Saving The Conifux

By MBTIGal_

2K 293 144

*INI HANYA CERITA FIKSI. PEMBACA DIMOHON UNTUK BIJAK!* Ada satu kerajaan terkuat di dunia bernama Kerajaan Co... More

Prolog
Bab 1 : Pangeran Diplomat
Bab 2 : Dua Kekasih
Bab 3 (Bagian 2) : Sesuatu Yang Buruk
Bab 4 (Bagian 1) : Pertarungan
Bab 4 (Bagian 2) : Pertarungan
Bab 5 : Fitnah
Bab 6 : Kunjungan & Keanehan
Bab 7 : Obrolan di Sore Hari

Bab 3 (Bagian 1) : Kecemasan

157 31 1
By MBTIGal_

Di mobil...

"Kak Elfen..." Panggil Celia yang terdengar lesu. Sontak membuat Elfen menoleh ke arahnya.
Elfen memperhatikan bagaimana raut wajah adik laki-lakinya mengecut.

Senyum ceria bak mentari yang tadi ia perlihatkan itu pun menghilang. Tatapan mata pemuda itu mengarah pada bangunan-bangunan dan rumah-rumah yang saat ini mereka lalui. Ia lalu menghembuskan nafasnya perlahan.

Celia lalu menoleh dan menatap Elfen serius.

"Kupikir ini sudah saatnya untuk menjaga Desa Raega. Kalau para Analyst sampai bisa mengambil hati mereka dan menguasai wilayah mereka, aku tak bisa membayangkan bagaimana nasib rakyat di perbatasan. Bagaimana kalau Analyst memang berniat untuk menaklukkan wilayah kita perlahan-lahan? Bagaimana kalau ternyata mereka bukan hanya ingin menaklukkan, tapi menyandera kita juga? Bagaimana kalau--"

Celia mulai gemetaran dan panik. Kedua tangannya memeluk dirinya sendiri dan mengusap-usap bagian yang disentuhnya sebagai usaha menenangkan diri sendiri. Pun untuk mengatur nafasnya, namun berujung gagal.

Elfen yang melihat itu hanya bisa memeluk Celia sembari membisikkan kata-kata penenang untuknya. Mengingat Celia sudah sangat sering mengalami kepanikan seperti ini, jadi ia sudah tau apa yang harus ia lakukan.

"Celia ... tenanglah." Ujar Elfen yang masih memeluk adiknya. Sembari sesekali mengecup kepalanya lembut.

"A-aku ... *Hiks* takut, kak."

Celia tampak mengatupkan giginya dan memeluk dirinya sendiri. Menahan dirinya sendiri agar tidak memekik karena perasaan frustasi yang ia rasakan. Amarahnya yang ia pendam terus-menerus, akhirnya membara ke udara. Tak sudi ketika ia harus melihat wajah-wajah kurang ajar bangsawan sombong itu.

Mentang-mentang banyak mata yang melirik mereka karena memiliki kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pesat, sumber daya manusia yang cerdas, penghasilan para penduduknya melebihi penduduk dari kerajaan lain, mereka bisa seenaknya berusaha menguasai daerah lain, termasuk Desa Raega tadi.

Semua kegiatan mereka pada akhirnya hanya berujung pada kepentingan bisnis dan politik. Celia benci mereka. Orang-orang bermuka dua yang hanya bisa memanfaatkan orang lain demi memenuhi kepentingannya sendiri.

"Hei ... tidak apa-apa. Aku akan melindungimu. Luna juga, Lea juga meskipun dia sedang pergi, tapi kau tau kan, Lea punya banyak naga peliharaan yang bisa ia perintahkan untuk menjaga kerajaan kita." Jelas Elfen, yang alhasil membuat Celia mendengus kesal.

"Entahlah. Aku tidak bisa mempercayai Kak Lea lagi. Semenjak aku tau ia adalah sahabat para Analyst brengsek itu, aku jadi khawatir. Bagaimana kalau ternyata selama ini, Kak Lea berkhianat dan sebenarnya sedang mengawasi kita juga? Bagaimana kalau ternyata Kak Lea berpihak pada para Analyst itu dan akan menyerang kita?!"

Celia memandang ke arah luar mobil dengan tatapan kesal. Jika diingat-ingat lagi, waktu pertama kali ia mengetahui kalau Lea adalah sahabat dari bangsawan Analyst, adalah lima tahun yang lalu, berjarak tepat dua bulan setelah terjadinya Perang Mist.

Saat itu ia sedang jalan-jalan bersama Luna di dekat daerah perbatasan. Sekedar ingin melihat situasi dan kondisi di sekitar sana. Tapi perhatiannya teralihkan begitu melihat kakak keduanya sedang berbincang dengan keempat bangsawan Analyst di pagar daerah perbatasan. Mereka tampak berbincang biasa. Bahkan sedikit diselingi dengan canda tawa.

Semenjak saat itu, Celia marah dan kesal dengan Lea dan selalu mencurigainya di manapun dia berada. Ia tidak suka. Bagaimana bisa kakaknya itu berbincang, bahkan tertawa bersama dengan orang-orang yang sudah memulai Perang Mist? Perang yang mengakibatkan terbunuhnya lebih dari seribu orang, dengan korban terbanyak berasal dari Kerajaan Diplomat? Tidakkah ia peduli dengan itu?!

Hingga akhirnya, ia mulai menjaga jarak dengan Lea. Lea yang menyadarinya bertanya padanya. Namun selalu tak Celia jawab. Semakin lama, Celia semakin menjauh. Hingga Celia sampai pada titik kasih sayangnya pada Lea benar-benar hilang. Rasa percaya pada satu sama lain yang kuat dulu itu sudah musnah. Hanya ada kebencian di antara keduanya.

"Hei. Apa yang kau katakan itu tidak benar. Lea sudah berjanji padaku kalau dia sedang mencari pecahan Snow Mist untuk disatukan kembali dan mengalahkan energi jahat yang masuk ke dalam wilayah Conifux." Jelas Elfen yang masih berusaha berprasangka baik.

"Kita bukanlah Conifux lagi kak. Mau sampai kapan kau terus menolak kenyataan itu?"

Kata-kata itu berhasil menyentil hati lembut Elfen. Membuat pria dengan badan tinggi itu tertegun sejenak.

"... aku hanya ingin kita terus percaya. Suatu saat yang akan datang, aku yakin, kita semua akan kembali damai seperti dulu. Celia, janganlah berhenti untuk percaya." Lanjutnya.

Celia berdecak kesal. Lalu mengalihkan pandangan pada kakak tertuanya.

"Kau belum menjawab soal Kak Lea yang akan menyerang kita. Berarti kau juga ragu, kan?!" Celia mulai mencecar.

Elfen yang mendengar tuduhan itu mulai kehilangan kesabarannya dan sedikit meninggikan suaranya. Namun tak sampai terdengar oleh pengawal di bagian depan.

"Ya Tuhan, Celia!! Sungguh!! Kalau memang katamu benar bahwa Lea akan melawan kita, seharusnya dia sudah menyerang kerajaan ini semenjak dulu. Dia kan punya pasukan naga yang sangat kuat. Tentu saja dia bisa memanfaatkan itu untuk mengalahkan kita. Tapi ... apa?! Dia bahkan belum pernah sekalipun menyentuh kita dengan naga-naganya."

Celia yang mendengar argumen sang kakak meneguk salivanya. Kakaknya yang satu itu begitu menakutkan ketika marah. Baiklah, ia akui sepertinya kali ini dia memang sudah kelewatan. Menuduh-nuduh Lea atas hal yang ia sendiri belum tahu kebenarannya seperti apa.

"Hhh ... m-maaf. Tapi bagaimanapun Kak Elfen berusaha untuk membuatku percaya, aku tidak bisa. Kita harus berjaga-jaga kalau saja itu benar!"

Elfen hanya bisa memijat keningnya perlahan saat mendengar jawaban adiknya itu. Sebenarnya ia tidak suka jika melihat Celia dan Lea yang kian hari kian menjauh dari satu sama lain. Tapi dia juga tak bisa berbuat apa-apa. Segala cara sudah ia lakukan demi keharmonisan hubungan mereka. Namun ia selalu berakhir gagal dan hanya menyakiti dirinya sendiri.

"... hhh ... baiklah. Terserah kau saja."

Hening seketika. Hanya terdengar suara roda mobil yang memenuhi gendang telinga mereka. Hembusan angin yang tadinya lembut berubah menjadi kencang. Seketika membuat Celia melihat ke langit. Sudah ada gumpalan awan berwarna kelabu yang sudah menutupinya.

Sepertinya hari ini akan penuh dengan kesialan. Sudah lah bertemu para Analyst di Desa Raega, pembicaraan tentang Lea yang tak ada habisnya, langit mendung. Apa lagi? Luna akan berada dalam bahaya?

Oh. Ngomong-ngomong soal kesialan...

"Kak Elfen."

"Hm?"

"Kau ... masih ada rasa cinta dengan wanita sial itu kan?"

*DEG!*

Seketika itu juga, tubuh kekar Elfen seolah-olah membeku di tempatnya. Bola matanya membulat cemas.

Sial. Apakah ekspresinya saat berhadapan dengan Brianna tadi terlihat begitu jelas? Memalukan. Sepertinya ia harus mulai belajar untuk mengontrol raut wajahnya dari sekarang.

"Hah? A-apa maksudmu?! Aku kan hanya--"

"Aku tau kau hanya sedang berpura-pura mencelanya dan menghinanya tadi. Padahal sebenarnya kau masih menyayanginya dan berharap dia bisa berubah. Bukankah begitu, kak?!" Celia memotong sembari memberikan penekanan pada suaranya.

"T-tidak! Aku sudah tidak menyayanginya! Dia adalah pengkhianat! Aku benci--"

"Kau hanya membohongi dirimu sendiri, kak. Sudahlah. Berhenti berpura-pura membencinya di depanku. Aku sudah hidup bersamamu cukup lama untuk mengetahui kapan kau berbohong." Jelasnya.

Namun, Elfen masih saja mengelak.

"Aku tidak--"

Celia yang muak pun mencengkram pundak Elfen dengan kuat dan menatapnya serius.

"Berhenti mengelak! Aku melihat kau menatap Brianna dengan penuh rasa sakit. Seolah-olah kau tak rela putus dengannya dan masih ingin terus bersamanya." Tegas pemuda beriris warna lime itu.

Elfen menatap adiknya ngeri dan tampak menahan nafasnya. Saat adiknya tetap menatapnya dengan tajam. Ia langsung berbicara.

"Ugh ... aku benci perasaanku yang seperti ini, Celia."

Celia yang mendengar itu berdecak kesal dan membenarkan posisi duduknya. Lalu menyilangkan kedua lengannya di depan dadanya.

"Ck. Sudah kubilang untuk melupakan dia bukan?! Dia juga sudah tak peduli denganmu. Kenapa kau masih saja memperdulikannya?!"

Celia tidak kaget. Ia sudah tau bahwa kakaknya memang akan seperti ini jika dihadapkan dengan mantan kekasihnya.

"Mudah bagimu untuk mengatakannya. Aku sudah menjalin hubungan dengannya selama empat tahun, rasanya masih terlalu sakit jika aku mengingat malam terakhir sebelum kami putus." Ujar Elfen yang tak lama kemudian memasang ekspresi menahan sakit itu kembali di wajahnya.

"Cih. Menjijikan. Kau jatuh sampai terlalu dalam seperti itu. Ingatlah kak! Masih ada banyak hal yang lebih penting daripada dia! Kau masih bisa mempererat hubungan dengan rakyat, kau bisa bersenang-senang semaumu, kau masih bisa memilih gadis yang tepat untukmu! Tidakkah kau melihat semua itu?" Celia berbicara panjang lebar dan menggertakkan giginya.

"Aku tau, Celia. Tolonglah mengerti. Aku juga sedang berusaha melupakannya. Kau tau kan kalau segala perubahan itu butuh waktu yang cukup lama? Ini pun sama." Suara Elfen terdengar putus asa.

Elfen sudah tak mau mendengarkan omelan-omelan dari adiknya karena ia lelah. Tak punya pilihan lain, ia hanya bisa menjelaskan pada adiknya untuk berusaha mengerti situasi rumitnya.

Celia memalingkan wajahnya ke arah jendela mobil sembari mendengus dan menggembungkan pipinya. Masih kesal meskipun ia tau kalau perkataan Elfen ada benarnya juga.

Setelah berdiam lama, akhirnya Celia berbicara.

"... yasudah. Aku akan berusaha mengerti."

"Ahh ... terima ka--"

Belum selesai Elfen mengucapkan kata 'Terima kasih' perkataanya sudah terlebih dahulu dipotong oleh Celia yang membuka telapak tangannya di depan wajah Elfen.

"Tapi kalau kau sampai diam-diam menjalin hubungan dengan wanita itu..."

Tiba-tiba, telapak tangan Carlos mengeluarkan sinar berwarna hijau.

*SRIIIIIINGG!!*

"... aku tak akan segan melakukan hal yang terburuk padanya, dan juga kau!"

*Gulp!*

Elfen tampak membuka mulutnya sedikit. Terpampang jelas susunan gigi putihnya yang rapih. Lalu ia mengangkat jari telunjuk tangan kanannya, dan baru saja akan membalas pernyataan itu saat ada suara pengawal yang mengejutkan keduanya.

"Yang Mulia Elfen dan Yang Mulia Celia! Kita sudah sampai di istana!"

Akhirnya Elfen merapihkan pakaiannya yang kusut dan bersiap turun. Namun saat ia hendak berdiri dari tempat duduknya, ia mendapati kalau Celia masih duduk saja di mobil dan tak ikut berdiri.

"Hei, Celia! Apa yang kau lakukan? Kita sudah sampai!" Tanya Elfen.

Celia hanya menatapnya datar.

"Aku akan tetap di mobil ini dan lanjut pergi ke Kerajaan Utama." Jawabnya.

Elfen yang mendengar itu memiringkan kepalanya dan menaikkan sebelah alis.

"Ha? Untuk apa? Apa ada suatu hal genting?" Tanya Elfen penasaran.

"Tidak, bodoh! Aku hanya ingin mengusulkan sesuatu pada Yang Mulia Raja." Celia lalu menjawabnya dengan senyuman kecil.

Elfen sedikit kebingungan mengenai soal alasan adiknya itu melakukan hal ini. Namun ia berusaha untuk tidak memikirkannya lebih lanjut dan memakluminya. Mungkin saja ini urusan pribadinya dengan Raja. Elfen tak mau ikut campur.

Elfen pun menyampaikan wejangan pada Celia sebelum turun dari mobil.

"Ohh ... baiklah. Berhati-hatilah di sana. Kudengar hari ini para bangsawan Sentinel akan berkunjung ke Kerajaan Utama." Ujarnya.

Celia tersenyum lebar.

"Tenang saja. Aku masih berteman baik dengan salah satu bangsawan di sana! Kau tak perlu khawatir, kak!"

Elfen pun mengangguk.

"Yasudah! Aku turun dulu!" Pamitnya.

"Dadaaah Kak Elfen!! Jangan memimpikan wanita brengsek itu yaa!!" Goda Celia yang lalu tertawa terbahak-bahak.

Sontak membuat pipi Elfen memerah karena malu. Ia lalu menutup wajahnya dan berjalan keluar dari mobil dengan hati-hati.

"Ugh, iya, iyaaaaa! Cukup! Pergi sana!"

.
.
.
.
.

Lanjut ke Bagian 2!

Continue Reading

You'll Also Like

84.1K 8.1K 32
Supaporn Faye Malisorn adalah CEO dan pendiri dari Malisorn Corporation yang memiliki Istri bernama Yoko Apasra Lertprasert seorang Aktris ternama di...
202K 21.8K 41
Menyesal! Haechan menyesal memaksakan kehendaknya untuk bersama dengan Mark Lee, harga yang harus ia bayar untuk memperjuangkan pria itu begitu mahal...
171K 19.2K 47
#taekook #boyslove #mpreg
127K 13.3K 24
Lima tahun lalu, Wonwoo memutuskan sebuah keputusan paling penting sepanjang hidupnya. Dia ingin punya anak tanpa menikah. Lima tahun kemudian, Wonw...