Serayu Senja

By Jeje_aaa

119 15 4

Menumbuhkan rasa dapat dilakukan setelah menikah, begitu katanya. Kalimat yang pernah diyakini oleh Aruna sam... More

[Bab 01; Menginjak Enam Tahun]
[Bab 02; Tujuh Tahun Berlalu]
[Bab 03; Setelah Sekian Lama]
[Bab 05; Kembali Jatuh Hati]
[Bab 06; Maksud Pertemuan]
[Bab 07; Kabar Rumah Tangga]

[Bab 04; Pemandangan Baru]

10 2 0
By Jeje_aaa

Hasbi Respati

Mata kanan saya terbuka lebih dulu guna mengintip keadaan di sekitar tempat saya berada, ranjang dan kamar. Sudah hampir 24 jam saya berbaring sampai rasanya sekujur tubuh saya seperti pegal dan ngilu. Begitu berhasil membuka mata, saya beranjak turun dari ranjang dan berjalan keluar kamar.

Pintu kamar anak-anak tertutup, hari juga sudah siang sepertinya. Tubuh saya masih terasa lemas sisa demam hari kemarin, karena sudah lama tidak sakit jadi begitu ditimpa sakit langsung terasa berat.

Kaki saya berjalan menuruni tangga dengan malas. Melihat ke arah gorden jendela rumah yang sudah terbuka sampai sinar matahari berhasil masuk. Di ujung tanggalah langkah kaki saya benar-benar berhenti, menemukan sosok wanita dengan rambut disanggul asal yang nampak tengah terduduk menghadap meja makan sana.

Aruna, dia ada di rumah.

Kembali berjalan, saya mendekat ke arah Aruna. Dia hanya menoleh sesaat dan kembali berfokus pada ponsel yang entah apa isinya, saya tak pernah memaksa untuk bertanya, biar dia merasa aman dengan privasinya. Saya mampu percaya padanya.

" Sudah bangun ternyata. Saya buat sarapan, cuma bubur tawar tapi, karena saya pikir kalau kamu sakit ada baiknya makan yang lunak dulu "
" Terimakasih "
" Mau langsung sarapan? Atau mau saya siapkan air hangat untuk mandi? "
" Sarapan dulu deh "

Duduk dengan nyaman pada kursi di samping tempat Aruna, saya memperhatikan Aruna yang beranjak. Dia mengalaskan bubur pada mangkuk putih berukuran sedang.

Heran. Apa yang saya lihat pagi ini? Kenapa Aruna mau melayani saya meskipun hanya mengalaskan makan?

" Saya campur garam kok, tapi mungkin rasa yang dominan tetap hambar. Mau ditambah kecap? "
" Boleh " lagi, dia menuruti saya. Menuangkan kecap dan kembali duduk di samping saya.

Tangan saya terulur bermaksud menerima mangkuk yang dia bawa, namun pikiran saya ternyata salah, dia tidak menyodorkan mangkuk. Saya mengerjap bingung beberapa saat, dan kebingungan saya semakin menjadi ketika ia memutar duduk menghadap saya.

Mata saya tak bisa lepas memerhatikan setiap pergerakan Aruna, dia mengaduk bubur dalam mangkuk dengan apik. Menyendok dan, tunggu– dia menyuapi saya? Lagi?

Bengong, hanya itu yang saya lakukan ketika Aruna benar-benar mengarahkan sesendok bubur ke hadapan mulut saya.

Jangan buat saya gila Aruna, rasanya jantung saya hampir meledak hanya karena kamu suapi. Mimpi apa saya semalam ketika demam. Rasa-rasanya saya begitu melayang hanya karena kamu memperhatikan saya.

" Mau sampai kapan kamu lihat wajah saya? Tangan saya pegal " saya tersadar. Lekas menerima suapan darinya.

Demi apapun, saya tidak bisa menahan senyum. Terus menjatuhkan tatap pada wajah Aruna yang tidak memakai riasan sama sekali namun tetap cantik di pandangan saya. Cantik yang selalu sukses membuat saya tergila-gila setiap waktu.

Meskipun Aruna tidak menatap saya dan lebih memilih berfokus pada semangkuk bubur, namun saya tetap memilih Aruna sebagai satu-satunya objek yang mampu saya tatap. Saya selalu memiliki waktu hanya untuk menikmati keindahan istri saya ini, sesibuk apapun saya, meskipun pada kenyataannya Aruna tidak memperlakukan saya sepadan, tapi tak apa.

" Kamu gak kerja hari ini Na? " tanya saya di sela ia menyuapi. Matanya cantik, apalagi ketika dua bola mata kami saling bertabrakan untuk bertatap, meski tidak lama.

" Saya punya rencana, mungkin ke depannya saya cuma berkunjung beberapa kali seminggu. Saya mau banyak waktu di rumah "
" Kenapa? "
" Kenapa? Memangnya tidak boleh saya diam di rumah sendiri? "
" M-maksudnya, kok tumben? Eh, bukan, maksudnya, kenapa tiba-tiba kamu mau banyak di rumah? "
" Habiskan dulu buburnya, minum obat, baru saya lanjutkan "

Meski belum ada senyum, tapi rasanya bahagia karena Aruna ada di rumah dan membantu membuatkan sarapan. Biasanya saya yang akan memasak untuk menu makan kami setiap hari selama enam tahun. Biasanya, Aruna hanya akan membeli makanan cepat saji dibanding dengan memasak. Bukan karena tidak ada waktu tapi memang Aruna yang memilih untuk menyibukkan diri.

Tidak terdengar lagi suara obrolan kami selepas Aruna berkata demikian. Sampai makanan habis dan Aruna menyodorkan satu kaplet obat antidemam ke arah saya, barulah kami kembali berbincang. Tentu saya yang membuka obrolan.

" Saya mau cerita " Aruna berdehem seraya menegak air mineral dalam gelas miliknya.

" Semalam, kayaknya saya mimpi kamu deh Na.. " dahi Aruna nampak berkerut. Saya melanjutkan cerita.

" Antara sadar atau enggak, saya mimpi kamu peluk saya "
" Uhuk!! "
" Eh Aruna, calm down, saya cuma cerita tentang mimpi saya " dia nampak sangat terkejut sampai harus terbatuk ketika menyeruput air minum. Saya bantu menepuk tengkuknya pelan supaya ia berhenti tersedak air.

" K-kok bisa kamu sampai mimpi begitu? "
" Mana saya tau, mimpi orang demam kan memang aneh-aneh. Seandainya betul kamu peluk saya semalam "
" S-semalam, saya di tidur di kamar anak-anak, takut tertular "
" Betulkah? " dua netra milik Aruna nampak bergerak ke sembarang arah. Ia tak berani membalas tatap saya ketika saya memastikan ucapannya.

" Betul Bi, saya tidur dengan kakak dan adik, untuk apa saya bohong? "
" Iya, saya percaya, memang kamu seperti itu sejak awal "
" Seperti apa maksudnya? "
" Maksudnya, kamu gak pernah mau dekat-dekat orang sakit, dengan alasan takut tertular, padahal demam tidak menular "
" Tidak menular? "
" Tidak, yang menular itu infeksi yang menyebabkan demam, bukan demamnya "
" Oh "
" Saya juga kemarin praktik cuma sebentar, saya takut ambruk di tempat kerja "
" Sampai ceroboh kunci motor masih menggantung "
" Maaf "
" Masih mau cerita? Saya mau jemput anak-anak "
" Biar saya yang jemput "
" Gak perlu, saya juga bisa bawa kendaraan "
" Yasudah, hati-hati "

Tidak menjawab. Aruna yang memang masih mengenakan pakaian rumahan itu melenggang meninggalkan saya sendiri di meja makan. Mungkin ia akan mengganti pakaian dan bersiap terlebih dahulu, toh masih ada beberapa belas menit sebelum anak-anak pulang sekolah.

Di sela lamunan saya kembali memikirkan mimpi yang saya alami semalam. Rasa-rasanya seperti bukan mimpi, begitu terasa nyata ketika saya mendekatkan tubuh untuk lebih menempel pada tubuh Aruna, hangat dan nyaman. Terlalu nyata untuk dikatakan sebagai mimpi ketika saya merasakan bagaimana punggung saya ditepuk pelan dan surai saya diusap.

Juga terasa sangat tidak adil kalau semuanya tidak nyata, ketika pada akhirnya saya berhasil mendapat kecupan di pucuk kepala darinya. Sayang sekali, semuanya hanya mimpi orang demam.

Sepertinya akan terasa menyenangkan ketika Aruna memanjakan saya, begitupun sebaliknya. Merasakan apa yang namanya berpacaran di malam hari, tidur bersama dengan saling mendekap, tidak lagi hanya terlentang dengan guling sebagai pemisah.

Bahkan saya bingung, dengan kecanggungan dan jarak yang kami miliki, kenapa kami bisa melalui proses untuk akhirnya memiliki si kembar ya?

Ish! Saya menggeleng, kenapa pula berpikiran ke arah sana. Itu sudah kewajiban suami-istri, bukan hal yang asing. Terlalu lumrah untuk dianggap aneh.

Derap langkah kembali terdengar tidak begitu lama setelah Aruna pergi tadi. Dia kembali dengan dress putih bercorak bunga yang dipadu cardigan berwarna merah muda. Warna yang manis untuk manusia yang lebih manis dari gula.

Saya sampai harus memutar diri hanya untuk menikmati pemandangan paten saya itu. Meski dia tidak berpamitan namun saya tetap mengagumi sosoknya.

Pintu tertutup, tidak lama kemudian terdengar bunyi halus mesin mobil. Dia bahkan sangat ahli dalam berkendara, tidak ada kata 'tolong' hanya untuk bepergian ke tempat yang dia inginkan. Dia bebas pergi ke mana saja dengan hanya membawa diri sendiri. Padahal sayapun ingin merasakan yang namanya direpotkan, menyupiri istri dan lain sebagainya yang mana Aruna tidak lakukan.

Akhirnya saya benar-benar sendirian. Saya menengok ke kiri dan kanan mencari sesuatu yang bisa saya jangkau. Meraih keranjang buah di atas meja dan mulai memakan buah yang ada di sana, tidak terlalu banyak tapi cukup mengobati rasa penasaran si lidah.

Otak saya masih saja memutar bayangan mimpi semalam, sangat ingin mimpi tersebut jadi nyata. Katakanlah saya tergila-gila pada Aruna, karena memang begitu faktanya yang tidak akan pernah saya sangkal.

Suara bel pada pintu membuat saya menoleh. Sedikit penasaran siapa yang datang ke rumah pukul sepuluh pagi?

Saya berjalan gontai dan membuka pintu. Menampilkan seorang wanita berambut coklat yang memakai dress putih bercorak bunga kemerahan. Dia tersenyum menampilkan deretan gigi yang nampak rapi namun berukuran lebih kecil untuk orang dewasa.

" Pagi " sapanya.

" Selamat pagi, cari siapa? "
" Saya mau ketemu Aruna.. Hasbi kan? Suami Aruna "
" Betul, saya suami Aruna. Aruna baru pergi jemput anak-anak "
" Oh saya kepagian ya datangnya? Tadi saya sempat mau ketemu di Cafe, tapi saya pikir ada baiknya ketemu di luar Cafe saja "
" Silakan duduk, maaf saya gak bisa ajak kamu masuk kalau Aruna gak di rumah "

Saya pastikan kami duduk di tempat yang mampu terlihat oleh orang banyak. Meski komplek tempat saya dan Aruna tinggal tidak terlalu ramai dilewati masyarakat, tapi cukup terbuka untuk dilihat beberapa pasang mata. Saya tidak ingin ada berita yang sampai pada telinga Aruna bahwa saya membawa masuk wanita lain, tidak etis, padahal saya tidak kenal wanita ini.

" Saya teman lama Aruna, mungkin kamu lupa ya? Padahal dulu juga beberapa kali saya main sama Aruna "
" Oh, iya mungkin saya lupa. Saya terlalu sibuk kerja sepertinya. Oh ya, mau minum apa? "
" Ah gak perlu, ini saya bawa bingkisan, semoga suka "
" Terimakasih "

Percakapan kami tidak terjalin lama. Saya merasa sangat canggung kini, berpakaian rumah seadanya dengan kondisi kurang sehat tetapi harus menyambut tamu wanita yang mengaku sebagai teman lama istri. Saya cuma bisa memastikan dia bukan seorang penipu atau tukang hipnotis.

Sementara saya lebih banyak menatap ke segala arah, sepertinya wanita ini lebih sering menatap ke arah saya, atau saya yang geer ya? Mungkin dia menatap tembok di samping saya.

Aruna, kenapa lama sekali?

" Selama berumah tangga, Aruna panggil kamu apa? Mas kah? " sontak saya menoleh, untuk apa pula dia bertanya begitu?

" Rahasia, yang tau hanya saya dan Aruna "
" Hahah, kompak sekali ya, Aruna pun jawab demikian. Padahal Aruna sering cerita tentang rumah tangga kalian sama saya "
" Oh ya? "
" Iya, banyak ceritanya "

Selagi bercerita tidak terlalu jauh, tidak apa-apa. Saya percaya Aruna. Dia mampu untuk memilih topik pembicaraan meski bertemakan rumah tangga.

" Nama saya Nindy, Anindya Renjana. Dulu saya menikah di usia 19 tahun, tapi bercerai di usia 22 tahun. Begitu tau kabar Aruna menikah beberapa lama setelah saya bercerai, rasanya antara bahagia dan khawatir. Khawatir Aruna akan bernasib sama seperti saya "
" Kamu gak perlu berpikir jauh ke arah sana, apapun kondisinya, saya dan Aruna tidak akan berpisah. "

Mungkin. Dan saya harap begitu, meski saya memberi jalan kepada Aruna apabila dia sudah lelah bersama dengan saya maka dia boleh bilang. Meski kalangkabut, takut Aruna akan mengadu lelah sampai saya harus memberi keputusan telak, tapi saya berharap Aruna tidak akan pernah mengadukan hal tersebut.

Setidaknya tidak sekarang.

" Beruntung Aruna, dapat suami seperti kamu yang kelihatannya sangat mempertahankan rumah tangga, gak ada yang namanya capek sendiri "
" Rumah tangga, dibangun bersama, kalau cuma satu pihak yang bangun tentu rasanya lebih berat "
" Betul. Mungkin dulu usia saya masih terlalu muda dan labil, jadi menikah adalah keputusan yang salah "
" Jadikan pelajaran saja, supaya tidak terulang lagi "
" Iya, maaf saya jadi curhat "
" Maaf juga karena jadi menasihati "

Canggung sekali harus mendengar cerita orang baru yang tiba-tiba bertamu ke rumah, biasanya yang saya dengar hanya keluhan dari orang-orang mengenai nyeri fisik yang mengganggu, tidak dengan curahan hati seperti ini. Lagipula saya tidak bisa mengobati luka hati manusia manapun. Jadi, untuk apa bercerita pada saya, pada orang asing ini.

" Kamu– " ucapannya terpotong, mendengar suara halus mesin mobil yang masuk ke dalam area parkir rumah. Dalam hati saya benar-benar bersyukur karena Aruna sudah tiba. Untung saja dia tidak pergi kemana-mana selepas menjemput si kembar.

Saya berdiri, menyambut anak-anak yang berlari usai turun dari mobil. Diikuti Aruna yang berjalan santai dengan kunci mobil di tangannya. Nampak berkali lipat lebih menarik dari hari ke hari. Pandai sekali membuat saya jatuh hati.

" Aruna " Nindy menyapa. Bisa saya lihat raut terkejut dari Aruna, disertai raut– bingung?

" Sejak kapan di sini Nin? "
" Belum lama kok, mungkin setengah jam? "
" Mau ada apa ya? "
" Mau ketemu aja "

Dua mata Aruna menatap saya. Saya mengangguk mengijinkan dan memberi mereka spasi untuk mengobrol, sementara saya mengajak si kembar masuk ke dalam rumah.

Anak-anak begitu ceria berlarian dan saling melempar candaan di dalam rumah. Saya memastikan keduanya tetap disiplin, meletakkan sepatu dan tas sekolah di tempat seharusnya. Di belakang mereka saya mengekori, memerhatikan gerak-gerik mereka mencegah terjadinya kecelakaan – seperti tersandung atau lain sebagainya.

" Ayah, kakak mau vitamin " tiba-tiba sekali Senja berkata demikian. Memang saya memastikan setiap hari mereka mengonsumsi vitamin, entah untuk pertumbuhan, daya tahan tubuh atau sekadar memenuhi kebutuhan vitamin harian.

Apa tadi pagi Aruna tidak memberi mereka vitamin?

Saya memilih duduk di atas ranjang anak-anak. Dihampiri oleh Senja yang berusaha naik ke samping saya dengan sedikit usaha lebih. Sementara Sore sibuk dengan kegiatannya sendiri, menghabiskan buah anggur yang sempat dia pinta ketika masih di bawah tadi.

Saya mengelus kepala Senja sesaat.

" Tadi pagi, Ibu belum kasih kakak vitamin? " si sulung menggeleng.

" Kakak mau vitamin yang bentuk bulan-bintang itu loh, Ayah belikan ya? "
" Kenapa Ayah harus belikan? Memangnya vitamin sirup yang biasa kenapa? Pahit? "
" Kakak mau bulan-bintang "
" Say please "
" Pleaseeee, Ayah, pleaseee, satu saja " tampangnya sangat lucu. Dua pipi gembul, mata bulat yang bersih nan berbinar, siapa yang tidak ingin mencubit kedua pipi menggemaskan itu. Lagi, saya mengusak puncak kepala Senja.

" Nanti Ayah belikan ya, untuk sekarang habiskan dulu vitamin sirupnya "
" Gak boleh ya kalau minum vitamin banyak-banyak? "
" Vitamin diminum secukupnya saja "
" Kalau banyak-banyak kenapa? "

Bagaimana ya cara menjelaskannya?

Terjadi jeda yang cukup lama karena saya harus memikirkan kalimat yang cocok dan akan mudah dimengerti oleh Senja. Senja masih setia menanti jawaban saya dengan dua mata yang beberapa kali berkedip gemas.

" Kalau minum vitamin berlebihan, nanti vitaminnya tetap terbuang. Dan, kalau minum vitamin terlalu banyak, kakak bukan sehat nantinya malah sakit perut, mual, muntah, bahkan diare "
" Sama seperti kalau minum susu terlalu banyak ya Yah? "
" Betul, pintar sekali kakak " dia tersenyum lebar, senyumnya secerah matahari dengan hiasan dua bulan sabit yang terbentuk oleh matanya. Dia sangat ceria.

Saya melirik Sore, dia telah selesai menikmati anggur dan kini sibuk menumpahkan mainan yang semula tersusun dalam keranjang berwarna biru muda. Dua tangan mungil milik Sore meraih beberapa mainan seperti puzzle, bola warna-warni atau bahkan miniatur dinosaurus kecintaannya.

" Adik dan kakak mau makan apa siang ini? "
" Mint– "
" No, kakak sudah terlalu banyak makan es krim minggu ini, jadi berhenti dulu ya " dia menekuk bibir sedih, namun kembali membuat pose berpikir setelahnya, labil sekali perasaannya.

" Adik mau mie goreng "
" Kakak juga deh "
" Okay! Ayah buatkan dulu ya "
" Terimakasih Ayah " nada lucu dikeluarkan oleh suara anak-anak yang mana membuat saya tertawa ringan sebelum benar-benar pergi keluar kamar.

Bertepatan dengan langkah kaki saya menuruni tangga, Aruna berjalan menaiki tangga dan kami bertemu tatap. Dia tidak tersenyum, hanya menatap tanpa berkedip beberapa lama. Seperti drama, dia memutus tatap terlebih dahulu.

" Anak-anak mau makan siang sama mie goreng, saya buatkan untuk kamu juga ya "
" Kamu masih sakit kan? "
" Tenaga saya masih ada untuk sekedar rebus mie instan "
" Okay " dia berlalu, tanpa senyum sama sekali.

Setelah terdiam beberapa lama di tangga, saya kembali melanjutkan langkah menuju dapur. Memasak beberapa bungkus mie instan yang sekiranya cukup untuk dikonsumsi kami berempat.

Sepertinya Nindy sudah pergi, singkat sekali pertemuan mereka. Saya pikir akan menghabiskan waktu seharian.

Sudahlah, itu urusan Aruna dan temannya.

Empat piring berisikan mie goreng instan sudah saya hidangkan di atas meja. Saya memanggil anak-anak terlebih dahulu dan meminta mereka untuk duduk tanpa menyentuh makanan, mereka harus menanti Aruna.

Saya menuju kamar guna menyusul Aruna.

" Aruna– " tepat ketika saya membuka pintu, ia nampak tengah merapikan rambut panjangnya, mengikat dengan rapi dan menyelipkan jepit rambut polos supaya anak rambutnya tidak berantakan. Cantik sekali.

" Obrolan kamu dan Nindy sebentar sekali "
" Dia cuma mau kasih bingkisan, tadi sudah kamu terima kan? "
" Sudah "
" Lain kali kalau Nindy bertamu dan cuma ada kamu di rumah, suruh dia ke Cafe saja.. "
" Kenapa? "
" Ada baiknya saya ngobrol sama dia di Cafe. Saya gak mau banyak tamu ke rumah ini, apalagi seperti tadi "

Bodoh sekali saya berharap kamu berucap demikian karena cemburu. Hahaha, tidak mungkin. Aruna terlalu angkuh untuk menaruh rasa cemburu. Dia hanya tidak suka kedatangan tamu tiba-tiba seperti tadi, tanpa komunikasi dan konfirmasi.

🦅

[Anindya Renjana]

Sempat gak percaya dengan ucapan dokter yang bilang paska operasi ini akan menimbulkan rasa sakit di minggu pertama, bahkan beberapa pasien mengeluh trauma karena sakitnya. Dan ternyata apa yang dibilang dokter adalah nyata, sakitnya minta ampun! Padahal operasinya lebih singkat dari pengalaman terdahulu, tapi sakitnya jauh berkali lipat lebih menyiksa.

Kalian jaga selalu kesehatan ya, pola hidupnya diatur sebaik mungkin, jangan sampai deh merasakan baring di ranjang rumah sakit (kecuali melahirkan).

Sehat dan bahagia selalu semua!

Continue Reading

You'll Also Like

176K 27.6K 50
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
867K 38.4K 97
Highrank 🥇 #1 Literasi (24 November 2023) #1 Literasi (30 Januari 2024) #3 Artis (31 Januari 2024) #1 Literasi (14 Februari 2024) #3 Artis (14 Fe...
946K 77.4K 28
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
65.6K 3.5K 20
seorang gadis bernama Gleen ia berusia 20 tahun, gleen sangat menyukai novel , namun di usia yang begitu muda ia sudah meninggal, kecelakaan itu memb...