Chateau de Wangxian

By bluesheart01

240K 26.6K 4.4K

penggalan kisah pendek Wangxian di era modern. Alternative Universe. disclaimer: I own nothing, whole charact... More

Meet Cute
Dark Circle
Fated
Flower Boy Wei Wuxian
Thorn Flower
LIMERENCE
love through the glasses
LAGUNA
piece of you
until we meet again
The Second Proposal
like the wind that blows
the untouchable
My Dear, Mr. Possessif
BAD
BOREDOM
on the way to home
Secret
abstrak
abstrak II
abstrak III
abstrak IV
abstrak V
Abstrak VI
abstrak VII
GABUT
Married With Stranger (GABUT part II)
On social media
Married With Stranger (GABUT III)
pretty boy
what if-
abstrak VIII
MARRIED WITH STRANGER (GABUT)
self assure
The Wind Blows
Abstrak IX
The Wind Blows II
abstrak X
vampire?
abstrak XI
CAGE
love
boy meet boy
boy meet boy 2
boy meet boy 3
boy meet boy 4
boy meet boy 6
boy meet boy 7
boy meet boy 8
boy meet boy 9
abstrak : another timeline
boy meet boy 10
Young Marriage (PDF-Sample Chapter)
boy meet boy 11
boy meet boy 12
boy meet boy : prelude

boy meet boy 5

777 161 41
By bluesheart01

Enjoy~

.
.
.

Kelas baru berlangsung beberapa menit, keadaan yang cenderung tenang dan sesekali diselingi suara gesekkan kertas yang saling beradu memecah keheningan. Jam istirahat baru berakhir beberapa menit yang lalu, setelah melewati ulangan dijam pertama dan kedua, sekarang mereka disibukkan oleh text matematika yang sungguh membuat otak jungkir balik.

Suara derit kursi mengalihkan atensi beberapa siswa, “Wangji?” Wang Linjiao memanggil pelan, Wangji menoleh dan sedikit terkejut saat mendapati gadis itu sudah berada disampingnya. Pantas saja, ternyata suara derit kursi tadi adalah suara kursi Wang Linjiao yang ia geser.

“ada apa?” tanya Wangji tanpa minat, “tolong ajari aku materi logaritma, aku belum terlalu mengerti.” gadis itu tersenyum dengan binar penuh harapan dimatanya, Wangji sebenarnya merasa enggan, kepalanya memutar memperhatikan semua orang dalam kelas itu, sibuk.

“baiklah, tapi hanya sedikit.” akhirnya, meski dengan berat hati ia meraih buku yang Wang Linjiao sodorkan lalu mulai mengajarkanya pada gadis itu.

Ini yang paling ia benci, mengajarkan sesuatu pada orang lain bukanlah hal yang menyenangkan. Apa lagi pada orang yang memandangmu seolah kau dewa, memuakkan.

Selang beberapa menit tiba-tiba suasana yang kondusif berubah saat seseorang tiba-tiba saja membanting pintu hingga menabrak tembok, Wangji mendongak kemudian berdecak, “that trouble maker.”

Sementara gadis menor disampingnya langsung sigap ke mode waspada.

Oh, dia tidak akan pernah melupakan sensasu mengerikan dari hewan melata yang bocah sialan itu letakan di roknya waktu itu.

“A Xian, ada apa lagi?” Huacheng yang tengah fokus pada text matematikanya menatap lembut pada Wei Wuxian yang kini berdiri dengan raut kesal dihadapanya. “Gege, bisa kau singkirkan makhluk ini dariku?” ia menunjuk tak sopan pada seseorang yang baru saja memasuki ruangan itu.

Er Gege!! Aku sangat merindukanmu!”  tiba-tiba saja anak itu melompat pada Huacheng dan memeluknya erat, putra kedua keluarga Wei yang mulanya kaget langsung terkekeh kecil sambil membalas pelukan itu. “Xueyang, kapan kau kembali?” Huacheng bertanya setelah melepas pelukanya, mengabaikan tatapan heran juga beberapa bisikkan penasaran dari penghuni kelas.

Er Ge~, lama tidak bertemu kenapa kau malah semakin tampaaannn?!!” Xueyang tak menghiraukan pertanyaan Huacheng, anak itu malah terus bergelayut memeluknya.

Beberapa kernyitan aneh dilemparkan padanya, semacam, kenapa anak itu?— apa dia gila? Dan lain sebagainya yang tak anak itu pedulikan sama sekali.

“Sudah kubilang dia tidak waras, sebaiknya gege musnahkan makhluk astral ini secepatnya!” Wei Wuxian berujar kasar, menarik kerah belakang Xueyang lalu melemparnya kearah pintu. “ A Xian, kau tidak boleh begitu, biar bagaimanapun—“

“—biar bagaimanapun aku ini adalah kekasihmu, adik manis.” Xueyang memotong, menghadirkan kedutan kesal dikepala bungsu Wei.

“biar kuperjelas, idiot. Pertama, aku bukan kekasihmu, sejak kapan aku memiliki hubungan menjijikan seperti itu dengan makhluk tak jelas sepertimu?! Kedua, jangan memanggilku dengan sebutan menjijikan seperti itu. Kau membuatku ingin muntah!” Wei Wuxian menuding telunjuknya tepat dihidung Xueyang membuat pemuda itu sedikit memundurkan kepalanya, namun senyuman anehnya masih ia tunjukan.

“apanya yang manis dari bocah mengerikkan seperti it—Oopps!” Wang Linjiao segera menutup mulutnya dengan sebelah tangan.

Sungguh, ia tak berniat mengucapkan kalimat itu, itu tadi—keluar secara tiba-tiba. Dan sekarang dalam hati ia sungguh merutukinya, aura iblis semakin pekat menguar dari bocah itu.

Wangji yang berada disampingnya mengernyitkan alisnya, merasa muak dengan aroma ketegangan seperti ini.

“benar, aku lebih suka dipanggil mengerikkan dari pada manis. untuk kali ini kau sangat membantu, Qianbei.” bulu kuduk gadis itu seketika meremang mendapati senyuman mengerikan berkedok manis dari Wei Wuxian.

“sudah cukup. A Xian, kata-katamu hari ini sudah sangat kasar, dan untuk kesekian kalinya kau telah membuat keributan dikelas gege, kau membuat semua orang tidak nyaman dengan tindakan." Huacheng yang merasa lelah akhirnya bertindak. Dia tidak membentak, namun suara tegasnya mampu membuat Wei Wuxian bungkam dan menunduk.

“Xueyang, bawa A Xian kekelas.” Xue Yang yang ikut bungkam hanya mengangguk lalu menarik pemuda itu keluar dari kelas namun segera ditepis, “aku bisa jalan sendiri—dan, maafkan aku.” Wei Wuxian membungkuk lalu segera meninggalkan tempat itu.

.
.
.

“kau tidak apa-apa?” Xueyang duduk disampingnya, ia menatap Wei Wuxian yang sedang memandang lurus entah melihat apa, matanya tampak menerawang.

Setelah keluar dari kelas Huacheng, mereka tidak pergi ke kelas, melainkan berbelok ke arah atap sekolah yang sepi.

“memang aku kenapa?” Tanyanya ketus, mengabaikan Xueyang yang memandangnya khawatir.

“Er Ge —dia, tidak biasanya begitu.”

“jadi hanya karena itu lalu kau berpikir bahwa aku tidak baik-baik saja, begitu? Jangan-jangan kau juga berpikir bahwa aku akan menangis.” cibir Wei Wuxian, sebenarnya ia hanya bercanda.

“ya, begitulah.”

Dan Wei Wuxian langsung melemparinya dengan kaleng soda entah bekas siapa sampai membuatnya meringis, “dasar bodoh, aku tidak cengeng.”

Kemudian Xueyang terkekeh sambil mengusap-usap lenganya, “kau tidak berubah, masih menjadi Xian xianku yang manis ternyata.” Xueyang semakin melebarkan senyumnya saat melihat delikan Wei Wuxian padanya.

“kau tidak bisa menutupinya dariku. Meskipun sekarang sikapmu mejadi sangat menyebalkan dan kasar, tapi kau tidak bisa menutupi apa yang coba kau ubah dan sembunyikan pada orang lain dariku.”

Wei Wuxian mendengus, “kenapa kau harus kembali? Kupikir kau akan tinggal ditempat para manusia pirang itu selamanya, kemudian membuangku sama seperti yang lainya.”

“ouh, jadi kau sangat merindukanku, ya?” Xueyang menaik turunkan alisnya menggoda Wei Wuxian. Sungguh, ia sangat merindukan ekspresi bocah itu.

“aku tidak pernah merindukan orang yang telah pergi.”

“hey, tapikan aku pergi bukan karena keinginanku! Aku terpaksa pergi karena papa dipindah tugaskan kesana. Lagipula sekarang aku sudah kembali. Ayolah, Xian Xian, jangan marah-marah terus~” Xueyang menarik-narik lengan seragam Wei Wuxian.

“lepaskan, bodoh. Kau bisa merobeknya!”, ia menepis kasar tangan Xueyang.

"waah, selama aku pergi kau benar-benar melakukan perubahan besar-besaran. Gaya bicaramu semakin membuat orang jengkel.” lagi-lagi anak itu tertawa dengan idiotnya membuat Wei Wuxian tak kuasa untuk merotasikan matanya.

“dan kau jadi semakin idiot. Beberapa tahun tinggal ditanah para manusia pirang kau jadi terlihat sangat-sangat idiot, cih.” Wei Wuxian memandang Xueyang dari atas hingga bawah lalu tersenyum miring, “lihat permen itu, apa gaya anak muda disana harus menjijikan seperti ini?” tangannya menyentuh gagang lolipop dimulut Xueyang sebelum akhirnya beranjak dari duduknya lalu melangkah pergi, meninggalkan Xueyang yang menatapnya dengan entah-tatapan-apa.

“dia menutupi kesedihannya dengan cara seperti ini? Lihat, siapa yang sebenarnya idiot?” Xueyang terkekeh lalu merebahkan tubuhnya disana, menyambut matahari yang mulai tergelincir diatas kepalanya.

.
.
.

Sore hari dikediaman Wei tampak tenang tak seperti biasanya. Huacheng sibuk menyiapkan makan malam untuknya juga dua saudaranya. Binghe sebentar lagi akan pulang, namun adiknya, harusnya anak itu sudah ada dirumah beberapa jam yang lalu, tapi sampai matahari tergelincir Wei Wuxian belum juga kembali. Kemudian gerakanya yang tengah mengambil sekotak susu terhenti, ingatanya kembali pada kejadian siang tadi, saat ia meninggikan suaranya dihadapan adiknya, segeliat perasaan bersalah muncul.

Sungguh, tadi itu ia tidak sengaja, Huacheng  tak bermaksud berbicara seperti itu pada adiknya. Pemuda itu menyimpan kotak susunya dengan kasar lalu menghembuskan napasnya. Sekarang, ia harus menghadapi Wei Wuxian yang merajuk. Anak itu sangat benci dikasari terutama oleh orang terdekatnya.

“aku pulang.”

Derap langkah sepatu menggema diruangan besar itu. Binghe muncul dibalik dinding dengan setelan kerjanya. “sepi sekali, kupikir aku salah masuk rumah.” canda sulung Wei sembari menghampiri pantry dimana adik sulungnya hanya tersenyum kecil, “apa ketenangan memang hal tabu untuk rumah ini?” Huacheng menggelengkan kepalanya lalu melanjutkan pekerjaanya.

“Begitulah, kupikir selama aku tinggal dirumah ini ketenangan adalah hal yang mustahil.” Binghe terkekeh lalu melangkahkan kakinya menuju kamarnya dilantai dua.

"Da Ge, segera kembali. Aku butuh tenagamu disini.” Huacheng berteriak pada Binghe yang telah menghilang, “baiklah.” Jawabnya dari lantai atas.

Suara pintu kembali terdengar, derap langkah ringan memasukki ruangan itu untuk kedua kalinya. Huacheng masih berkutat dipantry menatap adiknya yang baru saja masuk dengan langkah gontai, kepalanya tertunduk lesu. Ia jadi ingat kejadian tadi siang.

“A Xian, dari mana saja?” Huacheng bertanya lembut, namun tak ada jawaban. Adiknya itu malah berjalan lebih cepat menaiki tangga kemudian suara pintu yang ditutup kasar terdengar.

Huacheng menghela napas, “ya tuhan.”

Suasana makan malam terasa hambar, Huacheng menggaruk kepalanya beberapa kali. Binghe yang memperhatikan itu hanya mengernyitkan sebelah alisnya.

“kenapaA Xian tidak turun? Dan tadi aku mendengar suara bantingan pintu, ada apa?” Huacheng menurunkan tanganya yang terlipat, meringis memandang kakaknya.

“tadi—aku tidak sengaja membentaknya.” Cicitnya pelan,  yang tentu saja langsung menghadirkan pelototan dari saudara tertuanya.

“kau, apa?!” Binghe membeo, sekarang ia jadi ikutan khawaitr. Jujur saja, ia memang sering meninggikan suaranya pada si bungsu, tapi itu tak pernah jadi masalah karena Wei Wuxian tau bahwa Binghe memang orang yang tegas dan tidak sabaran.

Tapi Huacheng? Dimata Wei Wuxian, dia adalah sosok kakak penyayang dan lembut, juga paling penyabar. Sekarang, jika dia membentaknya, maka bersiaplah menghadapi amukan Wei Wuxian.

Bukan amukan dalam harfiah, tapi bahkan ini lebih buruk. Selama beberapa hari mereka akan diperlakukan seolah orang asing oleh adiknya itu. Wei Wuxian tidak akan bicara bahkan menganggap mereka. anak itu jika marah memang tak akan melakukan tindakan kasar, melainkan cukup dengan silent treatment yang mengerikan.

“aku tidak sengaja melakukanya. Gege taukan, disekolah dia itu sangat dijauhi, dan A Xian kembali membuat ulah. Aku hanya tidak ingin A Xian semakin mendapat citra buruk. Dan— hari ini adalah hari pertama A Yang sekolah, A Xian memperlakukanya dengan keterlaluan.”

“baiklah aku mengerti, tapi bukan berarti kau juga harus membentaknya, kan? Kau tau bahwa anak itu sangat mendengarkanmu walau kau tak membentaknya sekalipun. Dan soal Xueyang, ya aku sudah tau. Beberapa hari yang lalu paman meneleponku agar mengawasi anak itu. ck, semakin hari anak muda semakin berani membangkang.” Binghe memijit pelipisnya jengah, “kau memang benar-benar sudah tua ternyata.” Huacheng terkekeh sementara Binghe membalasnya dengan delikan tajam.

.
.
.

Pagi-pagi sekali Wangji sudah sampai didepan gerbang sekolah, tak mau mengulangi kesalahan yang sudah dua kali ia lakukan. Pak Yang, sang penjaga sekolah, belum menampakan wujudnya didepan gerbang, sesaat ia melihat siluet pria tua itu masih menikmati kopi hangatnya didalam pos.

Wangji melanjutkan langkahnya memasuki gerbang. Udara pagi ini begitu menusuk, beberapa helai daun maple yang telah menguning berguguran diterpa angin, kabut tipis masih berlalu lalang menghalau sinar matahari yang tampak redup. Padahal ini sudah memasuki awal musim panas, tapi udara masih saja sedingin ini.

Derap langkah ringan Wangji menggema dilantai koridor yang masih sepi, hanya satu dua anak berjas komite sekolah yang sesekali hilir mudik dengan menenteng tumpukan kertas dokumen.

Diujung koridor Wangji berbelok, memutuskan untuk sedikit mengisi perutnya yang memang belum sempat memakan apapun pagi ini. Namun langkahnya kian melambat saat matanya menangkap sosok yang tak asing lagi dimatanya, juniornya yang sangat hobi membuat onar, pemuda berandalan yang selalu mengusiknya sejak hari pertama mereka bertemu.

Tumben sekali anak itu datang pagi-pagi begini? Dan—Wangji menatap anak itu dari atas sampai bawah, sangat rapi dengan seragam yang terpasang pas ditubuhnya, tanpa celana ripped jeans seperti sebelumnya.

Ia hendak mengabaikan anak itu, melewatinya begitu saja tanpa sekalipun menoleh. Wangji tau, jika sekali saja ia menghiraukan anak itu, bukan tidak mungkin pagi yang damai ini akan rusak oleh adu mulut mereka yang sama-sama keras kepala. Jadi, lebih baik ia pura-pura tak melihat Wei Wuxian.

Wangji mengernyit, namun masih menatap lurus kedepan. Itu tak seperti Wei Wuxian. Sejak kapan anak itu jadi pendiam seperti itu?

dengan ragu Wangji menolehkan kepalanya, menatap punggung Wei Wuxian yang berjalan semakin jauh. “ada apa dengan anak itu?”

Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya, “bukan urusanku.”

.
.
.

Wei Wuxian mendudukan dirinya dihalaman belakang  sekolah. Ia sengaja datang pagi-pagi sekali agar dirinya tak harus bertemu banyak orang pagi ini. Moodnya sedang kacau, kemarin kakaknya membentaknya dan itu—membuatnya sedikit merasa tak enak. Anggap saja ia cengeng dan berlebihan, akan tetapi, jika kasusnya seperti Wei Wuxian, itu bisa menjadi hal wajar.

Tak ada banyak orang yang benar-benar ingin berada disisinya. Hanya satu dua orang yang benar-benar memahaminya, terlepas dari keluarganya. Membuatnya seringkali diliputi kesepian yang berkepanjangan. Papa dan mamanya sering kali bepergian dengan dalih perjalanan bisnis, dapat dihitung jari berapa kali mereka berkumpul dalam satu meja makan dalam setahun. Hanya Binghe dan Huacheng yang menemaninya, namun kadang juga mereka meninggalkanya sendirian.

Wei Wuxian tidak pernah marah, ia selalu berpikir positif. Orang tuanya menginginkan yang terbaik untuk keluarganya, maka dari itu mereka harus bekerja keras, ia juga mengerti kedua kakaknya, mereka juga memiliki kesibukan dan kehidupan pribadi, sehingga dirinya, tak mempunyai hak untuk memaksa mereka agar terus ia tempeli.

Akan tetapi, ada harga yang harus dibayar atas semua pengertianya. Wei Wuxian harus berjibaku dengan rasa kesepian dan orang-orang tak memahami itu.

Mereka hanya berpikir mengenai betapa beruntungnya hidup Wei Wuxian, namun mereka tak pernah tau kekosongan dalam hatinya. Mereka hanya berpikir bahwa Wei Wuxian hanyalah anak nakal yang manja, tanpa berpikir bahwa dibalik itu semua tersimpan sebuah lubang besar yang menganga hampa.

“sial.” ia mengumpat kecil saat sebuah cubitan tak kasat bersarang diulu hatinya. Wei Wuxian menghembuskan napasnya kasar lalu beranjak meninggalkan tempat itu. Memasang wajah datarnya kembali, ekspresi yang ia tunjukan saat moodnya benar-benar jatuh.

.
.
.

Bel istirahat berbunyi nyaring, mengundang desah napas lega dari para siswa yang sudah menahan jenuh ingin segera pergi dari ruangan penuh aroma buku dan bangku itu. sebagian berhambur berkumpul bersama teman-teman mereka ditaman sekolah, sebagian lainya lebih memilih memanja perut mereka dikantin sekolah.

Wangji telah siap dengan nampan ditanganya, menunggu juru masak sekolah mereka memberi jatah makan siangnya.

“pantas saja kau pintar, kau memperhatikan asupan gizimu dengan sempurna.” Huacheng disebelahnya tersenyum kecil menatap kertas menu yang dipegang Wangji, “kalau begitu kau juga harus mencontohku.”

Huacheng mencibir, “aku bahkan masih bisa bersaing denganmu tanpa menu-menu itu.”
Wangji mendengus sebagai tanggapan atas percakapan mereka yang terasa konyol.

Hubungannya dan Huacheng mulai terjalin akrab sejak pemuda itu mengundangnya ke ruangan teh. Wangji pikir, Huacheng adalah orang yang cukup menyenangkan untuk dijadikan teman berbincang.

Yah, meski dirinya masih menetapkan batas jarak agar tidak terlalu akrab dengan siapapun.

Bruukk

“ya tuhan!! Seragamku!!”

Suara debuman serta pekikan menghentikan sejenak aktivitas ditempat itu, suara pecahan piring yang nyaring masih menyisakan gema. Seorang gadis berlencana angkatan tiga melotot shock, seragam kini telah kotor oleh merah saus serta beberapa noda kari. Beberapa bisikan mulai muncul dari berbagai sudut, Wangji dan Huacheng telah menghampiri tempat kegaduhan berasal, dan mata mereka menangkap seseorang dengan seragam kotor serta Wei Wuxian yang hanya diam mematung menatap gadis itu.

“apa yang kau lakukan? kau sengajakan menumpahkan makananmu pada seragamku?” mata gadis berseragam kotor itu memicing tajam pada Wei Wuxian yang masih diam, tak memberikan reaksi apapun.

Orang-orang mulai bertanya, termasuk Wangji.

Ada apa dengan Wei Wuxian? Jika biasanya dia akan melawan dan membuat situasi semakin kacau, lalu kenapa sekarang hanya diam? Menambah tegang suasana.

“kenapa kau hanya diam saja? jawab aku! kau sengaja kan?” gadis itu kembali membentak, sementara Wei Wuxian melirik sekilas dengan sudut matanya, mengabaikan bisik-bisik menyangkut dirinya. Ia membuang napas jengah dan tanpa diduga membuka satu persatu kancing seragamnya, menimbulkan tanda tanya juga raut terkejut dari semua penghuni ddisana

“A Xian.” Huacheng melangkah mendekati adiknya untuk menghentikan pergerakan tanganya, namun segera ditepis Wei Wuxian dengan kasar.

“apa yang kau lakukan?” gadis itu menatap horror pada Wei Wuxian.

“A Xian, hentikan.” sekali lagi tepisan kasar diterima Huacheng, ditambah tatapan dingin dari adik bungsunya. Membuatnya semakin khawatir.

Hanya kaus longgar polos berwarna putih, Wei Wuxian telah menanggalkan seragamnya lalu menyerahkanya pada gadis dihadapanya.

“a—apa?” gadis itu memandang tak mengerti, “kenakan benda itu dan diam.” ujarnya dingin.

Wei Wuxian hendak pergi dari sana namun seseorang meraih tanganya dengan kasar.

“Minta maaf.” Suara datar penuh intimidasi itu memerintah, Wei Wuxian mendongak dan menemukan Wangji menatap tajam dirinya. Ia memberontak berusaha melepaskn diri.

“aku bilang minta maaf!!” suara Wangji meninggi, mata Wei Wuxian semakin melebar, Huacheng yang berada disampingnya tak jauh beda, “Wangji!” ia mengingatkan, namun tak dihiraukan sama sekali.

“Aku sudah memberikan seragamku, itu lebih dari sekedar permintaan maaf.” kedua pasang mata itu saling berkilat tajam. Semua suara telah berhenti, beberapa orang berusaha menyembunyikan seringaian puas mereka, termasuk orang yang kini penuh noda diseragamnya.

“kau pikir itu cukup? Apa kau tidak pernah belajar sopan santun? Berhentilah bertingkah seperti ini!!” ia meremat tangan Wei Wuxian hingga ruam merah serta lecet mulai menghiasi permukaan kulitnya yang putih.

Tak ada ringisan, namuan urat ketegangan semakin mengeras. Wei Wuxian menyentak kasar tanganya hingga terlepas. Wangji sedikit terkejut melihat goresan kecil ditangan pemuda itu akibat ulahnya.

“Memangnya kau siapa? Kau ayahku? Ibuku? Kakakku? Kau bukan siapa-siapa!! Kau tidak bisa memerintahku. Jika kau tidak mengerti dengan situasi sebenarnya sebaiknya kau diam, jangan bertingkah seolah kau tau segalanya lalu menghakimi seseorang hanya berdasarkan sudut pandangmu.” Wei Wuxian berkata dengan penuh amarah yang tertahan dihadapan Wangji, ia mengatur napasnya yang memburu.

“aku tidak akan memohon untuk sesuatu yang bukan salahku.” tambahnya sebelum kemudian pergi dari tempat itu.

Huacheng memandang nanar kepergian Wei Wuxian, ia ingin mengejar namun tidak bisa. Ia paham, adiknya butuh waktu untuk sendiri. Dalam situasi ini ia yakin Wei Wuxian hanya membutuhkan waktu untuk menata perasaanya yang sedang tidak stabil.

Sedikit banyak ia juga mengerti apa yang baru saja terjadi, meski tidak dengan alasanya, ia yakin A Xiannya tidak melakukan kesalahan apapun dalam kasus ini.

.
.
.

“ada apa dengan anak itu? kukira hari ini ia akan diam.” Wangji mendengus menahan kesal, ia mengepalkan tangan kananya.

“A Xian mungkin hanya sedang kesal, kau ingat kejadian kemarin? Aku tidak sengaja meninggikan suaraku dan A Xian sangat membenci itu.” Huacheng datang dengan dua cangkir teh ditanganya.

“lalu apa hubunganya dengan semua keributan yang dia buat? Itu terlalu kekanakan kau tau? Seharusnya jika dia kesal denganmu, jangan melimpahkan pada orang lain juga. maaf aku harus mengatakan ini, tapi aku benar-benar tidak menyukai adikmu.”

Huacheng yang hendak menyesap tehnya berhenti, ia kembali meletakanncawan miliknya ke atas meja dengan pelan, “semua orang selalu mengatakan hal yang sama.”

Wangji melirik, dan mendapati Huacheng tengah tersenyum sendu. “semua orang selalu berkata bahwa mereka tidak menyukai adikku. Tapi mereka tidak tau seperti apa itu A Xian.”

Tepat setelah itu, Wangji terlihat gelagapan, ia tak bermaksud menyinggung, hanya saja— entahlah, ia terbawa emosi.

“kalian hanya melihat A Xian, tapi tidak pernah mencoba mengenalnya. Aku tidak menyalahkanmu atau siapapun karena tidak menyukai adikku, tapi ada satu hal yang harusnya semua orang mengerti, bahwa tidak semua hal tampak seperti kelihantanya.”

Wangji termenung, tidak semua hal sama seperti apa yang dilihat. Ia jadi kembali mengingat pertemuan terakhirnya dengan Bunny, bukankah waktu itu mereka juga membahas konteks yang sama?

Dari sana, segelumit rasa bersalah muncul, saling berkecamuk dengan perasaan lainnya, menghantam Wangji dalam sebuah kebimbangan besar. Mungkin ia hanya tidak mau mengakuinya, tentang perasaan-perasaan aneh yang tiba-tiba muncul ketika mengingat Wei Wuxian.

Tangannya terkepal erat.

Lagi-lagi Lan Wangji melarikan diri kedalam sebuah penyangkalan.

.
.
.

Malam telah larut, Wangji menyusuri jalanan dengan langkah gontai. Pikiranya mengingat-ingat pembicaraanya dengan Huacheng tadi siang.

Jujur saja, ia sedikit merasa bersalah, biar bagaimanapun, ia telah menyinggungnya dengan mengatakan bahwa ia tak menyukai adiknya. Ia paham, Huachengpun pasti merasa tak nyaman, tapi—tetap saja, Wangji sendiripun merasa tak nyaman dengan anak itu.

Disela-sela pikiran seperti ini, sekelebat ingatan tentang 'Bunny' kembali menghampirinya, lebih dari satu minggu, anak itu tak menampakan diri lagi. Apa ia benar-benar marah padanya? –sight—satu lagi, kenapa ia pandai sekali menyinggung hati orang?

“hah.”

Ia menendang kerikil sembarang arah, “ah!”

Wangji terkejut ketika mendengar seseorang mengaduh.

Apa kerikilnya mengenai seseorang? Ia membatin was-was.

Irisnya memindai area tempatnya berdiri, lalu menemukan seseorang yang tengah mengusap-usap lengannya. Saat jarak mereka semakin dekat, barulah Wangji sadar jika itu adalah Wei Wuxian.

Di momen itu, hati Wangji- memaksanya untuk mengatakan maaf, tapi mulutnya malah terkunci rapat. Rasa bersalah itu kembali, namun ia hanya bisa diam mematung.

Wangji tidak tau kenapa dirinya menjadi aneh begini.

Dan ketika mata mereka saling bertemu, raut wajah Wei Wuxian sama sekali tak menunjukan emosi apapun.

Tidak seperti biasanya.

Dan entah kenapa, tapi ia merasa tak terima dengan hal itu. Wei Wuxian seperti tak menganggapnya-

Ah! Cukup!!

“Bagaimana rasanya?” Tiba-tiba saja mulutnya yang semula terkunci mengatakan sesuatu tanpa kehendaknya. Wangji, seolah tak terima jika Wei Wuxian pergi dari hadapannya dan mengabaikannya begiu saja.

“Bagaimana rasanya, saat ada seseorang yang melakukan sesuatu yang buruk padamu tanpa permintaan maaf sama sekali?”

Sekilas ia melihat Wei Wuxian tersenyum miring, “Kau sedang menyindirku soal kejadian tadi? Kalau begitu lupakan saja.” Wei Wuxian meneruskan langkahnya.

Namun kalimat selanjutnya yang ia dengar sungguh membuatnya muak. “anak manja dan arogan sepertimu memang tak pantas disukai siapapun. Hanya bisa melimpahkan kekesalan pribadimu pada orang yang tidak bersalah.”

Wangji kembali mendekati Wei Wuxia  yang terdiam, “kakakmu hanya meninggikan sedikit suaranya dan kau sudah semarah ini? Apa sopan santun dan tata krama terlalu sulit untuk kau pelajari? Lalu kau menebar aura permusuhan pada setiap orang sesuka hatimu. Kau pikir semua orang akan tunduk padamu karena hal itu? sebaliknya mereka malah semakin tidak menyukaimu—“

“—dan membencimu.

“kakakmu, dia terlalu menyayangimu, dia selalu berusaha memahamimu dan melakukan yang terbaik untukmu. Tapi apa kau tidak pernah berpikir untuk melakukan sebaliknya? Jangan selalu menyusahkanya dengan tingkah laku kekanakanmu itu, seharusnya kau lebih berpikir dewasa dan berhenti membuat masalah!!”

Hening, hanya bising suara kendaraan serta napas Waangni yang memburu. Untuk kedua kalinya ia terbawa emosi.

Entah apa yang salah dengan dirinya, setiap kali berhadapan dengan Wei Wuxian selalu membuatnya dihinggapi perasaan-perasaan aneh. Dan itu membuat Wangji kalang kabut, hingga yang bisa ia lakukan hanya meluapkan semuanya dalam bentuk emosi meletup-letup seperti saat ini.

Namun, dibalik itu semua, yang Wangji tidak sadari adalah guncangan kecil terlihat dari bahu Wei Wuxian. Begitu samar hingga sulit untuk mengetahuinya jika tidak diamati. Dengan terburu-buru Wei Wuxian mengusap ujung-ujung matanya yang seperti tersengat lalu menatap kedalam mata Wangji.

“mungkin kau benar soal itu, aku bahkan tidak mampu memahami sampai sejauh itu.”

Tampak kerutan di dahi Wangji, bersamaan dengan alisnya yang menukik kebingungan dengan respon Wei Wuxian yang sangat berbeda. Tidak lagi meledak-ledak.

Ia tidak mengira akan mendapat respon seperti ini, karena yang ia harapkan adalah caci maki yang akan bocah itu semburkan padanya sehingga Wangji bisa menghapus perasaan bersalah yang sejak tadi mengganggunya.

“hanya saja, kau orang yang selalu terburu-buru dalam membuat kesimpulan. Itu akan menyusahkanmu jika kau tidak segera memperbaikinya.”

Wangji hanya bisa tertegun, tubuhnya kembali membeku. Kalimat yang Wei Wuxian katakan dengan intonasi terlampau tenang, juga seutas senyum tipis yang berbeda dengan senyuman-senyuman anak itu yang biasanya sinis dan penuh intimidasi. Senyuman kali ini terlihat tulus.

Wangji sampai tak sadar jika punggung itu telah menjauh dari hadapanya, tersamarkan bersama cahaya berbagai kendaraan hingga menghilang ditelan gelap diujung jalan.

Lagi-lagi, perasaan aneh itu muncul kepermukaan. Bedanya, kali ini Wangji tidak berusaha menepisnya.

.
.
.

Waktu telah berjalan hingga sepertiga malam, namun Wei Wuxian belum sedetikpun memejamkan mata. Perkataan Wangji berputar-putar dibenaknya, sedikit banyak, ia merasa ada ribuan jarum-jarum kecil yang menusuk-nusuk diulu hatinya.

Wei Wuxian menekuk kakinya diatas tempat tidur, dihadapanya tumpukan album dirinya dan keluarganya berserakan. Kebanyakan adalah foto yang diambil saat ia masih kecil, dan hanya sebagian kecil saat Wei Wuxian mulai beranjak remaja.

Satu persatu mulai menghilang.

Kakek dan neneknya yang telah wafat beberapa tahun lalu. Kemudian mama dan papanya yang lebih sering berada di luar negri, Binghe yang sibuk mengurus perusahaan keluarga mereka, dan mungkin, selanjutnya adalah Huacheng.

Wei Wuxian menumpu dagunya diatas lutut lalu mengambil selembar foto, matanya memperhatikan ia yang tengah diapit oleh Huacheng dan Binghe.

“mereka tidak tau apa-apa, tapi kenapa mereka selalu mengatakan kata-kata sekejam itu?” bisiknya, ia memejamkan matanya dan menangis dalam hening.

.
.
.

Huacheng mengernyit dalam tidurnya, ia merasa terganggu saat ada lonjakan kecil diatas tempat tidurnya. Perlahan ia membuka mata dan mendapati Wei Wuxian tengah meringkuk didadanya. Seulas senyum kecil ia patri lalu tanganya memeluk tubuh adiknya, sembari mengusap punggungnya dengan lembut.

“kau belum tidur?” ia bertanya lirih, Wei Wuxian menggeleng dalam dadanya.

“kalau begitu sekarang tidurlah.” ia menarik kepala adiknya agar semakin menempel didadanya.

Huachenh tau, adiknya tengah menahan tangisnya, ia merasa guncangan kecil disana. Tanpa perlu ucapan apapun, ia paham bahwa adiknya ingin meminta maaf atas kejadian tempo hari.

Hening masih menyelimuti, Huacheng hendak memejamkan matanya kembali saat Wei Wuxian bertannya, “Gege, apa kau menyesal karena mempunyai adik sepertiku?” bisiknya, menyembunyikan getaran dalam suaranya.

Sesaat Huacheng menghentikan usapan dipunggungnya, “kau pasti terlalu memikirkan perkataan orang-orang itu. apa yang membuatmu seperti ini? Tidak biasanya.”

“jawab saja, apa kau menyesal?”

Huachenh menumpukan dagunya dipucuk kepala Wei Wuxian, “jika Gege menyesal, Gege pasti sudah membencimu sejak lama. Gege juga tidak akan memelukmu seperti ini jika memang menyesal.”

“tapi semua orang membenciku, mereka bilang bahwa aku selalu merepotkanmu dengan semua masalah yang kutimbulkan.”

“mereka hanya tidak mengerti, A Xian. Kau adikku, aku yang memahamimu. Apa yang mereka pikirkan tidak sama seperti apa yang aku rasakan, bagiku kau tetap A Xian kami yang manis. Seberapa jauhpun kau mencoba merubah dirimu, aku akan tetap bisa menemukan dirimu yang sebenarnya. Jangan pernah berpikir seperti itu lagi, Gege, Da Ge, papa dan mama sangat menyayangimu, terlepas dari orang-orang diluar sana yang tidak menyukaimu, bagi kami kau tetap kesayang kami.”

Huacheng merasa sesuatu yang basah merembes permukaan piyamanya, ia tau kini adiknya tidak lagi menahan tangisnya, anak itu tengah menangis dalam diam. Ia hanya bisa tersenyum kecil kemudian mengeratkan rengkuhanya.

Memahami Wei Wuxian memang melelahkan, tapi dibalik itu semua, ia tetap menyayangi adik kecilnya itu, terlepas seberapa menjengkelkanya ia.

.
.
.
.
Wei Wuxian mengerang dalam tidurnya, ia merasa hawa panas menyelimutinya. Perlahan matanya terbuka dan berdecak saat mendapati jendelanya terbuka lebar, mengizinkan cahaya panas itu masuk begitu saja.

Wei Wuxian mengecek jam disamping nakasnya, 08.30. pantas saja terasa panas, pasti kakaknya sengaja tak membangunkanya. Biarlah, ia memang sedang malas berangkat sekolah hari ini.

Wei Wuxian beranjak dari tempat tidur, niatnya untuk kembali memejamkan mata telah hilang saat rasa panas kembali menderanya. Jangan lupakan bahwa dia sangat benci bersentuhan dengan cahaya matahari.

Bungsu Wei itu terdiam diambang pintu dapur, memperhatikan Binghe yang entah sedang membuat apa, ia tak menemukan Huacheng dimanapun, pasti sudah berangkat.

Sesaat, ia teringat pembicaraan dirinya dengan kakak keduanya dini hari tadi, tanpa disadarinya kini Wei Wuxian sudah berjalan menghampiri Binghe, kemudian memeluk kakak tertuanya dari belakang, menimbulkan sentakan kaget dari si sulung Wei yang semula fokus dengan kegiatannya.

“kukira kau hantu.” canda Binghe terkekeh, kejadian yang sangat langka mendapati adik bungsunya bermanja begini. Bukan tidak pernah, tapi, itu sudah lama sekali tidak adiknya lakukan.

“tubuh gege dingin, aku menyukainya.”

Binghe terkekeh kembali, ia melanjutkan aktivitasnya yang tertunda. “kembali tidur sana, kau terlihat kurang sehat.”

“tidak, aku baik-baik saja. lagi pula, dikamar sangat panas, penuh dengan cahaya matahari.”

“kalau begitu duduklah dimeja makan, gege sedang membuatkanmu sup jagung.”

Binghe merasa beban dipunggungnya berkurang, Wei Wuxian mengangkat kepalanya dari sana, “benarkah? Tapi—aku masih ingin memelukmu.” lalu ia kembali merebahkan kepalanya.

“apa kau benar-benar adikku? Kenapa hari ini kau sangat berbeda?” Binghe mencibir.

“aku hanya sedang merindukanmu, gege jarang ada dirumah.” Wei Wuxian merengek kecil, dan hal itu membuat Binghe tak tahan karena gemas. Sulung Wei itu meletakan peralatan masaknya lalu menghadap adik bungsunya, ia menangkup pipi Wei Wuxian dengan kedua tanganya, memainkan pipi gembil adiknya dengan gemas.

“kukira kau benar, lihat, gege sampai tidak menyadari perubahan yang tejadi pada adik kecilku ini. Pipimu semakin chuby saja.” ia terkekeh mendapati Wei Wuxian yang merengut protes, “apa gege izin kerja saja hari ini? Jarang sekali gege melihatmu manja begini.”

Wei Wuxian terkikik dengan ucapan Binghe, ia menggenggam kedua tangan kakaknya yang berada dipipinya kemudian menggeleng, “tidak,  aku tau gege sangat sibuk hari ini. Lagi pula bukankah hari minggu gege  ada di rumah? Er Ge juga tidak ada kegiatan apa-apa, aku ingin kita menghabiskan waktu hari minggu saja, ya? Ya? ya?” Binghe tertawa melihat tingkah Wei Wuxian, sudah sangat lama ia tak mendapati adiknya bersikap seperti ini.

“Baiklah, hari minggu nanti akan menjadi harimu. Kau bebas melakukan apapun. Jadi, siapkan catatanya lalu gege dan A Cheng akan mengabulkanya.”

“yeay!!!” Binghe kembali tertawa melihat adiknya yang tampak senang.

“Apa kau tidak ingin mengajak A Yang juga? Bukankah dia sudah kembali?” Binghe menyibak rambut Wei Wuxian yang menjuntai hampir menutupi matanya, dan seketika ekspresi anak itu berubah masam, “kukira itu hanya halusinasiku saja, kemarin dia menghilang lagi. Dan juga, aku tidak berpikir bahwa dia adalah Xueyang yang kukenal. Gege tau? tingkahnya menjadi sangat menyebalkan, playfull dan gaya berpakainya membuatku sakit mata. “

“benarkah? Tapi seingat Gege dia memang anak yang periang dan berisik.”

“Dan sekarang malah jadi semakin menyebalkan. Sudahlah, gege jangan bahas dia lagi, kepalaku sakit.” Wei Wuxian kembali merengek yang kemudian dihadiahi berupa jepitan hidung dari Binghe lalu menggiringnya menuju meja makan.

“Ayo sarapan, ini sudah terlalu siang. Gege ada rapat satu jam lagi.”

Pagi itu tidak sperti biasanya, mereka sarapan dengan tenang tanpa keributan yang ditimbulkan Wei Wuxian.

.
.
.

Continue Reading

You'll Also Like

16.3K 1.1K 1
Fanfiction Mo Dao Zu Shi [[Omegaverse]] Summary : Selama hidupnya Wei Wuxian selalu percaya bahwa dirinya adalah seorang dominan Alpha. Namun siapa s...
315K 17.1K 19
[VOTE AND COMMENT] [Jangan salah lapak‼️] "Novel sampah,gua gak respect bakal sesampah itu ni novel." "Kalau gua jadi si antagonis udah gua tinggalin...
433K 56.2K 43
setelah keluarga angkatnya menjualnya pada sekelompok lintah darat, Wei Wuxian lantas diseret dan dipamerkan diatas panggung pelelangan. ratusan oran...
4.2K 419 4
Aku hanya mengaguminya tidak lebih dan mengagumi bukan berarti aku harus memilikinya Kisah pendek Narusasu Bagi yang homopobic mending di skip aja Ba...