Menjadi Dia [SUDAH TERBIT]

By Ademanis89

1.2M 57.9K 1.8K

"Bersaing dengan orang yang udah nggak ada di dunia ini jauh lebih menyakitkan." Reina. Reina sudah memberika... More

Prolog
1. Life Must Go On
2. Berisik
3. Seksi
4. Perjodohan
5. Anak Kecil
6. Cemburu
7. Marah
8. Agreement
9. Take Care
10. A Dream Wedding
11. Menggoda
12. Kasar
13. Chance
14. Make Me Like Her
15. Kenapa?
16. Just Kissing
17. Wedding Ring
18. Pulang Bareng
19. Baikan
20. Skin to Skin
21. Quiet In The Morning
22. Kissing Soda
23. Bimbang
24. Seperti Hantu
25. Penyiksaan
26. What Do You Want?
27. Alone
28. Teman Hidup
29. Menyerah
30. Serius
31. Absentmindedly
32. Distance
33. The Great Seducer
34. Menjadi Dia
35. Toxic Relationship (21+)
36. Go Away As Far
37. Terlalu Berharga
38. Just Enough
39. Bad Things
41. Too Late
42. One Way Ticket
43. Kecewa
44. Take Time
45. Unexpectedly
46. I Knew I Love You
47. Despairing
48. Let's Die
49. Sudah Selesai
50. Best Of The Best (END)
EPILOG
SEQUEL SUDAH UP
VOTE COVER
PRE-ORDER DIMULAI
SUDAH DIPULIHKAN

40. Jerk

25.7K 1.3K 71
By Ademanis89

EP. 40. Jerk

********

BRENGSEK.

Mungkin satu kata itu yang mampu menggambarkan diri Nathan saat ini. Dia sama sekali tidak bermaksud mendorong Reina, apalagi sampai melukai fisiknya. Hanya saja, emosi sudah membutakan hingga setengah akal sehatnya hilang entah ke mana.

Kemarahan itu hanya sementara. Berganti dengan perasaan menyesal yang sangat mengganggu hatinya hampir setengah hari ini.

Bahkan ketika sedang berada di ruang operasi, hampir saja Nathan kehilangan konsentrasi karena terbayang-bayang perbuatannya pada Reina tadi pagi. Beruntung Nathan tidak melakukan kesalahan dan operasi berjalan dengan baik.

Nathan sadar, dia sudah sangat keterlaluan.

Reina adalah seseorang yang selalu ingin dilindunginya sejak dulu. Tapi, siapa sangka malah dirinyalah orang yang paling menyakiti perempuan itu.

Nathan terpekur. Pandangannya kosong menatap langit-langit ruangan. Sementara ingatannya melayang pada kejadian malam itu, saat dia mabuk dan nyaris tak sadarkan diri.

Namun, sekuat apapun Nathan berusaha, dia tetap tidak bisa mengingat apapun hingga akhirnya Nathan tetap pada spekulasinya sendiri, meski hatinya mulai bimbang.

Reina mungkin memang melakukan kesalahan malam itu. Nathan sadar seharusnya dia lebih dewasa menghadapinya, bukan malah bersikap keterlaluan dan berakhir melukai Reina.

"Kenapa kamu giniin aku?"

"Mau kamu apa, sih?"

Nathan menyugar rambutnya frustrasi ketika pertanyaan Reina mendadak berdenging keras hingga membuat kepalanya pening. Nathan pun tidak tahu pasti apa yang benar-benar dia inginkan dengan bersikap keterlaluan seperti ini pada Reina .

"Lepasin aku. . . ."

"SHIT." Erang Nathan seraya menyentak benda apapun yang ada di atas meja kerjanya hingga berhamburan ke lantai.

Tak pernah Nathan merasa sebrengsek ini dalam hidupnya. Perasaannya benar-benar kacau hingga berdampak pada kendali dirinya yang menjadi berantakan.

"Kenapa lo?"

Jessi datang dengan cup holder berisi tiga cangkir kopi dingin di tangannya, disusul Vano di belakangnya. Keduanya lantas duduk di sofa yang tak jauh dari meja kerja Nathan.

"Ya elah, lo kayak nggak tahu aja tuh monyet satu agak kurang waras." Sahut Vano mengedik ke arah Nathan yang sedang berjalan untuk ikut duduk di sofa. Tanpa izin, Nathan kemudian menyambar kopi yang Jessi bawa dan meminumnya tak sabaran.

Jessi berdecak geli dengan gelengan kepala pelan. "Lo kenapa lagi, sih, Nate?"

"Pasti Reina lagi, Jess. Bawahnya dia kepengin, tapi gengsi buat minta." Vano kembali menimpali.

"Heeh!" Nathan mendelik sebal.

Vano mengedik tak acuh. "Emang iya, kan? Tck, gue bilang juga apa. Ujung-ujungnya lo yang kesiksa. Udah deh, yang akur aja lo sama Reina mulai sekarang. Toh, dia juga udah lo jebolin, kan?"

Nathan mendengus keras. Laki-laki berperawakan jangkung yang masih mengenakan baju scrubnya itu menghempaskan lehernya ke sandaran sofa dan memijat keningnya.

"Gue pusing banget." Ujar Nathan diiringi hembusan napas berat.

"Nggak disalurin, ya pasti pusing." Cibir Vano, kemudian menyesap kopi dinginnya.

Nathan kembali menegakkan tubuh dan menatap sebal Vano. "Di kepala lo itu mulu ya, Van. Cabul banget."

Vano setengah tertawa, memilih tak menanggapi ucapan Nathan. Untuk sesaat ketiganya sibuk menikmati kopi masing-masing hingga tercipta keheningan.

"Lo sama Rei gimana sekarang?" Tanya Jessi kembali bersuara. "Ini udah lebih dari sebulan semenjak kejadian itu, kan?"

Nathan menelan kopinya yang terasa dua kali lipat lebih pahit begitu mendengar pertanyaan Jessi. Sudah lebih dari satu bulan hubungannya dengan Reina begitu tidak sehat.

Hingga semakin hari kondisi buruk yang Nathan ciptakan itu hanya membuat dirinya jatuh ke dalam lubang besar bernama kebingungan, dan Nathan tidak mengenali dirinya sendiri, terlebih perasaannya.

"Gue juga nggak tahu, Jess. Di satu sisi gue marah sama dia, tapi gue harus bertanggung jawab. Dan di sisi lain, gue juga nggak mau semakin ngekhianatin Shanna dengan hidup bersama Reina. Akhirnya gue malah bertindak bodoh dan nyakitin dia."

Nathan lalu mengusap wajahnya kasar. "Gue kacau banget."

Jessi dan Vano saling berpandangan, lalu sama-sama menghembuskan napas jengah.

"Nate, kenapa, sih, lo harus begini?" Sahut Jessi sedikit kesal.

"Terus gue harus gimana? Membuang Shanna? Nggak akan! Bagaimana pun, gue tetap harus membatasi perasaan sama Reina. Gue nggak mau ngelupain Shanna." Balas Nathan sengit

"Ya udah, kalau gitu lo lepasin Reina. Kembaliin dia sama orang tuanya. Gue sebagai cewek, pasti nggak akan sanggup hidup sama pengecut yang nggak punya pendirian kayak lo." Jessi menatap Nathan berapi-api.

"Nggak usah bawa-bawa kata tanggung jawab." Sambung Jessi sebelum Nathan membuka mulut. "Karena yang lo lakuin sama Reina bener-bener jauh dari makna itu. Tanggung jawab jenis apa dengan nyakitin orang, Nate?"

Nathan terdiam, seolah kelilangan kata-kata untuk membalas ucapan Jessi barusan. Pandangannya beralih pada buku anatomi jantung super tebal di atas meja kaca.

Vano menghela napas, lalu beranjak menghampiri Nathan, kemudian menghempaskan dirinya di sebelah laki-laki itu.

"Gue nggak tahu seberat dan sesakit apa lo kehilangan Shanna." Ujar Vano tanpa memandang Nathan. "Tapi, Man. Dengan membatasi diri kayak gini, lo malah nyiksa diri sendiri dan juga Reina."

"Gue nggak punya pilihan lain." Nathan berkata lirih.

"Punya." Sahut Vano cepat, membuat Nathan menoleh ke arahnya. "Elo pun tahu itu. Cuma lo lebih memilih bertahan dengan keterpurukan daripada memulai hidup baru sama Reina."

"Vano bener, Nate. Selama ini lo udah ngebiarin perasaan bersalah dan ketakutan mengkhianati Shanna terus nguasaain diri lo, sampai akhirnya lo nggak punya keberanian untuk bangkit dan meraih dunia lo kembali." Kata Jessi tenang.

Nathan kembali terdiam, mencoba mencerna ucapan kedua sahabatnya perlahan-lahan, meski kepalanya terasa berdenyut-denyut.

Perasaannya pada keadaan saat ini benar-benar memusingkan.

"Nate, lo nggak akan mengkhianati siapa-siapa. Shanna udah tenang di sisi Tuhan." Vano menepuk pundak Nathan – menyemangati.

"People come and go. Tuhan selalu punya rencana-Nya sendiri. Jadi, jangan terlalu meratapi kehilangan. Lo tahu kenapa?"

Nathan menatap Jessi, menunggu perempuan itu menyelesaikan kalimatnya.

"Karena itu bukan akhir. Kehilangan itu bisa menjadi titik awal kehidupan lain, bahkan bisa kita jadikan sebagai awal kisah baru yang jauh lebih baik dari sebelumnya." Pungkas Jessi diiringi senyum tipis yang menenangkan.

Nathan memandang Vano dan Jessi bergantian, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. "Gue nggak yakin."

"Ini cuma masalah tekad. Bukannya kita sering bilang gini sama pasien yang hampir kehilangan harapan, 'kalau nggak ada kemauan sembuh dari diri sendiri, maka pengobatan sebagus apapun nggak akan berguna? Lo juga gitu Nate, kalau lo nggak ada kemauan buat ngelepasin masa lalu, lo nggak akan bisa memulai hidup baru sama siapapun itu." Ujar Vano.

"Gue nggak akan ngomong ini lagi, Nate. Jangan sampai lo nyesel kalau suatu saat kehilangan Reina. Gue rasa, Tuhan itu udah baik banget dengan ngirimin dia untuk ngehapus sedih lo." Jessi menyambung. "Jangan sia-siain Reina Nate. Mumpung dia masih ada dan masih mau bertahan sama lo."

"Karena selain awal baru, kehilangan seseorang juga bisa mengajarkan kita betapa berharganya seseorang setelah dia nggak ada." Tambah Vano. Tatapannya benar-benar tulus memberi Nathan dukungan.

Nathan terdiam bimbang. Sementara Vano dan Jessi saling melempar pandangan geli.

Vano menyenggol lengan Nathan. "Lo mau Reina berakhir sama cowok lain?"

"Gue. . . ."

Kalimat Nathan menggantung begitu saja, lalu menghela napas berat.

"Paham gue. Lo pasti nggak mau. Nate, sekuat apapun lo menolak Reina, hati lo tetap berpaling, kan? Lo cuma bingung dan nggak berani." Sambar Vano mencibir.

Nathan mendengus geli. "Sok tahu lo."

"Kelihatan dari muka lo, bangke." Vano menggeplak kepala Nathan keras hingga membuat Nathan mendelik sebal padanya.

"Lagian dikasih bidadari sama Tuhan, malah mau nolak. Elo mah udah bukan bego lagi, Nate, tapi nggak waras, ODGJ." Jessi ikut meledek.

Nathan tersenyum geli, lalu menggelengkan kepalanya pelan. Semua ucapan kedua sahabatnya itu memang benar.

Nathan sadar sekarang. Sekuat apapun dia membangun dinding untuk membatasi perasaannya pada Reina, pada akhirnya tetap runtuh. Nathan terlalu sombong dan kehilangan kesadaran tentang kenyataan hingga dia berani melawan takdir.

"Gue kayaknya bego banget." Nathan tertawa lirih.

Jessi dan Vano mengerling malas, lalu serempak menyahuti. "Emang beneran bego."

"Akhirnya si bego ini udah menyadari kebegoannya." Cibir Vano kemudian. "Yaaa, semoga nggak telat aja."

"So?" Jessi tersenyum pada Nathan dengan sebelah alis terangkat.

Nathan melirik smartwatch di pergelangan tangannya, dia punya satu jam sebelum operasi selanjutnya.

"Gue pulang dulu." Katanya semangat. Tapi, baru saja berdiri, ponsel Nathan berdering. Nama Milli muncul di layar. Buru-buru Nathan menerima panggilan telepon tersebut.

********

Nathan berlari seperti orang kesetanan saat dirinya mendapat kabar dari Milli kalau menemukan Reina pingsan di apartemen dan sekarang berada di rumah sakit.

Rasanya ucapan Milli tentang Reina tidak masuk akal. Nathan memang sudah melakukan kesalahan dengan mendorong Reina, mungkin juga Reina terluka, tapi tidak sampai berdarah-darah hingga dia sampai masuk rumah sakit, terlebih dilarikan ke ruang operasi.

Jantung Nathan berdebar keras seolah ingin mendobrak rongga dadanya. Sekeras itukah dia mendorong Reina tadi?

Ya Tuhan. Nathan menyesal tidak bisa menahan emosinya tadi pagi sampai-sampai melukai istrinya seperti ini.

Tiba di depan ruang operasi, Nathan melihat Milli yang tampak panik mondar-mandir di sana. Ada juga Tante Mita dan Om Esa yang duduk dengan gelisah, sama paniknya seperti Milli.

Nathan mendekat, memanggil kakak sepupunya yang seketika tersentak dan berhenti mondar mandir. Sementara Tante Mita dan Om Esa yang melihat langsung melempar tatapan penuh tanya seolah meminta penjelasan atas apa yang terjadi.

"Kak, Rei kena–"

"Ikut Kakak." Seru Milli menyela.

Nathan mengernyit tak mengerti. "Kak?"

"Ikut Kakak sekarang juga!" Serunya sekali lagi, penuh perintah. Meski tidak membentak, tapi terlihat kegeraman penuh di wajah cantiknya.

"Mill." Tante Mita berdiri, seakan memberi teguran pada putrinya itu untuk tenang terlebih dahulu.

"Kita butuh penjelasan dia, Mi. Ini nggak bisa dibiarin. Dia udah nyelakain anak orang." Sahut Milli tak bisa menahan kekesalannya. Lantas dengan cepat dia menarik lengan Nathan dan membawanya ke lorong yang sepi, jauh dari jangkauan orang.

"Kak, ini ada apa, sih? Aku nggak ngerti – aww."

Nathan memekik tertahan ketika tanpa kesiapan Milli menendang tulang keringnya hingga dia nyaris terjatuh ke lantai.

"Kakak apaan, sih?" Protes Nathan seraya meringis.

Milli menghunuskan tatapan tajam, wajahnya memerah, menandakan jika perempuan itu benar-benar marah.

"Kamu apain Rei?" Geramnya.

"Aku ngaku tadi pagi udah emosi dan dorong Rei." Jawab Nathan gemas. Dia hanya ingin tahu keadaan Reina sekarang.

"Dorong?" Milli membelalak, lalu menghembuskan napas jengah. "Ya ampun Nate, kacau banget kamu."

"Kak, jangan bikin aku bingung dan ketakutan gini, doong."

"Ketakutan?" Milli berdecih sinis. "Ke mana aja kamu baru sadar hal itu setelah ngebiarin Reina kesakitan sendiri di apartemen hampir empat jam?"

Milli mendorong dada Nathan hingga laki-laki itu nyaris terhuyung.

"Ke mana aja kamu sampai Rei malah minta tolong ke Kakak buat jemput dia?"

Milli menggeleng dengan mata berkaca-kaca. Teringat betapa memprihatinkannya kondisi Reina saat dia datang ke apartemennya satu jam yang lalu. Milli juga menyesal karena dia tidak tanggap dengan mengabaikan panggilan telepon dari Reina karena sibuk dengan jam praktiknya.

Hingga akhirnya dia baru membuka pesan chat dari Reina jam setengah dua belas siang setelah jam praktik berakhir, dan mendapati Reina terkapar tak berdaya di kamarnya dengan pecahan beling di mana-mana. Tapi, yang membuat Milli panik setengah mati adalah darah yang mengalir di sepanjang sisi paha dalam Reina––hampir mengering.

Hal itu pula yang membuat Milli merasa bersalah karena terlambat menolong Reina hingga harus kehilangan bayinya.

"Dan apa kata kamu tadi? Kamu dorong dia? Nate, kamu bener-bener tega, ya, nyelakain Rei sama bayinya." Sungut Milli berapi-api. "Kalau kamu emang nggak bisa jadi suami yang baik. Pulangin Reina ke orang tuanya."

Nathan yang masih belum memahami apa yang terjadi menatap Milli bingung. "Rei hamil?"

Milli mendelik kesal. "Bener-bener kamu, ya, Nate." Lalu menghela napas panjang guna menahan kesabarannya. "Rei hamil empat minggu. Tapi harus kuretasi."

Nathan tersentak, napasnya tiba-tiba tercekat. Dia merasa seperti ada batu besar menghantam dadanya kuat-kuat. "Ma-maksud Kakak, Rei–"

"Iya. Rei keguguran karena benturan keras di punggungnya."

Nathan semakin tercekat. Entah bagaimana dia harus menggambarkan perasaannya saat ini. Dunianya seakan luruh, kakinya lemas dan ujung-ujung jari tangannya membeku.

********

Setelah prosedur kuretase selesai, Reina dipindahkan ke ruang rawat inap. Reina belum membuka matanya setelah keluar dari ruang operasi. Milli, Tante Mita, dan Om Esa sengaja meninggalkan Nathan bersama Reina di sana.

Nathan terpancang di samping ranjang Reina sambil menggenggam tangannya erat. Memandangi wajah Reina yang cantik, tapi sepucat salju. Matanya terlihat bengkak, dan Nathan juga masih melihat bekas air mata yang mengering di pipi Reina.

Reina pasti sudah menangis berjam-jam.

Nathan mendengus. Dia tertawa pedih, tidak percaya pada apa yang sudah dilakukannnya. Dia membuat Reina seperti ini sampai kehilangan anak mereka, karena emosi sesaat, karena mengira Reina sudah merusak foto Shanna, dan. . . .

. . . , sebenarnya itu belum tentu benar. Nathan jadi teringat saat Reina mencoba membela diri tadi pagi.

". . . , fotonya tadi–"

"Bukan aku yang jatuhin."

Meski benar jika Reina bersalah sudah sengaja menjatuhkan foto itu, Nathan sadar tidak seharusnya dia bertindak bodoh.

Tapi, apa gunanya kesadaran itu sekarang?

Sialan!

Brengsek!

Bodoh!

Nathan membenci dirinya sendiri. Sangat benci sampai dia akan melakukan apapun untuk membunuh dirinya sendiri.

"Maaf, Rei." Lirihnya menahan tangis.

Hatinya mencelos, membayangkan bagaimana Reina yang lemah kesakitan seorang diri. Dia semakin merasa bersalah saat teringat wajah memohon Reina sebelum meninggalkannya.

Ternyata. . . ., Reina benar-benar kesakitan.

Dan sekarang dia harus apa? Bagaimana dia harus menghadapi Reina setelah nanti mengetahui jika dia akan sulit mengalami kehamilan?

Penyesalan dan rasa bersalah Nathan semakin besar ketika dokter mengatakan Reina mengalami komplikasi yang menyebabkan kerusakan pada bagian leher rahim, sehingga hal tersebut mengakibatkan Reina akan sulit mengalami kehamilan, bahkan beresiko terjadi infertilitas.

"Maafin aku, Rei." Nathan semakin melirih, suaranya tercekat seolah ada yang mengganjal di tenggorokannya.

Lalu, air matanya luruh bersama dengan tumpukan penyesalannya terhadap perempuan itu.

Benar. Penyesalan memang selalu datang terlambat.

Ya Tuhan. Reina tidak pantas mendapatkan ini.

Kenapa bukan dia saja? Dia sudah begitu brengsek melukai istrinya hingga berakhir kehilangan anak mereka. Dan lebih dari itu. . . .

Reina mungkin kehilangan masa depannya untuk bisa memiliki anak kembali.

********

To be continued. . . .

Continue Reading

You'll Also Like

1.1K 90 15
Tanpa deskripsi! Silahkan langsung baca saja, tapi jangan lupa masukkan ke perpustakaan ya:)
1.3M 49.4K 62
Menikahi duda beranak satu? Hal itu sungguh tak pernah terlintas di benak Shayra, tapi itu yang menjadi takdirnya. Dia tak bisa menolak saat takdir...
98K 22.4K 30
Kaili tak bisa mendengar pada telinga kirinya dan Arav, sang pengecut yang selalu berbisik kata cinta pada telinga kiri Kai. ⚠️lokal ⚠️bxb ⚠️hajeongw...
544K 35K 48
(Tersedia dalam bentuk eBook di Google Playstore dan Playbook, oleh penerbit Eternity Publishing) Athaya kesal dan marah, kala kakaknya yang kabur en...