love me well

By hip-po

3.8K 642 438

"Love me well or leave me alone, you decide." Seharusnya, dari awal kita berani mengambil keputusan setelah s... More

prologue
1 | you're gonna be my best friend, baby
2 | prince on a white horse
3 | the beginning
4 | nightmare
5 | news that no one ever wants to hear
6 | challenge the devil
7 | not your fault
8 | we can't be friend
9 | bad news
10 | care less
11 | i wish i hated you
12 | stupid feelings
13 | intentions
14 | a change of heart
15 | you'd talk to her when we were together
16 | but you're still a traitor
17 | you'll never feel sorry for the way i hurt
18 | i just wanna know you better
19 | nobody gets me like you
20 | not fair
21 | am all alone
22 | everything has changed
23 | there's nothing you can't do
24 | city lights
25 | i gave into the fire
26 | step on up
27 | falling
28 | baby please dont go
29 | so close to being in love
30 | but in time our feelings will show
31 | problem
32 | too late
33 | we lost a lot of things in the fire
34 | by my side
35 | i dont wanna be okay without you
36 | call me friend but keep me closer
38 | i'm not the one meant for you
39 | i know i'd go back to you
40 | you and no one else
41 | one fine day
42 | it's not living if it's not with you
43 | stand by you
44 | mixed feelings
45 | there something you should know
46 | that's why i let you in
47 | i will never know if you love me
48 | if i ain't with you i don't wanna be
49 | you're hiding something from me
50 | almost is never enough
51 | that's why i love you
52 | i don't want you to go
53 | head in the clouds
54 | something beautiful died
55 | my soul it gets sicker
56 | i gotta let you go i must
57 | i guess this is where we say goodbye
58 | tryna find a way back home to you again
59 | destiny decried

37 | this feeling's all we know

56 11 10
By hip-po

"Lo kemana aja bangsat?!"

Tubuh Dicky ditahan oleh Louis saat Dicky hendak melayangkan tinjunya untuk yang kedua kali di pipi Sagara. Sagara menatap Eric yang terbaring lemah di brankar rumah sakit dengan banyak luka-luka di tubuhnya. Ternyata mereka diserang oleh teman-teman Yuda, tapi Sagara tak ada untuk mereka di sana.

Seperti malam-malam biasanya, Dicky, Louis, Sultan dan Eric nongkrong di salah satu coffee shop. Tiba-tiba segerombolan orang datang dan langsung menghajar mereka tanpa ampun. Untungnya sebelum itu Dicky sempat mengajak Logan untuk gabung bersama mereka. Jadi kedatangan Logan dan teman-temannya sedikit membantu mereka dan mereka semua tidak babak belur seperti Eric sekarang. Dari semuanya, memang Eric yang langsung diserang menggunakan balok, makanya Eric tak bisa melawan dan hanya pasrah menerima semua pukulan itu.

Saat perkelahian itu terjadi, Dicky masih sempat untuk mengirimi Sagara pesan agar datang dan membantu mereka. Tapi Sagara tak membalas, bahkan saat Eric masuk UGD pun belum ada balasan dari Sagara. Pesan tak dibalas, telfon juga tak diangkat, bagaimana Dicky tidak emosi sementara orang-orang itu datang karna ingin balas dendam pada Sagara.

Kini Sagara duduk di taman rumah sakit sembari menyesap rokoknya, menatap kosong ujung sepatunya. Malam ini, Sagara yang mengajukan diri agar menemani Eric. Mereka juga sudah menghubungi kedua orang tua Eric, dan kedua orang tua Eric baru bisa datang besok pagi. Karna mereka malam ini masih ada di Qatar. Dicky, Louis, Sultan dan teman-teman Logan yang lain sudah pulang. Meninggalkan Sagara dan Logan berdua di sana. Rasanya, sudah lama ia tidak berbincang berdua sama Sagara, makanya Logan tinggal.

"Abis darimana sih Gar? Ditelfon berkali-kali sampe nggak diangkat," Logan duduk di samping Sagara, "tulang bahu Eric diperkirain retak, tapi mereka baru mau mastiin besok. Eric juga sempet sadar tadi, tapi mungkin karna efek obat jadi tidur lagi."

"Tapi dia baik-baik aja Gan?"

"Ya gitu, lo liat sendiri kondisinya gimana," jawab Logan, "mereka semua marah karna lo nggak ada di sana buat mereka, Gar. Sementara ini masalah lo, tapi Eric korbannya."

Logan menghela nafasnya kasar. "Bukan nyalahin, tapi kalau lo bisa dihubungin, Eric mungkin kondisinya nggak akan separah ini."

Tak ada jawaban dari Sagara, membuat Logan memperhatikan Sagara dari atas sampai bawah. Pakaian Sagara rapih sekali, sahabatnya ini habis darimana? Biasanya kalau keluar biasa seperti nongkrong atau keluar makan, Sagara tak akan memakai kaos polo seperti ini. Mungkin hanya kaos biasa, kalau mau lebih mungkin pakai jaket. Kalau yang ia dengar dari Dicky, Sagara akhir-akhir ini jarang ingin ikut keluar nongkrong bersama mereka lagi. Entah apa alasannya. Dicky juga katanya pernah datang ke rumah Sagara, tapi Asisten Rumah Tangganya mengatakan bahwa akhir-akhir ini Sagara juga tak pernah di rumah. Jadi, kalau bukan ke rumah, Sagara pulang ke rumah yang mana?

"Lo sibuk apa akhir-akhir ini Gar?" tanya Logan, "ngurusin coffee shop lo ya?"

Sagara menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, menghela nafasnya pelan. "Bahas yang lain aja Gan."

Logan kira, Sagara sibuk mengurus coffee shopnya. Karna uang tanah dibawa lari, makanya Sagara sibuk ingin mengejar orang itu lewat jalur hukum. Ternyata Sagara sibuk bukan karna hal itu, ya? Logan melihat tangan Sagara, menatap cap dengan tulisan 'carnival' yang sudah mulai pudar di sana.

"Lo abis dari carnival?" tanya Logan dengan nada yang agak sedikit tinggi, "anjing, temen lo dikeroyok sampe sekarat, lo malah ke carnival bangsat?"

"Mana gue tau anjing kalo mereka lagi dikeroyok," nada suara Sagara ikut meninggi, "kalau tau gue juga pasti bakal samperin."

"Ya minimal bawa hp lah! Biar kita bisa hubungin lo, ini malah nggak ada!" emosi Logan sudah hampir diujung tanduk, tak habis pikir pada Sagara, "pantes Dicky emosi banget sama lo. Ternyata kelakuan lo emang anjing."

Tak ada jawaban dari Sagara, ia memilih untuk diam. Walaupun emosi juga, tetap disini ia yang salah dan tak bisa membela apapun.

"Lo ke sana sama siapa? Sama cewek itu kan? Iyalah, siapa lagi," Logan mengeraskan rahangnya, "bahkan Nesya aja nggak pernah lo bawa ke sana Gar! Nesya drop juga lo mana tau? Lo kan sibuk nyari cewek murahan itu!"

Kepalan tangan Sagara mendarat di pipi Logan, membuat luka di ujung bibir Logan yang tadinya sudah mengering kini kembali berdarah.

"Mulut lo emang sampah, Gan."

"Apa anjing? Lo nggak suka gue ngungkapin fakta?" tanya Logan membuat emosi Sagara semakin meninggi, "lo lebih milih dia kan daripada Nesya? Padahal pas itu kondisi Nesya lagi sekarat, Gar! Emangnya lo dikasih apa sama dia?!"

Logan membalas pukulan Sagara, kali ini tepat mengenai tulang pipi Sagara. Pukulan selanjutnya, berhasil membuat sudut mata Sagara berdarah.

"Lo nggak ngerti anjing!" teriak Sagara menahan pukulan Logan, "lo nggak ngerti gimana rasanya diperhatiin sesuai sama apa yang kita mau selama ini Gan. Walaupun gue jelasin panjang lebar pun, lo nggak bakal ngerti!"

"Karna lo nggak pernah ngerasain hal itu dari siapapun," lanjut Sagara.

Ekspresi wajah Logan seketika berubah. Logan yang tadinya berada di atas tubuh Sagara yang terbaring di rumput kini bangkit, menatap Sagara tanpa ekspresi tapi dengan tatapan mata yang tajam.

"Bukan cuma gue, mulut lo juga sampah, Gar."

• • •

Sudah lama sekali Sagara tak menginjakan kakinya di gedung ini lagi. Tapi pagi ini, bukannya pergi ke sekolah seperti biasanya, Sagara malah berada di gedung tinggi ini dengan perasaan yang campur aduk. Takut dan sedih. Semua orang yang mengenal ataupun tak mengenalnya menatapnya dengan tatapan aneh. Mungkin karna luka yang berada di wajahnya sekarang. Karna luka itu pun, wajahnya terlihat aneh. Sagara memasukan kedua tangannya di saku celananya sembari menunggu lift membawanya ke lantai yang sudah ia pencet tadi.

Tanpa ada rasa takut sedikit pun, Sagara masuk ke dalam ruangan itu setelah mengetuk pintunya dua kali. Tak perduli dengan luka yang kini sudah berada di wajah Sagara, Kelvin kini menambah luka Sagara di ujung bibir. Pipi Sagara kini terasa kebas, kepalanya langsung pusing seketika. Tamparannya tidak main-main, mungkin Ayahnya sudah berlatih terlebih dahulu sebelum akhirnya mendaratkan telapak tangannya di pipinya seperti tadi.

"Berantem?" tanyanya membuat nyali Sagara semakin ciut, "kalo kamu mau tau gimana rasanya dipukul, biar Ayah yang mukul kamu. Kamu nggak perlu dipukul atau mukul orang lain sampai orang itu masuk rumah sakit!"

Padahal ini bukan kenakalan Sagara yang pertama kalinya, tapi rasanya Kelvin sudah muak menangani masalah Sagara yang itu-itu saja. Baru kemarin menang turnamen Taekwondo, sekarang sudah berkelahi lagi? Astaga, Kelvin hampir stress dibuatnya. Bahkan masuk ke SMA nomor satu saja tidak bisa merubah sikap Sagara yang seperti ini.

Kelvin melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya, berusaha mengatur emosinya karna habis ini ia harus meeting lagi. "Urus urusan kamu sendiri, Ayah nggak mau ikut campur lagi."

Langit malam ini cerah, Sagara sedang duduk di kursi depan minimarket, mengisap rokoknya yang sisa setengah. Pukul 2 pagi, Sagara masih di luar walaupun besok ia harus kembali ke sekolah karna hari ini sudah ia lewatkan karna mengurus masalah Eric dan uangnya di kantor polisi. Kedua orang tua Eric tak akan diam saja, Sagara tau itu. Makanya Sagara juga ikut andil dalam masalah ini. Dan kini, ia dan teman-temannya juga bisa dihukum karna sudah memulai perkelahian terlebih dahulu. Pengacaranya bilang, kalau Sagara harusnya tak memulai perkelahian itu karna masalah uangnya sedang diurus. Tapi bukan Sagara namanya kalau cuma diam saja.

Kepala Sagara sangat pening, bahkan Sagara tak ingat kapan terakhir kali ia makan. Mungkin kemarin malam? Entahlah, Sagara tak ingat. Banyak yang harus Sagara lakukan selain makan. Tubuh Sagara sudah lemas karna belum istirahat sama sekali. Bahkan tidurnya kemarin malam tidak nyaman karna ia harus tidur di sofa kamar rawat Eric.

Uangnya dibawa lari, teman-temannya jadi korban karna dirinya ini—yang sebenarnya Sagara tak mau hal itu terjadi. Setelah memikirkan banyak hal, Sagara sudah memutuskan untuk mengakhiri bisnis coffee shopnya itu. Kontrak yang sudah ia teken bakal ia batalkan dan membayar uang ganti rugi. Bukannya untung, malah buntung. Uang tabungan Sagara juga sudah habis dan Ayahnya sudah lepas tangan. Sagara sudah tak punya harapan lagi sekarang. Mungkin memang sudah takdirnya seperti ini. Ia belum ditakdirkan untuk mewujudkan mimpinya itu.

Atau bahkan ia tidak akan pernah bisa mewujudkan mimpinya?

Setelah ditampar seperti tadi, Sagara tidak akan pulang ke rumah yang sama dengan Ayahnya. Sagara juga punya malu, makanya mungkin setelah semua ini selesai baru ia bisa menunjukan wajahnya lagi di depan Ayahnya. Sagara melepas jaketnya begitu pintu apartemen terbuka.

"Aluna?" Sagara menyalakan lampu, melihat Aluna yang masih terjaga di depan televisi, "kenapa belum tidur?"

"Kenapa nggak ke sekolah?" Aluna bangkit dari posisinya, berdiri di hadapan Sagara, "minggu depan udah UTS. Lo nggak bisa gini terus."

Sagara yang baru saja ingin menjawab, kembali mengatupkan bibirnya saat melihat Aluna mengambil buku di meja depan televisi.

"Gue buat desain untuk coffee shop lo. Ada beberapa desain dan gue harap lo bakalan lanjut—"

"Gue nggak lanjutin bisnis itu lagi," potong Sagara langsung, "lo nggak perlu repot-repot kayak gini. Gue udah bilang, untuk masalah ini jangan ikut campur."

"Kalo gue nggak ikut campur, lo terus-terusan jalan di tempat, Sagara."

Sagara menggeleng. "Udah nggak ada harapan lagi. Coffee shop itu bakalan tetap jadi mimpi bagi gue. Besok gue bakal batalin semua kontrak yang udah di teken."

"Lo nggak bisa gitu Sagara!"

"Bisa!" Sagara menatap Aluna lekat-lekat, "udah nggak ada harapan lagi. Uang gue dibawa lari sama orang, Aluna! Karna gue juga, Eric jadi korbannya. Gue nggak mau hal itu kejadian sama temen gue atau bahkan sama siapapun. Makanya gue berhenti."

"Lo berhenti setelah semua yang lo korbanin itu? Waktu, tenaga, pikiran, uang bahkan Eric! Dan lo mau berhenti di tengah jalan kayak gini?"

Sagara menghela nafasnya pelan, berusaha mengatur emosinya agar tidak meledak di depan Aluna. "Nggak bisa Na—"

"Hadapin masalah ini, Sagara," potong Aluna, "bukannya malah kabur kayak anak kecil."

"Lo nggak ngerti Aluna!" emosi yang sedari tadi Sagara tahan kini meledak, "lo bisa ngomong kayak gitu karna emang gampang kalau cuma ngomong doang. Lo nggak tau gimana di posisi gue!"

Aluna berusaha menahan air matanya agar tidak terjatuh. Tapi akhirnya air matanya mengalir di pipinya begitu saja. "Makanya jangan dipendam sendiri, Sagara."

Melihat itu, emosi Sagara langsung hilang seketika. Digantikan dengan raut wajah khawatir. "Aluna gue nggak maks—"

Alune menepis tangan Sagara yang hendak menyeka air matanya sebelum ia akhirnya berjalan menuju kamar dan menutup pintunya. Sagara menghela nafasnya gusar, mengacak rambutnya kesal sebelum akhirnya ia pergi dari sana, meninggalkan Aluna yang masih terisak di balik selimut yang menutupi tubuhnya.

"Lo nggak ngerti, Aluna."

Continue Reading

You'll Also Like

628K 24.7K 36
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
4.7K 928 13
Anin : Lo tuh ga diajak, Nuja!
2.3K 294 9
Bagaimana jika kamu tiba-tiba didekati playboy yang terkenal di kampus? Vania Anindyta Clarie, menyarankan hal ini untuk kamu; 1. Menghindar, 2. Pura...
212K 13.2K 45
[SELESAI] Nana tidak lagi mendapatkan sikap manis Raga setiap harinya. Dan Raga tidak lagi memberikan perhatiannya untuk Nana. Nana selalu mencoba me...