Senja Yang Abadi

By vnnezffraaranda

22.3K 897 64

Islami - Romansa - Spiritual • Berawal dari terpaksa menerima kenyataan bahwa dirinya akan dijodohkan, hanya... More

P R O L O G
Perkenalan
1. Nasehat mbak Raya
2. Amanah Ayah
3. Saya, Terima
4. Sayang Arana
5. Perihal Foto
6. SAH!
7. First Hug
8. Mau apa, hm?
9. Sindi
10. Umrah
11. Apa, cinta?
12. Unboxing
13. Kamu senja saya
14. Imam
15. Pesawat jatuh
16. Bunda....
17. Fii amanillah, Jannaty
18. Sedih atau bahagia?
19. Istighfar 50×
20. Mba Raya juga?
22. Hari kelulusan
23. SEBLAKK
24. Night at Rumah Umi
25. Anak Cantik Umi
26. Unicorn
27. Perihal poligami
28. Sabarlah sebentar lagi

21. Morning sickness

557 34 0
By vnnezffraaranda

                بِسْـــــــــــــــــــــمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيم

اَللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ



"Rara! Mba mu, Ra!"

Jantung Arana rasanya mau copot ketika mendengar pekikan Aldi. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan raut panik yang terpatri di wajahnya.

Dengan segera Arana turun dari brangkar lalu melangkah menuju Aldi. "Mba Raya kenapa, bang?!"

"Detak jantung Raya melemah!"

"Astaghfirullah."

Mendengar itu, Arana tidak dapat lagi mengondisikan dirinya. Ia panik.

Pak Aldan menaruh kembali bayi dalam gendongannya dengan hati-hati ke dalam inkubator. Susunya sudah ia minum hingga tandas.

Mereka langsung berlari keluar, bahkan Arana pun ikut berlari, melupakan rasa lemasnya tadi.

Dalam hati, perempuan itu terus merapalkan do'a demi kestabilan kondisi mba Raya.

Sungguh, Arana tidak akan sanggup bila harus kembali merasakan kehilangan secepat ini.

Mereka bertiga berhenti di depan pintu ruang ICU. Tak ada satupun dari ketiganya yang tergerak menarik pintu putih itu. Semua terdiam kaku tanpa pergerakan.

"Ra, kamu aja duluan. Masuknya ngga boleh rame-rame," ucap Aldi. Ia paham betul, Arana lah yang paling nampak gelisah diantara mereka bertiga.

Arana pun masuk.

Tubuh yang sebelumnya sudah sedikit bertenaga tiba-tiba terasa kembali lemah entah kenapa. Nafasnya Bahkan terasa tercekat. Atmosfer disini sangat mencekam.

Tak ada suara bising, yang terdengar hanya suara monitor yang menditeksi detak jantung Raya.

Melihat banyaknya alat media yang tepasang ditubuh Raya membuat Arana semakin sedih.

Kakinya melangkah pelan menghampiri kakak nya yang hanya diam bahkan dengan mata tertutup.

"Mba...." Panggilan itu terdengar sangat lirih.

Dia menggapai tangan Raya yang terbebas dari selang infusan lalu menggenggamnya. "Mba harus kuat ya, mba harus sembuh."

"Rara overthinking..." keluh Arana. Kepalanya ia telungkupkan di atas brangkar lalu menangis disana.

"Mba jangan tinggalin Rara yaaa," bisiknya pelan.

Kenapa jadi begini ya Allah? Bundanya pulang saat Arana tak ada disisinya. Dan sekarang apakah Arana harus kembali merasakan kehilangan? Bahkan dalam selang waktu dua hari?

"Rara butuh, mbaa."

"Rara juga punya kabar bahagia buat mba," tanganya yang satu lagi ia gerakkan untuk menyentuh perutnya yang masih rata.

"Rara butuh banyak bimbingan dari, mba."

Tit

Tit

Tit

Suara monitor terus mendominasi kesunyian diantara mereka.

"Ra...."

Sebentar!

Arana mendengar sesuatu?

Seperti bisikan. Sangatt pelan.

Wajahnya langsung dia angkat. Ia yakin dirinya tidak salah dengar.

"Ra."

Benar.

Arana melihat bibir Raya bergerak walau dengan mata yang masih terpejam.

Arana dengan antusias langsung mendekatkan wajahnya. "Iya mba? Ini Rara."

Mata Raya mulai sedikit terbuka, hanya sedikit, namun Arana bisa melihat retina itu bergerak.

"Mba- minta tol-ong, Ra."

Air mata Arana jatuh dengan deras melihat Raya yang kesulitan berbicara.

Ia bingung harus bahagia karena akhirnya Raya sadar, atau harus sedih melihat kondisi Raya yang belum stabil.

"Iyaaa mbaa, pasti Rara tolongin. Mba mau apa?"

"Jaga-in Zeyan, a-de nya ju-juga."

"Pasti. Pasti Rara jagain. Mba ngga perlu mikirin itu. Ada banyak orang yang sayang sama mba, juga mereka, mba pulih aja itu udah cukup." Arana menggenggam erat tangan Raya. Ia seolah meyakinkan Raya kalau buah hatinya akan baik-baik saja.

"Rara panggilin bang Aldi ya, mba?"

Raya menggangguk samar.

Sesampainya diluar, Aldi langsung masuk setelah tahu istrinya sudah siuman.

"Gimana, sayang?"

"Mba masih belum sepenuhnya sadar, mas."

"Berdo'a aja sama Allah semoga Mba Raya cepat membaik."

"Aamiiin allahumma aamiiin."

"Kamu masih mau tetep disini?" Pak Aldan memegang tangan Arana lalu ia tuntun untuk duduk di kursi.

Istrinya itu juga belum sembuh total. Jadi tidak boleh kelelahan.

"Iya, mas. Kita pulang kalo bang Aldi udah keluar. Boleh?"

"Boleh."

Mereka berdua duduk di kursi dalam keadaan hening, tak banyak pembahasan selama menunggu Aldi keluar ruangan.

Ceklek

Pak Aldan dan Arana menatap Aldi yang menunduk. Mereka menunggu kata-kata apa yang akan lelaki itu kekuarkan.

Pecinya ia buka sembari melangkah mendekat.

"Barusan Raya nitip amanah. Abang ngga maksa kalian buat nerima ini, tapi amanah Raya tetap akan abang sampaikan."

Mereka menyimak dengan khidmat tanpa berniat menyela pembicaraan.

"Sebenernya tadi abang sempat bicara sama dokter yang nanganin Raya. Kata beliau adek nya Zayan udah bisa dibawa pulang. Tadi juga abang kasi tau Raya karna dia nanyain perihal ini. Dan Raya bilang, dia mau minta tolong kalian jagain bentar."

"Gimana, Al, Ra? In syaa Allah cuma buat berapa hari aja. Sampe kondisi mulai membaik."

"Aldan sih boleh, bang. Tapi Rara juga belum sembuh total."

Pak Aldan memakai panggilan Rara didepan Aldi, karena Rana hanya panggilan jika mereka sedang berdua. Panggilan Rana belum masyhur di keluarga mereka.

"In syaa Allah Rara sanggup. Ada mas Aldan juga nanti. Bolehkan mas?"

"Kalau kamu sanggup boleh, Ra."

Arana hanya membalasnya dengan senyuman.

•••

Setelah membereskan barang-barang serta perlengkapan bayi, Arana dan Pak Aldan pulang ke rumah dengan membawa bayi cantik dalam gendongannya.

"Bentar sayang, mas bukain pintu." Pak Aldan turun lalu mengitari mobil untuk membukakan pintu bagian Arana.

"Makasih, mas."

"Sama-sama."

"Kamu masuk duluan, mas ambilin barang-barang dibagasi dulu, ya."

"Siap, Paksu."

•••

Satu bulan berlalu, kini keadaan sudah mulai normal kembali. Arana sudah bisa menerima kepergian Bunda Naya dengan kelapangan hati. Dan kabar baik nya, mba Raya sudah sembuh dan bisa beraktifitas seperti biasa.

Begitu banyak hal yang dilalui oleh Pak Aldan dan Arana. Hidup tiga bulan bersama, di bawah atap yang sama. Membuat keduanya sudah sangat bisa mengenal satu sama lain, serta kedekatan yang semakin terjalin.

Kehamilan Arana kini memasuki bulan ke dua. Tapi ia belum merasakan mual atau gejala-gejala ibu hamil lainnya. Parah nya, malah Pak Aldan yang sering mual-mual.

Contohnya seperti sekarang, padahal sudah jam tiga dini hari, tapi Pak Aldan masih betah di kamar mandi. Berdiri depan Wastafel dari jam dua tadi.

Alasannya simpel, Pak Aldan tidak sanggup bolak balik, jadi mending stay disini saja.

Menyadari suaminya yang tak kunjung keluar juga, Arana pun memutuskan untuk ikut masuk. Kasihan juga suaminya.

Tanpa mengetuk pintu dahulu Arana langsung melenggang ke dalam, toh suaminya ini juga bukan sedang mandi.

"Mas." Pak Aldan menoleh setelah mendengar suara istri nya.

"Ihh, Ya Allah, pucet bangettt." Kedua tangan perempuan itu langsung memegang sisi wajah Pak Aldan.

Bagaimana tidak pucat. Sudah satu jam lebih pak Aldan mencoba mengekuarkan isi perutnya, tapi yang keluar hanyalah cairan tanpa warna.

"Kenapa belum tidur udah jam segini? Masuk aja, sayang," ucap Pak Aldan lemas.

Tanpa niat memperdulikan ucapan sumainya, Arana langsung menarik tangan Pak Aldan keluar toilet.

Setelah dikamar, Arana menyuruh Pak Aldan untuk duduk di atas kasur.

"Mas, maaf yaa...."

Entah kenapa Arana jadi merasa bersalah. Tangannya sibuk mengoleskan minyak kayu putih di perut serta punggung suaminya. Tapi mulutnya terus melantunkan kata maaf.

"Maaf kenapa? Hm?"

"Mas sakit gini Rana jadi merasa bersalah... Padahal Rana yang hamil, tapi malah mas yang nanggung mual-mual," suara Arana terdengar parau seperti orang menahan tangis.

"Hey..." Pak Aldan membalik badannya jadi berhadapan dengan Arana. "Ngga perlu berfikir gitu... Mas ikhlas kok. Ini seru tau, Ra. Mas seneng bisa ngerasain ini. Jadinya ngga kamu aja yang cape. Allah itu maha adil, sayang. Kamu disuru bawa bayi, mas yang mual, kan adil, kita saling berbagi."

Hening.

"Huaaa, mass, kamu manis bangettt." Arana langsung berhambur ke dalam pelukan pak Aldan dengan linangan air mata haru.

Memang suaminya ini tiada dua. Sangatt pengertian. Bahkan di hal-hal seperti ini saja suaminya masih bisa ber Husnu Dzan.

Coba tunjukan pada Arana, perempuan mana yang tidak ingin mempunyai suami seperti suaminya?

Pak Aldan mengecup singkat kening Arana, "udah jangan nangis gituu. Nanti Aldan junior ikutan sedih."

________________________________

Guysssss, Yaa Allah kangen banget sama kaliann😭

G bosen² Vani ingetin, jangan lupa vote dan komen nya yaaa☺️

ʕっ•ᴥ•ʔっ

Continue Reading

You'll Also Like

312K 30.6K 36
➳ Wattpad Picks ~ ❝Angels don't lie, but you do. If I'm a devil, what are you?❞ When Burq loses his memory in an accident and doesn't remember his ow...
100K 9.7K 89
In the face of the powerful, young and roguishly handsome landlord Choudhary Shah-Nawaz Qureshi, only Mehar-Bano was the one to oppose his patriarcha...
39.9K 3.4K 64
Her life has never been more busy. On the verge of a global business expansion and raising eight royal kids, Futhi is hit with the surprise of a life...
46.3K 6.2K 29
She was not only born with a silver spoon, she was rocked in a diamond cradle and raised in a gold castle. She had the world at her feet and on her f...