Boyfriend With Benefits

Oleh xerniy

193K 2.3K 82

[21+] Asmara Senjani hanya ingin lulus kuliah tepat waktu lalu bekerja demi menghidupi adik semata wayang dan... Lebih Banyak

Chapter 2 : Kesepakatan
Chapter 3 : Derita Si Kuno
Chapter 4 : Kencan Pertama
Chapter 5 : First Kiss
Chapter 6 : Peduli Apa?
Chapter 7 : Penculik
Chapter 8 : Bohong
Chapter 9 : Lebih Jauh
Chapter 10 : Satu Kasur
Chapter 11 : Berlindung
Chapter 12 : Perhatian Kecil
Chapter 13 : Jatuh Hati?
Chapter 14 : Terjebak
Chapter 15 : I Will Protect You

Chapter 1 : Belas Kasih

38.6K 358 7
Oleh xerniy

Jangan lupa vote dan komen yaaa🥰🥰

Jemari gadis itu mencengkram erat sisi rok hitamnya. Sementara pandangannya terus menunduk ke bawah tak berani menatap seorang wanita berhijab di hadapannya. Cemas, sebab telah menjadi rutinitasnya dipanggil ke ruang bendahara kampus karena terlambat melunasi UKT.

"Asmara Senjani," ucap bu Dewi selaku bendahara kampus, menatap gadis bernama Asmara itu dengan kesal. "Mau berapa bulan kamu menunggak, Nak? Kalau begini terus, ibu tidak menjamin ijazah kamu akan keluar tepat waktu." Kemudian menyodorkan kartu tagihan UKT milik Asmara di atas meja.

"Masalahnya dua bulan lalu, ibu juga yang menutupi tagihan UKT kamu menggunakan uang ibu, tapi untuk sekarang, tidak mungkin lagi dilakukan karena kamu punya kewajiban yang harus dipatuhi di kampus. Toh, kamu tau sendiri kan ibu punya tiga anak yang harus ibu nafkahi seorang diri?"

"Maaf, Bu." Asmara mengangguk penuh rasa bersalah. "Tapi apa boleh aku minta waktu seminggu lagi? Cuman seminggu kok, aku janji akan bayar lunas UKT ku semester ini."

"Astaga Mara!" Bu Dewi menepuk jidatnya kesal sambil berdecak. "Ibu udah bilang kalo ibu nggak bisa ya nggak bisa, Nak. Sebaiknya bicarakan saja masalah ini dengan rektor, ibu udah capek mentoleransi kamu."

Menelan salivanya kasar, Asmara pastikan bu Dewi tidak akan menolongnya untuk kedua kali. Hatinya mencelos mengingat bahwa bu Dewi adalah satu-satunya harapan karena dia masih belum memiliki uang yang cukup membayar UKT. Namun sekarang harapannya benar-benar pupus.

Terpaksa gadis itu bangkit dari kursi.

"Mara permisi ya, Bu. Terima kasih udah banyak bantu aku sebelumnya."

"Sama-sama."

Setelahnya gadis cantik itu pun melangkah gontai keluar ruang bendahara kampus. Kakinya tahu kemana arah melangkah tetapi pikiran Asmara terus berputar mencari cara bagaimana mendapatkan banyak uang dalam satu minggu.

Rasanya sungguh mustahil!

Dan diantara hiruk pikuk mahasiswa yang bercanda ria bersama teman-temannya menikmati jam istirahat, ia justru duduk termenung dengan hati gelisah di kursi pendopo. Bulir di ujung matanya hendak mengalir namun Asmara tahan rasa itu meski dia ingin sekali menangis.

"Mara!" Seseorang memanggil membuat Mara menoleh. Ulfa, sahabat karibnya sejak SD itu mendekat penuh tanda tanya. Mara pun cepat-cepat menyeka sudut matanya yang menggenang.

"Gimana? Lo dikasih bu Dewi solusi buat semester ini?"

Mara menggeleng lesu. "Belum Ulfa. Ibu Dewi udah nyerah bantuin aku, sekarang aku nggak tau lagi mau nyari uang kemana. Kemarin aku juga baru dipecat dari restoran gara-gara sering telat."

"Duh... kasihan banget. Terus-terus, bukannya uang hadiah lomba lo kemarin lumayan banyak tuh. Lo kemanain sih uangnya?"

"Habis buat biaya pengobatan ayah sama sekolah adik aku lah. Kamu tau sendiri kan Ulfa, ayah aku sakit-sakitan di rumah terus keperluan sekolah adik aku lumayan banyak. Apalagi dia baru masuk SD."

Ya Ulfa tahu hal menyedihkan itu dia mengangguk paham.

Kehidupan Asmara memang pilu, dia mesti menanggung segala kebutuhan keluarganya karena sang ayah yang tengah sakit hingga tidak mampu bekerja. Belum lagi, keperluan rumah serta biaya sekolah Nadin—adiknya yang baru saja menginjak bangku sekolah dasar.

Berjuang sendiri memang tidak mudah, namun Mara berhasil melewatinya selama tiga tahun kepergian sang ibu yang bernama Naila. Beliau pergi bukan hanya meninggalkan luka mendalam dalam keluarga mereka, tetapi juga trauma menyakitkan bagi ayahnya, Haris. Yang justru menyalahkan Asmara atas kematian Naila.

Ya Tuhan... kenapa hidupnya harus semenyedihkan ini?

"Mara, lo nggak pernah kepikiran buat putus kuliah gitu terus fokus kerja?" tanya Ulfa.

"Sering kok, tapi aku selalu ingat nasihat almarhumah ibu aku Ulfa, aku nggak boleh putus kuliah sesulit apa pun keadaannya. Pokoknya sampai aku dapat ijazah buat melamar kerja. Ya minimal sampai kuliah kata ibu," jawabnya tersenyum yakin. Yang ditanggapi Ulfa usapan ke bahu gadis itu. Ulfa kagum, meskipun temannya satu ini dilanda masalah, dia tetap berusaha tersenyum.

"Sorry ya, Ra. Gue nggak bisa bantuin lo terus. Gue cuman bisa doain."

"Nggak apa-apa, jangan merasa bersalah mulu Ulfa. Udah dulu yaa, sekarang aku mau ke ruang prodi buat ketemu pak Wira. Semoga beliau bersedia ngasih aku keringanan buat bulan ini ... aja. Supaya aku boleh ikut ujian."

"Amin Ya Allah!" Ulfa pun menyahut serius. "Semangat, Ra!"

***
 

"Gue udah keluar, cepet lo bangun. Engap!"

Sesuai titah, wanita bertubuh polos itu pun bangkit dari atas tubuh seorang pria sembari menampilkan wajah sebalnya. Sementara pria itu—Arven, langsung saja bangun sambil menaikkan resleting celananya lalu meletakkan segepok uang berwarna pink hadapan wanita itu.

"Bawa semua dan jangan pernah temuin gue lagi," ujarnya memerintah. "Lo boleh keluar sekarang."

"Thanks." Dan tentu dengan wajah berseri tanpa basa-basi wanita itu bergegas memakai kembali dress ketatnya. Dimasukannya segepok uang pemberian Arven tadi ke dalam tas penuh suka cita kemudian melenggang mengeluari kamar.

Suara musik berdentum, keras dan memekak saat wanita itu membuka pintu terdengar jelas di telinga Arven. Sayang, dia tak tertarik turun ke bawah demi menikmati keriuhan di sana. Ia lebih memilih menikmati rokoknya di kamar sehabis melakukan percintaan semalam bersama wanita bayarannya.

Sampai telepon miliknya di nakas berdenting. Arven mau tak mau mengangkat sebab layar pipih itu menampilkan nama sang ibu.

Flora is calling.

"Arven, cepet pulang sekarang, Nak! Ini loh Viona nungguin kamu di rumah. Kamu dimana?"

"Kelab."

"Kelab? YA TUHAN BUKANNYA IBU MINTA KAMU GANTIKAN PAPA BUAT KUNJUNGAN KE SEKOLAH ARVEN?!"

Pengang, Arven menjauhkan ponselnya dari telinga. "Habis ini, aku mau berangkat."

"Astaga Arven, kenapa nggak berangkat sejak tadi sih, Nak?! Kasihan Viona mumet nungguin kamu."

"Suruh pulang apa susahnya? Aku nggak ada waktu ketemu dia, beres."

"Tapi Nak—"

"Arven sibuk, Ma. Sorry."

Maka panggilan pun diputuskan lebih dulu oleh Arven.

Sungguh, malas sekali rasanya pulang cuman untuk bertemu Viona. Arven tau, hal itu hanyalah akal-akalan Flora agar dia bersedia menerima perjodohan dengan anak teman ibunya tersebut.

Padahal Arven berulang kali mengatakan bahwa dia sama sekali tidak tertarik menikah, bahkan di umurnya yang sudah melebihi kepala tiga.

Kemejanya kusut sehabis bergulat dengan perempuan bayaran tadi. Ketika bercinta, Arven tidak pernah melepas bajunya kecuali saat bersama Bella. Siapa saja, sekalipun mucikari di kelab miliknya ini berlutut agar Arven menampilkan lekuk tubuhnya. Pria tampan itu tak akan pernah sudi melakukan karena tubuhnya hanya milik Bella.

Bella.

Satu nama yang selalu melekat di kepala Arven sejak kekasihnya itu meninggal dunia enam tahun lalu. Dia hanya merindukan sosok perempuan yang pernah mengisi kekosongan hatinya itu. Nahasnya Bella meninggal dalam kecelakaan saat tengah mengandung buah hati mereka.

Tidak. Mereka tidak pernah menikah. Arven akui dia telah berbuat kesalahan dengan menghamili Bella sebelum mereka terikat hubungan sah. Namun, Arven bersumpah dia siap menikahi Bella seandainya wanita itu masih hidup di dunia.

Tapi kenapa? Kenapa Tuhan harus mengambil Bella secepat ini dari hidupnya?

Geram, Arven mengacak rambutnya frustasi kemudian menenggak sebotol wine yang diambil di atas meja.

Sial!

"Permisi, Pak."

Ketukan pintu terdengar. Berat hati Arven membuka pintunya dan menemukan Tio—asisten Satya berdiri di ambang pintu.

"Waktu kunjungan bapak ke kelab sudah habis. Sekarang waktunya kita mendatangi kampus-kampus yang didonaturi oleh Tuan Satya, Pak," jelas Tio. "Karena Tuan belum pulih total, maka tugas kunjungan akan diwakilkan oleh Pak Arven."

"Sekarang?"

Tio mengangguk.

"Jadi gue mesti ngapain?" Arven justru bersandar di bingkai pintu. Jujur dia paling malas menggantikan tugas ayahnya. "Ribet nggak? Kalo ribet cancel. Gue ngantuk."

"Bapak hanya akan memantau penggunaan dana yang diberikan Tuan Satya di kampus tersebut. Bapak tinggal membaca laporan penggunaan dana yang diberikan pihak kampus, jika ada yang mencurigakan, bapak berhak—"

"Oke cukup gue ngerti. Sekolah mana yang perlu gue kunjungi?"

"Namanya Kampus Pelita Harapan, Pak."

"Pelita Harapan?" Itu adalah kampusnya dulu bersama Bella. Sudut bibir Arven tertarik. "Gue lumayan senang berkunjung ke sana. Kita berangkat sekarang."

"Baik, Pak."

***
 

"Sejujurnya bapak sangat kasihan melihat kondisi kamu Mara," ucap kepala prodi menatap nelangsa gadis di hadapannya. "Tapi bapak juga tidak bisa berbuat apa-apa karena bapak cuman kepala prodi di sini."

"Nggak ada solusi lain ya, Pak? Mara bingung kemana cari uang sebanyak itu dalam satu minggu. Mara mohon kasih Mara perpanjangan waktu, Pak."

"Kamu lupa sekarang tanggal berapa Mara?" tekan Pak Wira. "Seharusnya kamu berpikir menyisihkan uang mulai akhir bulan lalu demi melunasi UKT-mu sendiri."

Tentu. Asmara sudah berusaha sebaik mungkin menyisihkan uang. 

Gadis itu menunduk tak berdaya, lagi-lagi, keringanan yang ia harapkan untuk masalahnya habis tak bersisa. Kini dalam pikirannya hanya ada dua, putus kuliah atau membiarkan ijazahnya ditahan saat kelulusan nanti.

"Ada masalah apa, Pak?" tanya seseorang yang tiba-tiba memasuki ruangan. Asmara menoleh ke belakang sedangkan Pak Wira langsung berdiri dari kursinya.

"Oh pa-pak Arven?"

Asmara tidak tahu, tapi melihat respon kaget pak Wira Asmara yakin lelaki dengan tinggi semampai itu sangat disegani. Maka dia ikutan berdiri sebab merasa tak sopan jika membelakangi.

"Saya dengar ada sesuatu yang belum lunas," sambungnya. Lelaki itu adalah Arven yang memicing curiga.

Pak Wira berdehem singkat, "Akan saya jelaskan Pak Arven. Silahkan duduk dulu."

Arven pun mengikuti arahan pak Wira. Begitu juga Asmara yang kembali duduk di kursinya.

"Mara, beliau adalah salah satu donatur untuk kampus kita, namanya Pak Arvenda Bagasatya."

Mara lantas tersenyum tipis menatap Arven, menampilkan kedua lesung pipinya membuat gadis itu semakin manis. "Namaku Asmara Senjani, Pak. Salam kenal."

Asmara ingin menyalimi tapi Arven justru menarik tangannya. "Tidak perlu, saya hanya ingin tau apa masalah kamu."

"Mara tidak bisa melunasi UKT untuk semester ini, Pak. Dan pihak kampus tidak mungkin mentoleransi karena keterlambatannya bukan yang pertama kali. Mara bahkan pernah menunggak selama satu semester jika saja bukan kami yang menangguhkan," sahut Pak Wira. "Padahal Mara adalah mahasiswi yang pintar, dia sering ikut lomba dan membanggakan kampuz."

Arven lumayan terkejut. Dia langsung menatap Asmara yang menunduk cemas.

"Betul kamu seperti itu?"

Mara mengangguk lemah.

"Apa ayahmu tidak bekerja?"

"Ayah udah lama sakit jadi nggak mungkin bekerja. Sementara ibu aku udah meninggal."

"Umurmu?"

"20 tahun, Pak."

Arven mengangguk. Walaupun ogah mengurusi segala tugas Satya sebagai donatur, ia tetap berusaha memberikan solusi terbaik pada gadis ini. Toh, kinerjanya pasti akan dinilai oleh Tio lalu dilaporkan kepada Satya. Jadi, dia mesti terlihat menjadi anak yang patuh bukan?

"Baiklah, mulai sekarang biar aku yang melunasi UKT mu sampai kamu lulus."

Seolah baru saja memenangkan sebuah lotre Asmara menatap Arven tak percaya.

"Hah? Se-serius, Pak?"

Bersambung...


Jangan lupa masukkan cerita ini ke library dan reading list kalian yaaa...

See you di Part 2
👋👋

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

2.5M 177K 33
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
2.6M 128K 56
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _π‡πžπ₯𝐞𝐧𝐚 π€ππžπ₯𝐚𝐒𝐝𝐞
4.9M 182K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
7M 344K 75
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...