HEART BEAT √

By JaisiQ

48.2K 9.6K 3K

[Sequel Wedding Dress] "Ibarat jantung manusia yang mati, entah kapan ia akan berdetak kembali." Alden dan Ar... More

1 : Senyuman
2 : Hari Pertama
3 : Kematian
4 : Aku Suka Kamu
5 : Arti Menghargai
6 : Ice Cream
7 : Kesepakatan
8 : Sebatas Teman
9 : Hak Asasi
10 : Accident
11 : Masa Lalu
12 : Pupus Atau Tumbuh?
13 : Menanti Detak Jantung
14 : Mencintai Kekuranganmu
15 : Terima Kasih
16 : Satu Fakta Tersingkap
17 : Belajar Mencintai
18 : Pelukan Ternyaman
19 : Berdarah
20 : Ayah Terbaik
21 : Sepasang Luka
22 : Detak Jantung Yang Kembali
23 : Sisi Sebenarnya
24 : Sisi Sebenarnya (2)
25 : Menikmati Waktu
26 : Takut Kehilangan
27 : Pelabuhan Yang Benar
28 : Titik Terendah
29 : Sandiwara
30 : Terluka Lagi
31 : Dua Garis
32 : Salah Paham
33. Harus Diakhiri
34 : Jangan Terluka
35 : Aku di Sini
37 : Rasa Takut
38 : Pertolongan Tuhan
39 : Pernikahan Impian
40 : Detak Jantung Yang Baru (END)

36 : Jangan Khawatir

698 142 39
By JaisiQ

Bismillahirrahmanirrahim
.
.
.

Ketika aku memutuskan untuk mencintaimu secara apa adanya, artinya semua kekurangan yang kamu miliki tak ada artinya lagi untukku

"Maaf ... maafkan saya ... tolong maafkan saya ...." Keringat dingin membanjiri pelipis Aretha hingga basah. Kepalanya bergerak ke kiri dan kanan. Napas terengah tak beraturan.

Alden yang tidur di sofa terusik mendengar lirihan Aretha. Alden memang sengaja agar tidak tidur terlalu nyenyak karena ingin menjaga Aretha. Ia  meminta Raihan membelikan kopi dan meminumnya sebelum tidur supaya terhindar dari rasa kantuk. Alden pun bangkit dan menghampiri Aretha yang sepertinya sedang mimpi buruk. Tangan Aretha yang sedikit terangkat disentuh Alden untuk dikembalikan ke posisi semula.

Akhirnya dua mata Aretha terbuka. Napasnya masih belum teratur. Kejadian tadi siang terus terngiang. Di mana ia melihat dengan mata kepala sendiri Rendy menembak neneknya karena kecerobohannya. Sepertinya Tuhan akan menghukumnya dengan cara terus membayangkan kejadian itu.

Alden membantu Aretha untuk duduk dan memberikan dia segelas air putih. Aretha hanya mampu menenggak seperempatnya saja.

"Kamu kenapa? Ada yang sakit? Mau aku panggilin dokter?"

Aretha menggeleng. "Nggak usah, Al. Aku teringat sama neneknya Rendy. Gara-gara aku dia meninggal. Dia bersimbah darah di depan mata aku. Dan aku nggak bisa berbuat apa-apa buat nolongin dia."

Mayat yang Alden lihat tadi itu neneknya Rendy yang dimaksud Aretha, kah?

"Aku minta sama kamu untuk lupain sejenak kejadian atau masalah yang kemarin. Fokus dulu sama kesehatan kamu. Ya? Aku mohon."

"Tapi aku nggak bisa lupain itu meski sebentar, Al. Aku bener-bener ngerasa bersalah. Udah dua nyawa terbunuh karena aku."

Alden duduk di pinggiran ranjang dan membawa Aretha ke dalam pelukan. Ia tidak tahu cara bagaimana menyembuhkan luka batin Aretha, hanya ini yang bisa Alden lakukan sejak tadi. Memberikan pelukan ternyaman.

Aretha kembali ke rumah nenek Rendy setelah dokter sudah memperbolehkan Aretha pulang. Informasi yang didapat dari tetangga adalah beliau sudah dimakamkan. Letak pemakamannya tak jauh dari sini. Mereka menunjukkan rasa iba dan simpatik lantaran tak ada satu pun keluarga dari nenek itu yang datang menjenguk, padahal katanya dia punya anak dan menantu di Jakarta.

Aretha dan Alden meminta bantuan kepada warga setempat untuk diantarkan ke makam.

Sesampainya di pemakaman, Aretha berjongkok di depan makam wanita yang selama ini sudah berbaik hati mau membantu dan merawatnya. Ia menyentuh permukaan tanah merah yang masih merah.

"Maafkan saya, Nek. Semoga amal ibadah nenek diterima oleh Allah. Saya benar-benar minta maaf sekaligus terima kasih atas semuanya. Saya juga minta maaf karena saya gagal mempertahankan anak saya. Tapi saya harus bangkit supaya saya bisa melawan cucu nenek yang durhaka itu. Saya janji akan membuat dia menerima balasan atas semua perbuatan jahatnya. Saya mau dia dihukum mati, Nek."

Sudah banyak sekali dosa yang Rendy lakukan di bumi ini, Aretha tidak akan membiarkannya lagi. Terutama Aretha juga ingin membalas kematian ayahnya yang tak wajar. Siapa tahu dengan ditangkapnya dia kemarin bisa membongkar kejahatannya yang lain juga. Yang penting sekarang Rendy sudah ada dalam kendali polisi.

Setelah pulang dari makam Alden dan Aretha memutuskan untuk langsung pulang ke Jakarta. Galiena terus menelepon Alden agar cepat membawa Aretha pulang karena rindu sekaligus kahwatir. Alden juga belum memberitahu apa yang terjadi karena ia yakin mereka akan nekat datang ke sini karena rasa cemas yang sudah tidak bisa dibendung lagi.

Aretha juga sudah meminta Alden untuk tidak bercerita bahwa dirinya sempat hamil dan mengalami keguguran. Aretha tidak mau membuat mertuanya khawatir. Biarkan itu menjadi rahasia yang hanya dirinya dan Alden yang tahu.

Alden dan Aretha peregangan tangan selagi Alden menyetir mobil.

"Ekhem, ekhem...." Raihan yang sejak tadi merasa menjadi nyamuk mulai bersuara.

Aretha menengok ke belakang lalu tertawa. "Maaf, ya, Rai. Temenmu lagi tergila-gila sama aku. Jadi gitu, nggak mau dilepas."

Tak ada protesan dari Alden karena memang begitu kenyataannya. Kehilangan telah membuatnya banyak belajar apa arti kebersamaan. Mungkin kemarin-kemarin Alden masih bersikap kurang perhatian, tapi mulai sekarang ia akan mencintai Aretha sepenuh hati tanpa rasa takut nanti akan bagaimana.

"Nggak papa, Mbak. Lagian saya juga kasian liat Pak Alden selama ini tanpa Mbak Aretha di sisinya. Udah kayak ikan tanpa air."

"Nggak bisa hidup, dong?"

"Hidup sih hidup, tapi kelihatan nggak bisa bernapas."

"Emangnya dia gimana waktu nggak ada saya?"

"Aduh, Mbak, galaunya melebihi abege."

Alden melirik Raihan, mendesis serupa bunyi ular sebagai kode agar tidak membuka kartu.

"Pak Alden pernah hampir mau minum alkohol ..."

Genggaman tangan Alden sontak Aretha lepaskan, ekspresinya langsung berubah. Menatap Alden seperti ingin membunuhnya detik itu juga.

Alden tahu pasti Aretha marah. "Aku minta maaf." Hanya itu kalimat yang Alden keluarkan.

"Galau itu sholat, Al, bukan malah mabuk. Aku nggak suka, ya." Aretha melempar wajah ke samping.

"Iya, iya, aku minta maaf. Aku janji itu untuk terkahir kalinya. Lagi pula aku nggak sempat minum, kok. Keburu ada Raihan yang halangi aku."

Tak ada jawaban dari Aretha. Dia tetap memalingkan muka.

Raihan menutup mulut, tak seharusnya ia mengatakan itu kepada Aretha kalau akhirnya mengakibatkan pertengkaran di antara mereka. Haduh, bagaimana ini?

Alden pun menepikan mobil.

"Aretha ... aku minta maaf."

"Aku itu paling nggak suka liat cowok mabuk, Al."

"Aku kemarin khilaf."

Kali ini Aretha tak merespons lagi.

"Sayang ...."

Napas Aretha tertahan di dada saat mendengarkan panggilan itu karena selama menikah Alden belum pernah memanggilnya begitu.

Ah, lemah sekali iman Aretha. Panggilan berjumlah enam huruf itu berhasil membuat kekesalannya runtuh.

"Sayang, aku minta maaf, ya. Kemarin aku bener-bener putus asa."

"Tapi kamu harus janji jangan pernah ulangi. Seberat apa pun masalahnya, jangan pernah ngelakuin itu. Selain dosa, nggak baik juga buat tubuh kamu. Janji, ya?"

"Janji. Lagi pula setelah itu aku langsung menyesal."

Aretha pun tersenyum. Keduanya berpelukan.

"Aku juga janji nggak bakal pergi dan bikin kamu sedih lagi. Aku juga minta maaf, ya. Aku senang kamu ternyata sefrustasi itu saat aku pergi. Tapi mulai sekarang aku nggak bakal pergi lagi."

"Hmmm..."

Raihan berpikir apa ia harus pindah naik bis saja ya untuk pulang ke Jakarta? Sejak kecil sampai dewasa ia hanya mampu melihat orang lain pacaran tanpa pernah merasakannya secara langsung. Kira-kira bagaimana, sih, rasanya? Raihan jadi kepo.

"Aretha ...." Galiena memeluk Aretha dan mengusap-usap punggungnya. "Kamu baik-baik aja, kan? Selama ini kamu dari mana? Ibu khawatir."

"Aku baik-baik aja, kok, Bu." Aretha tersenyum. "Makasih Ibu udah khawatir."

"Ya jelas Ibu khawatir. Selain menantu kamu juga udah Ibu anggap sebagai anak sendiri. Kamu udah nggak punya siapa-siapa lagi selain kita. Jadi jangan pernah pergi lagi, ya?"

Aretha mengangguk. Pandangannya tak sengaja teralih kepada Aina dan Aska yang juga ada di sana menyambut kedatangannya. Terlihat Aina sedang menggendong bayi. Aretha baru ingat, Alden pernah meneleponnya untuk datang ke rumah sakit karena kakak iparnya sudah melahirkan. Aretha berjalan menghampiri Aina dan menengok bayi yang ada dalam gendongannya.

"Halo, aunty," sapa Aina meniru suara bayi.

"Boleh aku gendong, Kak?" tanya Aretha. "Maaf waktu itu aku nggak datang untuk jenguk waktu kak Aina melahirkan."

"Oh, boleh, dong. Nggak papa, tenang aja. Aku tahu apa yang terjadi."

Aretha terenyuh melihat makhluk mungil yang berada di dalam dekapannya itu. Aina tersenyum. Anaknya punya om dan tante yang sama-sama kuat.

"Terima kasih karena kamu udah kembali, Aretha. Aku juga bersyukur kamu baik-baik aja. Kita adalah keluarga. Masalah kamu adalah masalah kita juga. Jangan tanggung semuanya sendirian."

"Iya, Kak." Mata Aretha tak lepas dari putri Aina yang lucu dan cantik. Kemarin juga ia hampir memiliknya, tapi Aretha sudah ikhlaskan itu karena ia tahu Tuhan punya skenario yang lebih baik.

"Ayah, Ibu .... Aku minta restu kalian berdua. Aku mau mengulang akad nikah bersama Aretha dan kita juga mau menggelar pesta pernikahan yang normal. Saatnya orang lain tahu, kalau kita udah menikah."

Mata orang tuanya terbelalak pertanda senang. Aretha melempar pandangan pada Alden.

"Kamu bersedia aku nikahi kembali?" tanya Alden.

Aretha malu karena Alden bersikap seolah sedang melamarnya di tengah-tengah keluarganya. Pipi dia bersemu merah.

Perlahan Aretha mengangguk.

"Alhamdulillah," lirih Galiena turut senang.

"Itu memang wajib dilakukan, Al. Menikahlah dengan cara yang seharusnya. Akad nikah untuk mempertegas kesalahan yang udah terlanjur terjadi kemarin, dan resepsi untuk menghindari fitnah. Biar kita yang mengurus itu semua," jelas Abyan penuh nada dukungan.

"Betul itu Al, biar kita yang urus masalah pernikahan."

"Memangnya ibu sama ayah masih mau menerima aku meski aku adalah anak hasil ...."

Alden lekas meletakkan telunjuknya di bibir Aretha agar ia tak meneruskan ucapan rendah itu. "Kamu adalah Aretha. Seorang reporter keren penuh prestasi. Putri dari seorang ayah tunggal yang hebat."

Kata-kata Alden berhasil membuat sudut bibir Aretha tertarik ke samping meski rasa mengganjal di hati masih tertinggal. Bagaimanapun ia tak akan pernah bisa menghapus jejak dari rahim siapa ia dilahirkan dan dengan cara bagaimana dirinya bisa hadir ke dunia. Andai bunuh diri tak diharamkan, lebih baik ia melakukan itu. Namun, melihat Alden yang mau menerima apa adanya dan keluarganya yang bersedia menerima kehadirannya, Aretha merasa hidupnya berharga.

"Aku minta sama kamu jangan singgung soal itu lagi."

"Betul kata Alden, Reth. Kami nggak bakal melihat dari mana kamu berasal. Selama ini kamu berjuang atas hidup kamu sendiri. Kamu perempuan yang hebat. Masa lalu kamu itu nggak penting bagi kita," ucap Galiena.

Aretha terharu mendengarnya, ia dikelilingi oleh orang-orang baik. Dari suami, mertua, hingga iparnya. Tuhan sudah ambil ayahnya dan digantikan dengan mereka. Itu sudah lebih dari cukup.

Ponsel Alden berbunyi pertanda ada panggilan masuk. Lelaki itu lekas mengangkatnya dan menjauh dari mereka. Tapi tindakan itu tak luput dari pengelihatan Aretha.

Sampai akhirnya Alden pergi keluar dengan mimik wajah berbeda dari sebelumnya. Aretha mengembalikan keponakannya kepada Aina dan izin pergi sebentar.

"Kamu mau ke mana, Al?" Aretha menyusul Alden yang melangkah menuju mobil. Alden berhenti dan berbalik.

"Aku mau ketemu sama Rendy."

"Mau apa kamu ketemu sama dia?"

"Aku harus meluruskan sesuatu."

"Jangan, Al, terlalu bahaya. Dia itu sakit. Aku mau kita nggak usah berurusan sama dia lagi. Biar hukum yang urus. Pokoknya aku udah nggak mau berurusan sama dia lagi. Aku nggak mau."

"Tapi hukum nggak bisa menghukum dia, Reth."

"Maksud kamu?"

"Aku yakin ada yang nggak beres karena pihak polisi malah membebaskan dia padahal buktinya udah jelas kalau dia menculik dan menyandera kamu. Banyak saksi juga yang liat dia udah membunuh orang. Ini nggak ada yang beres. Kita juga harus bisa membuktikan kalau dia juga ada di balik dalang kematian ayah kamu."

Aretha terdiam. Ia ingat bahwa ayah Rendy itu berkuasa, jadi pasti mudah baginya untuk lepas dari jeratan hukum. Kalau sudah begini Aretha tak yakin bisa melawan Rendy dan Ruslan. Suami dari perempuan yang ia kira ibunya lebih kejam dari hewan. Ruslan akan melakukan apa pun demi mempertahankan reputasinya sebagai kepala kejaksaan.

"Tapi aku nggak mau kamu pergi ketemu Rendy. Dia terlalu bahaya! Aku tahu dia bersalah, tapi aku nggak mau ada korban lain. Dia bukan orang yang bisa kita lawan."

"Selagi kita berusaha pasti ada jalan."

"Al, dia terobsesi sama aku, dia punya dendam sama kamu karena merasa kamu udah merebut aku dari kamu. Aku nggak mau terjadi sesuatu sama kamu. Jadi aku mohon sama kamu ... jangan temui dia. Hm? Kamu di sini aja, temani aku. Kamu tahu, kan? Waktu di Bandung kemarin aku menyuruh kamu pergi? Itu karena aku nggak mau Rendy lihat kamu. Dia itu psikopat, Al. Dia bahaya. Dia bahkan berani membunuh neneknya sendiri di depan semua orang. Apa yang lebih gila dari?"

Alden menangkup dua pipi Aretha, menatap mata perempuan itu lamat-lamat, mengerti tentang kekhawatirannya, Alden sangat menghargai itu. "Aku janji sama kamu, aku nggak bakal kenapa-kenapa. Lebih baik kamu khawatir sama Rendy. Dia bakal mati hari ini juga."

Mata Aretha memejam, kesal karena Alden malah sengaja menantang. "Dia berbahaya. Mengertilah sama kekhawatiran aku, Al. Dia bukan lawan kamu."

"Ya, dia memang bukan lawan aku karena dia terlalu lemah."

"Aldeeen."

"Kalau bukan kita yang menghentikan siapa lagi? Kejahatannya udah nggak bisa dimaafkan lagi. Semua orang wajib tahu siapa Rendy sebenarnya. Terutama orang tuanya."

"Memangnya kamu punya cara?"

"Kamu cukup perlu percaya sama aku. Setelah ini aku janji semuanya bakal baik-baik aja."

Wajah Aretha masih terlihat jemu. Alden melepaskan tangannya dari pipi Aretha kemudian tersenyum. "Aku pamit. Kamu harus tetap di sini dan jangan pergi ke mana-mana sampai aku kembali."

"Al ...."

Alden tak menggubris panggilan Aretha dengan ekspresi yang dipenuhi kegamangan bercampur rasa takut berlebihan. Ia mengerti pasti Aretha masih trauma soal kejadian kemarin.

Aretha pun berlari, memeluk Alden dari belakang ketika suaminya hendak masuk setelah membuka pintu mobil. Tangan melingkar di pinggang Alden, dan pipi bersandar di punggungnya yang hangat, wangi, dan tegap. Yang membuatnya tak ingin kehilangan tubuh yang telah berjanji akan melindunginya ini.

"Aku titip permen, ya? Beli yang banyak. Aku udah lama nggak makan permen lollipop. Aku kangen. Kamu harus balik sambil bawa permen. Kalau nggak awas aja, aku marah, aku nggak mau akad ulang. Nggak papa, biar kita cerai aja sekalian."

Alden tersenyum kemudian berbalik sambil melepas tangan Aretha yang melingkar di perutnya.

"Permen aja? Nggak ada yang lain?"

"Permen dan kamu aja udah cukup."

"Oke. Pesanan diterima."

"Janji?" Aretha mengikat kelingkingnya.

Alden mengaitkan kelingkingnya di kelingking Aretha, kemudian mengecupnya. "Aku janji."

Akhirnya Aretha tersenyum dan kekhawatirannya bisa sedikit berkurang.

"Ya udah kalau begitu aku berangkat."

Alden masuk ke mobil, Aretha mundur sambil terus menatap Alden yang sudah menyalakan mesin dan memundurkannya untuk putar balik.

"Lho? Reth? Itu Alden mau ke mana?" tanya Galiena yang baru tiba melihat mobil Alden sudah keluar dari halaman rumah.

"Itu, Bu ... hmm .... Mendadak ada hal yang harus dia urus di kantornya."

"Hmm, bisa-bisanya dia pergi setelah melamar kamu. Ya udah, masuk, yuk." Galiena merangkul

Aretha rasa dirinya yang terlalu perasa. Seperti apa kata Alden, semuanya pasti akan baik-baik saja. Aretha harus memercayai itu.

Spam komen yuk ..

Garut, 20 Maret 2023

Continue Reading

You'll Also Like

67.2K 16.6K 19
📌 Lapaknya Alif "Harta, tahta, tampan gak burik seujung kuku pun, kemewahan, gak pernah kekurangan, lahir dari keluarga baik-baik, satu iman," jeda...
111K 6.5K 32
[PINDAH KE KUBACA/ICANNOVEL] Jika cinta kepada manusia selalu menjadi topik utama, bahkan tak segan untuk diperjuangkan secara sempurna. Lantas, baga...
2.6M 39.7K 51
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
7.2K 1.1K 20
TAMAT || PART MASIH LENGKAP "Kuy!" "Kuy?" 'Aisyah' berkacak pinggang. "Maksud gue, yuk, itu cuma kata yang dibalik!" "O-oh. Mari, kita berangkat kebu...