Serayu Senja

Per Jeje_aaa

120 15 4

Menumbuhkan rasa dapat dilakukan setelah menikah, begitu katanya. Kalimat yang pernah diyakini oleh Aruna sam... Més

[Bab 01; Menginjak Enam Tahun]
[Bab 02; Tujuh Tahun Berlalu]
[Bab 04; Pemandangan Baru]
[Bab 05; Kembali Jatuh Hati]
[Bab 06; Maksud Pertemuan]
[Bab 07; Kabar Rumah Tangga]

[Bab 03; Setelah Sekian Lama]

15 2 2
Per Jeje_aaa





Aruna mematikan ponsel, enggan menanti balasan dari si teman di sebrang sana.

Bergaya sederhana, Aruna menjemput anak-anak tepat di depan sekolah. Ia menanti dengan berdiri di samping pintu mobil berwarna abu miliknya dan Hasbi. Beberapa pasang mata memperhatikan dan menaruh tatap pada sekujur tubuh Aruna. Maklum, Aruna sangat jarang terlihat di sekitar sekolah anak-anak, biasanya Hasbi yang akan menjemput pukul 11 siang, setelah praktiknya selesai.

Di sana, dari arah lapangan nampak dua anaknya yang berlari kecil sambil bergandengan. Senyum mereka merekah setelah sukses melihat sosok Aruna yang tengah menanti. 

" Ibu! " panggil si kembar bersamaan dan berlomba untuk menyambut tangan Aruna guna ditinggali kecupan pada punggung tangan. Aruna menggores senyum namun masih tak bersuara.

Poni si kembar terlihat lepek karena pengaruh keringat, wajah mereka memerah karena tersorot cahaya matahari, nampak berkali lipat lebih menggemaskan, Aruna tak menampik fakta tersebut namun ia tetap bersikap sok acuh.

" Kakak suka dijemput Ibu " ucap Senja seraya menggenggam tangan kiri Aruna, dan Sore yang juga menyambar seraya menggenggam tangan kanan sang Ibu.

" Kita cari makan siang sebentar, mau? " tanya Aruna sedikit canggung namun dihadiahi anggukan penuh kesenangan dari si buah hati. Aruna menuntun keduanya untuk duduk di kursi belakang mobil, membantu memasangkan sabuk pengaman sebelum ia beralih ke kursi pengemudi dan melakukan hal yang sama.

Ia kembali membuka ponsel, mengabari Hasbi, takut saja Hasbi akan menjemput anak-anak setelah ini.

Tak ambil pusing dengan status pesan yang hanya terkirim, Aruna beranggapan bahwa Hasbi tengah sibuk dengan pekerjaan jadi tak ada waktu untuk membalas pesan. Setidaknya ia tidak akan disalahkan nantinya karena tidak memberi kabar.

Aruna mulai melajukan mobil. Di sepanjang jalan, Senja dan Sore sibuk berceloteh dengan cerita mereka. Aruna menarik kedua ujung bibir membentuk lengkung senyum tanpa diketahui oleh anak-anak. Ia sangat menyayangi keduanya, hanya saja ia takut emosinya tak terkontrol sewaktu-waktu.

" Kakak dan Adik mau makan apa? "
" Mintchoco! " jawab Senja dengan bersemangat, namun Sore nampak berpura-pura muntah begitu mendengar kata mintchoco.

" Adik mau vanilla, mintchoco gak enak! "
" Enak tau! "
" Enggak! Rasanya pedes! Kayak makan odol punya Ayah heheh "

Sejuk dik, bukan pedas. - Aruna mengoreksi dalam hati, namun memilih untuk tidak diucapkan.

Sejak awal anak-anak diijinkan untuk memakan es krim, Hasbi selalu berpesan untuk tidak langsung memberi es krim apabila perut mereka dalam keadaan kosong. Maka dari itu, Aruna lebih memilih pergi untuk membeli makanan berat terlebih dahulu sebelum benar-benar membelikan es krim.

Di satu restoran cepat saji ketiganya berada. Pesanan mereka sudah tiba dan Aruna memerintah Senja juga Sore untuk makan dengan rapi, tidak membuat kebisingan dan tidak bercanda ketika makan.

Sementara anak-anaknya fokus makan, Aruna membuka ponsel ketika mendapati balasan dari Hasbi.

Tidak ada balasan lagi. Aruna berhenti memainkan ponsel, melirik kedua putranya yang masih anteng dengan makanan. Senja dan Sore betul-betul anak yang penurut, mereka senyap dan tidak membuat keributan sesuai dengan apa yang Aruna perintahkan.

" Kenapa Ibu gak makan? Nanti ayamnya dingin " tanya Sore dengan mata yang mengerjap lucu. Dua mata tersebut benar-benar berbinar dan bersih, Aruna takjub karena Tuhan mengijinkan dua manusia sempurna ini untuk terlahir dari rahimnya.

" Ini baru mau makan " jawab Aruna. Di sebrangnya, Senja tersenyum dengan masih menyunyah makanan. Gemas.

Hening, Aruna menikmati makanan dengan tanpa berbincang namun beberapa kali menaruh perhatian pada sang buah hati. Disodorkan tisu basah oleh Aruna kepada Senja dan Sore, supaya mereka membersihkan tangan atau area sekitar mulut yang terkena saus tomat.

" Selesai makan, kita pulang "
" Mintchoco? " Senja kebingungan, pasalnya dia belum mendapat es krim yang diinginkan.

" Setelah kita beli mintchoco maksudnya " si kecil sumringah kemudian.

Menepati ucapannya, Aruna membeli es krim sebelum benar-benar pulang. Tak lupa iapun membelikan pesanan Hasbi dan membawakan beberapa menu makanan cepat saji untuk diberikan kepada Hasbi di rumah nanti.

Mereka sampai di rumah tepat tengah hari, ketika cuaca tengah di ujung batas terik, menyakitkan seperti menusuk ke dalam kulit dan begitu membakar.

Aruna memerintah anak-anak masuk terlebih dahulu ketika melihat kunci motor masih tergantung pada motor milik Hasbi. Dironggohnya kunci tersebut dan masuk ke dalam rumah menyusul anak-anak.

Rumah nampak sepi, sepatu milik Hasbi tidak dirapikan dan dibiarkan tergeletak di bawah tangga rumah. Aruna mendongak guna melihat ke arah lantai dua rumah di mana tempat kamarnya dan Hasbi berada. Pintu kamar tidak tertutup di sana.

Tanpa mengulur waktu, ia berjalan sedikit lebih cepat menaiki tangga. Sejenak ia mengintip ke kamar anak-anak dan memastikan mereka aman, lalu berlanjut masuk ke dalam kamar.

Di atas ranjang, Hasbi terlentang horizontal. Mengenakan kaus oblong berwarna abu-abu dengan kedua mata yang nampak terlelap. Wajah Hasbi terlihat kemerahan dengan kondisi dahi dan leher yang mengkilap karena keringat.

Apa yang sudah dilakukan Hasbi? Pikir Aruna, sebelum ia memberanikan diri menyentuh lengan Hasbi bermaksud membangunkan.

" Bi " panggil Aruna, namun Hasbi tak memberikan respon berarti selain deheman rendah.

" Saya sudah beli termometer " disodorkan keresek berisi termometer tersebut kepada Hasbi, namun Hasbi tidak membuka mata. Ia hanya mengangkat tangan, nampak lemas dan tak bertenaga.

" Tolong cek " pinta Hasbi. Aruna tetap menurut, membantu untuk memeriksa suhu tubuh Hasbi melalui ketiak.

" Saya beli makan, tadi kita ke restoran ayam cepat saji, saya simpan di atas meja "
" Saya sakit Aruna "

Terdiam, usai meletakkan totebag berlogo restoran cepat saji, Aruna berdiri tegap menghadap meja. Bukan pertama kali Hasbi sakit yang ujungnya akan Aruna rawat, tapi sudah lama sekali sejak terakhir kali Hasbi sakit, dan Hasbi tidak pernah melapor ketika sakit, ini pertama kalinya selama enam tahun hidup bersama. Bisa dibayangkan bukan?

*bip! *bip!

Alarm termometer berbunyi, Aruna terkejut dan lekas mengecek hasil.

38,6°

Demam, pantas saja wajahnya memerah dan berkeringat dingin.

" Belum sempat makan siang? " Hasbi menjawab dengan lambaian tangan seolah ia sudah tidak punya tenaga untuk bersuara. Pernah mendengar bahwa lelaki akan terkesan lebay ketika sakit? Iya, seperti itulah Hasbi sekarang.

" Saya masak sebentar, kamu istirahat saja dulu "
" Gak perlu Na.. Tolong, di kotak P3K ada obat antidemam, bisa diminum sebelum makan kok "
" Gak akan mengiritasi lambung kamu? "
" Enggak, itu aman "

Bagaimanapun, Aruna tidak ingin Hasbi mati hanya karena terserang demam. Memang terdengar konyol, tapi bisa saja ada kasus demikian.

Apa yang Aruna lakukan hanya beralasan empati sesama manusia. Mungkin juga disertai rasa iba dan peduli. Dia dan Hasbi masih harus tetap hidup selama beberapa lama ke depan bukan?

19:20

Dua lengan piyama dilinting oleh Aruna sampai sikut, ia tengah sibuk memasak makanan orang sakit. Mengurangi garam dan membuat tekstur makanan lebih lembek atau lunak supaya tidak perlu banyak tenaga untuk mengunyah.

" Ibu " di tempatnya Aruna terlonjak kaget. Mendapati Sore yang mendekat dengan membawa buku edukasi bergambar dinosaurus.

" Kalau dinosaurus terbang itu namanya siapa? "

Alih-alih menjawab, Aruna menatap Sore dengan dingin.

" Sudah pernah ibu bilang kan sebelumnya, kalau ibu sedang masak, jangan mengganggu. Jangan bertanya. Kamu main di sana dengan kakak, selesai masak nanti ibu jawab pertanyaannya, paham? " wajah polos Sore menunjukkan raut penyesalan, ia mengangguk dan menghindar.

Aruna menghembus nafas berat. Belum satu hari Hasbi sakit tapi rasanya semua pekerjaan begitu berat untuk dilakukan sendirian. Tidak menampik Aruna juga merasa tidak enak karena selama ini Hasbilah yang memegang kendali atas pekerjaan rumah, termasuk anak-anak.

Dengan hidangan yang sudah siap dikonsumsi, Aruna masuk ke dalam kamar usai menjawab pertanyaan anak-anak dan memerintah mereka masuk ke dalam kamar untuk beristirahat pula.

Hasbi nampak gelisah di ranjang, ia terus bergerak seolah semua posisi tidur tidaklah nyaman.

" Biar saya makan sendiri " tepat ketika Hasbi berusaha bangkit, Aruna menahan tubuh si lelaki dan membiarkannya bersandar pada kepala ranjang. Dahi Hasbi sudah terpasang plester antidemam yang selalu menjadi persediaan untuk anak-anak, memang berbeda ukuran saja, nampak lebih kecil di permukaan dahi orang dewasa, namun tidak mengurangi efektifitas.

Meski harus membagi fokus, tidak bohong bahwa jantung Hasbi berdegup lebih kencang dan keras ketika Aruna menyuapinya. Jika tengah tidak sakit mungkin Hasbi akan tersenyum bahagia, bukan main senangnya.

Satu obat antidemam diminumkan kepada Hasbi. Lalu Hasbi kembali berbaring namun nampak tetap gelisah. Dua alisnya menaut dengan tubuh berbanjir keringat dingin.

Hening, hanya terdengar nafas berat dari Hasbi. Sementara Aruna termenung sembari duduk di tepi ranjang. Tidak ada suara anak-anak, atau suara jam dinding.

' Melihat Hasbi sakit, rasanya seperti aku takut dia pergi, padahal cuma demam. Rasanya seperti Abi yang tengah sakit sekarang, aku gak mau kamu pergi Abi.. ' Aruna sibuk membatin.

*tok! *tok! *tok!

Menoleh, Aruna mendapati dua jagoan kecilnya yang berdiri di ambang pintu. Mereka melangkah kecil guna mendekati Aruna, dan berdiri di depan Aruna.

" Ibu, kita boleh tidur di sini? " si kakak bertanya dengan sopan.

" Kenapa? "
" Kakak gak bisa tidur di sana "
" Adik juga. Adik mau tidur sama Ibu "
" Ada sesuatu di kamar kalian? " si kecil menggeleng. Khawatir saja ada yang mengganggu mereka di kamar, entah hewan atau apapun itu.

" Ayah kalian sakit, ibu gak mau kalian tertular.. Nanti ibu ke kamar kalian setelah obati Ayah, boleh? "
" Tapi ibu janji ya? "
" Iya, ibu temani kalian setelah ibu temani Ayah " lagi, mereka mengangguk dan kembali ke kamar mereka.

Beberapa lama waktu dihabiskan oleh Aruna untuk kembali berdiam. Berpikir tanpa arah, dan membatin tanpa usai.

Ia menarik rambutnya yang diikat asal itu ke belakang, menjambak dengan sedikit kuat berharap kepalanya tidak banyak berpikir dan berharap semua suara-suara itu hilang.

" Aruna... " ia menoleh, Hasbi mengigau. Demamnya memang semakin tinggi, menjadi 39,4° malam ini.

Perlahan, Aruna naik ke atas ranjang. Ia masuk ke dalam satu selimut yang sama dengan Hasbi. Ditatapnya wajah kemerahan Hasbi beberapa lama, sebelum meraih kepala dan bahu sang suami untuk direngkuh.

Suami itu seperti anak kecil, kata mereka. Tapi Aruna belum menemukan hal tersebut dalam diri Hasbi. Selama ini Hasbi terlalu dewasa. Nyaris tidak pernah mengeluh, tidak membentak ketika emosi, tidak pernah bertindak kasar dan tidak juga melarang Aruna melakukan apa yang ia suka. Aruna seharusnya merasa beruntung karena memiliki suami seperti Hasbi, suami yang banyak diidamkan wanita lain di luaran sana.

Di sana, Aruna memberikan tepukan pada punggung Hasbi. Diusapnya pelipis dan leher yang masih terbanjiri keringat. Terasa hangat ketika Hasbi semakin mendekat dan menempel dalam dekapannya. Aruna sedih, namun ia menolak untuk menangis. Ia lebih memilih mengusap surai hitam Hasbi juga mengusap punggung si pria.

" Maaf, saya buat kamu mengerjakan semuanya sendirian. Saya akan coba perbaiki, selamat beristirahat "

*cup!

🦅

Semakin hari, hidup semakin lucu ya. Ada aja ceritanya..

Di bayanganku, jadwal bedahku akan keluar bulan depan atau paling cepat akhir bulan september, eh tiba-tiba dokternya bilang, paling lambat satu minggu dari sekarang.. Wkwk sekali :).

Gapapa, namanya ikhtiar, hasilnya memang kembali kepada Allah.

Semangat menjalani harinya semua! Terus hidup ya, jangan cuma bernafas!

Continua llegint

You'll Also Like

101K 7.4K 50
cerita fiksi jangan dibawa kedunia nyata yaaa,jangan lupa vote
29.3K 2.8K 18
Plak!!! Lisa terdiam merasakan panas di pipinya, saat kekasihnya yang dia cintai menamparnya. Hatinya terasa begitu sakit. Apalagi, dia melihat sang...
64.5K 10.4K 15
Yang publik ketahui, kedua pemimpin perusahaan ini sudah menjadi musuh bebuyutan selama bertahun-tahun lamanya, bahkan sebelum orang tua mereka pensi...
78K 10.1K 107
This is just fanfiction, don't hate me! This is short story! Happy reading💜