White Marriage || seulmin•

By Yellow_B

4.7K 618 132

Menikah bukan tentang melarikan diri, tapi Seulgi yang mengaku tidak pernah menemukan orang yang tepat, dilam... More

NOTE [tolong dibaca!!]
1
2
3
4
5
6
7
8
9
11
12
13
14
15 [END]

10

252 32 18
By Yellow_B

Seulgi baru saja tiba di kediaman Jimin yang sepi. Rautnya masih suntuk, kusut seperti tidak menemukan setrika. Ia rupanya benar-benar pergi menonton film sendirian, mengunjungi taman bermain dan membeli banyak street food. Wanita itu mungkin kekenyangan sampai mual, tapi sekali lagi hatinya masih saja melambung seperti balon udara. Hampa, dan ia tidak jelas tahu apa sebabnya.

Memeluk boneka beruang kecil di tangannya, Seulgi melangkah memasuki ruang tengah yang sudah dipijak tuan rumah. Duduk manis di sofa dengan tayangan berita di televisi. Sangat memuakkan kalau Seulgi tidak membutuhkan laporan cuaca.

Namun pria ketinggalan jaman seperti Jimin itu berbeda ketika ia menatap kedua bola matanya. Sorotnya lebih lembut, dan pria itu beranjak untuk menyambutnya. Sangat berbeda dari Jimin yang selalu mengatakan 'tidak' seharian ini.

"Pergi sendiri?" tanya Jimin menatap boneka beruang di lengannya. Dan siapapun tahu kalau itu adalah souvenir lucu yang akan semua orang dapatkan jika masuk wahana Dreamland.

Seulgi mencebik. Kesal saja ia rasanya diingatkan tentang kejadian tadi pagi. "Memangnya kau mau mengantarku?"

Jimin berkedip beberapa kali. Ekspresinya mulai jadi tidak enak hati. Dan lebih tidak enak lagi kalau tidak mematikan televisi. Sayang biaya listriknya. "Kau harusnya bilang kalau mau diantar."

"Aku sudah bilang," tukas Seulgi. Kekesalannya bahkan semakin menjadi kalau dikatai 'tidak pernah'. Padahal dia sudah memberikan kode yang sangat keras. Jimin saja yang tidak peka padanya.

"Tidak," geleng Jimin polos. Dan segala kepolosannya yang seperti itu tanpa ia sadari semakin membuat Seulgi ingin menerkamnya, lalu dipanggang api di belakang rumah. "kau tidak bilang apapun padaku selain bertanya pendapatku tentang ini itu. Termasuk kuenya."

Kini giliran Seulgi yang kebingungan. Ia mungkin meninggalkan sekelumit pikirannya di kereta sampai tidak tahu maksud perkataan suami nya. "Kue?"

Jimin berdecih. Memasukkan tangannya ke dalam saku celananya. Dan sungguh itu sangat keren bagi Seulgi. Walaupun Jimin hanya memakai celana abu-abu dengan potongan kaos putihnya.

"Lain kali kau harus cuci peralatan dapurnya setelah memasak."

Seulgi berubah melotot. Kakinya mundur satu langkah untuk bersiap melarikan diri. Karena sungguh ia merasa sangat malu sekarang. Lagi pula dari mana Jimin tahu kalau ia yang membuat kue 'spesial' itu? "B-bukan aku yang membuat kekacauan di dapurmu."

"Bibi Gong bilang kau membuat kue untukku," tutur Jimin dengan senyum jenakanya. Sangat puas ia memojokkan Seulgi malam ini.

"Tidak, aku tidak membuatnya untukmu," sanggah Seulgi bersikeras. Mana mau dia mengaku.

"Oh, kau menuliskan selamat ulang tahun disana. Memangnya siapa yang sedang berulang tahun selain diriku?"

"Anjingku, hari ini ulang tahun anjingku," Seulgi berkelit. Ia sungguh siap untuk kabur saat ini juga. Tapi sungguh kaburpun sudah sangat kentara. Ia sudah ketahuan, jadi percuma saja.

Jimin terkekeh. Ia lantas bergerak mematikan televisinya. Bergegas pergi ke dapur demi membebaskan kue ulang tahun buatan Seulgi dari kulkas. "Mau makan kuenya sekarang?"

Seulgi berlarian ingin merampas kue buatannya. Badannya yang lebih pendek melompat-lompat menggapai tangan Jimin yang terangkat. "Tidak! Jangan dimakan, jangan dimakan!"

Jimin tetap awas. Menghindar dengan hati-hati, takut jika kue itu terjerembab ke lantai dengan sia-sia. Walaupun penampilan kue itu jelek, tapi ia sangat senang kalau Seulgi membuat kue untuknya. Entahlah. Apa karena ia tersentuh? Atau ia orang yang benar-benar pandai menghargai orang lain?

"Aku tidak tahu kalau kau menyiapkan ini."

Seulgi membeku di tempatnya. Mendongak ia menatap bagaimana senyum Jimin merekah menghadapinya. Terlebih bagaimana pria itu mulai menurunkan kue yang ia junjung tinggi-tinggi bersama permohonan maaf yang begitu mudah mengetuk hatinya.

"Maafkan aku."

Seulgi mundur satu langkah dari hadapan Jimin. Memindahkan matanya yang kikuk ke atas permukaan lantai. Karena sungguh, berdiri sedekat ini dengan Jimin─entah mengapa─perasaannya berubah tidak tenang. "Aku tidak tahu hari ulang tahunmu. Jadi aku ingin memberi selamat dengan benar." Pada akhirnya Seulgi mengaku dengan jujur. Tidak ada alibi untuknya berbohong. "Aku juga tidak punya uang untuk membelikanmu hadiah atau mentraktirmu makan, jadi─"

Jimin tersentuh mendengar sosok yang menunduk di hadapannya itu. Ia tidak pernah tahu kalau Seulgi juga memiliki sisi lembut seperti ini. Bahkan ketika ia menatap iris yang malu-malu itu malah membuatnya gemas sendiri.

"Tidak perlu─" Jimin beralih memandang kue kecil di tangannya. Mulai menegakkan kembali lilin-lilin di atas kue yang hampir tumbang dengan perasaan penuh senang. Dan bisa dibilang, ini pertama kalinya seseorang membuatkannya sesuatu. "aku tidak membutuhkan hal-hal seperti itu."

.

.

.

.

Balkon besar kediaman Jimin kini dihias dengan lampu temaram. Duduk di kursinya, Seulgi mendongak menatap bintang yang bertaburan. Angin dingin menyusup masuk lewat jaket tebalnya. Mencoba membuatnya menggigil dingin, tapi harus gagal. Karena Seulgi terlalu menyukainya.

Hamparan lampu gedung-gedung kota Seoul menyala bagai kunang-kunang di seberang sana. Begitu cerah sampai-sampai ingin pamer kalau malam ini sedikit lebih baik dari sebelumnya.

Jimin mencoba menyalakan lilinnya ketika Seulgi menatap lekat boneka beruang nya. Terlihat tidak mau ikut membantu seperti Seulgi yang biasanya. Tapi Jimin sebenarnya tidak butuh bantuan. Ia yakin ia bisa menyalakan lilin dengan benar. Namun apa daya jika angin bertiup terlalu kencang saat malam?

Alhasil Jimin pun menyerah. Mengambil kursi yang lain untuk ia duduki, sebelum ia jadi kesal sendiri.

"Hadiahmu," ujar Seulgi menyodorkan boneka beruang kecil itu pada seseorang yang sudah duduk di depannya. Wajahnya yang mulai memerah kini sedatar kayu. Tidak berani menatap jadi Jimin, alih-alih membuang lirikan. "Aku punya banyak, jadi ku berikan satu padamu."

Jimin tanpa ragu mengambilnya. Belum pernah ia mendapatkan kado ulang tahun sesederhana boneka. Gratisan pula. Jadi mungkin ia─senang? Seulgi jadi terlalu banyak mengejutkannya hari ini.

"Lain kali beritahu aku buku favoritmu, ukuran bajumu atau nomor sepatumu. Sungguh, tahun depan aku akan berikan hadiah yang lebih besar." sambungnya canggung. Berdehem wanita itu sebentar. "Meskipun itu hanya boneka beruang, aku harap kau menyukainya."

Jimin tanpa sadar sudah tersenyum menatap boneka kecil di tangannya. "Terima kasih," ucapnya.

Membiarkan Jimin merenung sebentar, Seulgi pun jadi penasaran bagaimana rasa kuenya. Enakkah? Sukakah Jimin pada kuenya, atau yang lainnya? "Kau harus membuat permohonan."

Dan dengan mudahnya Jimin menuruti semua perkataan Seulgi malam ini. Menutup matanya perlahan, lalu menggenggam tangannya dalam hening. Hatinya lalu bermonolog dengan Tuhan, meminta sesuatu tanpa perlu didengar Seulgi yang penasaran.

Menatap lekat pria di depannya membuat Seulgi kehilangan pikiran. Ia lupa jika hubungannya dengan Jimin sangat tidak masuk akal. Akan tetapi dapat berakhir melakukan hal aneh di atas balkon. Seperti merayakan ulang tahun, dan membuat kue untuk seseorang.

Jangankan hal itu. Ia pun tidak pernah membayangkan akan menikah dengan pria konyol seperti tetangganya ini. Pun duduk hanya berdua untuk makan bersama dan hal lainnya─yang tidak terhitung─yang tidak sengaja mereka lakukan bersama sekian lamanya. Dan tanpa sadar, hal itu menjadi sebuah kebiasaan baru bagi Seulgi. Lalu ia akan merasa aneh ketika tidak mendapati Jimin saat makan siang atau dalam hari-hari lain pria itu sibuk.

Entah, Seulgi harus menyebut ini masalah atau sesuatu yang bagus. Yang jelas ia hanya mengikuti kemana arus yang membawa kisahnya bersama Jimin belakangan ini. Tidak perlu ambil pusing, karena ia percaya Tuhan tengah merencanakan sesuatu untuknya di masa yang lain. Merangkai kisah rahasianya yang mungkin akan diceritakan Tuhan suatu hari. Dan kalaupun Tuhan ingin mereka berpisah, Seulgi berharap ia dan juga Jimin tidak akan saling menyesali hidup. Alih-alih menyimpan dengan baik memori yang mereka bagi dalam kotak kenangan. Sebagai sebuah kisah yang menyenangkan, yang akan membuat mereka tersenyum ketika mengingatnya.

Terlalu lama menunggu, akhirnya Seulgi mengambil krim kue tar buatannya dengan jari. Sebuah ide terlintas dalam pikirannya. Menuntun wanita itu lancang mengoleskan krim coklat pada wajah Jimin yang masih terpejam menguntai doa. "Permohonanmu terlalu banyak."

Jimin berubah terkejut. Sesuatu yang mengotori pipinya membuatnya beranjak dari sana. "Seulgi!"

"Aku menantikan ini sejak tadi," ujar Seulgi yang sudah lebih dahulu mengambil langkah seribu. "Selamat ulang tahun, Mr. Park."

Dan kekesalan Jimin tidak akan membiarkan Seulgi lolos begitu saja. Ia mengambil lebih banyak krim lalu mengejar Seulgi kemanapun, demi membalas. "Kemari kau!"

Tawa pecah keduanya membelah malam. Jejak kaki mereka terbentuk di atas lantai-lantai yang bisu. Pelarian Jimin tidak akan berakhir sampai wajah Seulgi penuh dengan krim. Untuk membalas, Seulgi kembali menaiki tangga balkon sebelum Jimin bersembunyi. Wanita itu mengambil krim lainnya untuk ia oleskan pada rambut dan pakaian Jimin. Jimin membalas, begitu pula dengan Seulgi. Tidak ada habisnya sampai rumah mereka hancur berantakan.

Tawa memecah malam. Karpet terlipat, seisi nakas tumbang berjatuhan, lantai dan dinding penuh dengan noda coklat dan krim kue. Lalu biarkan sampai mereka tersadar dan memilih membersihkan rumah sampai pagi.

.

.

.

.

Di sisi lain, jauh dari pengawasan pasangan konyol itu, pasangan yang lain tengah mengamati. Bersembunyi di balik pepohonan kering. Tak lupa dengan cahaya ponsel yang masih menyala. Si wanita tidak lepas dari memperhatikan jendela yang menyala terang benderang. Terlalu khusyuk menjadi saksi dalam kegiatan Jimin dan Seulgi yang sibuk saling kejar di dalam sana─dengan teropong kecil.

"Kau percaya jika Jimin dan Seulgi akan berakhir saling jatuh cinta?" bisiknya tanpa menoleh pada suaminya sedikitpun. Sekalipun suaminya sudah diserang puluhan nyamuk halaman yang dingin, ia tetap tidak perduli.

"Jimin mungkin akan sulit jatuh cinta padanya," jawab suaminya menepuk-nepuk nyamuk yang mendengung di telinga. Bersumpah untuk memusnahkan makhluk penghisap darah itu sebelum menggigit kembali kulit nya. "Dia bisa sangat kekanakan di beberapa waktu."

Seungwan berdecih tidak suka. Walaupun dia kadang sering menjatuhkan harga diri Seulgi di depan banyak orang, tapi ia sebenarnya adalah orang yang akan mengambil barisan paling depan untuk menghadapi orang yang melawan Seulgi.

"Seulgi itu cantik dan manis. Kau tidak tahu sepopuler apa dia."

Terserahlah. Yoongi mendegus. Ia tentu harus selalu mengalah pada Seungwan. Memenangkannya seperti anak kecil, yang jika meminta apapun akan ia berikan. Bahkan jika ia harus menyetir di malam-malam yang dingin. Hanya untuk memenuhi keinginan aneh isterinya untuk mengintai kediaman teman-temannya seperti saat ini. "Jadi kapan kita pulang?"

"Tunggu sebentar," tolak Seungwan telak, kembali memasang teropongnya. Wajar saja sebenarnya kalau Seungwan cerewet. Ia hanya tengah berada dalam sebuah fase menyebalkan dalam kehamilannya. Mengidam, kalau ibu mertuanya tidak salah bilang.

Yoongi berubah cemas. Tidak tahu bagaimana lagi ia menghadapi isterinya yang suka meminta hal aneh. Namun setidaknya ini cukup lebih baik dari pada ia yang harus mencari seseorang yang mirip dengan Michael Jackson di pertengahan malam. "Disini dingin, baby di dalam sana pasti tidak suka kedinginan."

"Tapi aku ingin lihat sampai selesai."

Dan seperti yang Yoongi duga, Seungwan akan menolak. Tidak ingin mengalah dari perkataannya yang sudah luar biasa manis.

"Sudah malam, sayang. Kita pulang, okay?"

"Aku bilang tidak!" jawab Seungwan bersikeras. Matanya berubah melotot ingin keluar, seram sekali sampai Yoongi ingin lari mencari pertolongan.

Maka biarkan Yoongi menghantamkan kepalanya pada sebatang pohon yang bisu. Jangan pernah melarang atau menyuruhnya berhenti kecuali Seungwan membutuhkannya.

.

.

.

.

Jimin menjatuhkan dirinya ke atas sofa. Sudah hampir lepas tengah malam ketika mereka selesai berbenah. Di depannya Seulgi sudah membuang alat pelnya. Menjatuhkan diri ke atas sofa yang satunya lalu mengeluh ribut. Keduanya lalu berdiam, sibuk mengatur nafas yang lelah. Membiarkan lantai mengering terlebih dahulu, lalu berniat mengadakan mandi tengah malam sebelum tidur.

Seulgi tidak bicara lagi soal kuenya yang sia-sia. Alih-alih tidak bisa dimakan karena habis ia lempar pada wajah Jimin. Tidak sempat ia cicipi, dan Jimin pun tidak berkomentar apapun soal kuenya. Jadi benar jika kue itu dibuat untuk mainan perang dan mengotori seisi rumah Jimin. Buang-buang uang, kalau kata ibunya.

"Bajuku kotor," keluh Jimin pada kaosnya yang penuh noda. Tubuh tegap nya sudah memenuhi sofa. Tidak hirau akan Seulgi yang sudah berbaring di sebelah sofanya.

Wanita berambut coklat merengut. Sesekali ia memeriksa pakaiannya dan juga rambutnya yang dipenuhi krim. "Ujung-ujungnya juga aku yang cucikan."

"Oh, aku mencicipi kuemu. Rasanya kurang enak kalau kau penasaran," tutur Jimin yang masih saja betah dengan posisinya. Kedua matanya memberat, hampir terpejam kalau saja ia tidak ingat harus menyelesaikan semua pekerjaannya. "Kau pasti tidak memperkirakan tingkat kepadatan adonannya."

Seulgi menoleh kesal. Ingin rasanya ia melempar suaminya itu dengan kue─sekali lagi. Sangat disayangkan kalau kue itu kini sudah berakhir di tong sampah. "Memangnya kenapa?"

"Kuemu kering di bagian bawah. Matangnya tidak rata," komentarnya.

Seulgi berdecih kesal. Ia teringat dengan semua usahanya yang sudah susah payah membuat kue. Membaca tutorial yang tidak ia pahami di beberapa laman internet, sampai menolak bantuan bibi Gong. Namun masih saja Jimin mengomentari kuenya dengan tidak berperasaan. Minimal berbohonglah, atau memperhalus komentar?

Tapi sungguh, Seulgi pun tidak tahu mengapa ia sangat ingin dihargai sementara memang pada kenyataannya kue itu tidak ada pantas-pantasnya untuk dimakan. Aneh.

"Ya sudah, lain kali kau buat sendiri kuenya," balas Seulgi ketus.

"Kau cepat sekali marah." Jimin lagi-lagi berkomentar. Kali ini ia mengomentari sikap isterinya yang kelelahan di seberang sofa. Masa bodoh kalau ia dihujat. Yang jelas Seulgi harus tahu kalau ia sebenarnya tidak suka meladeni orang marah. "Kalau sering marah-marah begitu tidak akan ada yang mengajakmu kencan."

Yang mendengar kembali berdecih. Kali ini Seulgi mengangkat jemarinya yang tersemat cincin. Ingin pamer pada udara malam, kalau ia sudah punya ikatan konyol yang sulit dilepas dengan Jimin. "Mau kencan darimananya? Melihat cincin yang kau sematkan ini saja orang batal menyatakan cintanya padaku."

Jimin memutar tubuhnya. Berubah tiarap menatap kemana jemari itu mengawang. "Jadi kau pakai setiap hari?"

Seulgi berkedip. Heran saja kalau pertanyaan seperti itu dilayangkan padanya. Bukannya semua pasangan menikah harus memakai cincinnya? Kalau tidak, bisa-bisa dipertanyakan ada apa oleh semua orang. "Jadi boleh aku lepas?"

"Aku saja tidak pernah memakainya."

"Curang!" Si wanita beranjak. Beralih mendudukkan diri demi memeriksa jemari Jimin, yang demi Tuhan tidak tersemat apapun. Ingin rasanya ia mengutuk, atau menarik rambut Jimin sampai botak sekarang.

Bagaimanapun Seulgi harus menemukan cintanya. Kalau dihalangi terus mau jadi apa hidupnya? Tidak seru kan kalau ia menikahi Jimin dengan kehidupan seperti ini seumur hidupnya? "Kenapa tidak bilang dari kemarin?!"

Jimin terkekeh. Entah sejak kapan ia bisa seringan ini berinteraksi dengan Seulgi. "Aku tidak tahu sesayang itu kau pada cincin kita."

"Jangan bodoh, cincin ini lumayan mahal kalau dijual," tukas Seulgi tidak suka.

Dan Jimin tidak perduli soal itu. Pria itu kembali menguap. Bersiap-siap pergi tidur kalau Seulgi sudah puas mengoceh. "Aku jadi mengantuk."

"Pergilah tidur. Aku mau tidur disini," putus Seulgi yang entah bagaimana juga ikut menguap. Air mata di sipit itu kemudian menggantung. Buru-buru diusap oleh si pemilik.

Jimin lantas berkedip. Tidak mau dibilang terlalu lama memperhatikan. "Jangan tidur di sofa."

Seulgi mengerjab beberapa kali karena kantuknya. Sosok itu tak lupa membuka cincinnya. Mengantonginya dengan baik di saku sebelum memindahkannya ke suatu tempat yang aman. "Aku punya syndrome aneh pada rumah asing. Aku tidak akan bisa tidur dengan baik jika bukan di kamarku."

Si lelaki berubah berpikir. Untuk kasus seperti Seulgi ia mungkin pernah mendengar dari beberapa temannya. Jadi terjawab sudah, jika ia sering menemukan Seulgi yang tertidur di sofa. "Seperti first night effect?"

Seulgi mengangguk kecil. Ia melirik sebentar pada detik jam dinding yang selalu meribut. Benda itu bahkan sudah begitu mengganggu, seakan menyuruh Seulgi untuk segera menyingkir dari sana. "Tapi ini lebih buruk. Kecuali ada seseorang yang menemaniku."

"Tapi ada aku disini," tutur Jimin susah payah menggenggam kesadarannya. Ia terlalu lelah dan harus segera membaringkan kepalanya pada bantal.

Wanita berambut coklat itu kemudian terkikik. Sedikit tidak mungkin juga ia mengajak suaminya itu tidur di kamar barunya. Bisa-bisa ia tidak jadi tidur karena perasaan canggung dan tidak tenang. "Kau mau menemaniku tidur?"

Jimin akhirnya menghela nafas. Malas saja ia sebenarnya mendengar kata 'menemani tidur'. Sedikit traumatis kalau ia mau mengingat kejadian waktu itu. Lagi pula ia tidak bisa dipeluk saat tidur. Terlebih tidak mau terbangun dengan lengan dipeluk seseorang. "Aku sudah pernah bilang padamu kalau kita tidak boleh melakukannya, atau─"

"Ya, ya, ya, aku paham," interupsi Seulgi tidak mau ambil pusing. Karena ia pun sebenarnya tidak mau bernostalgia seperti kejadian waktu itu. Jadi sama saja bukan? Untuk apa pula Seulgi tadi menawarkan?

"Kau sama menyebalkannya dengan seseorang yang kukenal."

Jimim menggaruk kepalanya. Iseng menebak seperti tengah kehilangan fungsi otak. "Yoongi?"

Tercekat, Seulgi mendadak kehilangan rasa kantuknya. Ia sungguh tidak percaya kalau Jimin dapat menebak dengan benar isi pikirannya.

"Jadi aku benar?" sambung pria itu lagi.

Seulgi semakin menyernyit. Jantungnya sendiri sudah berdegup sejak tadi. Takut kalau rahasianya membesar kemana-mana. "Tunggu, kau tahu sesuatu?"

Mata tajam Jimin berkelana. Sedikit menebak, ia menyilangkan lengannya di dada. "Maksudmu soal hubungan kalian yang kandas─"

"Jangan katakan apapun pada Seungwan soal itu!" cegah Seulgi cepat. Tidak mau tahu kalimat selanjutnya seakan Seungwan benar-benar ada di belakangnya.

Alis Jimin mengeriting. Tidak tahu kalau atmosfir mereka dapat berubah secepat ini. Kalau saja ia bisa mengembalikan waktu, ia mungkin tidak akan membahas hal seserius ini.

"Temanku hanya Seungwan," Seulgi melanjutkan.

Jimin bersimpati. Ia tentu sangat tahu jika Seulgi bisa sedilema itu soal berteman. Wanita itu bukannya menolak untuk berteman sepertinya, ia hanya berposisi selalu dibenci banyak orang. Entah apa sebabnya.

"Jadi kau berpikir jika Seungwan tahu, dia akan membencimu? Sudah berapa lama kau merahasiakan ini padanya?"

"Lagipula aku dan Yoongi sudah lama berakhir. Jauh sebelum Seungwan datang," jawab Seulgi cemas. Ia mungkin beruntung karena Jimin bukan orang yang senang dengan urusan orang lain, jadi hingga saat ini ia bisa lega. Dan ia percaya bahwa Jimin bukanlah seseorang yang senang membongkar rahasia orang lain. "Kupikir akan buruk jika Seungwan mengetahui yang sebenarnya."

Pria itu mengusap matanya. Sebenarnya ia ingin menguap, tapi karena keadaannya terlanjur berubah serius, ia menahannya sampai air matanya meleleh sendiri. "Walaupun nanti Seungwan tahu memangnya kenapa? Tidak ada yang bisa merubah masa lalu, kecuali kau masih memiliki perasaan pada Yoongi."

Seulgi kembali tercekat. Keduanya lantas terdiam dalam sepi. Jimin sejujurnya tidak sadar jika ia bisa mengatakan kalimat seperti itu. Ia bahkan tidak berpikir, bagaimana jika perkataannya benar dan berakhir dengan menyinggung hati Seulgi seperti sebelumnya?

Seulgi menunduk sedih. Ia sungguh ingin segera pergi dari sana, tapi di sisi lain ia juga tidak berminat bersembunyi di kamarnya. Dan Jimin pun baru saja dengar alasannya.

"Aku hanya tidak suka suasana canggung."

.

.

.

.

Bayangan gelap menghantam. Suara seretan pintu tidak lagi terdengar ketika ia memejamkan mata. Sunyi menyeretnya pada kantuk yang menggantung. Mengajaknya berlayar ke negeri seberang dengan bantal dan dentingan jam yang sendu.

Seulgi berulang kali menutup mata. Namun tiba-tiba tidak dapat terpejam seperti bayangannya. Si wanita lantas mengangkat lengannya lalu menutup seluruh matanya, namun tetap saja diluputi gelisah hatinya.

Jemarinya bergerak meraba letak jantungnya. Bayangannya soal masa lalu pun ikut menemani. Sungguh, Seulgi bukanlah orang yang suka meratapi dirinya yang sedikit malang. Ia cenderung melarikan diri dari banyak hal rumit dibandingkan dengan menghadapinya.

Si wanita mungkin berprinsip tidak akan menangisi diri sendiri ketika membahas soal cinta dan perasaan. Tidak pula mau perduli ketika banyak yang datang padanya dengan pujian. Karena baginya, jatuh atau putus cinta itu tetap menyakitkan rasanya. Dan cukup sampai Seulgi memutuskan untuk menunggu seseorang yang tepat.

Teringat dengan Yoongi, ia mengawang pada bias cahaya yang berada pada jendela. Ia mungkin penah menyimpan Yoongi dengan baik di hatinya. Menyusun banyak harapan, bahkan pernah saling mencintai. Namun apa daya jika semua itu haruslah kandas di tengah jalan? Menyisakan luka dalam hatinya yang tidak akan pernah hilang.

Tidak. Seulgi bukan orang lemah yang menangis karena putus cinta. Ia hanya tidak pintar dalam bersikap. Tidak pintar mengambil hati banyak orang, wajar Yoongi memutuskan untuk menyudahi segala hal konyol dengannya. Meninggalkannya dengan segudang luka, bahkan kali ini ia harus menahan semua rasa sakitnya ketika tahu bahwa seseorang yang pernah mengisi hari-harinya itu beralih pada sepupunya sendiri.

Bisa dibayangkan, betapa menyakitkannya jadi Seulgi yang tidak mahir menghapus rasa. Justru membiarkan hatinya disiksa oleh diri sendiri. Lalu hingga detik ini pula ia menyayangkan karena masih tidak mampu mengatasinya.

Mendengar suara langkah, Seulgi buru-buru berubah terpejam. Ia tahu benar siapa yang masih terjaga ketika waktu hampir pagi. Siapa lagi kalau bukan Jimin?

Pria itu samar-samar terlihat membawa sebuah selimut untuknya. Membentangkan benda itu dengan benar lalu menyelimuti tubuhnya yang meringkuk dingin.

Seu tergugu, masih terus pura-pura tertidur. Ia bahkan tidak tahu mengapa ia harus melakukan ini. Memilih membiarkan Jimin pergi, kembali tanpa memperdengarkan rasa terima kasihnya.

.

.

.

.

Pagi yang cerah menyambut ketika dingin yang lain menyapa. Pejalan kaki pun mulai memakai baju tebal di sepanjang jalan. Begitu pula dengan Seulgi yang sudah siap dengan mantel coklatnya. Beruntung lobi kampus hari ini begitu lenggang dari sapuan mahasiswa. Jadi Seulgi bisa memasuki beberapa tempat yang ia inginkan, tanpa memikirkan banyak hal.

Membawa setumpuk kertas lalu duduk di depan ruangan pembimbingnya adalah sesuatu yang lumrah menurut Seulgi. Ia bisa duduk berjam-jam, melupakan makan siang atau mungkin menyaksikan dosennya berlalu-lalang tidak memperdulikannya. Sementara wajahnya sudah memasang wajah puppy termanis ketika menemukan dosennya. Namun sekali lagi, dosennya jatuh tidak perduli.

Dengan penampilan kusut ala pantat pegal, Seulgi berakhir meletakkan seluruh mapnya di lantai. Menyerah dengan kepergian dosennya─yang demi Tuhan─walaupun sudah pulang dari kesibukan dua bulannya di negeri orang, dosen hebat itu masih saja tidak bisa menyisihkan waktu untuknya. Padahal tinggal satu tahap lagi kemudian sidang paripurna. Tidak bisakah Seulgi melalui semua itu dengan tenang, seperti junior-junior kampusnya yang mulai lancang mendahuluinya?

Seulgi saja bosan melihat gedung kampusnya yang tidak berubah, masih empat lantai dan bercat putih. Kakinya bahkan sering pegal hanya karena menaiki tangga untuk sampai di tempat keramat ini. Belum lagi dengan adik tingkatnya yang lalu lalang di depannya, malu saja ia rasanya menjadi yang paling dituakan di kampus.

"Permisi─"

Seulgi mendongak menemukan sosok berpakaian rapi di depannya. Pemuda dengan kemeja kotak-kotak, tak serta-merta membawa beberapa map di tangannya, tidak berbeda dengan keadaannya. Perawakan tubuh nya sedikit mirip dengan Jimin. Dan yang lebih penting adalah wajah si pemuda di hadapannya itu luar biasa tampan.

Seketika Seulgi ingin bersumpah bahwa jiminy akan kalah telak kalau mereka mengadakan The Most Handsome Man Ever dadakan. Demi apapun yang ada di dunia, mata Seulgi ternyata masih berfungsi untuk melihat segala nikmat ciptaan Tuhan. Dan ia sungguhlah manusia paling beruntung di dunia karena dapat bertemu pria-pria dengan wajah ideal di muka bumi ini.

"Boleh aku tahu dimana ruangan Pak Choi?" tanya si pemuda ramah sambil tersenyum sangat manis.

Tentu saja boleh, kau bertanya alamat rumahku saja aku tidak keberatan,batin Seulgi menari-nari dalam bayangannya sendiri. Sangat bodoh sekali kalau ia mau memikirkannya dengan baik.

Lantas mimpi apa Seulgi semalam? Bertemu pria tampan seperti ini, lalu mencari dosennya pula. Benarkah Tuhan sedang mengabulkan doanya, hingga mengirimkan seorang teman menunggu yang luar biasa?

"Oh, disini. Dia baru saja pergi," jelas Seulgi menggerakkan jemarinya pada ruangan berpintu di hadapannya.

Si pemuda kemudian menggaruk tengkuknya. Sedikit kikuk saja dengan pembicaraan mereka. "Apa kau tahu kemana?"

"Aku tidak tahu," geleng Seulgi manis. "Tapi kau bisa menunggunya sebentar. Biasanya dia akan kembali."

Si pemuda asing itu terlihat menimbang. Menatap map dalam genggamannya sebentar, sementara Seulgi menatapnya mengharap seperti kucing yang minta diberi ikan. Lagipula siapa yang tidak ingin ditemani pada saat-saat seperti ini? Dengan yang tampan pula. Bodoh, kalau ia menolak pemandangan indah yang diberi Tuhan.

"Baiklah." Sosok asing itu kemudian mengambil duduk di sampingnya. Meletakkan tasnya dengan begitu elegan, tidak ketinggalan menjuput ponselnya di saku.

Seketika kepala Seulgi dipenuhi dengan bunga-bunga imajiner. Entah karena ia terlalu kesepian atau ia sebenarnya memalukan. Tapi jujur, ia sesenang itu karena mendapatkan teman menunggu. Wajahnya saja sudah tidak malu memasang wajah ternganga-nganga begini.

"Bimbingan pertama?"

"Ya─" jawabnya cepat tapi begitu lembut. Berbeda dengan Jimin yang kalau menjawab demikian saja rasanya seperti dilempari batu. Tidak ada manis-manisnya.

Tapi tunggu, sebenarnya untuk apa dia memikirkan Jimin?

Seulgi lalu mengangguk paham. Terjawab sudah pertanyaan di kepalanya mengenai pemuda itu. Hanya saja, sayang sekali kalau pemuda itu lebih muda darinya. "Jadi kau lebih muda dariku?"

"Oh─" respon si pemuda cukup terkejut. "aku pikir kita seangkatan."

Seulgi terkikik. Lalu singkatnya, ia malah lancang mengulurkan tangannya untuk dijabat. "Kang Seulgi."

"Lee Taeyong," balas pemuda itu canggung.

.

.

.

.

Jimin vs Taeyong lol 🤣

Thanks for reading guys. Don't forget to Vote and Comment!❤️

Continue Reading

You'll Also Like

198K 4.7K 19
Warn: boypussy frontal words 18+ "Mau kuajari caranya masturbasi?"
164K 8.8K 48
Noa baru saja di pecat dari perusahaannya, karena kesulitan mencari pekerjaan ia terpaksa menerima pekerjaan merawat pria dewasa yang tengah berjuang...
YES, DADDY! By

Fanfiction

288K 1.6K 9
Tentang Ola dan Daddy Leon. Tentang hubungan mereka yang di luar batas wajar
201K 16.9K 61
Awalnya Algi kira semua orang berlebihan, tapi pas udah hadapan langsung sama orangnya kena juga jebakan Betmen nyaa huhhh!! ⚠️ -Fiksi yaaa -BXB ...