Should I Stay? (JENLISA)

By Hellosean97

173K 20K 1K

Ketidakmampuannya dalam menemukan tujuan hidupnya serta orang-orang disekitar yang selalu menuntutnya dan ber... More

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
19 (2)
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
Bukan Update ๐Ÿงก
38
39
Bukan Update || New Story ๐Ÿงก
40
41
42
43
43 ; Sisi Lain
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
59
60
61

58

731 125 2
By Hellosean97

"Saya menemukannya di Sungai Han hari itu. Dia mencoba mengakhiri hidupnya."

Chaeyoung menghela napas panjang mendengar perkataan Joy. Kebencian yang ia rasakan masih belum hilang meski menyaksikan sendiri bagaimana Lisa tiba-tiba pingsan tadi, namun tak dapat dipungkiri bahwa hatinya juga teriris mengetahui apa yang terjadi.

"Aku hanya melindungi adikku, Dokter Park. Dia— sudah sangat menderita, aku tidak bisa membiarkan dia menderita lagi karena Lisa." katanya lembut.

"Saya mengerti betul. Saya juga tidak bisa ikut campur dalam masalah ini, sebagai dokternya saya hanya menemaninya untuk skenario terburuk dan juga sesuai perintah Dokter Kwon. Tapi Nona Park...sebagai temannya, saya mengharapkan sedikit kemurahan hatimu  untuk membiarkan dia menjelaskan. Kita punya gambaran tentang apa yang mungkin terjadi di masa depan, dan mungkin...mungkin ini bisa sedikit menguatkan Lisa."

Apakah dia terlalu egois dan terbawa amarah? Chaeyoung sendiri sebenarnya tidak ingin bersikap terlalu kejam seperti ini. Hanya saja karena tahu prosesnya akan seperti apa, dia tak ingin Jennie terlibat. Ia tak ingin Jennie mendapat masalah dan terluka, bukan hanya karena fakta yang ada namun juga karena kemungkinan terburuk yang menanti. Dia tahu apa yang akan dilakukan Jennie terlepas dari apakah Lisa salah atau tidak, dan dia tahu itu tidak akan baik untuk Jennie.

"Mereka tidak boleh bertemu lagi, Dokter. Bajingan ini akan terluka parah dan kita tidak pernah tahu kapan dia akan berakhir di tangannya sendiri. Jika itu terjadi, jika aku tidak memutuskan hubungan mereka sekarang maka hidup kakakku akan hancur, tidak pernah sama lagi. Juga sejak ada Lisa semua hal berbahaya menjadi dekat dengan keluargaku. Kalau sekarang saja sudah sekacau ini, menurutmu bagaimana di masa depan?" Meski sulit, dia mengatakannya.

Joy memandangi tubuh Lisa yang tergeletak lemah di atas sofa dengan hati teriris karena perkataan Chaeyoung. Namun dia juga tidak bisa terlalu menyalahkan gadis ini.

"Tapi bukankah kita juga tahu bahwa mungkin kembalinya kepercayaan Jennie padanya akan membuatnya bisa melewati dan pulih dari luka serius itu? Kau mungkin tahu kalau Lisa akhirnya kembali mencintai setelah dia memendamnya dalam waktu yang lama. Jennie adalah satu-satunya harapannya. Bahkan dalam keadaan seperti ini dia tidak memikirkan dirinya sendiri sama sekali, kecuali Jennie." kata Joy.

"Kau tidak mengerti, Dokter. Aku selalu melindungi keluargaku dari bahaya, dan sekarang bahaya yang paling nyata adalah Lisa. Tentu saja aku bukan orang yang tidak punya hati, tapi jika harus memilih antara kepentingan keluargaku dan dia, menyingkirkannya adalah satu-satunya pilihan." Suara Chaeyoung mulai keluar tanpa emosi.

"Nona Park...Lisa punya alasan—"

"Dia memakai narkoba, apakah ada alasan yang bisa membuatku memaklumi itu? Tidak ada alasan yang bisa membenarkan pengguna narkoba di rumah ini, Dokter," potong Chaeyoung tegas. Ia menurunkan tangannya yang sejak tadi terlipat, lalu melanjutkan. "Aku sudah memanggil taksi. Silakan pergi begitu taksi tiba. Jennie unnie mungkin akan pulang sebentar lagi, aku tidak ingin dia melihat Lisa di sini dan keadaan menjadi lebih rumit. Aku akan ke kamarku, kau tidak tidak perlu berpamitan."

Setelah mengatakan itu Chaeyoung berjalan pergi meninggalkan Joy. Ia menaiki tangga dengan perasaan berat menuju kamarnya, tanpa mempedulikan air mata yang mulai mengalir di pipinya. Jauh di lubuk hatinya ia tahu bahwa Lisa adalah orang yang baik dan tulus, sehingga melakukan ini juga memporak-porandakan hatinya. Namun hidup mereka juga tidak mudah, terlalu banyak masalah yang belum mampu mereka selesaikan satu pun. Maka dalam hati ia meminta maaf pada Lisa karena harus bersikap egois.

****

"Kau harus makan, Jen."

Upaya terakhir Jisoo ternyata sama, masih tak berhasil membuat Jennie tenang. Sejak pagi mereka keluar rumah untuk berkeliling mencari keberadaan Lisa, berharap bisa menemukannya. Tentu saja tanpa sepengetahuan Chaeyoung, mereka berbohong dan mengatakan akan pergi ke apartemen Jisoo untuk mendapatkan salinan video pengakuan mantan bawahan Leo.

Mereka berdua telah menyisir semua tempat yang memungkinkan selama berjam-jam, namun tidak berhasil. Hingga satu-satunya tempat terpikir oleh Jennie dan mereka akhirnya memutuskan untuk pergi ke sana, setelah berdebat alot dengan Jisoo.

Sebentar lagi mereka akan tiba, tempat di mana keluarga Lisa berada. Jisoo memutuskan untuk mengisi perut terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan karena entah kenapa, dia tahu apa yang akan mereka hadapi pasti tidak mudah. Namun meski memaksa dan sudah memesan banyak makanan enak, Jennie sama sekali tak tergerak untuk menyentuhnya.

"Jen..."

"Aku tidak lapar." Jennie menjawab singkat.

Mata wanita ini seperti tidak ada kehidupan, bahkan tidak menunjukkan emosi apapun sehingga Jisoo mulai khawatir. "Kita akan mencari sampai menemukannya."

"Bagaimana jika tidak menemukannya?"

Jisoo meletakkan sendoknya. "Ke mana memangnya dia bisa kabur, Jen? Ke luar negeri? Aku yakin si bodoh itu tidak punya uang sepeser pun dalam jaket ungu mencolok yang dipakainya tempo hari. Selama dia masih di Korea, kita akan menemukannya."

"Ya, dan kita sudah mencari kemana-mana, tapi dia masih tidak ditemukan. Aku khawatir..."

"Apa? Dia akan bunuh diri?"

Jennie memalingkan wajahnya. Dia tidak ingin memikirkan hal itu tetapi juga tidak dapat menyangkal bahwa itu adalah kemungkinan tertinggi saat ini. Dia mengenal Lisa dengan sangat baik, dia tahu apa yang bisa Lisa lakukan, atau apa yang bisa dilakukan sisi lainnya. Semua orang menyuruhnya untuk tenang, tapi bagaimana dia bisa tenang jika Lisa sekarang ada di suatu tempat yang tidak jelas?

Dia khawatir, sangat khawatir. Bagaimana makanannya? Bagaimana dia tidur? Bagaimana Lisa mengontrol dirinya ketika tidak membawa obatnya? Dan yang paling ia khawatirkan adalah bagaimana Lisa akan menghadapi apa yang terjadi tanpa ada seorang pun di sisinya saat ini.

Kemungkinan dia berada di sini, di rumahnya, bahkan satu persen pun Jennie tidak yakin. Akan tetapi dia tetap bersikeras untuk pergi ke sana, karena apa lagi yang bisa dia lakukan?

"Jen. Apa kau percaya ada saat yang membuat orang yang ingin bunuh diri ingin bertahan hidup?"

"Jangan mencoba menenangkan hatiku. Itu tidak akan berhasil."

"Tidak, tapi aku serius. Orang yang isi kepalanya selalu ingin mati mempunyai peluang 1% untuk ingin bertahan hidup di saat-saat tertentu. Dan aku yakin saat ini adalah saat di mana Lisa paling ingin hidup. Tahukah kenapa? Karena dia sangat mencintaimu sehingga dia tidak akan melakukan itu meskipun sangat menginginkannya."

Mendengar hal itu sontak membuat mata Jennie berkaca-kaca, ia tidak bisa lagi menahan diri sehingga menangis di depan Jisoo. Jika kemungkinan itu benar, dia benar-benar ingin mempercayainya karena sekarang tidak ada lagi yang tersisa dalam dirinya setelah hancur berkeping-keping. Tentu saja ia marah, hancur dan sangat membenci kenyataan bahwa Lisa telah melakukan hal seperti itu, tapi semua itu bisa menunggu. Hal terpenting saat ini baginya hanyalah menemukan Lisa dan melihatnya, untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja.

"Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan jika dia menghilang. Jika dia ada di sini, aku bisa melampiaskan semua kemarahanku, tapi dia tidak ada. Setidaknya jika dia tidak melarikan diri, aku akan mendengarkan alasan apa pun itu dan mempertimbangkan untuk memahaminya. Tapi dia malah melarikan diri." Isaknya.

"Ya... ya... tentu saja dia bodoh karena melarikan diri seperti itu. Tapi siapa tahu, dia hanya butuh waktu sebentar untuk menenangkan diri. Jangan khawatir Jen, saat kita menemukan si brengsek itu, aku akan menghajarnya untukmu."

"Aku takut, kau tahu?" Jennie menyeka matanya. "Aku takut dia tidak akan kembali, takut apa yang akan terjadi padanya, dan sekarang aku takut menghadapi orangtuanya yang jahat." dia terisak lagi.

Jennie benar-benar tidak bisa membayangkan betapa sinis dan akan seperti apa reaksi orang tua Lisa ketika mendengar kabar ini. Memang, selain berniat mencari Lisa di sana, ia merasa mereka harus tahu apa yang terjadi kalau-kalau nanti Lisa bermasalah dengan hukum.

"Aku akan melindungimu dari mereka. Kita menghadapi ini bersama-sama, hm? Jangan takut, Jennie. Aku bukan sembarang orang." Jisoo mengedipkan matanya.

Caranya menghibur unik sekaligus menyebalkan, pikir Jennie. Bagaimana mungkin gadis ini tetap terlihat tenang di tengah situasi yang kacau balau? Dia bahkan makan dengan lahap seolah-olah tidak sedang dalam masalah serius.

"Ada kabar dari Tuan Jung?" Dia bertanya alih-alih memikirkan keanehan kakaknya.

"Tentang pacarmu atau tentang bajingan, idiot, setan itu?"

"Keduanya."

Jisoo meneguk air di gelasnya dan melipat tangannya, dia sudah selesai makan. "Aku akan menjawabnya tapi kau harus makan dulu."

"Aku benar-benar tidak lapar, Jisoo."

"Aku tak peduli. Kau belum makan dari kemarin Jen. Setidaknya makanlah kimbap ini, nanti aku ceritakan selagi kau makan." Dia menatap Jennie dengan tatapan memohon. "Ayolah. Kalau kau lapar, bagaimana kau bisa mencari Lisa?"

Menutup matanya, Jennie lalu menghela napas berat dan menyerah. Rasanya percuma jika ia makan karena ia tahu tubuhnya tidak akan menerima itu semua sementara rasa khawatir memenuhi setiap selnya. Namun ia tak punya tenaga lagi untuk membantah kekeraskepalaan Jisoo.

Maka dengan lemah ia mengangkat sumpitnya, lalu mengambil sepotong kimbap dan memakannya dengan enggan.

"Jadi..." Jisoo memulai. "Mengenai Leo, kita masih memiliki bukti kuat atas perbuatan jahatnya, video itu. Kita tidak mungkin menggunakan itu untuk melaporkannya ke polisi, karena setelah menyelidiki lebih dalam mengenai Cha Eun Woo yang disebut-sebut, pria itu dapat dikatakan sebagai orang yang berada di atas hukum. Jika Leo bekerja untuknya, maka dia juga tidak bisa dikalahkan dengan hukum busuk itu. Ada kemungkinan Leo akan berusaha sekuat tenaga untuk merebut video tersebut dari kita, atau menekan mantan bawahannya, tapi kau tenang saja karena aku sudah mempertimbangkan itu dari awal dan sudah menemukan cara untuk mengatasinya. Jadi sebelum dia bergerak dan melakukan sesuatu, kita harus bergerak dulu dengan videonya. Itu yang dikatakan Hae In."

"Apakah itu berarti kita tidak aman?"

"Ya, kita tidak aman, Jennie. Ini serius dan menyebalkan. Kenapa hidupmu seperti ini?" Jisoo menghela napas. "Tetapi jangan khawatir. Sudah kubilang kan? Aku bukan sembarang orang. Ada seseorang yang akan membantu kita sampai akhir. Jadi biarlah Hae In dan orang itu yang menyelesaikannya."

"Siapa?" Alis Jennie berkerut.

"Mantan ketua Mahkamah Agung, Hakim terbaik dimasanya." Jawab Jisoo setelah mengambil sepotong kimbap dan mengunyahnya.

"Apakah semuanya hanya lelucon bagimu?!" bentak Jennie kesal.

Jisoo memutar mata ke arahnya. "Aku serius, Jen. Aku bertemu dengannya dan memberitahunya apa yang terjadi. Dia akan menggunakan koneksi dan posisinya  untuk mengungkap Shadow World atau apalah itu."

Kesal dan penuh kebencian, Jennie menatap Jisoo lalu menjatuhkan sumpitnya dan berdiri. Dia tidak percaya gadis ini membuat segalanya menjadi lelucon tanpa melihat situasinya. Kekesalan tersebut akhirnya membuat Jennie berhenti makan dan pergi begitu saja.

"Hei, kau mau kemana?!"

Jisoo berteriak memanggilnya, tapi dia tidak mengindahkan dan terus berjalan. Dia memutuskan untuk memasuki mobil mereka tanpa menunggu. Lalu 10 menit kemudian, mungkin setelah selesai membayar, Jisoo mengikutinya masuk ke dalam mobil.

"Ya Tuhan...kau tidak bisa bersabar ya?"

"Hentikan omong kosongmu, Jisoo. Sekarang bagaimana dengan Lisa?"

Jisoo menyalakan mobil dan memasang sabuk pengamannya. "Mereka masih melacak ponselnya."

Setelah mengatakan itu, Jennie terdiam dan tidak berbicara lagi. Lalu Jisoo menginjak pedal gas meninggalkan restoran untuk melanjutkan perjalanan menuju Busan.

Jennie berharap, sangat berharap dia bisa menemukan kekasihnya disana.


****

Inikah rumah tempat dimana Lisa menghabiskan masa kecilnya yang menderita? Adalah pertanyaan pertama yang muncul di benak Jennie. Dia melihat ke segala sudut, interiornya mewah dan melambangkan status seperti apa yang mereka miliki, tapi tidak ada kehangatan sama sekali.

Banyak sekali foto keluarga yang tergantung di dinding, namun ia hanya bisa melihat satu foto Lisa, selebihnya Yena. Begitu pula dengan piagam-piagam penghargaan, semuanya bertuliskan nama Yena.

Ia tidak punya hak untuk menghakimi, namun kini ia paham kenapa Lisa bisa seperti sekarang.

"Apa yang membuatmu datang ke sini?" Suara dingin itu datang dari wanita yang duduk di hadapan mereka, ibunya Lisa. Ia sedikit kaget.

Benar saja dugaannya, tidak ada sambutan hangat saat mereka datang, wanita itu malah langsung menyilangkan tangannya dengan angkuh dan memandang remeh ke arah mereka.

Kini kegugupan Jennie semakin bertambah atas penyambutan tak ramah ini hingga tak ada satu kata pun yang terucap dari bibirnya.

"Kami mencari Lisa." Akhirnya Jisoo angkat bicara.

Wanita itu terdiam sejenak, lalu menyeringai. "Apa aku tidak salah dengar? Kau mencari wanita itu di sini?"

"Lisa menghilang sejak kemarin dan kami tidak dapat menemukannya di mana pun. Kami pikir mungkin dia ada di sini." Jisoo berkata lagi.

"Oh. Mengejutkan. Tapi sayang sekali, dia tidak di sini karena bukankah dia bukan lagi bagian dari keluarga ini? Seingatku dia sendiri yang mengatakannya."

"Nyonya--" Jennie mengatupkan rahangnya kesal melihat cara wanita ini berbicara. Dia siap untuk mengutuk tapi untungnya Jisoo menghentikannya.

Yang benar saja? Apakah wanita ini tidak punya perasaan sama sekali? Mendengar kabar putrinya menghilang, bukankah seharusnya dia khawatir daripada mengejek seperti ini?

"Lisa, putrimu sedang dalam ancaman serius." ucap Jennie, tidak ingin berbasa basi lagi. "Namanya masuk dalam daftar pengguna narkoba yang kasusnya baru-baru ini terungkap. Cepat atau lambat polisi pasti akan mencarinya." dia melanjutkan.

Hening sejenak, Jennie mengamati perubahan ekspresi wanita itu. Ia berharap ekspresi itu merupakan bentuk kekhawatiran, namun ucapannya selanjutnya justru membuat Jennie dan Jisoo semakin geram.

"Anak sialan itu, aku tahu perilakunya tidak benar! Memalukan!" Desisnya. "Apakah daftarnya diumumkan ke publik?"

"Apakah itu penting sekarang?"

"Seperti apa penanganan kasusnya? Apakah polisi melakukannya secara terbuka? Bagaimana dengan media? Apakah media memberitakan kasus ini secara detail atau--"

"Maaf, tapi kau benar-benar ibu kandung Lisa kan?" Jisoo menyela dengan suara yang sangat jengkel sekarang.

"Aku perlu tahu, nona-nona. Apakah ini akan mempengaruhi pencalonanku atau merusak reputasiku--"

"Woah, sial, kau menyebalkan sekali, Nyonya." Hina Jisoo tanpa rasa takut. "Sepertinya kau lebih iblis daripada iblis itu sendiri."

"Jaga mulutmu nona muda! Siapa kau sampai berani berkata kasar kepadaku seperti itu?"

"Aku? Aku hanya orang biasa. Tapi bisa kupastikan bahwa otakku lebih berfungsi darimu yang sepertinya memiliki itu hanya untuk pajangan saja!"

Usai mengatakan itu, Jisoo berdiri dan meraih tangan Jennie untuk kemudian membawanya keluar dari tempat itu. Dia tak mempedulikan bagaimana wajah Kim Tae Ri melongo mendengar mulutnya. Sebab betapapun kesalnya Jennie, tidak ada yang bisa menandingi kekesalan Jisoo saat ini. Mereka datang jauh-jauh hanya untuk omong kosong seperti ini.

Tentu saja hal itu membuat Jennie kembali menangis. Bahkan setelah putus asa, Lisa masih belum ditemukan. Dia tidak bisa mengatakan apa pun selain mengikuti Jisoo.

Saat hendak masuk ke dalam mobil, mereka dihentikan ketika melihat seorang wanita muda  berdiri tak jauh dari tempat parkir. Jisoo mengerutkan kening padanya saat wanita itu berjalan mendekat.

"Aku sudah mendengar semuanya tadi. Apakah...apakah Lisa baik-baik saja?" dia bertanya dengan takut-takut.

Jennie menggelengkan kepalanya lemah. "Kami tidak tahu."

Ekspresi yang Yena tunjukkan adalah apa yang sejak tadi ia harapkan akan ditunjukkan oleh ibu Lisa. Ia tahu kalau kedua kakak beradik ini juga tidak memiliki hubungan yang baik, mengingat Yena juga menjadi bagian dan alasan penderitaan Lisa selama ini, namun ia bisa melihat dengan jelas betapa khawatirnya gadis ini sekarang. Air matanya bahkan mulai berjatuhan sehingga dia terlihat seperti bukan Yena yang membenci Lisa.

"Tolong temukan dia, unnie," gadis itu tiba-tiba terisak. "Kumohon."

Detik itu, entah apa yang membuat Jennie tiba-tiba memeluknya. Mungkin karena Yena terlihat sangat terpukul, atau kenyataan bahwa hati gadis ini tidak seburuk kelihatannya.

"Aku pasti akan menemukannya."

Yena mulai menangis hebat. "Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa diam dan membencinya karena rasa cemburu dan kenyataan bahwa aku tidak akan pernah menjadi anak kandung keluarga ini. Tapi aku tidak benar-benar membencinya. Aku ingin meminta maaf, tapi apa yang kulakukan selalu sebaliknya, aku selalu menyakitinya. Unnie, aku takut, tolong temukan dia. Aku ingin meminta maaf sejak lama, tapi aku takut pada ibu, aku takut akan diperlakukan sama jika mulai mendekatinya lagi. Tolong, kumohon unnie."

****

"Kau mau apel?"

Lisa menoleh ke arah Joy yang sedang sibuk mengupas apel, lalu menggelengkan kepalanya. "Tidak, terima kasih."

Pandangannya lalu kembali tertuju pada gantungan kunci di tangannya, benda yang seolah mengikatnya pada Jennie. 3 hari telah berlalu, selama itu pula ia berdiam diri di rumah Joy tanpa bisa melakukan apapun untuk menyelesaikan masalah ini. Bukan karena ia tak mau berbuat apa-apa, hanya saja ia merasa perlu berpikir tenang dan hati-hati agar kejadian kemarin tidak terulang kembali.

Mendekati Jennie tentu akan sulit jika keluarganya menolak seperti itu, sehingga ia harus meyakinkan mereka terlebih dahulu.

"Bagaimana dengan kopi?" Joy bertanya lagi.

Dia tersenyum paksa dan menggelengkan kepalanya lagi. "Tidak, terima kasih."

"Kau yakin? Tidak ingin sarapan sama sekali?" "

"Ya."

"Kalau kau tidak makan atau minum apa pun, kau tak akan punya tenaga untuk berpikir, Lisa."

"Aku akan makan jika aku lapar, Dokter Park. Bisakah kau berhenti cerewet?"

Bahu Joy terkulai, dia juga begitu putus asa sekarang sehingga apel yang terlihat lezat tadi tidak lagi membuatnya berselera.

"Aku tidak bisa terus di sini." kata Lisa.

"Lalu kemana kau akan pergi?"

Mengedik, Lisa mengusap wajahnya. "Entahlah. Kemana saja, yang penting saat polisi datang mereka tidak ikut menangkapmu dan Dokter Kwon karena menyembunyikan buronan."

"Hei, sejauh ini belum ada kabar mengenai hal itu. Juga belum ada peringatan untuk melapor jika melihat salah satu nama di daftar, jadi aku hanya seorang dokter yang merawat pasien."

Lisa menatap Joy dan tersenyum tipis. "Terima kasih, Joy. Kau bersusah payah membantuku, terima kasih banyak."

"Apa yang kau bicarakan, Lisa. Terlepas dari semua masa lalu, aku tetaplah temanmu."

"Tapi aku memperlakukanmu dengan sangat buruk."

"Aku pantas mendapatkannya," Joy tersenyum hangat. "Bukankah suatu keajaiban aku tiba-tiba berhenti menjadi pemicumu sejak malam itu?"

Mengangguk setuju, Lisa mencoba memikirkannya lagi. Biasanya hanya dengan melihat Joy saja emosinya langsung bergejolak, namun malam itu saat Joy menemukannya di sungai Han dan sampai saat ini emosinya belum kambuh sedikitpun. Entah apakah itu karena pikirannya dipenuhi dengan terlalu banyak hal sehingga Joy tidak punya tempat, atau apakah ini memang sebuah keajaiban.

"Kebencianku hilang seperti debu jadi rasanya lebih baik." Kata Lisa.

Joy menanggapi dengan senyuman lega, lalu dia berdiri untuk membersihkan meja. Hari ini dia harus ke rumah sakit untuk bekerja, biasanya jika dia pergi Lisa akan sendirian di rumah dan dia akan memantaunya lewat CCTV untuk berjaga-jaga. Selama 3 hari terakhir, untungnya Lisa tidak melakukan sesuatu yang berbahaya.

"Kalau lapar, ada makanan di lemari es. Panaskan saja." Kata Joy sambil memakai sepatunya.

"Baiklah. Bolehkah aku menggunakan charger ponselmu?"

"Tentu. Kau bisa menemukannya di laci meja kamarku," Joy melirik arlojinya sejenak. "Aku harus pergi sekarang. Jaga dirimu baik-baik Lisa, paham?"

Lisa terkekeh dan mengangguk. "Saya mengerti, Dokter Park."

Setelah itu Joy keluar rumah meninggalkan Lisa yang masih duduk sambil memegang gantungan kunci di tangannya. Begitu mendengar suara mobil Joy yang melaju menjauh, Lisa menarik napas panjang dan bersandar ke belakang. Ia melihat sekali lagi gantungan kunci tersebut sebelum mengantonginya dan beranjak.

Dia berjalan menuju kamar  yang ditempatinya selama ini. Membuka laci meja kecil di samping tempat tidur, mengeluarkan ponselnya dari sana dan menatapnya sejenak. Ponsel ini sudah mati selama tiga hari, bukan hanya karena baterainya habis tapi juga karena Lisa tidak berani menyalakannya karena takut.

Tapi dia perlu menghubungi seseorang, itulah kenapa dia meminjam charger Joy agar ponselnya bisa berfungsi.

Setelah menemukan apa yang dibutuhkannya di kamar Joy, ia segera mencolokkan ponselnya ke pengisi daya tersebut. Ia menatap logo yang muncul di layar sambil berpikir apakah jika ia menghubungi Jisoo, responnya akan sama seperti Chaeyoung kemarin? Itu sedikit membuatnya takut. Dia bisa saja langsung menghubungi Jennie, akan tetapi dia terlalu pengecut untuk melakukan itu sekarang.

"Berhentilah bersikap bodoh, Lisa. Sekarang bukan saatnya menjadi lemah seperti ini." Bisiknya pada dirinya sendiri.

Ponsel menyala sempurna tidak lama kemudian. Sesuai dugaan, banyak sekali notifikasi yang masuk dan nama Jennie mendominasi puluhan pesan masuk, sedangkan sisanya adalah Jisoo.

Lisa tidak berani membuka pesan Jennie jadi dia melihat pesan Jisoo terlebih dahulu.

"Lisa, kau dimana? Jangan kabur seperti itu."

"Hei. Bisakah kau kembali sekarang?"

"Jika kau membaca ini, beri tahu aku di mana kau berada. Aku akan menyusulmu ke sana sendirian, aku akan mendengarkanmu."

"Lalisa Manoban. Jangan membuatku kesal."

"Jennie mengkhawatirkanmu...dia terus mencarimu tanpa kenal lelah, dia khawatir sekali padamu. Kembalilah, jangan takut."

Pesan terakhir itu membuat Lisa tertegun sejenak. Jennie mencari dan mengkhawatirkannya? Tampaknya mustahil, tapi dia juga ingin mempercayainya. Hal ini pun mendorongnya untuk membuka pesan terbaru dari Jennie.

Dia sangat gugup sehingga harus memejamkan mata dan menarik napas beberapa kali sambil jarinya mengklik pesan tersebut. Lalu ketika sudah yakin, dia memberanikan diri untuk membacanya.

"Lisa...kau baik-baik saja kan? Di mana kau sekarang? Jisoo unnie dan aku mencarimu ke mana-mana tetapi kami tidak dapat menemukanmu. Jika kau pergi untuk menenangkan diri, tidak apa-apa, aku mengerti. Tapi kembalilah dengan cepat karena aku khawatir padamu. Kita bisa membicarakan segalanya, jadi jangan pernah berpikir untuk menghilang begitu saja atau aku akan sangat membencimu. Kembalilah, aku sangat marah padamu tapi aku ingin mendengar apapun yang kau bisa jelaskan."

Lisa tak kuasa menahan tangisnya karena ternyata apa yang dipikirkannya tidak seburuk itu. Bahkan setelah semuanya, Jennie tetap mencarinya dan menyuruhnya kembali. Ia seperti melihat cerahnya pintu harapan di hadapannya, meskipun Chaeyoung bisa saja menutup paksa pintu tersebut namun kenyataan bahwa Jennie menunggunya membuat keinginan Lisa untuk menjelaskan dirinya kembali tumbuh. 

Kalau begini, dia yakin Jennie tidak akan menolaknya. Dia harus segera menemuinya.


Continue Reading

You'll Also Like

1M 39.7K 49
Being a single dad is difficult. Being a Formula 1 driver is also tricky. Charles Leclerc is living both situations and it's hard, especially since h...
4.2M 119K 52
"The whole idea was a mess, in fact it was stupid. To get married with someone who's practically a stranger to me was already an absurd concept. But...
654K 32.7K 24
โ†ณ โ [ ILLUSION ] โž โ” yandere hazbin hotel x fem! reader โ” yandere helluva boss x fem! reader โ”• ๐ˆ๐ง ๐ฐ๐ก๐ข๐œ๐ก, a powerful d...
87.8K 3K 28
After the Hydro Archon is dethroned from her position, she now lives peacefully as a human that goes by the name Furina. The big issue is that Furin...