White Marriage || seulmin•

Par Yellow_B

4.4K 604 132

Menikah bukan tentang melarikan diri, tapi Seulgi yang mengaku tidak pernah menemukan orang yang tepat, dilam... Plus

NOTE [tolong dibaca!!]
1
2
3
4
5
6
8
9
10
11
12
13
14
15 [END]

7

217 41 6
Par Yellow_B

Jimin turun dari mobilnya ketika malam terasa semakin sunyi. Kegelapan di sekitar rumahnya kemudian membawanya segera memasuki pagar. Menekan kode pintu dengan cepat sebelum pundaknya patah, atau mungkin diserang hawa dingin halaman yang dipenuhi serangga malam.

Mendapati lampu ruang tengahnya menyala ia menemukan raung televisi yang menganggur. Ia lantas memeriksa arlojinya, menyocokkan waktu disana dengan pemandangan baru yang ia lihat di sofa. Tepat pukul dua malam, dan Seulgi tertidur disana dengan cemilan yang masih ada dalam genggamannya.

Jimin buru-buru mematikan televisi sebelum tagihan listrik melonjak. Meletakkan tasnya di kamar, lantas bersiap untuk mandi. Namun pemikirannya tidak sesederhana itu dalam menyelesaikan berbagai hal yang ia temukan. Nyatanya, ia cukup terganggu dengan posisi Seulgi yang hampir terguling ke lantai. Padahal jika ia ingin, ia bisa tidak memperdulikannya. Masuk ke kamar mandi dengan menutup mata, lalu beranjak tidur mematikan lampu.

Sederhana. Bahkan hal yang paling mudah untuk dilakukan manusia manapun. Tapi letak permasalahannya adalah Jimin punya tanggung jawab yang besar atas Seulgi saat ini. Dan ia tidak begitu perduli mengapa ia kembali ke ruang tengah, kemudian berdiri tepat di hadapan Seulgi yang tergolek lucu dengan nafas teratur.

Perlahan ia menyingkirkan setoples snack yang dipeluk wanita itu. Dengan hati-hati salah satu tangannya menyusup lewat leher dan kaki Seulgi lalu mengambil tubuh yang bergerak itu mendekat padanya. Namun saat ia hendak mengangkat tubuh kecil itu, Seulgi kembali bergerak terganggu.

Jimin mungkin menginginkan hal ini berjalan dengan mudah. Ia bahkan berpikir, mengapa ia tidak membangunkan Seulgi dan menyuruhnya untuk pindah ke kamarnya? Mengapa ia harus susah-susah membopong seulgi ke kamarnya kalau ia bisa melakukan opsi pertama?

Entahlah, Jimin pun tidak memahami dirinya sendiri. Lagipula ia sudah terlanjur melakukan ini.

Terlalu banyak menimbang, akhirnya Seulgi mengerjab memeluknya. Berpikir bahwa Jimin adalah ranjang yang nyaman, wanita itu mulai sedikit mengalungkan lengannya pada bahu Jimin.

"Hey, Seul," panggil Jimin merasa sedikit tercekik. Ia bahkan tidak tahu apa yang harus ia lakukan dengan posisinya.

Seulgi lagi-lagi mengabaikannya. Wanita itu malah menggaruk kepalanya, lalu bergumam sesuatu yang tidak Jimin pahami.

"Seulgi?"

Maka terbukalah mata bulan sabit itu menatapnya. Berkedip beberapa kali, wanita itu masih tidak bisa mencerna pemandangan di depannya. "Huh?"

Jimin dengan sabar menunggu mata itu terbuka dengan sempurna. Membiarkan Seulgi menggapai kesadarannya dengan beberapa usakan di matanya. Ia pun masih tidak kunjung bergerak kala sosok itu menatapnya sendu. Seakan menganalisa, meresapi pergerakan lambat yang dibuat Seulgi dengan sedikit, lucu?

Seketika Jimin melepas pelukan Seulgi padanya. Membuat Seulgi terkejut setengah mati karena ia ternyata tidaklah bermimpi ketika menemukan Jimin berada begitu dekat dengannya.

"K-kau sudah pulang?" tanya Seulgi kikuk menemukan manik Jimin menatapnya. Sedangkan Jimin sudah beranjak, menggaruk kepalanya kaku dan mau tidak mau harus menjawab beberapa pertanyaan penting.

"Kau tertidur," usaha Jimin menjelaskan segalanya. Bahwa ia tidak lancang atau melakukan sesuatu yang aneh pada Seulgi.

"Ah, aku menonton film dan─" Seulgi ikut menggaruk kepalanya. Ia pada akhirnya tidak ingin membahas masalah 'kelancangan'. "ya, aku tertidur. Maafkan aku."

Jimin sedikit lega, terlebih ketika melihat senyum kantuk Seulgi mengembang. Ia lantas tidak perlu risau soal kecanggungan. Karena ini akan berlalu dalam waktu yang lama dan Jimin tentu harus terbiasa.

"Ada sesuatu yang kau butuhkan?" bangun Seulgi pada lamunan Jimin di depannya.

"Tidak. Aku harus beristirahat," jawab Jimin sungkan. Sebenarnya ia butuh air hangat untuk mandi. Tapi setelah ia berpikir, mungkin ia bisa melakukannya sendiri. "Ku harap kau tidak tidur di sofa."

"Tentu, aku tidak akan melakukan itu," kekeh si wanita.

"Kau sudah makan?"

"Makan malam?" Alis Seulgi mengeriting. Tangannya pun mendadak sibuk menyingkirkan sisa remahan snack di sekitar pakaiannya. "Y-ya. Kau?"

Jimin pun mengangguk kecil. "Ya."

"Kalau begitu, aku pergi tidur," pamit Seulgi yang mulai beranjak meninggalkannya.

"Ya. Selamat malam."

Dan sebuah senyum manis Seulgi kemudian menjadi hadiah terakhir untuk malam panjang Jimin hari ini.

.

.

.

.

Hari-hari Seulgi kembali berakhir kaku. Selalu begitu walaupun mungkin meteor mendarat di kediaman Jimin yang terlalu damai dari keributan jalanan, ataupun tetangga tujuh meternya di belakang sana. Setiap hari kian sama. Tidak ada perubahan selain ia yang menyapa Jimin kala ketiduran di sofa, salam selamat pagi dimana Jimin pergi bekerja, dan yang paling sering adalah makan di meja yang sama dengan hanya ketukan piring dan sendok.

Seulgi mungkin merasa bosan pada siklus hidupnya yang terlalu lurus dan tidak mendapatkan tantangan hidup. Ia mungkin harus pergi mengerjakan skripsinya, memukul kepalanya yang bodoh soal managemen waktu sampai ia yang tidak kunjung mendapatkan kabar soal dosen pembimbingnya.

Seulgi ingin kembali ke jaman batu saja kalau bisa. Ia ingin hidup bahagia dengan hanya memikirkan cara mendapatkan makanan. Tidak perlu susah mencari uang atau mungkin gelar sarjana yang dinantikan kedua orang tuanya.

Mungkin Seulgi bukan orang yang tidak berpikir dua kali dalam hidup. Ia tidak tahu rencana kehidupannya yang seharusnya bahagia itu. Bahkan sampai sekarang pun, ia masih juga tidak mengerti mengapa ia memilih menikah dengan tetangganya. Lebih memilih mengurus soal rumah tangga, dibandingkan dengan menghabiskan waktu di perpustakaan untuk mengerjakan sisa revisi yang tidak kunjung selesai.

Tapi entah bagaimana demi semua pikirannya yang berlalu-lalang, ia bisa meneguk secangkir teh malam ini. Duduk di depan televisi seperti rutinitas yang lumrah, namun di samping Jimin sebagai tambahannya.

Film romantis diputar. Cahaya remang bahkan mencairkan suasana canggung keduanya. Jimin dalam diam menebak-nebak akhir cerita, sementara Seulgi masih menyelam dalam lamunan masa depannya. Tidak punya arah dan tujuan, sangat bertolak belakang dari alur cerita si tokoh dalam menjalani hidup dan mengejar cinta yang malang.

"Besok ada pertemuan keluarga," potong Jimin menepis imajinasi Seulgi yang huru-hara. Menyadarkan wanita itu soal realitas yang ia pijaki, sampai Seulgi menoleh dengan paras paling bodoh sepanjang masa hidupnya.

Dan Jimin tidak perlu tertawa soal itu. Karena Seulgi memang sudah sangat konyol dalam identitasnya. Tidak perlu dijelaskan karena mereka kadang saling menertawakan sebelum kehidupan pernikahan mereka dimulai.

"Jihyun noona hamil."

Seulgi bukan orang yang dramatis. Mendengar Jimin yang seakan memberitahukannya soal istrinya yang hamil adalah sesuatu yang tidak mengejutkan sama sekali. Tapi entah, rasanya seperti ada yang mengganjal ketika Jimin mengatakannya. Terlebih ketika dalam layar tipis di depannya itu menampilkan adegan romantis sepasang kekasih yang berkelana memuja cinta.

"Itu bagus. Kapan?" Seulgi buru-buru mengalihkan matanya pada Jimin, yang rupanya memang sudah lebih dahulu melarikan diri dari acara televisi.

Sial memang. Siapa yang membujuk mereka untuk menonton acara murahan soal cinta malam ini? Kalau begini ceritanya, Seulgi bisa saja pura-pura tertidur sejak tadi.

Jimin menjawab dengan polos. Tidak ingin mengeluh soal Seulgi yang seakan mengajaknya berperang karena membuatnya harus repot mengulang kalimat. "Besok."

"Menginap?"

Jimin mengangguk mengiyakan, sementara Seulgi masih setia memangku laptopnya yang menyala diabaikan. Adegan murahan di depannya akhirnya menghilang. Diganti dengan iklan alat kebersihan rumah tangga yang selalu Seulgi kesalkan.

"Berarti aku harus menyelesaikan ini sekarang."

"Mau aku bantu?" tawar pria itu ramah. Dan Seulgi tidak menolak ketika pria itu merebut laptopnya yang menampilkan puluhan halaman kerja miliknya.

Jimin mulai membaca beberapa paragraf penting pada beberapa bab. Pria itu pun menyempatkan diri untuk membuka hasil coretan kertas yang ia temukan di atas meja. Persis seperti dosen muda dalam fantasinya saat kuliah dulu.

"Apa yang pembimbingmu katakan?" tanyanya masih terfokus pada layar. Tidak menatap Seulgi yang nyatanya mulai terpana. Kehilangan pijakan kesadarannya soal melamun.

Tidak kunjung mendapatkan jawaban, Jimin pun menoleh. Menemukan manik lembut Seulgi yang berpendar padanya, lalu mengerjab lucu seperti seekor anak anjing. Tidak sampai Jimin gemas sendiri, ingin mencubit, atau menarik pipi sosok di depannya itu, Seulgi sudah buru-buru menjawab, "Tidak banyak, dia orang yang sibuk."

Jimin meletakkan beberapa lembaran yang dipegangnya. Memutar layar laptop tipis itu pada Seulgi, lalu menunjukkannya beberapa baris yang sengaja ia garis bawahi. "Kau hanya perlu menyertakan beberapa teori disini."

Seulgi berubah takjub. Ia bahkan tidak sampai memikirkan hal ini. Pantas saja dosennya sering marah-marah dan mengembalikan hasil revisinya. "Darimana kau tahu?"

"Semua pembahasan skripsi itu sama. Hanya saja pada bagian tertentu tidak," jawab Jimin enteng. Dan pada akhirnya pria itu menghapus selembar hasil ketikan pegal Seulgi yang sudah ditata rapi disana.

"Apa yang kau─"

"Kau harus pergi ke perpustakaan," respon Jimin menyerahkan laptop itu kembali pada sang empunya.

Seulgi berubah mengerutu. Kesal sekali rasanya saat ia harus mengembalikan rentetan hasil tulisannya. "Kalian semua sama saja!"

"Itulah mengapa kau terlalu lama bergelut dengan ini. Kau benar-benar pemalas," hardik pria itu tak tanggung-tanggung. Seulgi pun langsung mencebik tidak suka.

"Kau terlalu tua untuk berbicara denganku." Seulgi dengan bangga hendak memperlihatkan hasil ketikannya yang lain. Ingin pamer kalau ia juga pernah dibanggakan pembimbingnya. "Lihat, aku pernah─eh?"

"Pemadaman listrik?"

Seketika ruangan menggelap. Gelap gulita dengan hanya pancaran sinar laptop Seulgi yang menemani. Sunyi lantas beberapa saat menyusup di antara mereka. Memudarkan jarak pandang yang entah mengapa menjadi susah untuk melihat satu sama lain.

"Wajahmu jadi seram kalau begitu." Jimin bersuara. Tidak bergerak dari posisinya sampai Seulgi mengembalikan laptopnya ke atas meja.

"Itu lebih parah dari pada wujudmu yang tidak terlihat ini." Si wanita berusaha meraba letak ponselnya. Membongkar saku piamanya, sampai menggeledah seisi meja kalau saja ia tidak lupa gelas tehnya berada di sana. "Cepat, cari ponselmu."

"Dimana ponselmu?" balik Jimin bertanya.

Seulgi seketika mendegus. Sia-sia saja ia merangkak ingin menemukan ponsel mereka. "Kalau kau saja melupakan ponselmu bagaimana denganku?"

"Berdiri," perintah Jimin tanpa kenal keadaan. Tubuhnya sendiri sudah berdiri mencari jalan keluar.

"Kenapa?" tanya Seulgi yang mendongak. Mencari raut remang yang menyinari wajah Jimin di atas sana.

"Dimana kau meletakkan lilinnya?"

Seulgi ikut beranjak. Membenarkan piyamanya yang sedikit berantakan. "Di lemari dapur."

Alhasil keduanya menyusuri lorong gelap. Berusaha menemukan pintu dapur, sekaligus membuka korden. Membiarkan cahaya bulan masuk sebagai bantuan. Dan keduanya akhirnya menemukan rak lemari atas yang menyimpan banyak lilin.

Seulgi mendapatkannya satu, namun kecerobohannya membuatnya tersandung kaki meja. Membuat tubuh kecil itu terhuyung mencari pegangan. Alhasil pakaian Jimin tertarik ke belakang. Membuat pria itu sedikit berputar namun ikut terjatuh ke atas lantai.

Kepala Jimin terantuk kulkas. Sedangkan Seulgi membuat beban di atas tubuhnya. Dalam gelap suara mengaduh sakit keduanya dapat terdengar satu sama lain. Jimin pada akhirnya mengusap kepala belakangnya yang terasa nyeri. Membiarkan Seulgi bergerak di atas perutnya karena lututnya mendadak sakit.

"J-Jimin?!"

Jimin yang awalnya mengeluh akhirnya berubah kesal juga. Benar sepertinya kalau isterinya itu hidup dengan nasip yang selalu konyol.

"Kau tak apa?" tanya Seulgi polos. Merangkak ke depan demi menemukan wajah Jimin yang samar. "Kepalamu baik-baik saja?"

"Ini sakit," keluhnya meringis.

"Maafkan aku," sesal Seulgi sungguh-sungguh. Ia bahkan sudah membuang lilin yang digenggam tangannya. Tidak segera mencari korak api atau semacamnya, tapi mencari raut Jimin yang masih saja tidak dapat ia temukan.

Jimin mendadak menggerakkan tangannya. Tak sengaja bertemu dengan wajah Seulgi yang nyatanya sudah berada di atasnya. Betapa terkejudnya ia menemukan sosok itu begitu dekat dengannya.

Seulgi terdiam beberapa saat. Hatinya menghangat saat wajah itu menemukannya. Kesunyian kembali menyusup lewat spasi yang mereka bagi. Entah bagaimana mereka dapat melihat satu sama lain saat ini. Begitu jelas seperti cahaya lampu sorot mendadak mengarah kepada keduanya.

Jantung Seulgi berpacu tak kenal waktu. Lengannya berubah kaku dan tidak bisa berpindah dengan segera. Ia mendapati Jimin yang begitu bersinar dalam kegelapan. Tanpa cacat, maupun kurang sedikitpun.

Sekali lagi Seulgi setuju atas perkataan Seungwan yang mengatakan jika Jimin itu sebenarnya 'tampan'. Makhluk langka luar biasa sampai banyak yang ingin memiliki. Tapi sayangnya Jimin memilih Seulgi. Entahlah, Seulgi harus bangga atau tidak saat ini, karena ia butuh cahaya untuk menerangi akal sehatnya.

Jimin sedikit beranjak. Mendekat pada wajah Seulgi yang sama sekali tidak kunjung bergerak. "Lilinnya patah," tutur pria itu ketika Seulgi berhasil berkedip.

"K-kita punya yang lain," jawab Seulgi kaku. Entah bagaimana ia masih saja tidak bisa bergerak dari sana. Jangankan bergerak, bernafas saja Seulgi kesulitan.

Tatapan Jimin semakin memburunya. Menusuknya dalam lautan ketenangan. Membuat suaminya itu tertarik untuk mengabsen satu persatu garis pahat wajahnya. Dan Seulgi tidak berbeda ketika Jimin melakukannya.

Jemari Jimin berpindah pada lengan Seulgi yang dingin. Si wanita luar biasa tercekat ketika Jimin semakin mendekatinya. Memiringkan wajahnya sampai Seulgi membeku setengah mati.

Seulgi mungkin penasaran tentang siapa yang akan mengambil first kiss-nya. Tapi saat ini ia malah berpikir, bagaimana masa depannya ketika ia menyerahkan hal ini untuk orang yang tidak ia cintai. Rugikah? Tapi kalau pelakunya Jimin apa dia akan tetap rugi?

Terlalu lama berpikir, akhirnya benda kenyal itu mendarat di bibirnya. Memberikan sensasi yang berbeda pada banyak bagian tubuh Seulgi sampai ia tidak mampu berpindah posisi. Dadanya terus bergemuruh, semakin keras hingga ia dapat mendengarnya sendiri di telinga.

Mata Seulgi membeku, menatap kelopak pejam milik Jimin yang seakan membolonginya. Penuh damba dan penuh dengan aura yang unik tiap kali Seulgi memandangi raut itu. Bahkan yang lebih aneh lagi, Seulgi menginginkan tambahannya.

Jimin kemudian semakin menarik tengkuknya. Menciumnya dalam keheningan yang menguap entah kemana. Digantikan oleh debaran gila mereka yang bertabuh satu sama lain.

Seulgi semakin membeku mendapati tubuh itu seakan mendorongnya ke belakang. Membuatnya bersandar dengan baik pada salah satu kaki meja, lalu menerima bagaimana Jimin memperlakukannya lembut bagai benda yang berharga di kolong meja.

Menyadari bahwa first kiss-nya dicuri oleh Jimin, Seulgi kini mencoba bergerak. Menyadarkan dirinya dua kali lipat, atau menyalahkan dirinya yang kepalang bodoh, Seulgi mendorong tubuh itu lalu mematung di atas lantai.

Dirinya membisu. Tidak bergerak sama sekali seakan alat geraknya mendadak mati. Buru-buru wanita itu berlari menjauh ketika hening yang lain menyusup. Memasuki kamarnya yang sudah memang terlihat sangat dekat sebagai pelarian diri.

Oke, ini cukup drama tapi Seulgi lebih ingat kalau ia juga manusia lemah yang butuh perhatian. Ini sama sekali tidak lucu kalau Seulgi bilang ia keberatan masalah dicium, tapi sama sekali tidak kabur dari sana.

Lantas apa yang harus ia lakukan sekarang?

.

.

.

.

Kaku.

Dan mungkin lebih parahnya diserang canggung luar biasa. Baik Jimin maupun Seulgi tidak ingin keluar dari kamar masing-masing. Jimin mungkin bergelut di dapur pada hari liburnya atau saat bibi Gong tidak datang. Membuat beberapa sarapan lalu meninggalkannya di atas meja tanpa memakannya. Namun pria itu menatanya dengan baik dan berharap Seulgi akan menyukai masakannya─nanti.

Jimin melakukan ritual mandinya kemudian mencari kunci mobil. Menghidupkan mesin mobilnya dengan segera, karena harus berbelanja sesuatu untuk hadiah kakaknya. Ia sempat ingin memanggil Seulgi sebelumnya, namun setelah kejadian itu entah mengapa ada sesuatu yang mengganjal. Seakan membuatnya harus menghindari Seulgi untuk selamanya.

Jimin tidak tahu pasti mengapa ia melakukan hal buruk pada isterinya itu. Sekalipun ia memiliki hak atau mungkin mengantongi dokumen yang valid untuk melakukannya, ia tetap saja tidak benar jika ingin melakukannya, karena Seulgi bukanlah orang yang seharusnya menerima perlakuan seperti itu. Dan Seulgi sama sekali belum memaknai pernikahannya, bagaimana hatinya, lalu memikirkan bagaimana hidupnya setelah ini. Tidak kalah dengannya. Karena pada kenyataannya, mereka sama-sama tidak mengerti, untuk apa sebuah pernikahan yang mereka bangun ini.

Sepulangnya Jimin dari supermarket terdekat. Ia bertemu Seulgi yang asyik menikmati sarapannya. Sorot mata wanita itu seketika gemetar bagai menemukan petir di siang bolong. Dan kalau pun benar tebakannya, mungkin Seulgi sudah ingin berlari masuk ke dalam kamar lalu mengunci pintu dengan benar sebelum Jimin menyapa.

Tapi syukurnya tidak, karena wanita itu menyapanya dengan baik. Seakan tidak pernah ada yang terjadi sebelumnya dan ingin melupakan semua hal seperti hilang ingatan. Dan itu akan baik untuk Jimin, walaupun ia belum pernah membahas soal permintaan maafnya.

"Nasi gorengnya enak," puji si wanita dengan piyamanya. Rautnya polos dengan rambut yang sedikit kusut. Beberapa usakan pun Jimin dapati ketika Seulgi mengambil gelas airnya. Lucu sekali, seperti bayi anjing berbulu yang baru saja lahir.

"Seul?" coba Jimin merubah atmosfir. Ia tengah berpikir ingin memohon maaf. Menagih hukuman yang seharusnya ia dapatkan karena sangat salah dalam bertindak.

Namun nampaknya Seulgi tidak ingin membahas hal lain selain mengunyah dan menghabiskan susunya. "Kau habis darimana?"

"Membeli sesuatu yang kakakku suka," jawab Jimin sabar. "Ngomong-ngomong─"

"Kenapa kau tidak mengajakku?" potong Seulgi protes. Ia kembali menggigit apel yang telah ia potong dengan jerih payahnya. Kunyahannya bahkan sedikit ragu. Jelas kalau Seulgi tengah menghindari pembicaraan ganjil dari Jimin.

Namun Jimin tetap akan berusaha lebih keras untuk menjadi pria yang bertanggung jawab. "Aku─"

"Padahal aku ingin membeli hadiah." Seulgi kembali memotong perkataannya. Memakan apelnya dengan bar-bar sebagai bahan penghindar.

"Seul?"

"Oh, aku baru saja ingin cerita─"

"Seul, berhentilah mengoceh." Kini biarlah Jimin yang memotong. Ia tidak tahu apakah ia harus kesal atau semacamnya. Namun pada nyatanya ia tidak mungkin pantas melakukan itu.

Mendengar nada kesal Jimin, akhirnya Seulgi berhenti mengunyah. Membiarkan pipinya mengembung karena pasokan makanan, lalu mematung sampai Jimin sendiri yang akan memberikan alasan. "Kenapa? Ada apa?"

"Kau sedang makan dan kau berubah jadi aneh."

Seulgi mendegus. Melanjutkan acara kunyahannya seperti tengah mendengar radio rusak. "Aku biasanya tidak akan tersedak saat makan."

"Seul?"

Si wanita akhirnya menyelesaikan kunyahannya. Kembali meraih gelas airnya untuk ia teguk sebelum berbicara, "Tidak. Aku biasanya─"

"Soal semalam aku minta maaf," potong Jimin cepat. Secepat kereta express yang melesat di dalam terowongan.

Alhasil Seulgi tertegun mendengarnya. Maniknya berubah gelisah, berlalu meninggalkan sorot Jimin yang memburunya. "Tidak. Tidak ada apapun semalam."

"Maaf, aku─"

"Aku bilang semalam tidak terjadi apa-apa," ulang Seulgi tegas. Ia buru-buru meletakkan gelasnya, urung minum karena tiba-tiba saja lidahnya menjadi kelu. "Ku mohon Jimin, jangan membuatku menjadi semakin aneh. Aku tidak suka suasana canggung kita."

"Seul─"

"Kau berhak," tutur Seulgi kemudian. Masih menunduk, tidak mau menatap Jimin barang sedetik. "Kau berhak melakukannya." Ia melanjutkan, "Aku tidak tahu kalau kau ingin melakukannya."

Jimin tercekat. Hampir tertindas ia dalam bayang-bayang. Siapa yang sangka jika isteri mungilnya itu akan berucap demikian kala ia sendiri tidak paham dirinya sendiri. Dasar memalukan.

"Kau pikir aku pria macam apa? Kau seharusnya menamparku sekarang. Memukul kepalaku, atau melemparku dengan piring misalnya."

Seulgi tercengang. Kekonyolan Jimin yang mudah kambuh kadang membuatnya kesal. Walaupun sekarang ia ingin menampar atau memecahkan piring di kepala suaminya itu, entah mengapa ia terus memikirkan penjara yang akan berlari mengejarnya. Singkatnya, ia sangat takut dituntut bibi Park atau masuk headline karena menjadi pelaku KDRT.

"Damn, Jimin. Aku bukan orang yang seperti itu."

Jimin meletakkan kunci mobilnya yang sejak tadi ia genggam. Jemarinya tiba-tiba kaku, lebih kaku lagi ketika Seulgi membahas masalah ini itu. "Kita harus segera membahas pernikahan kita."

"Misalnya?" tanya yang mendengar kian serius.

Jimin sedikit mendekatkan kepalanya pada Seulgi. Memberi bisikan seakan ibunya punya alat penyadap di bawah meja mereka, yang sewaktu-waktu bisa menjadi ancaman. "Apa kau ingin kita bercerai?"

Rahang Seulgi hampir terlepas. Kini ia meraih piring makannya, menjatuhkan tiap burai kulit apel yang ia kumpulkan disana, lalu berdiri hingga kursinya terbalik─jatuh ke lantai. "Semalam kau menciumku dan sekarang kau minta cerai?!"

"Aku tidak bermaksud. Aku hanya tidak tahu mengapa aku─" Jimin ikut berdiri. Merasa dirinya terancam, ia pun sedikit menjauh dari meja. "menciummu."

"Jangan harap kita bisa bercerai, kau sudah mendapatkan hakmu!" Seulgi berubah marah. Ia pun tidak akan tahu jika wajahnya kini berubah merah padam menghadapi kalimat-kalimat Jimin. "Aku benar-benar ingin melemparmu dengan piring sekarang!"

Jimin akhirnya bersiap untuk berlari. Entah mengapa ia menjadi sangat takut sekarang. "Seul─"

Namun Seulgi mendekatinya dengan genggaman piring di tangan kanannya. "Kau pikir aku baik-baik saja semalam?!"

"Maafkan aku," mohon Jimin kembali menjauh. "Aku tidak tahu mengapa aku melakukannya."

"Benar, aku pasti sudah gila karena setuju untuk menikah denganmu!"

"Lalu kau ingin kita bercerai?"

Seulgi kembali memberikannya tatapan paling tajam yang ia punya. Wanita itu kini meraih pisau di atas meja, mengganti piring kotor itu dengan benda pemotong yang paling Jimin takuti.

"M-maksudku, jika suatu hari kau ingin, aku bisa menyiapkannya dari sekarang," cicit Jimin kian terpojok.

.

.

.

.

Mobil melaju dengan kecepatan penuh saat pukul sudah menggali dalam. Jimin terlalu mahir mengendalikan mobilnya, walaupun Seulgi sudah mulai mual di kursi belakang. Seulgi tidak ingin muntah, jadi ia memainkan game favoritnya tanpa protes masalah ia terantuk atau tertarik ke depan karena kekuatan driver Jimin.

Selebihnya, Jimin masih ketakutan dengan amukan Seulgi. Keterdiaman Seulgi malah membuatnya semakin ciut. Ia tidak tahu mengapa ia jadi setunduk ini pada Seulgi. Padahal sebelumnya ia tidak pernah ingin meladeni wanita itu dengan benar.

Sepanjang perjalanan mereka terdiam tanpa sudi berbicara. Lantas sesampainya mereka di kediaman keluarga Park, Seulgi turun lebih dahulu. Menyapa ibu mertua yang agung dengan senyuman paling manis, tanpa tahu wajah Jimin sudah kusut seperti dinding yang baru saja disemen.

Kediaman bibi Park tak sesepi biasanya. Ada beberapa sepupu Jimin yang datang dan juga keluarga jauh yang tidak dikenal baik oleh Seulgi. Dalam keramaian, Jimin menggenggam jemari Seulgi yang canggung. Menariknya masuk seperti pasangan mengirikan pada umumnya. Kadang Jimin akan mengambilkannya sesuatu, merangkulnya saat berbicara dengan yang lain, atau kadang tersenyum padanya seperti tidak terjadi apa-apa. Nyaris sempurna seperti rencana mereka sebelumnya.

Dan mau tak mau Seulgi harus menjalankan banyak sekenario hidup dalam keluarga itu. Terlebih ketika Jihyun datang sebagai bintang tamu paling penting. Lantas siapa yang tidak tertekan jika mereka diperkenalkan menjadi pasangan paling fenomenal dalam drama keluarga Park?

Pesta makan, nyanyian anak-anak, dan lelucon garing menjarah waktu Seulgi di kursinya. Ia bosan dan menjadi sangat tertekan dengan perannya ketika ditanya masalah 'punya anak'. Jimin yang tidak perduli sudah lebih dulu kabur tanpa mengajaknya. Meninggalkannya sendiri dalam bom pertanyaan dan juga pertanyaan dari ibu mertuanya yang luar biasa memusingkan.

"Apa belum ada tanda-tanda?"

Pertanyaan itu kembali mengiang di telinga Seulgi. Mengundang banyak pasang mata yang penasaran, hingga dirinya gelisah sendiri.

Dari kejauhan, ia mendapati sepasang manik yang menangkapnya. Seorang pria yang membawanya kemari dengan alasan pertemuan keluarga, meminum minumannya dengan acuh. Menatapnya di sela kerumunan, lalu menolak berlama-lama perduli padanya. Padahal Seulgi butuh pertolongan. Ingin dibawa pergi, terserah kemana.

Maka ketika Seulgi kembali dikerubungi banyak pertanyaan seputar pribadi, Jimin meletakkan gelas minumannya. Beranjak dari sana seperti hendak pergi meninggalkannya. Namun pria itu datang menerobos. Menarik tangan Seulgi tanpa babibu untuk keluar dari kerumunan.

"Ikut aku," ujarnya memerintah.

Seulgi tergugu. Ia tidak tahu harus bagaimana saat ia akhirnya diselamatkan seperti harapannya.

Sesampainya di halaman belakang, Jimin melepaskan tarikan tangannya. Berganti dengan menatap kerlingan Seulgi yang membeku karena perlakuannya. "Aku tidak menyuruhmu untuk pura-pura baik pada mereka."

Alis Seulgi mengeriting. Ia baru saja merasakan jantungnya menari-nari di udara, tapi sedetik kemudian perkataan itu merampas riangnya yang meletup. Ia mungkin tidak masalah dengan Jimin yang membawanya kemari untuk berbicara, tapi perkataan polos Jimin inilah yang membuatnya kadang merasa tidak dihargai.

"Aku tidak berpura-pura. Aku tulus mendengarkan mereka."

"Berhentilah memaksakan diri," ingatkan Jimin yang memandang jauh halaman belakang yang dipenuhi pohon hijau. Cukup segar sebenarnya dibandingkan dengan berbaur di dalam rumah dengan segala cerita pribadi.

Namun Seulgi tidak peka pada ajakannya. Memilih keberatan lalu mengatakan, "Jadi kau pikir aku baik pada keluargamu karena aku terpaksa?" Ia melanjutkan, "Aku sama sekali tidak mengerti jalan berpikirmu."

Jimin menoleh sekali lagi. Mencari kesal Seulgi dengan kedua matanya yang sendu. "Kau tidak mengenal mereka."

Mendengar itu raut Seulgi mengeras, tidak ramah hatinya berlayar. "Baik. Mulai sekarang aku tidak akan perduli lagi," tuturnya yang kemudian pergi dari sana. Menghentakkan kakinya dengan keras seakan tidak sudi untuk kembali.

.

.

.

.

Next or not??

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

69.2K 7.1K 23
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...
69.3K 3.1K 49
Almeera Azzahra Alfatunnisa Ghozali seorang dokter muda yang tiba-tiba bertemu jodohnya untuk pertama kali di klinik tempatnya bekerja. Latar belakan...
423K 4.4K 85
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
49.5K 4.6K 43
Sebuah cerita Alternate Universe dari tokoh jebolan idol yang banyak di shipper-kan.. Salma-Rony Bercerita mengenai sebuah kasus masa lalu yang diker...