu!" tegas Arfan.

"Pi—" Vira merasa Arfan sedikit berlebihan dengan pertemuan tak sengaja mereka dengan Hawwaiz.

"Demi Allah, Hawwaiz tidak pernah mengganggu Adik, Dan Adik tidak merasa terganggu. Pipi nggak perlu memandang Hawwaiz seperti itu. Dia bukan penjahat yang—" kata Vira terpotong dengan sikap Arfan yang langsung menggelandangnya ke mobil.

"Pipi nggak suka Adik ngomong seperti itu."

Seolah menjadi alarm awal yang harus dipersiapkan Vira untuk tetap berdiri di tempatnya.

"Come on, Pi. Hawwaiz salah apa? Dia hanya datang menyapa kita. Apakah seperti ini sikap yang harus Pipi tunjukkan padanya?" tanya Vira.

"Lalu bagaimana menurutmu? Apa Pipi harus bersikap baik dengan orang yang telah melukai martabatmu sebagai seorang wanita? Jelaskan pada Pipi bagaimana caranya." Arfan tidak mau kalah berdebat dengan putrinya.

Vira mendesah kasar. Bukankah Arfan telah memberikan maafnya untuk Hawwaiz. Tapi mengapa kilatan dendam justru terlihat dari pancaran matanya?

"Tidak baik menyimpan dendam kepada orang," desis Vira.

"Karena kamu menyukainya. Sekarang Pipi tanya, kalau Heffry melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Hawwaiz padamu, sementara kamu tidak mencintainya. Apakah kamu masih bisa berkata demikian?" tanya Arfan.

"Ini kasus yang berbeda, Pi. Tolong jangan membuat topik percakapan kita semakin melebar." Vira memilih untuk masuk ke mobil terlebih dulu.

Meninggalkan Hawwaiz sendiri tanpa kata perpisahan. Sebenarnya dalam hatinya masih bertanya-tanya, acara apa yang membawa Hawwaiz datang ke London. Dalam perjalanan menuju ke flat tangan Vira menjadi gatal untuk menghubungi Hawwaiz, tapi otaknya masih cukup waras untuk menahan karena dia pun telah berjanji pada kedua orang tua Hawwaiz.

"Dosa besar jika kamu diam-diam menemuinya tanpa izin dari Pipi."

Kalimat mutlak yang terdengar setelahnya dari bibir Arfan membuat hatiVira semakin resah. Apakah angin benar-benar telah berputar arah?

Blitar, 8 Oktober 2023

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 99K 44
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
GEOGRA By Ice

Teen Fiction

2.3M 98.1K 57
Pertemuan yang tidak disengaja karena berniat menolong seorang pemuda yang terjatuh dari motor malah membuat hidup Zeyra menjadi semakin rumit. Berha...
2.6M 151K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
2.6M 265K 62
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?