Stars Can't Shine Without Dar...

Par elsbthchiia

4.6K 238 114

Gloria Wiskasari. Gadis yang identik dengan kata "sendiri". Ia benar-benar menjauh dari kehidupan dunia luar... Plus

Prolog
1
2
3
4
5
6
7
Author Note
8
9
10
12
13
14
15
16
17
18
19
Epilog

11

178 9 6
Par elsbthchiia

Glo menggenggam tangan Radit dan mereka melangkah menuju rak yang dipenuhi dengan gitar.

"Lo suka warna apa?" tanya Glo.

"Hitam."

"Kalo yang ini, mau, nggak?"

"Terserah lo aja. Gue nggak tau milih ginian."

"Mas, tolong lihat gitar yang hitam ini dong," ujar Glo.

Penjaga toko itu pun mengambil gitar yang dimaksud.

"Ini bagus, mbak. Warna gitarnya netral, senarnya juga tahan lama," jelas penjaga toko itu.

"Gimana, Dit? Mau, nggak?" tanya Glo, memastikan.

"Udah gue bilang, terserah lo. Gue nggak tau."

"Ya udah, ini aja, mas."

"Oke. Saya ambil tas gitarnya dulu, ya. Mbak sama mas boleh tunggu disitu sebentar," ujar penjaga toko itu sambil menunjuk kursi yang terletak tak jauh dari tempat mereka berdiri.

Radit langsung menuju kursi dan duduk disitu.

"Lo nggak duduk?" tanya Radit, heran, ketika melihat Glo masih berdiri di tempatnya.

"Gue berdiri aja."

Radit menepuk-nepuk kursi di sebelahnya dan tersenyum. "Sini," ajaknya.

Glo tertawa pelan dan mengangguk. Perlahan ia berjalan ke arah Radit dan duduk di sampingnya.

"Lo kangen nggak, sama Kevin?" tanya Radit.

"Lo sendiri, kangen nggak sama Alice?" Glo menanya balik.

"Gue tanyain malah nanya balik," gerutu Radit.

"Kangen. Banget."

"Gue juga. Tapi gue udah nggak ada hak lagi buat kangen sama dia," Radit tersenyum.

"Kenapa lo nggak ada hak lagi buat kangen sama dia?" tanya Glo.

"Gue bukan siapa-siapanya dia. Hell, yeah."

"Bahkan ketika lo bukan siapa-siapanya dia, lo selalu punya hak buat kangen sama dia. Yang lo nggak punya itu, hak buat nunjukin seberapa kangennya lo ke dia," jelas Glo.

"Disaat gue kangen banget, baca chat lama kita berdua aja udah ngehibur banget. Waktu dia masih malu-malu sama gue. Waktu kita pertama kali ngedate. Waktu gue udah mulai nyaman sama dia. Sampe waktu dia perlahan menjauh dari gue. Semua berlalu begitu aja."

"Mbak, ini gitarnya udah selesai," ujar penjaga toko yang tadi. "Sekalian sama yang baru dibeli," lanjutnya.

Glo dan Radit otomatis berdiri dan berjalan menuju penjaga toko itu.

"Setelah baju couple, sepatu couple, sekarang ada juga ya, gitar couple," canda penjaga toko itu.

"Couple apaan, mas?" tanya Radit heran.

"Ini. Warnanya samaan gini. Bentuknya hampir mirip juga," ujar penjaga toko itu.

Anjir, baru sadar gue. Rutuk Glo dalam hatinya.

Mereka membayar semuanya dan melangkah menuju mobil yang akan membawa mereka pulang.

"Lo sengaja, ya, nyuruh gue beli gitar warna hitam? Supaya kita jadi kayak couple? Gitu?" sindir Radit sambil mengerutkan dahinya.

"Najis. Ya, enggaklah! Lo lupa kalo lo yang bilang warna kesukaan lo itu hitam?"

"Gue nggak pernah ngomong gitu. Udah, bilang aja lo emang sengaja."

"Ya ampun, Dit. Tadi jelas-jelas lo bilang suka warna hitam."

"Gue bilang suka warna hitam bukan berarti gue minta gitar warna hitam, kan?" Radit mengangkat salah satu alisnya.

"Tapi kan-"

"Elah, udah ada bukti juga, masih aja nyangkal," Radit mendecak.

"Gue pantatin juga, nih!"

***

"Makan dulu, Lice," ujar Rejo.

"Dikit lagi. Kenyang gue," sahut Alice.

"Jangan gitu, lah. Lo harus jaga makan lo."

"Lima menit lagi, deh."

"Ya udah."

Rejo mendengus dan berjalan menuju sofa.

"En, lo marah?"

"Nggak."

"Marah, nih, kayaknya."

Rejo membanting badannya diatas sofa dan tidur menelungkup.

"En! Beneran marah, nih?"

"Gue ngantuk."

"En, lo mah gitu amat. Ya udah, gue makan sekarang. Mana makanannya?"

"Makan sendiri. Udah gede."

"Gue bahkan nggak pernah minta lo buat nyuapin gue. Gue bisa makan sendiri, En."

Rejo mengangkat wajahnya. "Ah, lo mah, tau aja cara ngebujuk gue. Entar, gue ambilin."

"Gue nggak ngebujuk lo sama sekali."

"Kan, makin maksa."

"Suka-suka lo dah."

Rejo pun mengambil piring yang berisi makanan malam untuk Alice.

"Demi apapun, makanan rumah sakit itu nggak enak banget, En," sungut Alice.

"Lo kata restoran? Ya udah, nikmatin aja, Lice. Gue tau lo mau bilang 'walaupun makanan rumah sakit nggak enak, tapi kalo ngelihat muka Rejo jadi serasa makanan hotel bintang sembilan', kan?"

"Yang ada makin enek karena ngelihat muka lo."

"Yakin?"

"Iyalah."

"Ya udah, makan dulu."

Rejo menyuapi Alice yang makan dengan lahap.

"Tadi aja, katanya masih kenyang. Pas dikasih makan, diembat juga semuanya," sindir Rejo.

"Apaan, sih. Eh, tapi kalo lo nyuapin gue gini, gue jadi ingat waktu gue nyuapin adek gue dulu di rumah sakit. Waktu itu gue umur berapa ya?" Alice menjeda omongannya sejenak. "Duabelas tahun mungkin?"

"Lo punya adek? Kok gue nggak tau? Dia dimana sekarang? Sama bokap lo?"

"Bokap gue nggak tau dimana, En. Lagipula Michael udah nggak ada," ucap Alice dengan tatapan kosong.

"Maksud lo, dia udah-?"

"Iya. Udah nggak ada."

"Namanya siapa tadi?"

"Michael."

"Michael siapa?"

"Michael aja."

"Michael Aja? Cayang kamu celalu?"

"Apaan, sih, En," Alice pun tergelak. "Nama dia cuma Michael. Nama gue aja cuma Alicia. Tanpa embel-embel."

"Kok gitu, sih?"

"Kata nyokap, nama nggak perlu panjang-panjang. Yang penting kita harus berguna bagi banyak orang. Nama panjang nggak nentuin keberhasilan. Gitu, sih."

"Agak aneh, ya. Apa hubungannya nama sama keberhasilan?" Rejo menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Gimana kalo kita tanya nyokap gue aja?" canda Alice sambil tertawa ringan.

***

Radit dan Glo sedang duduk di beranda rumah Radit. Glo sedang sibuk dengan gitar, Radit sedang sibuk memperhatikan Glo.

"Nih, udah gue stem," ucap Glo sambil menyodorkan gitar kepunyaan Radit.

"Gimana kalo kita makan malam dulu?" tawar Radit.

"Lo punya makanan?" tanya Glo.

"Gue punya mie."

"Mie lagi. Bisa-bisa penyakitan kita berdua kalo makannya mie terus."

"Hei, lo baru kali ini makan mie di rumah gue."

"Oh, iya. Maksudnya, bisa-bisa penyakitan gue kalo makannya mie terus. Di rumah udah sering makan mie, soalnya."

"Lo laper?"

"Nggak. Gue kan pengen ngelatih lo. Lapar gue ketinggalan di toko musik tadi kayaknya."

"Latihan dulu deh."

"Eh, kalo lo laper, makan aja dulu. Gue disini aja, nyari lagu yang pas dulu."

"Ya udah. Gue masak mie bentar, ntar gue bawain kesini."

"Terserah."

Radit melangkah perlahan menyusuri rumahnya dan berhenti ketika sampai di dapur. Ia membuka lemari dan mengambil dua bungkus mie, lalu memasak air, dan menyiapkan bumbu.

Sepuluh menit kemudian Radit kembali ke beranda. Ia melangkah perlahan menuju kursinya dan meletakkan mangkok yang berisi mienya Glo di atas meja.

"Hei. Itu punya lo," ujar Radit.

Glo sedang sibuk dengan HPnya. Mencari lagu dengan chord yang mudah tapi bagus. Benar-benar fokus sampai tidak sadar bahwa Radit sudah duduk disampingnya.

Radit sibuk melahap mie rebusnya sampai ia sadar bahwa Glo tidak bergeming dari HPnya. Perlahan ia menggulung mie di garpu dan mengarahkannya ke mulut Glo. Glo yang dalam keadaan setengah sadar hanya membuka mulut dan menerima mie itu masuk ke dalam mulutnya.

"Hei, ini apaan?" tanya Glo ketika mengunyah mie itu.

"Anjir. Ini mie. Lo sibuk banget sama HP lo. Entar bengkak ini mie, makanya gue suapin."

"Ya, lo nggak bilang-bilang kalo udah nyampe sini."

"Tadi pas dateng juga gue ngomong kali, Glo."

"Ya udah, deh."

"Dimakan dulu kali, neng, itu mienya. Bengkak entar."

"Dibilangin gue nggak laper juga. Lo makan aja. Tanggung ini, udah mau kelar."

Radit mendecih sesaat lalu kembali melahap mienya. Radit berpikir bahwa Glo akan makan ketika ia mengacuhkannya. Ternyata tidak. Tidak sama sekali. Pandangannya tak berpindah sama sekali dari layar iPhonenya.

Radit tersenyum ketika melihat tatapan fokus gadis disampingnya. Lalu ia menggulung mie di garpunya dan menyuap Glo. Yang disuapi hanya mengomel dengan mulut yang dipenuhi dengan mie.

"Lo kayak penyakitan tau, nggak?" canda Radit sambil tertawa. "Udah, gue suapin aja. Lo fokus aja sama lagu kita."

Untungnya Glo nurut sama kata-katanya Radit. Setelah beberapa suap akhirnya mereka selesai makan.

"Akhirnya kelar juga!" seru Radit.

Glo mengangkat wajahnya yang sedari tadi tertunduk ke layar HPnya. "Apaan?"

"Nyuap lo," ucap Radit sambil tersenyum penuh kemenangan.

"Anjir. Habis, nih? Aduh, gendutan ntar gue," ujar Glo.

"Lo ngabisin semangkok mie aja nggak sadar," cibir Radit.

"Lagian lo nyuap nggak kira-kira, Radit!" dan satu toyoran dengan gemas mendarat di kepala Radit.

"Pertama dan terakhir gue nyuap lo," ucap Radit dengan ekspresi datar. Sebenarnya ia sedang menahan rasa sakit bekas toyoran Glo.

"Udah nih. Kelar," ujar Glo mengalihkan pembicaraan.

"Apaan?"

"Lagu."

"Lagu apa?"

"Lagu buat praktek, lah!"

"Iya, maksudnya lagu apa yang dipake?"

"Udah, lagunya gampang, chordnya apalagi."

"Oke. Kita mulai latihan."

"Sekarang pegang gitar lo."

Radit mematung untuk beberapa detik.

"Dit? Lo nggak ngedenger gue? Pegang gitar lo. Kita mulai latihan sekarang supaya kelarnya nggak kemalaman terus kita masih ada waktu buat nonton film."

"Itu, anu, Glo. Gue, aduh. Harus hari ini, ya?"

"Iya, dong. Supaya ngehemat waktu."

Radit terdiam. Glo yang sibuk dengan gitarnya tiba-tiba teringat suatu fakta yang benar-benar dilupakannya. Perlahan ia meletakkan gitarnya dan mengambil gitar Radit.

"Lo takut?" tanya Glo.

"Nggak, bukan itu. Gue, belum siap," tutur Radit.

"Lo pasti siap. Pegang ini gitar."

"Glo, gue-"

Glo menangkup wajah Radit dengan kedua tangan mungilnya.

"Ada gue disini. Lo nggak usah takut, nggak usah ragu. Gue bakalan terus disini."

Radit mengangkat wajahnya dan menatap mata Glo, seakan mencari kepastian disana.

"Trust me," ujar Glo. "It works," lanjutnya.

"Anjir, promosi. Udah hampir ngefly gue tadi. Kampret lo."

Glo tergelak. "Serius. Percaya sama gue. Ayo, kita latihan," ujar Glo seraya tersenyum.

"Oke. Kita mulai latihan."

Perlahan Radit menggapai gitar dan meletakkan gitar itu dalam pangkuannya.

Glo mencubit pipi Radit dengan gemas, "duh! Anak mama pintar banget," ujarnya dengan suara yang dibuat-buat.

"Main aja terus lo. Gue lempar ini gitar nggak selamat."

Glo tergelak, lagi. "Udah cukup bercandanya. Sekarang kita mulai latihan," ujarnya sambil berusaha mengambil gitarnya juga.

"Gue mulai dari mana?" tanya Radit.

"Gue nggak tau cara ngajarin orang main gitar, sih, tapi karna kita mau nyanyi lagu yang bernada dasar C, jadi gue bakalan ajarin lo kunci-kunci C," ujar Glo dengan satu tarikan napas.

"Itu mulut apa kereta api, mbak? Ngomong cepet amat," cibir Radit.

"Nah, ini cara ngitungnya dari atas ya. Yang paling tebal senarnya itu senar keenam. Yang dibawahnya itu senar kelima. Begitu seterusnya."

"Itu mah gue tau."

"Udah. Sekarang mana tangan kiri lo?"

"Ini?" jawab Radit yang lebih terdengar seperti pertanyaan.

"Jari telunjuk tangan kiri lo, lo taruh di kolom pertama senar kedua. Jari tengahnya, lo taruh di kolom kedua senar keempat. Nah, jari manis, lo taruh di kolom ketiga senar kelima. Coba jreng."

"Anjir. Suaranya ngapa kayak tikus kejepit?"

"Usahain satu jari lo cuma tekan satu senar doang. Kalo kebanyakan yang lo tekan, suaranya malah ancur."

"Oke, oke. Gue coba lagi. Btw, ini kunci apa?"

"Kunci yang paling dasar. Kunci C."

***

Rejo yang sedari kemarin menjaga Alice memutuskan untuk pulang dan mengambil baju-bajunya. Setelah mengambil baju-bajunya, dengan senyum yang merekah, Rejo melangkah masuk ke rumah sakit dan langsung menuju kamar dimana Alice dirawat.

Tok..tok..tok.

"Lice? Gue masuk, ya?" tanya Rejo.

Karena tak mendengar suara dari dalam, Rejo memberanikan diri untuk masuk. Perlahan ia membuka pintu dan melangkah masuk.

Kok nggak ada? Batin Rejo.

"Lice, lo di kamar mandi?" tanya Rejo setengah berteriak sambil berjalan menuju kamar mandi.

"Lice?"

"Alice?"

Dengan satu hentakan, Rejo membuka pintu kamar mandi.

Disini juga nggak ada. Batin Rejo.

"Lice, lo dimana? Gue telepon aja, deh."

Drrrrttt.

HP Alice bergetar di bawah bantal. Rejo berjalan menuju tempat tidur dan mengambil HP yang sedang bergetar.

"HPnya kok bisa ada disini? Dia kemana, ya?"

Gue ngerasa semua ini sia-sia. Gue ngerasa tinggal disini, dengan semua terapi dan obat yang dikasih, gue tetap bakalan pergi.

"Anjir! Dia nggak mungkin ngelakuin hal yang aneh-aneh, kan?!" Rejo mengepal tangannya kuat-kuat.

Rejo berlari keluar dari kamar Alice. Ketika berada di luar ia berpapasan dengan suster yang setiap hari mengecek kondisi Alice.

"Suster, lihat pasien di kamar ini, nggak?" tanya Rejo.

"Tadi saya ketemu Alicia. Katanya mau ketemu adiknya," jawab suster itu.

"HAH?! Adik siapa, suster?"

"Namanya Michael, ya, kalo saya nggak salah?"

"Anjir! Kapan dia keluar, suster?"

"Lima belas menit yang lalu, kayaknya."

"Dia ke arah mana, sih? Nggak bilang adiknya dimana?"

"Tadi Alicia keluar lewat pintu samping, tapi nggak ngasih tau dimana adiknya."

"Makasih, suster," ujar Rejo yang kemudian berlari ke pintu samping.

"Lice, lo dimana?" gumam Rejo sambil terus berlari menyusuri rumah sakit.

Rejo berlari mengelilingi rumah sakit, mencari Alice. Keringat yang menjalar di seluruh tubuhnya menandakan bahwa ia benar-benar gugup.

Sudah sepuluh menit ia berlari dan mencari, tapi, nihil. Tidak ada sama sekali tanda-tanda keberadaan Alice. Setelah lelah berlari, Rejo memutuskan untuk beristirahat sejenak di kursi taman yang ada di rumah sakit. Tiba-tiba HPnya berbunyi.

Alicia: Lo dimana, En? Gue udah nungguin lo daritadi kok nggak muncul-muncul?

Rejo yang terkejut menerima LINE dari Alice otomatis berdiri. Ia memutuskan untuk video call dan melihat dimana sebenarnya Alice ada.

"En, lo dimana?" teriak suara dari seberang.

"Lo dimana?" tanya Rejo.

Alice mengangkat HPnya dan menujukkan dimana ia berada. "Gue di kamar. Lo dimana sih?"

Rejo memutuskan video callnya secara sepihak dan berlari ke kamar Alice yang berada di lantai empat.

Setelah berlari dengan begitu cepat, Rejo sampai di kamarnya Alice dan mendapati gadis itu sedang menonton TV sambil nyemil keripik kentang.

"En, lo dari mana aja? Nih, acara TV kesukaan lo udah mulai," teriak Alice.

Rejo tersenyum manis dan tiba-tiba pandangan matanya buram. Ia tak bisa menopang tubuhnya sendiri dan terhuyung-huyung menuju lantai.

"REJO!"

***

[A/N]

Terbebas dari UKK langsung ngetik ini. Gue baik, kaaaann? Nggak deng, lo pada yang baik. Baik karna udah mau ngebaca cerita ini. Gue mau ngucapin terimakasih buat lauratheodorus, achawqz dan suzettegloria karena selalu ngesupport gue, eak. Ngucapin terimakasih aja, belom tamat tapi. HUAHAHA. Tunggu chapter berikutnya ya. Bakalan gue post dalam beberapa hari kedepan.

Salam sayang,
Chia.

15 Juni 2015.

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

30.9M 2M 103
COMPLETED! MASIH LENGKAP DI WATTPAD. DON'T COPY MY STORY! NO PLAGIAT!! (Beberapa bagian yang 18+ dipisah dari cerita, ada di cerita berjudul "Private...
7.4M 227K 46
Beberapa kali #1 in horror #1 in thriller #1 in mystery Novelnya sudah terbit dan sudah difilmkan. Sebagian cerita sudah dihapus. Sinopsis : Siena...
5M 920K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...
MARSELANA Par kiaa

Roman pour Adolescents

948K 51.5K 51
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...