Menjadi Dia [SUDAH TERBIT]

By Ademanis89

1.2M 57.9K 1.8K

"Bersaing dengan orang yang udah nggak ada di dunia ini jauh lebih menyakitkan." Reina. Reina sudah memberika... More

Prolog
1. Life Must Go On
2. Berisik
3. Seksi
4. Perjodohan
5. Anak Kecil
6. Cemburu
7. Marah
8. Agreement
9. Take Care
10. A Dream Wedding
11. Menggoda
12. Kasar
13. Chance
14. Make Me Like Her
15. Kenapa?
16. Just Kissing
17. Wedding Ring
18. Pulang Bareng
19. Baikan
20. Skin to Skin
21. Quiet In The Morning
22. Kissing Soda
23. Bimbang
24. Seperti Hantu
25. Penyiksaan
26. What Do You Want?
28. Teman Hidup
29. Menyerah
30. Serius
31. Absentmindedly
32. Distance
33. The Great Seducer
34. Menjadi Dia
35. Toxic Relationship (21+)
36. Go Away As Far
37. Terlalu Berharga
38. Just Enough
39. Bad Things
40. Jerk
41. Too Late
42. One Way Ticket
43. Kecewa
44. Take Time
45. Unexpectedly
46. I Knew I Love You
47. Despairing
48. Let's Die
49. Sudah Selesai
50. Best Of The Best (END)
EPILOG
SEQUEL SUDAH UP
VOTE COVER
PRE-ORDER DIMULAI
SUDAH DIPULIHKAN

27. Alone

17.1K 846 8
By Ademanis89

EP. 27. Alone

*********

Sebenarnya, rasa kesal pada suaminya itu masih bercokol di hati Reina. Tapi Reina memilih untuk mengabaikannya saja, terpaksa harus mengesampingkannya dulu karena kedatangan mertuanya yang tiba-tiba.

Keduanya mampir dulu ke supermarket untuk membeli bahan makanan sekaligus membeli baju Nathan karena tidak mungkin laki-laki itu pulang dalam keadaan basah kuyup.

Tidak lupa, Nathan juga membawa Reina ke salon terlebih dahulu untuk mengubah warna rambutnya. Dia tidak mau orang tuanya terkejut dengan warna rambut Reina yang warna warni.

"Semua makanan di kulkas kamu ke manain, sih, Rei?" Adalah pertanyaan Nathan yang ke lima kalinya, sebab Reina terus mengabaikannya begitu mereka keluar dari hotel. Begitu pula saat berbelanja di supermarket, Nathan hanya mengekori ke mana langkah Reina pergi layaknya anak ayam.

"Rei. . . ." Nada suara Nathan terdengar penuh teguran, pun dengan tatapannya pada Reina yang terus terdiam di kursi penumpang dengan wajah ditekuk masam.

"Aku kasih ke anak jalanan." Jawab Reina malas tanpa mau menoleh pada Nathan yang sedang mengemudikan mobil.

Laki-laki itu menganga, kemudian menggeleng tak habis pikir. "Ya ampun, Rei."

"Bukannya kita harus berbagi sama orang nggak mampu?" Sahut Reina enteng, masih dengan nada santai.

"Ya tapi nggak gitu juga kali." Balas Nathan keki sembari menambah kecepatan mobilnya agar cepat sampai. Reina sendiri hanya mengedik tak peduli.

Setelah mobil terparkir di parkiran basement apartemen, Nathan dan Reina melangkah terburu-buru untuk masuk ke unit apartemennya.

Setibanya di sana, mereka langsung disambut tatapan penuh pertanyaan oleh Mami dan Tante Mita. Tidak terlihat Papi karena lelaki paruh baya itu sedang beristirahat di kamar.

Keduanya tersenyum kaku karena dalam sekejap harus berubah sikap dengan berpura-pura menjadi pasangan suami istri yang harmonis. Mereka lantas menghampiri dua wanita itu untuk memberi pelukan secara bergantian.

"Kalian dari mana aja, sih? Mami, Papi, sama Tante Mita tadi nungguin di depan pintu lama banget. Mau paksa buka, takutnya ganggu kalian lagi ehem-ehem. Ehh, ternyata malah nggak ada orang."

Reina mengambil napas dalam sebelum kemudian mengambil duduk di hadapan Mami dan Tante Mita, disusul Nathan yang ikut duduk di sebelahnya.

"Maaf, Mi, aku sama Kak Nate lagi ke supermarket tadi." Cicitnya takut-takut, meski Mami sama sekali tidak menunjukkan wajah marah, hanya sedikit jengkel.

Mendengar itu perhatian Mami lantas beralih pada beberapa kantong belanjaan yang tergeletak di bawah sofa. Dia teringat lemari es yang kosong melompong saat beberapa menit lalu membukanya.

"Beli bahan makanan?"

Reina tersenyum tipis. "Iya, Mi. Makanan di kulkas udah habis soalnya. Aku belum sempat restock."

Sedangkan Nathan yang mendengar itu berdecak kecil diiringi delikan sebal pada Reina, tangannya ikut gatal mencubit gemas pinggang sang istri, membuat Reina membalasnya dengan sikutan di perut cukup keras.

"Lain kali, jangan ngebiarin bahan makanan kosong di rumah sampai air aja nggak ada. Kalau ada tamu gimana coba? Untung yang datang hari ini kami." Ujar Mami menasihati.

Tante Mita yang duduk di sebelah Mami hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Tak habis pikir karena ada apartemen mewah dan bahkan ada penghuninya, tapi tidak ada makanan dan minuman sedikit pun.

Sementara Reina bergerak gelagapan sembari meremas jemari tangannya. "Biasanya aku nyediain banyak, kok, Mi. Tapi–"

Kalimat itu menggantung, Reina bingung melanjutkannya hingga dia kembali menyikut keras perut Nathan, berharap suami brengseknya itu bisa membantunya.

"Kemarin kami sengaja kosongin semua persediaan makanan, Mi, soalnya aku sama Rei berencana nginep di hotel selama seminggu." Secepat kilat Nathan berdalih.

Reina bernapas lega dan mengangguki ucapan Nathan sambil terus memamerkan senyum kakunya.

"Hotel?" Mami mengernyit. "Ngapain kalian nginep di hotel?"

"Ya cari suasana baru, Mi." Bual Nathan.

Reina merengut tak mengerti, otaknya bekerja keras untuk mencari maksud dari ucapan Nathan.

"Tckck." Tante Mita berdecak dengan pandangan penuh arti. "Pengantin baru, ya, gitu."

"Kalian nggak lagi bohong, kan?" Mami memicing curiga saat igatannya melayang pada koper berisi baju Nathan di kamar sebelah, pun dengan skincare dan peralatan mandi.

Nathan dan Reina sontak mengerjap, sedikit terkejut, tapi sama-sama berusaha mengendalikan diri agar tetap terlihat tenang.

"Bo-bohong gimana, Mi?" Nathan tergagap, sebelah tanganya refleks meremas jemari Reina di balik bantal sofa yang dipangku perempuan itu. Reina hanya membiarkannya meski sedikit kaget. Dia tahu Nathan sedang gugup dari telapak tangannya yang terasa dingin.

"Itu barang-barang kamu kenapa di kamar sebelah, Nate? Kalian nggak lagi berantem, kan?" Mami menatap Nathan dan Reina bergantian dengan pandangan menyelisik.

"Enggak. Aku sama Reina lagi lengket-lengketnya gini, kok." Kilah Nathan dan semakin meremas kuat jemari Reina-gelisah. "Kami mau beresin kamar utama, makanya barang-barangnya dipindahin dulu ke kamar sebelah, dan baru sempet barang aku doang. Ya, kan, Sayang?"

Mata Nathan berkedip-kedip, memberi isyarat agar Reina mengiyakannya.

Reina hanya mengagguk kaku seiring detak jantungnya yang mengalami percepatan gila-gilaan mendengar panggilan Nathan padanya. Sial, dia meleleh meski tahu itu hanya sandiwara.

"Udah deh, Mbak, jangan mikir aneh-aneh sama mereka. Kelihatannya akur gini, kok." Bela Tante Mita, membuat Nathan merasa sedikit terbantu.

"Bener tuh, kata Tante. Mami tenang aja. Aku sama Rei baik-baik aja, kok." Timpal Nathan, lalu melepaskan tangannya yang meremas jemari Reina, beralih merangkul pundak sang istri. "Malahan kami baru chek in di hotel hari ini dan udah bayar buat seminggu, ehh nggak tahunya Mami sama Papi dateng, terpaksa deh chek out lagi."

Tatapan Mami berubah bersalah. "Mami ganggu, ya?"

"Banget, Mi. Aku sama Rei baru aja mau quality time. Kalian tuh ganggu kami lagi romantis-romantisan, tahu, nggak?" Celetuk Nathan nyeleneh, membuat Reina nyaris tersedak.

Cih. Pandai sekali suaminya ini bersandiwara.

Mami mendengus geli. "Romantis-romantisan." Cibirnya. "Sekalian nyiapin cucu nggak buat kami?"

Reina tercekat. Sudah berulang kali dia mendengar pertanyaan ini baik dari mertua maupun orang tuanya sendiri. Lama kelamaan hal ini mempengaruhi pikirannya.

"Kalau Mami tanya itu dijawab. Pernikahan kalian itu udah lebih dari dua bulan, masa mau nunda-nunda mulu?" Sambungnya.

"Kan aku udah bilang, aku mau puas-puasin berduaan dulu sama Rei, Mi. Lagian aku belum siap punya anak." Sahut Nathan asal. Awalnya dia ingin mengabaikan pertanyaan itu, tapi mulutnya gatal untuk menjawab.

Mami berdecak diiringi hembusan napasnya kasar. "Ya nggak bisa gitu dong, Nate. Papi kamu udah tua, tiap malem kepikiran terus kapan Rei hamil dan ngasih cucu. Dia bilang mau menggendong cucu sebelum meninggal, kan Mami jadi sedih."

Penjelasan Mami barusan membuat hati Reina meringis. Dua hari yang lalu lewat sambungan video, Papanya juga berkata kurang lebih demikian. Beliau ingin bermain dengan cucu di hari tuanya.

Ya ampun. Reina tidak yakin akan ada anak di antara dirinya dan Nathan.

Haruskah dia mengumpulkan keberaniannya kembali untuk mencekoki Nathan dengan obat perangsang?

Keberanian itu sudah menciut dari dulu.

"Papi kok ngomong kayak gitu?" Sahut Nathan tak suka. "Kalian tenang aja, dong. Nanti juga kalau udah siap, kami kasih kok."

"Ya tapi kapan?" Balas Mami dengan suara mulai meninggi. "Kamu jangan egois, dong, Nate. Pikirin juga perasaan kami."

Suasana di ruang tamu seketika menegang karena perdebatan antara ibu dan anak itu. Reina sendiri memilih diam sambil menggigit bibir bawahnya.

"Mami sama Papi yang egois. Udah maksa aku sama Rei nikah, sekarang minta cepet-cepet punya cucu." Hardik Nathan tak mau kalah.

"Kamu itu ya, Nate. Ngejawab aja sama orang tua. Inget, suatu saat kamu juga bakalan punya anak."

Nathan bergeming dengan bibir terkatup, sadar sudah bersalah karena berbicara dengan nada tinggi pada ibunya. Dia lantas menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan, berupaya memberi sedikit ruang di dada yang terasa begitu menyesak.

Sejenak suasana menjadi sunyi, lalu tak berapa lama Mami kembali bersuara dengan pandangan mengarah pada Reina.

"Rei. . . ." Wanita itu menatap Reina penuh harap. "Kamu jangan nunda lagi, ya? Kasihan Papi, udah tua. Dia nggak boleh banyak pikiran. Cuma kalian satu-satunya harapan kami untuk ngasih penerus keluarga ini."

Reina menarik bibirnya kaku, lalu menjawab ragu seraya melirik Nathan takut-takut. "I-iya, Mi. Nanti aku usahain."

"Ya udah, nanti aku kasih sepuluh cucu sekalian. Repot-repot, deh." Tandas Nathan ketus dan bangkit.

"Mau ke mana kamu?" Teriak Mami geram.

"Buang kondom." Jawab Nathan sekenanya, lalu berjalan menuju kamar utama. Reina memandanginya sampai menghilang di balik pintu kamar.

Mami menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu banyakin sabar aja ya, Rei, ngadepin Nathan."

"Hah?" Reina berjengit kaget. "I-iya, Mi." Katanya cepat. "Aku minta maaf, ya, Kak Nate kayak gitu sama Mami."

"Justru Mami yang minta maaf. Maaf kamu harus punya suami yang tabiatnya begitu. Itu gara-gara Mami sama Papi terlalu manjain dia." Mami mendesah lesu.

*********

"Gimana Rei, betah tinggal di Indonesia?" Tanya Papi kepada Reina saat makan malam, tanpa Tante Mita yang sudah pulang tadi sore.

Reina mengangguk gembira seperti anak kecil, sambil sesekali melirik Nathan yang duduk di sebelahnya. "Betah banget, Pi."

"Nathan baik-baikin kamu, kan, selama ini?" Tanya Papi lagi.

"Iya, Pi." Jawab Reina mantap.

Papi mengangguk-angguk. "Baguslah kalau gitu. Akur-akur kalian, biar bisa cepat kasih kami cucu."

Kata cucu yang terlontar dari mulut Papi seketika membuat Nathan dan Reina tidak lagi menikmati makan malamnya. Bagaimanapun, didesak untuk kebahagiaan orang tua terkadang memang menyiksa dan menjadi beban pikiran.

"Pi, kan aku udah bilang mau nunda dulu. Lagian Rei masih muda, kasihan dia kalau harus ngurus anak." Nathan berusaha mengelak.

Reina langsung mendelik. Bagus sekali Nathan menjual namanya. Jika tidak sadar sedang bersandiwara, Reina tidak akan segan mengadukan semuanya.

Apa katanya tadi?

Kasihan karena Reina masih muda?

Ohh. Haruskah Reina berterimakasih yang mulia?

Cih. Nathan yang seharusnya mengasihani dirinya sendiri karena dialah penyebab alasan mereka tidak bisa memiliki anak.

"Masalah ngurus anak, kan, bisa pake bantuan pengasuh. Udah deh, Nate, nggak usah banyak alasan. Papi-Mami sama orang tua Rei itu udah kepengin banget ngasuh cucu."

"Ya kalau ngebet banget, kenapa kalian nggak bikin anak lagi aja?" Sahut Nathan sebal, membuat Papi langsung melotot galak.

"Nggak usah dikasih tahu, Papi juga bakalan ngelakuin itu kalau masih bisa." Balas Papi tak kalah kesal.

"Ya udah, kalau gitu adopsi aja. Banyak tuh bayi terlantar di panti asuhan." Nathan terus melawan. Papi semakin geram.

Reina sendiri memilih tak ikut campur. Dia hanya melirik Nathan dan ayah mertuanya yang sedang berdebat sengit itu bergantian.

"Kamu ini ya ngelawan terus sama orang tua." Geram lelaki paruh baya itu. "Pokoknya Papi nggak mau tahu. Berhenti nunda-nunda punya anak dan kasih kami cucu secepatnya."

Setelah mengatakan itu, Papi bangkit dan meninggalkan meja makan, disusul Mami, hingga kini tersisa Nathan dan Reina yang terlihat sangat kacau.

*********

Reina mencoba memejamkan mata, tapi tidak bisa walaupun tubuhnya sudah sangat lelah. Ada yang mengganggu hati dan pikirannya, cucu.

Reina lantas membalikkan tubuhnya sehingga saat ini dia dalam posisi tidur menyamping, mengarah pada pintu kaca penghubung balkon dan kamar.

Berulang kali dia menghembuskan napas gelisah, teringat percakapannya bersama Papi saat makan malam, pun tadi siang dengan Mami mengenai cucu.

Hal tersebut jelas mempengaruhi pikiran Reina. Terlepas dari benar atau tidak pernikahan yang dia dan Nathan jalani, tapi keluarga mereka menyimpan harapan besar pada keduanya.

Keturunan tentu saja menjadi harapan besar bagi setiap keluarga, termasuk keluarga Reina dan Nathan. Apalagi keduanya merupakan anak tunggal dari dari masing-masing keluarga. Kehadiran seorang cucu jelas akan menciptakan kebahagiaan dan warna baru untuk mereka semua.

Tapi, bagaimana Reina dan Nathan bisa mengabulkan itu?

Bukan karena mereka tidak sehat. Hanya saja benteng bernama Shanna di tengah-tengah pernikahan mereka menjadi penghalang yang sangat besar untuk Reina bisa mewujudkan itu.

Ya Tuhan. Boleh tidak Reina protes? Kenapa, sih, pernikahannya harus dibuat serumit ini?

"Huuuh . . ." Reina menghembuskan napasnya, pipinya lantas mengembung lucu.

Reina merasa butuh udara segar, dia lantas beranjak dan berjalan menuju balkon, menghampiri Nathan yang sejak tadi berdiri di sana.

Laki-laki itu berdiri di atas balkon kamar mereka dengan sebatang rokok terselip di jari tangannya, sementara sebelah tangannya lagi menggenggam sekaleng pepsi.

Nathan menghembuskan asap rokok dan berusaha membentuk lingkaran-lingkaran kecil dengan itu. Dia lalu menatap cincin-cincin asap tersebut yang langsung menghilang menyatu dengan angin.

Nathan menenggak pepsinya, lalu kembali menghisap rokok. Helaan napas gusar sesekali bersahutan dengan hembusan angin malam.

Mendadak Nathan berhenti menghisap rokok begitu sosok Reina muncul, bahkan tanpa sadar menjatuhkan benda bernikotin yang masih menyala itu ke bawah.

"Kak. . . ."

Nathan terpaku mengawasi Reina yang saat ini tengah berjalan ke arahnya. Reina terlihat anggun dengan baju tidur seksinya yang hanya sebatas paha, membuatnya terlihat lebih dewasa.

Nathan tidak tahu apa yang membuatnya tidak cepat-cepat berpaling dan malah terus menatap Reina. Entah sihir apa yang digunakan Reina, Nathan merasa kembali tidak bisa mengendalikan diri.

"Kok belum tidur?" Tanya Nathan setelah Reina berdiri di sebelahnya.

Reina berdiri dengan tangan bertumpu pada railing balkon, memandang hamparan pemandangan malam kota Bandung. Lampu kendaraan dan bangunan berpendar, terlihat kerlap-kerlip seperti bintang dari atas sana.

Dan di sana, angin bertiup cukup kencang hingga menggoyangkan rambut panjang Reina ke sana dan ke mari, membuat Nathan semakin enggan memalingkan pandangannya dari wajah cantik perempuan itu.

"Nggak bisa tidur." Jawab Reina diiringi helaan napas berat.

"Kenapa? Kamu kepikiran omongan Mami sama Papi?" Tebak Nathan dan tepat sasaran, lalu berdecak. "Udah deh, nggak usah dipikirin. Dua hari lagi mereka juga pulang, dan kita nggak bakal denger mereka minta-minta itu lagi."

Reina terdiam dengan bibir mengerucut sebal. Mudah sekali Nathan megatakan itu, padahal bukan hanya Reina yang didesak untuk memiliki anak, dia pun juga.

"Emang kamu nggak kepikiran?" Detik berikutnya, Reina menyesal sudah bertanya seperti itu pada Nathan. Jelas dia tahu jawabannya.

Nathan tersenyum geli bercampur sinis. "Kamu pikir aku mau punya anak dari kamu? Tck, kepikiran aja nggak akan. Aku sama sekali nggak peduli Mami Papi ngomong apa."

Reina menunduk sedih. Mendadak tenggorokannya seperti tercekat. Reina hampir menangis, tapi sebisa mungkin menahannya.

Nathan keterlaluan. Laki-laki itu sangat buruk dalam menyusun kalimat yang akan dilontarkan.

Tak bisakah Nathan memilih kalimat yang lebih baik, yang tidak terlalu menyakiti?

Reina menyesal sudah menghampirinya ke balkon.

"Udah lah, nggak usah kamu pikirin. Lagian nggak semua orang yang udah nikah itu harus punya anak. Nggak sedikit juga yang milih childfree di luar sana." Ujar Nathan lagi, kemudian menenggak pepsinya hingga tandas.

Reina mendengus keras. Ingin sekali rasanya dia mendorong tubuh Nathan dari atas sana sekarang juga.

Nathan mungkin tidak memikirkan itu karena tidak menganggap serius pernikahan mereka. Tapi tidak dengan Reina. Baginya pernikahan ini sakral dan tidak boleh dipermainkan.

Reina juga menginginkan seorang anak, dengan harapan kehadirannya bisa memperkuat pernikahannya dan Nathan.

"Tapi Mami sama Papi. . . ."

"Rei, udah, ya." Nathan menyela ucapan Reina. "Nanti mereka juga diem, kok. Santai aja bisa nggak, sih? Inget, Rei. Pernikahan kita nggak punya tujuan sejauh itu." Lalu melenggang pergi, meninggalkan Reina sendirian dalam kegundahan itu.

"Tapi aku punya, Kak." Gumam Reina lirih, nyaris tanpa suara.

Reina pun mendesah, lalu tersenyum nanar. Bagaimana bisa dia tidak memikirkan itu? Mertua dan orang tuanya menaruh harapan yang sangat banyak pada mereka. Kenapa Nathan tega membiarkannya menanggung beban ini sendirian?

********

To be continued. . . .

Continue Reading

You'll Also Like

2.3M 217K 66
"Pak, saya di depan ruangan bapak Bapak dimna?" "Di kelas" "Pak, saya sekarang sudah di kelas Tapi bapak ngga ada." "Saya sudah di ruangan saya." "Ba...
54.8K 6.4K 56
Raina datang sebagai tetangga dari keempat lelaki tampan itu. Di apartemen tua, dimana terdapat empat lelaki yang berwujud layaknya seorang pangeran...
98K 22.4K 30
Kaili tak bisa mendengar pada telinga kirinya dan Arav, sang pengecut yang selalu berbisik kata cinta pada telinga kiri Kai. ⚠️lokal ⚠️bxb ⚠️hajeongw...
29.7K 2.2K 44
[PART LENGKAP] "Di saat orang-orang ngejar masa depan. Eh, lo sendiri yang ngejar masa lalu." Sindiran itu terucapkan untuk seorang pemuda. "Tapi gua...