love me well

By hip-po

6.4K 723 609

"Love me well or leave me alone, you decide." Seharusnya, dari awal kita berani mengambil keputusan setelah s... More

prologue
1 | you're gonna be my best friend, baby
2 | prince on a white horse
3 | the beginning
4 | nightmare
5 | news that no one ever wants to hear
6 | challenge the devil
7 | not your fault
8 | we can't be friend
9 | bad news
10 | care less
11 | i wish i hated you
12 | stupid feelings
13 | intentions
14 | a change of heart
15 | you'd talk to her when we were together
16 | but you're still a traitor
17 | you'll never feel sorry for the way i hurt
18 | i just wanna know you better
19 | nobody gets me like you
20 | not fair
21 | am all alone
22 | everything has changed
23 | there's nothing you can't do
24 | city lights
25 | i gave into the fire
27 | falling
28 | baby please dont go
29 | so close to being in love
30 | but in time our feelings will show
31 | problem
32 | too late
33 | we lost a lot of things in the fire
34 | by my side
35 | i dont wanna be okay without you
36 | call me friend but keep me closer
37 | this feeling's all we know
38 | i'm not the one meant for you
39 | i know i'd go back to you
40 | you and no one else
41 | one fine day
42 | it's not living if it's not with you
43 | stand by you
44 | mixed feelings
45 | there something you should know
46 | that's why i let you in
47 | i will never know if you love me
48 | if i ain't with you i don't wanna be
49 | you're hiding something from me
50 | almost is never enough
51 | that's why i love you
52 | i don't want you to go
53 | head in the clouds
54 | something beautiful died
55 | my soul it gets sicker
56 | i gotta let you go i must
57 | i guess this is where we say goodbye
58 | tryna find a way back home to you again
59 | destiny decried
the end

26 | step on up

80 11 8
By hip-po

"Cepet banget lo udah pulang aja? Minimal sehari lah di sana biar nggak terlalu buang-buang duit."

Sagara baru terbangun dari tidurnya itu di jam 9 pagi. Setelah itu ia memutuskan untuk pulang ke rumah, mandi lalu pergi ke sekolah dan masuk lewat gerbang belakang. Sebenarnya ada yang menjaga gerbang belakang Merah Putih, tapi penjaganya juga adalah teman Dicky, makanya mereka bebas keluar masuk lewat sana dengan sogokan rokok satu bungkus. Bisa saja Sagara bolos sekolah dan melanjutkan tidurnya di rumah. Tapi entah mengapa Sagara ingin datang ke sekolah.

"Sore ini jadi survei tempat Ric?"

Eric yang sedang mendongak, menatap layangannya yang sudah sukses terbang ke langit, mengalihkan padangannya ke Sagara. "Gue ngikut. Emang lo nggak capek?"

Seperti tak kenal lelah, Sagara menggeleng. Selama tubuhnya masih sanggup berjalan dan otaknya masih bisa berpikir normal Sagara bakalan tetap jalan. Tadi pagi Sagara juga sudah survei di internet penghasil biji kopi terbaik di Indonesia. Dan pilihannya jatuh di Bali dan Lampung. Mungkin sabtu dan minggu ini ia bisa pergi ke sana.

"Siapa yang mau ikut—"

"Gue!" potong Dicky langsung, "please ajak gue Gar! Kemana pun itu bakalan gue temenin lo."

Sagara mendengus. "Tiket bayar sendiri."

"Anjing, kalau gitu mah sama aja—"

"Hotel sama makan biar gue yang tanggung."

"Oke, deal!" sambar Dicky langsung menjabat tangan Sagara semangat, "btw kita mau kemana? Kapan?"

"Minggu," jawab Sagara, "siap-siap."

Dicky menganga mendengarnya. "Kemana?" tanya Dicky sekali lagi yang tak dijawab oleh Sagara yang kini sudah pergi meninggalkannya, "kemana anjing? Kalau ke luar negeri pasport gue mati su!"

Louis menggelengkan kepalanya tidak percaya. "Gercep banget tuh orang. Kayak lagi ngejar sesuatu."

"Iya, apa sih yang Sagara kejar?"

Pulang sekolah, Aluna menunggu di depan lapangan indoor—tempat biasa yang dipakai oleh Sagara latihan Taekwondo. Sore ini jadwal rutin latihan Taekwondo, tapi laki-laki itu belum juga kelihatan batang hidungnya. Karna ia merasa lapar dan belum makan, Aluna memutuskan untuk menunggu Sagara di warung bakso depan Merah Putih langganannya. Ia menikmati baksonya sembari menatap murid Merah Putih yang kebanyakan pulang dijemput oleh kendaraan mewah. Kapan ya Aluna bisa merasakan hal seperti itu.

Bahkan sekelas Aqila pun juga dijemput oleh mobil mewah dan sopir. Padahal Aqila bilang kalau Ayahnya itu direktur utama di perusahaan kecil saja. Tidak sebesar perusahaan Ayahnya Sagara.

Pukul 5 lewat, anak-anak Taekwondo sudah mulai keluar melalui gerbang utama Merah Putih. Hal itu membuat Aluna berlari kecil masuk ke dalam sekolah, menuju lapangan indoor. Tapi saat sampai di sana, Aluna sama sekali tidak melihat Sagara. Aluna mengernyit bingung, perasaan ia melihat Sagara masuk ke kelasnya siang tadi, deh. Aluna mendengus kesal, kalau begini, mending Aluna pulang daritadi. Salahnya juga sih, mengapa tidak memeriksa terlebih dahulu.

Sementara di sisi lain, Sagara sedang menatap tanah kosong di hadapannya. Ini sudah tempat kedua yang mereka datangi tapi Sagara sama sekali belum merasa tempat ini cocok untuk coffee shopnya nanti. Lahan parkirnya terlalu sempit, Sagara juga tidak mau mengambil jalanan umum sebagai tempat parkir pelanggannya nanti.

"Sempit ya?" tanya Eric menatap Sagara yang sedang menghisap rokoknya.

"Iya," jawab Sagara, "dimana lagi?"

"Agak dipinggir kota sih, tapi nggak terlalu pinggir."

"Kita liat dulu," Sagara membuang putung rokoknya ke tempat sampah setelah memastikan bahwa rokoknya sudah padam, "kalau nggak cocok juga, besok gue cari sendiri."

Di tempat terakhir mereka, Sagara sempat diam lama sembari bejalan ke arah kiri dan kanan dari tanah itu. Awalnya saat melihat tempat ini, Sagara merasa cocok dan luasnya pas seperti apa yang ia harapkan. Tapi setelah melihat di dekat sini ada coffee shop lain dan tak jauh dari sana juga ada tempat hiburan malam, Sagara memutuskan untuk cari sendiri saja. Eric sangat amat membantunya dalam memilah-milih posisi yang pas untuk berdirinya sebuah coffee shopnya nanti. Namun, namanya juga Sagara.

Sekali tidak cocok, tetap tidak cocok. Walaupun luasnya sudah pas dan harganya sesuai dengan budgetnya. Tapi kalau nantinya coffee shopnya tidak berjalan sesuai dengan keinginannya, Sagara tak mau hal itu terjadi.

"Btw Gar, sabtu sama Dicky mau kemana?"

"Bali," jawab Sagara, "mau liat barangnya sebelum teken kontrak sama petani di sana."

"Biji kopi?" tanya Eric yang dijawab anggukan oleh Sagara, "lo sampe turun sendiri nanganin biji kopi, Gar?"

"Kalau bukan gue, siapa lagi Ric?"

Eric diam, ia memperhatikan Sagara yang sedang memainkan ponselnya lalu berjalan menuju motornya. "Balik? Nggak ikut kumpul sama Anak-Anak?"

Sagara menggeleng lalu memakai helmnya. "Gue mau ke rumah sakit. Kalo sempet gue nyusul."

Di sisi lain, Logan sedang menunggu Nesya di kursi samping toilet. Sudah hampir 5 menit Nesya berada di dalam sana dan belum keluar juga. Katanya perutnya masih mual dan ia masih ingin mengeluarkan isi perutnya lagi. Di dalam, Nesya sedang duduk di lantai toilet sembari memejamkan matanya erat. Perutnya mual dan sakit di kepalanya tak kunjung hilang walaupun ia sudah mengonsumsi banyak obat, tapi ia rasa semua obat itu sudah tidak mempan. Karna kepalanya sakit dan semua yang ia lihat seperti berputar, makanya hal itu yang membuatnya mual juga.

Kondisi ini ia sudah alami selama seminggu terakhir. Tapi ia sama sekali tak berani memberi tahu siapapun karna ia tak mau membuat orang-orang khawatir akan dirinya. Kedua orang tuanya, Sagara maupun Dokter. Satu-satunya yang tau kondisinya seperti ini adalah Logan. Itupun karna Logan pernah memergokinya sedang mengeluarkan isi perutnya di toilet dengan pintu toilet yang tidak tertutup rapat.

Karna hal itu, Logan yang seharusnya kerja malam ini jadi memindahkan jam kerjanya pada hari libur nanti. Biasanya, yang menjaganya di sini adalah Bundanya. Tapi karna akhir-akhir ini butik Bundanya sedang ramai, jadi Bundanya harus lebih banyak menghabiskan waktu di butik. Sementara Nesya selalu ingin ditemani oleh Sagara, tapi akhirannya malah Logan lagi yang menjaganya.

"Gan, udah," ucap Nesya membuat Logan langsung masuk dan mengangkat tubuhnya dengan gampang, "makasih ya Logan."

"Padahal baru makan dikit, tapi udah dikeluarin lagi."

Nesya tersenyum tipis. "Kepala gue sakit banget Gan, kadang gue nggak tahan."

"Bilang aja ke Dokter."

"Gue cari di internet, katanya emang gitu, percuma kalau bilang ke Dokter juga," Nesya menarik selimut hingga menutupi setengah tubuhnya, "waktu cepet banget berjalan ya? Gue bahkan nggak pernah sempat untuk pakai sepatu yang kalian beliin buat gue."

"Jangan pikir yang aneh-aneh," ucap Logan, "pikirin yang seneng-seneng aja, biar cepet sembuh."

"Gue nggak bisa sembuh, Gan. Lo tau itu," Nesya menghela nafasnya kasar, "kalau gue udah pergi, lo nggak boleh lupain gue ya. Walaupun kalian sibuk nantinya, sempetin buat nengokin gue ya. Lo tau kan gue suka lily?"

Hal-hal yang seperti ini sudah Logan dengar banyak kali dari Nesya. Perempuan itu sudah semakin pasrah dengan hidupnya. Seperti tak ada yang bisa dipikirkan lagi selain hal itu. Bahkan kalau kedua orang tua Nesya datang, dan membicarakan hal-hal yang akan mereka lakukan setelah Nesya sembuh, perempuan itu hanya bisa tersenyum. Tanpa menjanjikan apa-apa.

Karna Nesya tau, ia tak akan pernah sembuh.

Pintu kamar rawat terbuka, membuat pandangan mereka teralih penuh menatap seseorang yang memakai jaket hitam. Logan mengalihkan pandangannya, menatap Nesya yang kini sedang tersenyum lebar. Senyuman itu hanya bisa Logan lihat saat Sagara muncul dari pintu kamar rawat Nesya. Atau selama Sagara berada di ruangan yang sama. Kalau tak ada Sagara, senyuman lebar itu juga tidak ada. Karna Logan tak pernah bisa membuat Nesya tersenyum selebar itu.

"Gue bawain buat lo," Sagara menyodorkan kantong plastik berisi ayam goreng dan juga nasi. Tidak lupa soda kesukaan Logan.

Logan tersenyum kecil. "Romantis banget sih lo."

"Najis lo," ucap Sagara lalu beralih pada Nesya yang sedang melebarkan kedua tangannya, siap untuk dipeluk oleh Sagara, "udah makan kan?"

"Udah kok," ucap Nesya sembari tersenyum senang memeluk Sagara, "gue seneng deh kalau lo ke sini."

"Kenapa emangnya? Logan nakal?"

"Enak aja!" ucap Logan tak terima. Kini Logan duduk di sofa yang jaraknya agak jauh dari Nesya. Takut bau ayam goreng ini menganggu Nesya dan membuat Nesya muntah lagi.

Sagara tertawa kecil. "Terus kenapa?"

"Bosen sama Logan mulu," ucap Nesya dengan suara kecilnya.

"Nggak boleh gitu. Logan kan juga luangin waktunya buat nemenin lo," ucap Sagara sembari mengusap lembut rambut Nesya, "emangnya lebih enak kesepian daripada bosen liat Logan?"

Nesya menggeleng pelan. "Kepala gue pusing banget."

"Udah minum obat?" tanya Sagara yang dijawab anggukan oleh Nesya, "kalau gitu istirahat. Malam ini yang nemenin Bunda lo kan?"

"Iya, nanti Bunda ke sini kok."

Setelah memperbaiki posisi Nesya, Sagara beralih pada Logan. Ia duduk di hadapan Logan yang sedang memakan makanannya. "Nggak sempet makan sebelum ke sini?"

Logan menggeleng. "Nesya keburu nelfon."

"Lo mau jadi barista aja nggak Gan?" tanya Sagara, "kerja part time tapi gajinya UMR full."

Logan yang tadinya lemas langsung tersenyum bersemangat. "Boleh tuh. Dimana?"

"Nanti gue kabarin," ucap Sagara membuat Logan melanjutkan makannya dengan penuh kebahagiaan, "Nesya gimana Gan?"

"Kepalanya makin sering pusing tiba-tiba," jawab Logan, "makannya dikit. Itupun dia juga sering muntah."

Sagara menarik nafasnya panjang lalu menghembuskannya perlahan. "Duit jajan lo ada?"

"Mau dong," ujar Logan sembari tersenyum lebar, "udah lama gue nggak ikut nongkrong."

Sagara berdehem sembari mengirimkan sejumlah uang ke rekening Logan. "Jangan dipake mabok."

Logan bangkit dari duduknya, menghampiri Sagara yang berada di sofa sebrang lalu memeluknya erat. "Gue sayang banget deh sama lo."

"Lepas atau gue lempar ke bawah?"

Pukul 1 dinihari, Sagara baru sampai di rumah. Mereka berdua pulang setelah Bunda Nesya datang, tapi Logan mengajaknya untuk bertemu dengan teman-temannya terlebih dahulu sebelum pulang tadi. Tak lama di sana, Sagara langsung pulang. Karna kalau tak pulang, ia bisa tidak ingat waktu karna keasikan ngobrol.

Di rumah, Ayahnya masih bangun dan kini sedang menonton bola di televisi. Ini pemandangan yang jarang Sagara temukan di rumah. Ayahnya tak pernah sempat untuk menonton bola seperti ini. Karna kerjaannya banyak dan besok pagi harus ke kantor lagi, jadi pasti waktu malamnya akan dipakai untuk full istirahat. Bukan nonton bola seperti sekarang.

"Gara pulang."

Kelvin mengalihkan pandangan, menatap Sagara lalu tersenyum lebar. "Sini Gar, kita nonton Messi."

Eh? Padahal ini jam 1 malam, biasanya Ayahnya memarahinya karna pulang malam tanpa tau apa alasannya. Sekarang malah aneh. Tapi walaupun begitu, Sagara juga senang.

"Lawan siapa Yah?" tanya Sagara duduk di samping Ayahnya.

"PSG."

"Lawan Neymar dong?"

"Iya makanya, jadi Ayah nonton," ucap Kelvin yang matanya tak lepas dari televisi di hadapannya, "gimana prosesnya bisnis kamu? Ayah dengar, kamu udah teken kontrak ya sama Chef Ronald?"

"Iya, beberapa hari yang lalu," jawab Sagara, "hari ini Sagara nyari tempat, makanya pulang malam. Sabtu Gara ke Lampung, minggunya ke Bali buat liat biji kopi."

Penjelasan Sagara membuat Kelvin mengalihkan pandangannya dari televisi. "Kok buru-buru banget? Kamu ngejar apa?"

Sagara menghela nafasnya pelan. "Takut Nesya nggak sempat liat coffee shop Gara. Kondisinya makin parah, Yah."

Kelvin mengangguk paham. "Jangan terlalu gegabah ambil keputusan. Ayah ngerti kamu pasti takut nggak keburu, tapi bisnis ini bukan segampang kamu jualan es cendol yang nggak laku bisa dihabisi sendiri. Tapi bisnis ini bisnis panjang yang ke depannya bakalan terus membesar dan bahkan bisa merambat ke bisnis yang lain."

"Iya Yah, Sagara ngerti," ucap Sagara, "walaupun terkesan buru-buru, tapi coffee shop Gara bukan coffee shop yang penting jadi aja. Tapi disetiap langkahnya, udah Gara pikirin mateng-mateng. Ayah tenang aja, uang Ayah bakalan Gara pakai sebaik mungkin."

Kelvin tersenyum tipis, bangkit dari duduknya lalu menepuk bahu Sagara. "Ayah percaya sama kamu. Nikmati prosesnya, pelajari semua hal yang nantinya bakalan kamu lewati."

Kepergian Ayahnya membuat Sagara berdiam cukup lama di sofa dengan tatapan lurus ke televisi. Banyak yang berputar di kepalanya sekarang. Apa ia terlalu buru-buru? Apa langkahnya sudah benar?

Sagara berjalan menuju dapur, ingin meneguk segelas air dingin karna tenggorokannya terasa kering sekarang. Di sana ada Bi Siti—asisten rumah tangganya yang masih terjaga dari tidurnya. Mungkin karna Ayahnya masih bangun juga.

"Sekarang Den Gara yang jarang di rumah."

Sagara mengernyit bingung. "Ayah pulang ke rumah terus Bi?"

"Iya Den. Mungkin sudah sekitar satu minggu Tuan pulang ke rumah," ucap Bi Siti, "kalau pulang, wajahnya cerah, nggak suntuk seperti biasanya. Seperti ABG yang lagi jatuh cinta, Den."

"Idih, gaya banget udah tua juga."

Continue Reading

You'll Also Like

1.8M 194K 52
Ditunjuk sebagai penerus untuk mengabdikan dirinya pada pesantren merupakan sebuah tanggung jawab besar bagi seorang Kafka Rafan El-Fatih. Di tengah...
131K 10.4K 78
Alur lambat⚠️ Demigoddess-Wizard Correy Lyle, Duke Muda D'Lupus yang terkutuk kegelapan. Pernikahan paksa yang diputuskan Grand Duke pada dirinya saa...
2.8K 320 9
Bagaimana jika kamu tiba-tiba didekati playboy yang terkenal di kampus? Vania Anindyta Clarie, menyarankan hal ini untuk kamu; 1. Menghindar, 2. Pura...
157K 14.7K 23
Bukan karena kita menginginkan sesuatu, maka kita harus melakukan segala cara untuk mendapatkannya. Cukup dengan mengikuti alurnya dan semuanya akan...