love me well

Von hip-po

3.8K 641 438

"Love me well or leave me alone, you decide." Seharusnya, dari awal kita berani mengambil keputusan setelah s... Mehr

prologue
1 | you're gonna be my best friend, baby
2 | prince on a white horse
3 | the beginning
4 | nightmare
5 | news that no one ever wants to hear
6 | challenge the devil
7 | not your fault
8 | we can't be friend
9 | bad news
10 | care less
11 | i wish i hated you
12 | stupid feelings
13 | intentions
14 | a change of heart
15 | you'd talk to her when we were together
16 | but you're still a traitor
17 | you'll never feel sorry for the way i hurt
18 | i just wanna know you better
19 | nobody gets me like you
20 | not fair
21 | am all alone
22 | everything has changed
23 | there's nothing you can't do
25 | i gave into the fire
26 | step on up
27 | falling
28 | baby please dont go
29 | so close to being in love
30 | but in time our feelings will show
31 | problem
32 | too late
33 | we lost a lot of things in the fire
34 | by my side
35 | i dont wanna be okay without you
36 | call me friend but keep me closer
37 | this feeling's all we know
38 | i'm not the one meant for you
39 | i know i'd go back to you
40 | you and no one else
41 | one fine day
42 | it's not living if it's not with you
43 | stand by you
44 | mixed feelings
45 | there something you should know
46 | that's why i let you in
47 | i will never know if you love me
48 | if i ain't with you i don't wanna be
49 | you're hiding something from me
50 | almost is never enough
51 | that's why i love you
52 | i don't want you to go
53 | head in the clouds
54 | something beautiful died
55 | my soul it gets sicker
56 | i gotta let you go i must
57 | i guess this is where we say goodbye
58 | tryna find a way back home to you again
59 | destiny decried

24 | city lights

37 10 7
Von hip-po

"Barang lo cuma ini doang?"

Karna pertanyaan Sagara, Aluna jadi menoleh, ikut melihat barang yang akan ia bawa ke tempat tinggal barunya. Memangnya harus bawa apalagi selain buku dan baju yang tersisa? Peralatan rumah yang lainnya pun Aluna lihat kemarin sudah lengkap di sana. Jadi karna barang yang Aluna bawa hanya sedikit, Aluna sekalian membawa barang itu ke sekolah. Ia cuma membawa tas sekolahnya dan juga satu tas kertas yang berisi bajunya yang tak terlalu banyak itu.

Anggukan dari Aluna membuat Sagara juga mengangguk. Tau gitu, Sagara bawa motor saja ke sekolah. Ia kira barang Aluna bakalan banyak, jadi Sagara berjaga-jaga dan membawa mobil agar tak perlu lagi menyewa mobil untuk mengangkut barang. Lagipula, siapa sih yang mau mobil sportsnya dijadikan mobil pengangkut barang, selain Sagara?

Pulang sekolah mereka langsung menuju apartemen kemarin. Jalanan yang mereka lewati tidak banyak belok-beloknya, makanya Aluna langsung hafal. Sagara juga memberi tau kalau ada halte bus di timur gedung, jadi Aluna bisa keluar lewat pintu timur agar tak terlalu jauh jalan kaki. Sesampainya di sana, pintu apartemen terbuka dan di sana ada laki-laki memakai baju seragam apartemen tersenyum lebar pada mereka berdua.

"Sudah dibersihkan semua ya Pak," ucapnya. "mau ganti pin apartemennya juga?"

"Iya," jawab Sagara lalu berbalik pada Aluna, "atur pin apartemen lo."

Pin apartemen lo. Apartemen, lo. Aluna seperti diberi hadiah apartemen dari Sagara kalau laki-laki itu berucap seperti itu.

Setelah selesai mengatur pin apartemen, Aluna disuruh masuk terlebih dahulu oleh Sagara sementara laki-laki itu berbincang dengan kru apartemen di luar. Harum yang Aluna hirup saat masuk ke dalam sana. Berbeda dengan kemarin yang sedikit berdebu. Tak sadar, senyum Aluna mengembang. Ia menaruh barangnya di dekat sofa lalu mendekat ke arah jendela. Dari sana ia bisa melihat pemandangan kota. Pemandangan seperti ini yang Aluna impikan setiap bangun tidur. Kalau bukan karna Sagara, mungkin ia tak pernah bisa melihat pemandangan seperti ini.

"Lo suka?"

Aluna berbalik menatap Sagara. "Suka! Makasih banyak ya Sagara! Gue janji bakalan kerja dengan kompeten!"

"Pemandangannya lebih bagus pas malam," ucap Sagara mengalihkan pembicaraan karna ia tak mau Aluna menyadari kalau ia tersenyum karna reaksi lucu Aluna, "yaudah kalau gitu gue balik. Kalau ada apa-apa hubungin nomor yang ada di meja makan."

"Sagara," panggil Aluna membuat Sagara kembali berbalik, "katanya pemandangannya lebih bagus pas malam."

"Iya," jawab Sagara.

"Kalau gitu, kita liat sama-sama?"

Kini mereka berdua duduk di balkon sembari menyaksikan matahari tenggelam dari sana. Mungkin pemandangan ini menjadi salah satu alasan mengapa biaya sewa di sini berhasil membuat Aluna menganga lebar. Dan karna itu, Aluna sempat bertanya kepada Sagara apa Sagara yakin melepas unit apartemen semewah itu kepadanya secara cuma-cuma? Tanggapannya Sagara sangat santai, membuat Aluna langsung berpikir ia harus kerja keras agar Anaknya nanti seperti Sagara. Maksudnya, punya orang tua yang tajir melintir.

Seragam Aluna sudah ia ganti dengan pakaian rumahnya, sementara Sagara hanya memakai kaos hitam polos dan masih mengenakan celana sekolah.

Aluna berbalik, menatap Sagara yang masih menatap lurus ke arah depan, melihat matahari yang sudah tenggelam. "Lo abis berantem ya?" tanyanya yang dibalas deheman oleh Sagara, "lukanya nggak pernah lo obatin?"

"Nggak usah diobatin, nanti sembuh sendiri."

"Semua luka itu harus diobatin," Aluna bangkit dari duduknya, mengambil sesuatu di tasnya lalu kembali duduk di hadapan Sagara. Ia mengoleskan salep pada luka Sagara, "nggak ada luka yang bisa sembuh sendiri, semuanya harus diobatin. Mau itu luka luar atau dalam."

Saat Aluna sibuk mengoleskan salep di lukanya, Sagara malah diam mematung sembari menghirup aroma segar dari tubuh Aluna yang lumayan dekat dengannya. Setelah selesai, Aluna langsung menutup salep itu dan memberikannya pada Sagara.

"Dipakai terus, biar cepet sembuh lukanya," ucap Aluna, "tiga kali sehari aja."

Salep itu langsung Sagara masukan ke dalam saku celananya. Ia beralih memainkan ponselnya, sementara Aluna mengatur barangnya. Aluna mengambil dua bungkus mie instan dari tasnya lalu berjalan menuju dapur, memasak air. Sementara Sagara hanya melirik, tanpa mau tau apa yang Aluna lakukan. Ia masih sibuk dengan ponselnya.

Grup chatnya sedang ramai, mereka membicarakan tentang coffee shop yang pernah juga mereka bahas di belakang rumah Sagara. Katanya Eric punya kenalan tentang pemilik coffee shop yang kini coffee shopnya sedang dibacarakan oleh banyak orang karna tidak pernah sepi. Katanya, Sagara bisa ngobrol-ngobrol sama pemilik coffee shop itu. Wah, kesempatan bagus. Sagara sudah menghubungi beberapa pemilik coffee shop, tapi tak ada satu pun yang dibalas. Itu memang karna Sagara tidak mencantumkan nama keluarganya saat mengirimkan pesan. Coba saja Sagara mencantumkan nama keluarganya, pasti mereka yang malah mengejar Sagara.

Tapi rejeki memang tidak kemana. Menanam jagung, memanen berlian. Sagara dapat kesempatan bagus dari teman. Banyak teman, banyak rejeki.

"Ayo makan," Aluna datang dengan dua piring mie instan di tangannya, membuat Sagara langsung menaruh ponselnya di lantai begitu saja, "boleh tanya lagi?"

"Tanya aja," jawab Sagara sembari mengambil piring yang Aluna sodorkan kepadanya.

"Lo yakin biarin gue tinggal di sini?"

Pertanyaan itu lagi, Sagara sampai capek mendengarnya.

"Maksud gue, ini apartemen mewah gila. Gaji gue lima tahun aja belum cukup buat bayar sewa tahunan di sini," ucap Aluna begitu saja, matanya sibuk menatap ke arah mienya, "keluarga lo emang tajir melintir ya? Atau lo punya usaha sendiri?"

Sagara diam saja, membuat Aluna mengalihkan pandangannya pada Sagara. "Sagara?"

"Gue nggak suka lo ngomong kayak gitu ke gue."

"Oh iya, maaf," ucap Aluna, "tapi pertanyaan gue jawab ya?"

"Gue baru mau buka usaha sendiri."

"Oh ya?" tanya Aluna semangat menanggapinya, "usaha apa?"

Sagara membalas tatapan Aluna karna mendengar perempuan itu semangat menanggapi ucapannya. "Coffee shop."

"Widih, keren!" Aluna mengacungkan dua jempolnya, "lagi dibangun atau masih rencana?"

"Masih rencana sih."

"Keren! Gue setuju sih, daripada uang jajan lo yang banyak banget itu abis buat motor, mending keputer di bisnis," ucap Aluna yang dibalas deheman oleh Sagara.

Mereka berdua terdiam agak lama. Sama-sama menikmati makanan mereka. Hingga Aluna bergumam kecil membuat Sagara juga ikut menatapnya. "Have fun, Heaven. Heavan aja! Nama coffee shop lo."

"Heafan?"

"Hea-van," ulang Aluna, "bisa dua arti, have fun atau heaven."

Nama yang bagus. Sagara akan mempertimbangkannya terlebih dahulu.

Sudah hampir jam 8 malam, Sagara memutuskan untuk pergi dari sana. Aluna juga pastinya ingin istirahat karna lelah habis menyapu lapangan sekolah dan juga beberes barangnya. Malam ini juga ia harus bertemu dengan kenalan Eric yang adalah pemilik coffee shop itu. Katanya sekalian karna sudah lama juga Eric tidak bertemu dengan orang itu.

"Nomor rekening lo."

"Buat apa?"

"Tanggal muda," jawab Sagara, "gajian."

Mendengar itu, senyum Aluna langsung merekah lebar. Sudah saatnya ia gajian ya? Berarti ia terhitung sudah mau dua bulan bekerja dengan Sagara. Gajinya bulan kemarin dipakai untuk membayar hutangnya pada Sagara. Tapi bukannya harus dua kali gajian dulu ya baru bisa membayar lunas hutangnya pada Sagara? Memangnya gaji bekerja sama Sagara itu berapa sih? Aluna tak pernah tau sampai sekarang.

"Makasih ya Sagara."

"Buat?"

"Semuanya?" Aluna tersenyum lebar, "lo udah baik banget sama gue. Makasih ya."

Sagara hanya diam fokus mengetik sesuatu pada ponselnya. Ia bingung harus menanggapi ucapan Aluna dengan kalimat apa. "Udah. Gue balik."

"Hati-hati Sagara," ucap Aluna, "oh iya, pin apartemennya 0710."

"Kenapa lo kasih tau gue?"

"Biar lo bisa masuk?"

Sagara menghela nafasnya kasar. Aluna-Aluna, harusnya demi menjaga keamanannya, pin apartemennya harus ia saja yang tau. Tak usah memberi tau Sagara karna apartemennya ini sudah ditempati olehnya, bukan Sagara.

"Jangan kasih tau pin apartemen lo ke orang lain lagi," ucap Sagara, "besok gue telfon orang apart. Ganti pin lo."

"Nggak usa—"

Aluna menghela nafasnya karna Sagara sudah menutup pintu sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya. Harusnya kan tidak usah, lagipula ini kan apartemennya Sagara, laki-laki itu punya hak untuk bisa masuk ke sini kapan saja.

Kapan saja, ya?

Sudah hampir 2 jam Sagara, Eric dan Marlo—kenalan Eric pemilik coffee shop ini berbincang membicarakan banyak hal. Banyak hal yang Sagara tanya, tapi hal itu tidak membuat Marlo kesal karna Sagara banyak tanya ataupun bosan. Karna Sagara cepat tanggap dan obrolannya selalu nyambung kemana pun mereka mengobrol. Eric sampai memanggil temannya yang lain untuk datang juga, agar ia tidak kesepian. Pasalnya, ia tidak terlalu paham obrolan mereka tentang apa. Eric kira Sagara hanya ingin tanya-tanya hal biasa ditanyakan oleh bocah dibawah 17 tahun yang ingin buka usaha coffee shop main-main.

Tapi dari arah pembicaraannya sih, Sagara terlihat tidak main-main. Bahkan Sagara sudah memperhitungkan berapa biaya yang akan masuk dan keluar setelah coffee shop itu berdiri. Bukan hanya itu, otak Sagara yang encer itu bukan hanya menyediakan tempat untuk anak muda nongkrong saja, tapi juga ingin menjadikan coffee shopnya sebagai tempat dimana semua orang bisa datangi saat ingin makan, santai, meeting, atau bahkan work from cafe. Sagara bahkan sudah menghubungi chef kenalannya untuk diajak bekerja sama di coffee shopnya yang baru rencana itu.

Obrolan orang pintar dan kaya memang berbeda.

"Abis ini mau kemana?"

Louis dan Dicky saling melirik satu sama lain. Lalu dengan kompaknya mereka menjawab, "minum lah," dengan suara kecil.

"Masalah gituan aja semangat lo pada," Eric menimpali membuat mereka berdua tertawa, "emang Sagara mau?"

"Ajak aja, paksa," jawab Dicky sembari menatap Sagara yang masih membahas urusannya dengan Marlo, "kalo nggak gitu, dia nggak bakalan cobain."

Tak berapa lama setelah itu, Marlo dan Sagara pun akhirnya berdiri, saling berjabat tangan. "Gue balik duluan ya, Ric!"

"Siap Kak! Hati-hati ya!" jawab Eric sembari melambaikan tangannya pada Marlo yang kini sudah naik ke mobilnya.

Sementara Sagara ikut bergabung di meja mereka, duduk di samping Dicky. Dicky langsung merangkul bahu Sagara, menaikkan kedua alisnya aneh. "Kenapa lo?"

"Ayo ikut," ajak Dicky, "minum. Gue tau lo pusing kan?"

"Sok tau," jawab Sagara menepis tangan Dicky dari bahunya, "kalian aja. Ajak gue kapan-kapan."

"Serius?" tanya Louis tak percaya. Pasalnya Sagara paling anti kalau diajak untuk mabuk. Laki-laki itu selalu bisa menolak dengan ribuan alasan. Tapi kali ini Sagara yang minta diajak, walaupun kapan-kapan. Tapi ini momen langka juga.

Louis, Eric, Dicky pergi dari sana bersamaan dengan perginya Sagara. Mereka ke tempat biasa sementara Sagara ke rumah sakit setelah menerima telfon bahwa Nesya tak mau makan kalau Sagara dan Logan belum mau baikan. Seperti anak kecil yang permintaannya harus dituruti, kini Sagara sudah berada di kamar rawat Nesya. Perempuan itu melipat kedua tangannya di dada sembari menatapnya dan Logan berulang kali. Luka Logan yang lumayan parah itu sudah mulai sembuh. Mungkin karna Logan langsung diobati setelah Sagara habisi malam itu.

"Baikan," perintah Nesya membuat Logan yang lebih dulu maju lalu memeluk Sagara.

"Sorry ya Gar, gue keterlaluan," ucap Logan pelan. Kedua tangannya ia lingkarkan di bahu Sagara lalu kemudian kedua kakinya ia angkat juga.

"Berat bego," ucap Sagara berusaha melepaskan Logan, "lepas atau gue lempar ke bawah?"

"Anjing serem banget ancemannya," Logan turun dari posisinya.

"Sorry juga," ucap Sagara lalu berbalik menatap Nesya, "udah baikan. Sekarang lo makan."

Tak lama setelah makan, Nesya terlelap dalam tidurnya, menyisakan Sagara dan Logan yang sedang duduk bersampingan di sofa.

"Abis lo pukulin gue waktu itu, dia sempet sesak nafas," ucap Logan sembari menatap Nesya, "tapi gue nggak nyalahin lo karna hal itu. Wajar lo pukul gue karna omongan gue waktu itu kayak sampah."

"Kondisinya makin baik atau malah sebaliknya?"

"Nggak makin baik, nggak memburuk juga," jawab Logan, "gitu-gitu aja. Gue bingung harus senang atau sedih. Senang karna kondisinya nggak memburuh, sedih karna kondisinya nggak membaik juga."

"Tapi Nesya rajin minum obat?"

Logan mengangguk. "Dia maunya lo terus yang jagain dia Gar. Kenapa lo nyuruh gue terus buat dateng gantiin lo?"

"Biar dia lupa sama perasaannya," jawab Sagara pelan, "gue nggak bisa anggap dia lebih dari sahabat."

Walaupun terkesan jahat, tapi niat Sagara baik. Ia tak mau menambah rasa sakit yang Nesya rasakan.

"Btw Gar, gue denger dari anak-anak, masalah daerah yang kebakaran kemarin itu—"

"Gan udah."

"Dengerin dulu anjing," ucap Logan emosi karna Sagara langsung memotong ucapannya, "katanya daerah di situ sengaja dibakar. Buat dikosongin, mereka mau bangun proyek di situ. Karna warga sana bersih keras nggak mau jual tanah mereka, jadi mereka main kotor kayak gitu."

"Perusahaan apa?"

"JP company."

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

6.9M 293K 59
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
4.2K 106 47
TW // 18+ physical violence, bullying, harsh word, drugs. "Ya Alan, aku cinta sama kamu, gimana caranya untuk membuktikan hal itu?" tanya Ajeng denga...
8.6K 781 21
For all the time we spent, For all the conversations we talked, For all the road we rode, For all the tears we shed. Still i remember how it began...
3.5K 418 40
30 juta tahun yang lalu, terjadi peristiwa yang sangat mencekam hingga membahayakan seluruh alam semesta. Para raksasa kegelapan mengincar Eternity C...