Boyfriend With Benefits

By xerniy

193K 2.3K 82

[21+] Asmara Senjani hanya ingin lulus kuliah tepat waktu lalu bekerja demi menghidupi adik semata wayang dan... More

Chapter 1 : Belas Kasih
Chapter 3 : Derita Si Kuno
Chapter 4 : Kencan Pertama
Chapter 5 : First Kiss
Chapter 6 : Peduli Apa?
Chapter 7 : Penculik
Chapter 8 : Bohong
Chapter 9 : Lebih Jauh
Chapter 10 : Satu Kasur
Chapter 11 : Berlindung
Chapter 12 : Perhatian Kecil
Chapter 13 : Jatuh Hati?
Chapter 14 : Terjebak
Chapter 15 : I Will Protect You

Chapter 2 : Kesepakatan

16.7K 248 6
By xerniy

"Serius. Memang apa untungnya saya membohongi kamu?"

"Eh. Bu-bukan itu maksud Mara." Gadis itu tampak ragu. Mara masih mengumpulkan kepercayaannya pada Arven. Ya Tuhan! Bagaimana bisa pria asing yang bahkan mereka saja baru pertama kali bertemu hari ini, membantu kesulitannya tanpa pikir panjang. "Bapak beneran janji melunasinya sampai saya lulus?"

Arven mengangguk pelan walau dia kesal Asmara terlalu bawel. Timbang terima bantuan apa susahnya sih hah?! Jujur, kemalasannya naik level ketika meladeni orang yang terlalu banyak tingkah macam Asmara.

"Hmm, lagipula kuliahmu masih beberapa semester, kan? Apa salahnya jika aku ingin membantumu sedikit?"

"Mara," tegur Pak Wira. "Kamu harusnya berterima kasih pada pak Arven. Bukan malah meragukan beliau."

"Eh, ma-maaf," Lantas Asmara mengoreksi. "Mara cuman takut jadi merepotkan pak Arven." Mara Takut disebut dikasih hati minta jantung. Barulah kedua sudut bibir gadis cantik itu membentuk senyuman manis. Dalam hati, Asmara tak henti mengucap rasa syukur karena Tuhan telah mengirimkan pria dermawan seperti Arven sebagai malaikat untuknya. "Makasih ya, Pak. Makasih banget. Mara berhutang banyak sama Pak Arven."

"Tidak masalah. Mulai bulan ini UKT Mara adalah tanggung jawab saya, Pak. Setiap bulan, saya akan transfer ke rekening kampus."

***
 

Bertemu dengan pria berhati malaikat adalah hal yang tidak pernah Asmara duga sebelumnya. Maka, usai mata kuliah terakhir selesai ia bergegas mencari keberadaan lelaki dermawan bernama Arven tadi sebelum pria itu keburu pulang. Entahlah, Asmara pun ragu apakah Arven masih berada di kampusnya. Beruntung, dia menemukan pria itu tengah menelpon di area parkiran khusus. Alisnya bertaut, sedangkan wajahnya memerah seolah menahan amarah kala menyahuti suara dalam panggilan.

Asmara membungkuk, mengintipnya di balik mobil hitam di belakang pria itu.

"Iya. Arven pasti datang ke acara papa malam nanti. Mama nggak usah bawel bisa?"

"... "

"Kenapa? Papa nggak suka aku datang sendirian? Papa malu sama rekan bisnisnya kalo anak tirinya ini belum menikah?"

"... "

"Sudahlah, Arven males ngomong sama Mama. Kalian berdua sama saja selalu mengelu-elukan Arkana si anak sempurna itu di hadapanku."

Panggilan pun dimatikan sepihak olehnya.

Selain kerap mendesaknya agar segera menikah, rupanya Flora telah mewanti-wanti Viona agar mau dijodohkan dengannya. Parahnya Viona sampai membuat Flora was-was dengan mengatakan dia tidak normal, sudah cukup memercik amarah dalam diri Arven.

Bajingan!

Menendang ban mobil membuat Asmara bahkan terlonjak melihat hal tersebut. Asmara meremas tali tasnya. Dua hal yang dia simpulkan dari percakapan barusan, malu dan menikah. Oh Astaga ternyata Arven belum menikah? Padahal Asmara sudah menimbang-nimbang kado apa yang akan dia berikan pada anak Arven sebagai ucapan terima kasih atas kedermawanan papanya.

Memang jika dilihat dari wajah Arven tidak setua itu untuk dikategorikan sebagai pria beranak satu. Namun setelah dia tanyakan pada Pak Wira, usia Arven ternyata sudah melebihi kepala tiga.

"Beliau kayaknya lagi marah banget. Duh, aku hampirin nggak yaa?" batin Asmara, Arven tampak mengacak frustasi rambutnya.

"Sial! Gue ini pria normal. Viona emang pantes dikasih pelajaran!"

"Dek, ngapain ngumpet di mobil bu Dewi? Nggak pulang?"

"Haa? A-aku... " Skakmat. Di saat ia kaget melihat kehadiran pak satpam, Asmara justru menegakkan tubuhnya dan mampus sekali, pandangannya langsung bertemu dengan Arven.

"Asmara. Apa yang kamu lakukan di situ, mengintipku?" Mendekat penuh curiga, pria itu membuat Asmara menggigit cemas bibir bawahnya. "Tinggalkan kami berdua, Pak," titahnya maka Satpam langsung menjauh.

"Mara cuman pengen ngucapin terima kasih banyak karena pak Arven udah nolongin Mara," ucap Asmara lembut.

"Hanya itu?"

Asmara mengangguk. "Mara juga bingung mau membalas jasa pak Arven dengan cara apa. Mara cuma punya kalimat terima kasih. Makasih ya, Pak."

Satu alis Arven terangkat, ia menarik satu sudut bibir sembari bersedekap. "Lalu, sampai berapa kali kamu ingin mengucapkan terima kasih padaku?"

"Mungkin setiap kali kita ketemu kali yaa. Hehe." Gadis itu menyengir lebar. "Bapak nanti berkunjung ke sini lagi nggak? Mara siap bikinkan kue buat oleh-oleh terus bapak bawa pulang. Atau... pacar? Mara bisa comblangin bapak sama guru muda di kelas Mara biar bapak ada gandengan. Bapak pengen?"

"Enggak." Maksudnya, apa-apaan sih gadis bocah ini? Arven baru pertama kali menemui gadis lancang semacam Asmara yang terang-terangan menawarkannya seorang pacar.

Memijat pelan hidungnya lalu memajukan wajah hingga terciumlah aroma bedak bayi, Arven berbisik di telinga gadis itu. "Maksud saya kenapa enggak kamu saja yang menjadi pacarku?"

"Haa?!" Lantas Asmara memundurkan wajah, matanya membola.

"Saya punya penawaran menguntungkan buatmu Mara," lanjut Arven serius. "Bukan kamu saja, melainkan untuk kita berdua."

Pundaknya meluruh lega seraya Asmara manggut-manggut, pikiran positifnya terus bekerja. "Ohh maksud bapak pengen ngasih saya kerjaan nih?"

"Bukan kerjaan. Tapi permintaan, bahkan gajih dariku akan lebih banyak dibandingkan kamu bekerja dengan orang lain."

"Boleh deh. Mara cukup tertarik, apa dulu permintaannya, Pak?"

Seulas senyum smirk Arven perlihatkan. "Gampang, kamu tinggal menjadi pacar sewaanku selama masa kontrak yang saya tentukan."

"Pa-pacar sewaan?!" kagetlah Asmara untuk kesekian kali. Namun kali ini kagetnya sungguh bukan main. "Tapi Mara nggak boleh pacaran kata almarhumah ibu." Ya selama 22 tahun hidup Asmara belum pernah menggandeng seorang pacar. Serius!

"Memang apa peduliku?" Arven menyahut malas. "Begini, anggap saat mengiyakan kamu sudah berhasil membalas jasaku yang berbaik hati melunasi UKT mu sampai lulus."

"Artinya bapak nggak ikhlas nolongin Mara dong."

"Ck, bukannya kamu sendiri yang bilang bingung membalas jasaku dengan cara apa. Yasudah saya tawarkan opsinya. Tapi terserah, saya bisa cabut keputusan melunasi UKT mu sekarang juga kalo saya mau."

"Eh, jangan dong, Pak. Mara nggak tau lagi minta tolong ke siapa selain bapak." Tentu saja Asmara tidak ingin Arven mencabut bantuannya melunasi UKT, hanya pria itu— Arven, harapannya agar dapat melanjutkan sekolah hingga dia mendapatkan ijazah kemudian melamar kerja, menerima gaji, mengobati sang ayah sampai sembuh lalu hidup berbahagia bersama sang adik.

"Makanya pikirkan dulu matang-matang penawaranku barusan."

"Bapak kenapa butuh pacar sewaan?"

"Tinggal jawab kamu terima atau menolak. Saya tidak akan menjawab pertanyaan yang lain," titahnya.

Membuka pintu hendak memasuki mobil Asmara segera mencegat pria itu, sepertinya dia tidak mungkin menolak permintaan sang donatur atau harapannya kembali pupus.

"I-iya tunggu, Mara bersedia kok. Mara bersedia jadi pacar sewaan bapak."

***
 

Seumur-umur Asmara baru mendengar istilah pacar sewaan.

Ia kira, sewaan hanya berlaku untuk barang yang dijual ketika sang pemilik membutuhkan uang secara mendesak. Namun ternyata juga berlaku bagi manusia. Alhasil usai menerima penawaran pria itu, dia diajak pergi ke sebuah kafe demi melanjutkan kesepakatan mereka.

"Baca dulu semua peraturannya dengan seksama, baru kamu boleh tanda tangan." Dan kini Arven menyodorkan sebuah dokumen kontrak.

Asmara pun membaca mulai awal dokumennya, kendati keningnya mengernyit heran manakala peraturan yang dibuat oleh Arven lumayan banyak dan pastinya bikin Asmara sedikit kebingungan.

"Mara disuruh baca kontrak apa pembukaan Undang-Undang? Panjang bangett."

"Nggak usah bawel napa." Arven menyeruput kopinya.

Oh jelas saja Asmara bawel sebab peraturannya terdengar nyeleneh sekali. Tak suka ambil pusing, dia lanjut membaca lagi.

“Peraturan ketiga, pihak pertama dan pihak kedua tidak boleh saling menyentuh secara berlebihan.” Bibir Asmara mencebik. "Dih, emang siapa yang pengen disentuh sama bapak? Dosa tau!"

"Saya juga ogah nyentuh kamu. Rata depan belakang siapa yang nafsu?" balas Arven ketus. "Kurus kering begitu."

Asmara meringis, selain pemaksa mulut pria ini rupanya lumayan pedas.

"Peraturan kelima, pihak kedua harus bersedia setiap pihak pertama membutuhkannya. Jika tidak, pihak pertama akan mendapatkan pengurangan bayaran." Bertaut sejenak alis tebalnya, Asmara menatap Arven kebingungan. "Ini kalau Mara lagi ujian gimana? Bolos kelas gitu demi kencan sama bapak?"

Arven menggeleng. "Kemungkinannya nol persen saya mengajak kamu kencan di siang hari. Toh, acara di keluarga saya selalu dirayakan saat malam hari. Paham?"

Asmara mengangguk patuh. Dia membaca kembali kontraknya. "Terakhir, bayaran penuh akan diberikan di akhir kencan yaitu setiap pihak kedua selesai melaksanakan pekerjaannya dengan baik." Mata Asmara berbinar cerah kemudian tersenyum menatap pria berhidung mancung tersebut. "Berapa, Pak?"

"Apanya?"

"Bapak mau bayar saya berapa tiap kali kita kencan?" tanyanya cengengesan. Sesekali Asmara yang melakukan penawaran tidak ada salahnya, kan?

Arven mendengkus, bersedekap. Namun senyum tipisnya terulas menggoda. "Tergantung. Tergantung seberapa memuaskannya kinerja kamu di mata saya."

"Duh, awas ya kalo murah."

"Heh!" Lantas Arven melotot pada gadis bertubuh mungil itu. Sialan! Asmara berani semakin lancang. Lihat, gadis itu malah lepas tertawa.

"Hahaha, becanda." Asmara menunjukkan tanda peace lewat dua jarinya yang ingin sekali Arven gigit karena kepalang kesal. "Okedeh. Mara tanda tangan di sini yaaa." Mengambil pulpen, setelah pertimbangan cukup matang Asmara rasa kesepakatan mereka nggak muluk-muluk amat disetujui. Asmara tersenyum lebar sambil membubuhkan tanda tangannya di atas materai. "Nah udah, habis ini apa yang mesti Mara lakuin?"

Pertanyaan selesai dilontarkan bertepatan beberapa detik berselang ponsel Arven berdering.

Merogoh benda pipih tersebut di saku celana lalu menemukan nama Flora sebagai penelpon, Arven mengangkat sebelah sudut bibirnya menatap Asmara.

“Bersiap untuk kencan malam nanti di kediaman saya. Tampil yang anggun, agar kita nampak seperti pasangan yang serasi.”

***

To be continue....

Spoiler Next Part : "Lagian kenapa kamu terlalu mikirin Haris sih? Kamu lupa sejak ibumu meninggal dia nggak lagi menganggap kamu anak?"

Continue Reading

You'll Also Like

1.8M 26.1K 43
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
825K 127K 45
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
2.4M 174K 32
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
4.9M 182K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...