White Marriage || seulmin•

By Yellow_B

4.4K 604 132

Menikah bukan tentang melarikan diri, tapi Seulgi yang mengaku tidak pernah menemukan orang yang tepat, dilam... More

NOTE [tolong dibaca!!]
1
2
3
4
5
7
8
9
10
11
12
13
14
15 [END]

6

202 39 4
By Yellow_B

Matahari sudah bersinar kemerahan. Menyisakan dingin yang diam-diam menyusup hingga ke dalam vila. Ruangan berubah meredup, dihiasi hujan ringan yang meradang di luar. Terlalu rileks, Seulgi pun segera teringat dengan beberapa hal dalam hidupnya. Ia mungkin berendam air hangat dalam bathup sejak setengah jam yang lalu. Tidak memikirkan Jimin yang mungkin membatu menunggu gilirannya. Namun busa sabun yang ia ciptakan membuatnya meletup. Menyergap dirinya ke dalam buih bayangan Jimin yang mengganggu pikirannya.

Ketika Seulgi keluar dari kamar mandinya, ia mengenakan salah satu bathrobe yang tergantung dengan rapi di sisi kamar mandi. Maniknya yang kosong segera menemukan wujud Jimin di jendela. Sibuk memperhatikan sisi lautan kala hujan, seakan semua itu terlalu menarik untuk dilihat.

Seulgi tidak ingin menghiraukan. Mengingat tidak ada kepemilikan kamar dalam acara bulan madunya. Karena Jimin pun berhak tidur atau melakukan aktivitas yang ia inginkan di kamar itu, bukan hanya dirinya.

Menggerakkan kakinya kembali, Seulgi menggapai rak-rak lemarinya. Menangkap potongan pakaian yang ia butuhkan, yang entah sejak kapan sudah berpindah pada rak teratas. Dirinya kini semakin mendongak, menarik ujung lipatan pakaiannya yang tidak akan sulit dilakukan jika berjinjit kaki.

Sebuah ide datang di kepalanya. Seulgi pun berakhir sibuk memaksakan kakinya yang terkilir untuk bekerja. Sampai tidak sadar kalau Jimin diam-diam tengah mengawasinya. Pria itu baru saja meletakkan buku yang dipegangnya. Memilih mendekat di belakang punggungnya tanpa bicara.

Seulgi yang menyadarinya hampir melesakkan jantungnya sendiri. Bagaimana tidak, tangan itu mendahuluinya jauh lebih mudah. Mengambilkannya satu yang ia inginkan, lalu memberikannya dengan wajah sedatar dinding.

Untuk sepersekian detik hati Seulgi dipenuhi gelombang elektromagnetik. Tertarik untuk memandangi sosok Jimin dengan tidak tahu terima kasih. Bahkan untuk berucap sesuatu demi mengusir saja ia tidak mampu melakukannya.

Si wanita akhirnya berpikir tentang semua orang yang memiliki privasi soal isi lemari. Tidak ada yang boleh menyentuh sesuatu yang bukan milik kita di lemari. Namun apa yang salah ketika pakaian mereka berada dalam satu tempat yang sama? Diletakkan bersisian dengan sekat kayu yang berwarna senada dengan pintunya. Dan Seulgi baru saja berdilema ria dengan keajaiban barunya bersama Jimin.

"Aku memindahkan pakaianmu disana karena─"

"Aku tidak sependek itu," potong Seulgi telak. Tidak mau mengurusi pembagian wilayah di lemari. Mengingat pembagian wilayah di ranjang saja dia sudah putus asa. Jadi terserah suaminya saja mau meletakkan pakaiannya dimana.

Menyaksiakan si wanita berjalan menjauhinya, Jimin menutup semua pintu lemari. Berakhir dengan menahan gelengan ringannya saat ia menelik bagaimana Seulgi berjalan terpincang-pincang hanya untuk menaruh pakaiannya. "Kau butuh bantuan?"

Seulgi menyernyit tak suka. Rambutnya yang basah harus segera dikeringkan kalau ia tidak lupa membawa hair dryer di koper. Jadi ia berakhir dengan menatap Jimin yang masih berdiri di depan lemari sebagai gantinya. Mempertanyakan, mengapa suaminya itu masih berdiri di sana sementara ia butuh berbenah soal penampilan. "Aku bisa memakai pakaianku sendiri. Sekarang pergilah atau mandi, karena aku harus─"

"Kau melupakan sesuatu," tutur Jimin melangkah pelan. Mendekat pada Seulgi yang entah bagaimana menjadi sangat terintimidasi. "Sesuatu yang penting."

Seulgi gugup sendiri. Pikirannya berlalu-lalang mencari arti. Mendapati Jimin yang menatapnya tanpa permisi seperti itu, telak membuat jantungnya habis terdebur ombak. Jemarinya yang dingin pun semakin memucat, tergenggam sempurna ketika kakinya mulai melangkah mundur dari sisi ranjang. Namun Jimin tidak menghentikan langkahnya. Masih mengejarnya seperti pemburu yang membawa senapan.

"J-Jimin bukankah kau harus mandi?"

Jimin mengangguk kecil. Semakin mendekat padanya, lalu menahan salah satu pergelangan tangannya yang bebas. "Ya, tentu saja aku harus mandi. Tapi sebelum itu─"

Seulgi semakin ketakukan. Bayangannya akan segala sesuatu yang buruk tumpah ruah ke atas lantai. Membuatnya terpeleset, jatuh dalam pesona dominasi Jimin yang menahannya. "Tunggu Jimin, kakiku sakit."

Pria itu membawanya bergeser ke sisi ranjang yang empuk. Mendorong bahunya agar Seulgi terduduk di sana. Tak lupa mendekat bersama suara beratnya.

"Lalu?"

Seulgi gemetar sendiri. Tidak pernah tahu kalau pernikahannya harus sampai pada titik ini. Saat senggang pun ia tidak pernah memikirkannya. Tidak pernah sama sekali, karena ia pikir Jimin tidak akan pernah membutuhkannya. Sama dengan ia yang tidak membutuhkan Jimin untuk membantunya menjalankan rentetan pernikahan ini sebagaimana mestinya.

Seulgi mungkin sudah mengukuhkan diri untuk menjalankan seluruh kewajiban yang bisa ia lakukan. Tapi untuk yang satu ini, "K-kita tidak bisa melakukannya."

Senyum miring itu kemudian dipatri. Sangat menawan dan juga menyelipkan sesuatu di ruang hatinya. Pun menusuk paru-parunya yang sesak, hingga Seulgi merasa kesulitan untuk mengisi benda itu dengan gas oksigen.

"Bisa. Kau hanya tinggal duduk manis dan biarkan aku yang melakukannya," jawabnya ringan. Tidak punya kesalahan.

"A-apa yang akan kau lakukan?" Seulgi merampas tangannya sendiri. Meringsut menjauh dari Jimin yang mulai ikut menaiki ranjangnya. "Yah, Park Jimin!"

Jimin berubah menggeleng. Tidak habis pikir dengan tingkah aneh tetangga sekaligus isterinya sendiri. Pria itu tahu-tahu sudah menangkap kaki Seulgi yang baik-baik saja, kemudian menariknya tanpa perasaan. "Aku menyuruhmu duduk, Seulgi, bukannya menghindariku. Apa yang kau pikirkan?"

Seulgi berubah memberontak ketakutan. Wanita itu menendang-nendang Jimin dengan sembarangan. Melempari pria itu dengan bantal sambil berteriak. Tidak perduli dengan penampilannya yang berubah kusut luar biasa. Jadi bisa dibilang, tidak ada gunanya dia mandi.

"Seulgi!" Sampai pada Jimin yang harus menahan kedua tangan isterinya. Sekaligus membenarkan bathrobe yang melekat pada wanita itu dengan sangat hati-hati.

Sorot gemetar Seulgi lalu meredup. Tergantikan dengan nafasnya yang memburu, menampar sisi wajah Jimin yang sudah kerepotan. "Aku hanya ingin membantumu," ujar pria itu lembut menenangkan.

Melihat Seulgi yang mulai sedikit tenang, Jimin pun menyentuh kembali kedua kaki isterinya. Tangannya yang lain meraih sesuatu di atas nakas. Seperti wadah salep kecil yang harumnya sedikit mengganggu. "Kau tidak mengurus kakimu dengan benar."

"Akh!" ringis Seulgi menahan tangan Jimin yang mulai menggerakkan kakinya. Kepala bersurai coklat itu lantas menggeleng. Memohon dengan sangat untuk tidak melanjutkan pijatannya.

"Kau yakin tidak mau ke rumah sakit?" tanya Jimin kembali mencari persetujuan Seulgi. Namun wanita yang sudah setengah menangis itu kembali menggeleng. Memohon untuk tidak melakukan apapun selain membiarkan kakinya tidak disentuh.

Maka sampai pada Jimin yang memutuskan, "Karena kau tidak mau ke rumah sakit, jadi biar aku yang urus."

"Akhh!" Seulgi memekik kesakitan. Meraih bahu Jimin yang bebas lalu mencengkramnya dengan kekuatan penuh. "Jimin, stop! Please!"

Alhasil Jimin yang kembali memutar kaki Seulgi kini harus ikut berteriak. Merasakan perih yang tiba-tiba mendera bahunya. "Jangan mencakarku!"

Seulgi berubah menangis. Ada banyak permohonan yang ia ucapkan dari maniknya yang basah. "Aku tidak─akhhhh! Jimin, sakit!"

.

.

.

.

Seulgi dan Jimin mendadak pulang ke rumah di hari berikutnya. Seulgi yang merasa menyesal karena tidak bisa menikmati liburannya hanya tertunduk lesu menyaksikan Jimin menggeret kopernya memasuki pintu. Jimin juga sempat menanyakan pertanyaan yang sama padanya berulang kali, seperti apa kau baik-baik saja? Bagaimana dengan kakimu? Apa kau tidak pusing? Persis seperti seorang suster di rumah sakit yang merecokinya tentang kewajiban minum obat.

Sebenarnya Seulgi senang ditanyai hal-hal seperti itu. Terlebih Jimin sangat perhatian padanya, mengurusnya seperti seorang kakak yang bisa melindunginya dan juga sangat mengerti masalah perasaannya. Tapi sayangnya, semua itu merubahnya menjadi sedikit tidak enak hati yang berkepanjangan.

Beruntung mereka sudah makan malam, jadi mereka tidak perlu merepotkan diri mengubrak-abrik isi dapur hanya untuk sekedar memikirkan menu makan malam.

Sementara Seulgi menghempaskan diri ke sofa, Jimin baru saja kembali dari dapur setelah meneguk air minumnya. Pria itu lantas duduk tanpa bicara di depannya dengan wajah lelah yang tidak tertahankan. Dan Seulgi pun sama mengenaskannya dengan hal itu.

Kesimpulannya, bulan madu yang katanya bibi Park indah itu hanyalah menguras tenaga lebih jauh, ketimbang merasakan senang yang meledak-ledak. Salah Seulgi sendiri yang penuh harap mengunjungi Jeju dengan segudang impian. Tidak sadar kalau pernikahannya tidak lebih dari kata konyol, apalagi diembeli cinta. Jadi ya, wajar saja kalau dilabeli it doesn't work.

"Kau tidak istirahat?" tanya Jimin ketika melihat air wajah Seulgi yang bercampur lelah. Merasa kasihan sebenarnya. Tapi apa yang bisa dia lakukan selain bertanya lalu mengabulkan apapun yang diinginkannya?

Namun tidak seperti perkiraan Jimin, Seulgi itu ternyata seseorang yang penuh kesederhanaan. Jauh berbeda dari kakaknya yang kalau bosan saja minta dibelikan macam-macam.

"Aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat ini," balas Seulgi sempat menggaruk kepalanya yang berat. Nyaris saja lepas wajahnya karena lama ditekuk.

Namun Jimin yang cemas segera menanyakan sesuatu. Anggap saja ia tengah menemukan pasien gawat darurat yang butuh didiagnosa masalah penyakitnya. "Kau sakit?"

Senyum kecil Seulgi mengembang. Terlihat amat memilukan dari sekedar menangis terang-terangan. "Aku pun bingung bagaimana mengatakannya."

"Kau kelelahan, Seulgi."

Menegakkan kepalanya, Seulgi menangkap manik Jimin yang sehitam jelaga. Mengabsennya dengan sekali tatap, seakan takut kalau ada sesuatu yang salah jika ia membuka suara tentang, "Jimin, apa aku membebanimu?"

Jimin berkedip. Selesai meletakkan jam tangannya ke atas meja. "Kenapa kau berpikir seperti itu?"

"Aku pikir aku tidak pernah bisa melakukan apapun," jelas Seulgi. Kepalanya mendadak pening. Entah mengapa bisa merembet luas permasalahan yang dipikirkannya. Padahal ia hanya kesal karena kakinya terkilir lalu merepotkan Jimin soal ini-itu. Tidak lebih.

Jimin berkedip. Kali ini ia pergi membawakan Seulgi segelas air dari dapur. "Kenapa kau berpikir begitu?" Lantas ia membiarkan wanita itu meminum airnya terlebih dahulu sebelum ia memutuskan untuk duduk kembali. "Aku tidak merasa terbebani olehmu. Jangan pernah berpikir seperti itu."

Seulgi tergugu. Pikirannya seketika melayang-layang ke udara. Menembus berbagai dimensi, sampai merasa aneh sendiri di sudut hatinya. Ia bahkan tidak tahu kalau Jimin bisa menenangkan hatinya yang meraung ribut. Membuatnya hanya menikmati bagaimana lengan itu menepuk bahunya, padahal ia tengah butuh pelukan. Tapi sekali lagi, Seulgi juga orang yang penuh harga diri. Jadi apa gunanya mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin akan terjadi?

"Tidurlah," ujar Jimin sekali lagi. Alih-alih penuh perhatian dan juga begitu senang ketika sebuah gelas kosong ia terima di tangan. Dan ia luar biasa tenang ketika Seulgi menghabiskan minumnya, kemudian memilih beranjak menuju kamar barunya.

Namun walaupun demikian, wanita bersurai coklat itu tetap menyempatkan diri untuk memberikan salam. Bersikap baik, sampai-sampai hati Jimin dipenuhi awan putih.

"Selamat malam, Jimin."

.

.

.

.

Ketika pagi datang, kegiatan mereka yang cukup rutin adalah saling menyapa. Seperti janji, Seulgi akan bangun jauh lebih awal dari Jimin. Ia kemudian mencoba sibuk membuat sarapan sederhana dengan roti bakar telur dan juga membuatkan Jimin kopi. Lantas saat ia hendak membersihkan diri, ia dikejutkan dengan Jimin yang baru saja turun dengan rambut berantakannya.

Pria itu datang dengan piama kusut, rambut mekar dan juga sedikit menguap. Seulgi ingin terkikik ketika menatap pemandangan langka seperti saat ini. Jauh yang ia ketahui, Jimin selalu melekat dengan penggambaran pria rapi dan sistematis. Jadi wajar jika Seulgi mungkin akan menatapnya dengan ekspresi heran saat pria itu menyapa.

Menarik salah satu kursi, Jimin duduk di depan cangkir kopinya. Mencicipinya selagi masih panas lalu menatap sosok yang masih mematung di pinggir mejanya. "Kau tidak sarapan?"

Seulgi yang sempat terhenti meletakkan piring-piring mendadak berkedip. Ia lalu ikut menarik sebuah kursi di seberang Jimin untuk membiasakan diri. "Sebenarnya aku bukan orang yang terbiasa untuk sarapan pagi."

Jimin sedikit menggaruk tengkuknya. Menyadari dirinya cukup kacau, ia pun mulai merapikan rambutnya yang naik berantakan. Setidaknya ia harus terlihat baik di depan Seulgi mulai sekarang. "Sebenarnya itu tidak baik. Cobalah untuk tidak melewatkan sarapan."

Seulgi mengangguk sepi. Melihat kecanggungan di antara keduanya membuat wanita itu sedikit kikuk. Terlebih menyadari dirinya yang baru saja bangun dengan piama kusut, atau wajah berminyak seperti ini. Dan ajaibnya hal itu bisa membuatnya merasa kecil. Padahal apa pentingnya penggambaran dirinya untuk Jimin? Mereka sama-sama berantakan pagi ini, jadi dimana letak masalahnya?

Belum sempat menggigit rotinya, Seulgi kini dikejutkan dengan bel pintu yang menjerit. Matahari mungkin belum cukup tinggi menampakkan diri, tapi entah siapa yang berminat bertamu sepagi ini? Jikalau itu adalah bibi Gong yang diceritakan Jimin untuk urusan dapur, mungkin Seulgi tidak akan heran. Tapi ini bukanlah hari dimana bibi Gong harus datang dengan pekerjaannya.

"Biar aku saja," cegah Seulgi ketika Jimin hendak bangkit dari kursi. Ia pun dengan cepat mendahului Jimin menuju pintu. Membuka pintu lebar-lebar, bahkan tidak berpikir untuk merapikan dirinya yang masih saja kusut untuk menerima tamu.

Dan tidak ada yang tidak terkejut dikala, "B-bibi?"

Dengan sigap, wanita yang dipanggilnya bibi itu masuk tanpa dipersilahkan. Membawa tasnya masuk, lalu menepuk-nepuk pundak Seulgi dengan penuh kasih sayang. "Aigoo, panggil aku ibu."

Jimin yang masih tercengang mendapati ibunya di pagi buta begini, malah kehilangan selera makan. Ia mau tidak mau kembali ke meja makannya. Lalu menumpu dagunya malas. Menunggu sang ibu memuji Seulgi soal kegiatan paginya, sampai mengangguk ketika ibunya berceloteh ria soal rumah tangganya dahulu kala.

"Bagaimana bulan madunya?" tanya sang ibu mengambil duduk di samping Seulgi. Tangannya sibuk mengeluarkan banyak menu sarapan dari tas besarnya, sampai harus menggeser roti bakar yang seharusnya mereka makan.

"Ibu, ini masih terlalu pagi," keluh Jimin kesal kopinya ikut disingkirkan. Dan jangan lupakan wajah kosong Seulgi ketika melihat semua hasil pekerjaannya tergeser oleh semua masakan ibunya.

Sang ibu lantas menyernyit. Mungkin ia bisa maklum jika Jimin selalu menyebalkan sejak kecil, tapi mengatakan sesuatu yang menyakitkan setelah ia jauh-jauh datang kemari adalah masalahnya. "Apa ibu tidak boleh mengganggu anak-anak ibu?"

Seulgi segera memasuki percakapan. Ia segera menggerakkan tangannya. memberikan kode 'tidak masalah' sebelum terlambat. "Tidak, bu. Kami senang ibu datang."

"Lihat, Seulgi saja senang," puji ibu Jimin tersenyum bangga pada menantunya yang selalu berlaku sopan. "Kau benar-benar menantu yang paling pengertian."

Namun Jimin masih saja tidak terbiasa dengan sikap ibunya. Meski ia sendiri dapat memikirkan sesuatu seperti adab atau aturan saat berbicara dengan ibu, ia belum juga bisa melakukannya dengan baik. "Ini tidak nyaman untukku."

"Jimin─" tengah Seulgi mengingatkannya. Ia rupanya bisa menegur Jimin dengan berani. Tidak masalah kalau ini bukan urusannya.

"Ibu mengkhawatirkan Seulgi." Sang ibu menggapai jemari menantunya. Mengusapnya lembut penuh pengertian, tidak perduli bagaimana Seulgi tersenyum kikuk karenanya.

"Berkat Jimin, kakiku baik, bu," ujar Seulgi menenangkan kekalutan ibu mertuanya. Berharap wanita agung itu tidak datang mendadak seperti sekarang, dan kalau tidak dosa, Seulgi ingin wanita paruh baya itu tidak pernah datang tiba-tiba lagi. Karena demi Tuhan, sesuatu yang seperti ini sedikit mengganggu mentalnya.

"Syukurlah. Ibu senang kalau Jimin melakukan tugasnya dengan baik." sang ibu mertua lalu tertawa bangga akan putranya. Renyah sekali, sampai tidak bisa tidak diikuti tawa Seulgi yang kaku.

Lalu tiba padanya yang menanyakan perihal, "Jimin, apa cutimu masih panjang?"

Jimin mengangguk. Menggigit roti buatan Seulgi diam-diam lalu menilainya sendiri. "Masih ada dua hari lagi."

"Jadi tidak ada masalah," gumam sang ibu menumpu sikunya di meja. "Walaupun bulan madunya batal, kalian bisa melakukannya di rumah."

Seulgi memiringkan wajahnya tidak mengerti. Jimin pun sama tidak mengertinya. Padahal wanita paruh baya itu adalah ibunya, tapi entah mengapa pria itu tidak pernah bisa memahami ibunya sendiri sampai saat ini.

"Maksud ibu─" Jimin menyernyit bingung.

"Tentu saja memberi ibu cucu. Melakukan apa lagi?" jawab ibunya santai. Tidak menyadari kalau Seulgi sudah tersedak nasi karena mendadak dipaksa paham. Dan dengan baik hati ibu Jimin malah mengambilkannya segelas air. Memperlakukan menantunya seperti emas murni 80 karat dibandingkan dengan mengurusi putra kandungnya yang tercengang dengan sangat tidak elit.

"Semalam kalian melakukannya kan?"

Mendapati Jimin yang tidak kunjung bergerak, sang ibu lantas terheran-heran. "Kenapa?" tanyanya menatap bingung kedua nya bergantian. "Apa kalian tidak melakukannya?"

Jimin bersumpah ingin menjambak rambutnya sekarang. Demi tujuh keajaiban dunia yang ada di muka bumi, beserta yang belum ditemukan, ia sudah tidak punya muka jika dihadapkan pada pembicaraan dewasa semacam ini. "Apa perlu secepat itu?"

Namun ibunya menaruhkannya semangkuk nasi. Menyingkirkan kembali roti buatan Seulgi yang nyaris habis di piringnya dengan tega. Tak lupa menyodorkannya segelas air putih. "Lebih cepat lebih baik, sayang."

"Tidak, bu. Kami belum siap," tolak Jimin yang langsung disetujui anggukan Seulgi.

"Kenapa?"

Sedikit ragu Jimin menatap manik Seulgi yang gelisah. Dan ajaibnya ia langsung membaca dengan baik, bahwa wanita itu benar-benar jauh dari kata keruntuhan menghadapi sikap ibunya. "Kami memutuskan untuk sedikit─menundanya."

Sang ibu agung menghela nafasnya. Mengetahui putranya mengalami sedikit gangguan otak, nyatanya akan selalu membuatnya ingin menenggelamkan diri di laut mati. "Katakan pada ibu kalau kalian tidak bertengkar."

"Kami baik-baik saja, bu," cicit Seulgi tidak berani menatap. Masih menggenggam jemarinya di bawah meja. Mencoba untuk mencari perlindungan, meski ia sendiri tidak tahu akan mencari di sudut mana.

"Kalian tidak boleh seperti ini," tegas ibunya. "Kalian sudah menikah, harusnya kalian berbagi segala hal."

Sedangkan Jimin selalu tidak mau kalah dengan tekanan ibunya. Membantah perjodohan saja Jimin bisa, kenapa pula hal ini saja ia tidak bisa? "Ibu, menikah itu tidak selamanya tentang berbagi."

"Jimin, kau itu sudah menikah. Seharusnya kau tahu bagaimana cara bersikap," bantah ibunya. Emosinya lantas menjadi tidak terkendali, bahkan ia menjadi tidak perduli dengan kecemasan Seulgi di samping kursinya. "Hentikan semua ini atau kalian pindah ke rumah ibu?"

Seulgi kehilangan kalimatnya. Ia hendak beranjak ketika ibu mertuanya mendorong kursinya menjauh. Dan tidak lama setelahnya, mereka kemudian dapat menyaksikan wanita paruh baya itu mengambil langkahnya untuk pergi.

Mereka bahkan terus berdiam ketika sang ibu agung melakukan tour kecil di rumah itu. Memeriksa seluruh rumah hingga menemukan pintu kamar baru Seulgi di sudut.

Seulgi menyikut pinggang Jimin diam-diam. Memelankan suaranya agar ibu mertuanya di depan sana tidak mendengar. "Kenapa kau tidak bohong? Bilang saja semalam kita sudah melakukannya."

Jimin berdecak kesal. Tidak suka kalau ibunya melakukan inspeksi besar-besaran sampai harus membuka lemari dan semacamnya. "Walaupun begitu dia tetap akan menemukan kamarmu."

"Kau kan bisa bohong soal itu─" tekan Seulgi merengut. Untuk yang pertama kalinya wanita itu mengatai Jimin bodoh dalam pikirannya. Jujur itu mungkin sangat baik untuk beberapa hal, tapi untuk yang seperti ini jujur itu tidak berguna. Coba kalau mereka berani berbohong, mungkin ia sudah kenyang menghabiskan sarapan enak.

"Percuma, ibuku bukan orang yang mudah─"

Tiba pada sang ibu yang kembali dari hasil pengamatannya. Menunjuk pintu kamar Seulgi yang sudah jelas ditempati semalam. "Kalian bisa jelaskan ini?"

Dan keduanya hanya bisa tertawa kaku sambil memikirkan ribuan alasan di kepala.

.

.

.

.

Seulgi mengemasi barang bawaannya ketika siang hendak menghantam cakawala. Setelah bibi Gong pergi, ia mengunci setiap pintu dan jendela. Tidak lupa mematikan keran air yang menyala sampai harus memastikan rumah itu selalu dalam keadaan bersih dan rapi. Minimal Jimin akan tenang menyaksikan kondisi rumahnya baik-baik saja jika ia pulang terlambat atau tidak menemukannya di rumah.

Menaiki sebuah bus, Seulgi menyempatkan diri berbelanja beberapa kue untuk ia bawa menuju kediaman Seungwan─yang hanya berjarak 15 menit jika ia berkelana dengan bus. Lantas ketika ia menemukan kediaman Seungwan setelah menyusuri jalan kecil, ia pun disambut dengan hangat oleh sepupunya itu.

Seungwan ternyata menunggunya di halaman. Bermain bersama tiga anjingnya yang luar biasa lucu, sambil memeriksa tiap tanaman yang ditanaminya di dekat pagar. Kediaman Seungwan dan Yoongi mungkin jauh dari keributan jalanan ramai. Udaranya masih segar dan beberapa tetangganya ramah menyapa. Persis seperti rumah impian yang sejak dahulu sepupunya impikan.

"Kau tampak lebih segar dari Seulgi yang dahulu kulihat," puji Seungwan menerima kuenya. Bergegas sosok itu pergi ke dapur setelah mempersilahkannya masuk. Mengambil salah satu piring kue dan pisau untuk ia sajikan di atas meja.

Seulgi terkikik mengamati dinding kaca di depan mejanya. Menyaksikan anjing-anjing milik Seungwan berlarian kesana kemari dengan riang. "Mereka tumbuh dengan baik," celetuknya.

"Kau juga tumbuh dengan baik," balas Seungwan mendekat. Meletakkan kue yang sudah ia potong-potong di atas meja dengan sangat riang. "Bagaimana malam-malam kalian?"

Seulgi berubah mengeluh. Ia dengan hati lesu menggerakkan tangannya untuk mengambil potongan kue. "Aku banyak menerima pertanyaan seperti itu akhir-akhir ini, termasuk ibuku."

Seungwan terkekeh. Batal ia menggigit kuenya. "Jadi kalian sepakat untuk tidak melakukannya?"

Seulgi lantas kehabisan kata-kata. Ia mungkin maklum jika ditanyai pertanyaan seperti ini oleh keluarga Jimin atau keluarganya. Tapi ini adalah Seungwan, satu-satunya orang yang memahami kondisinya. Jadi mengapa harus mempertanyakan hal yang jawabannya saja sudah bisa ditebak dengan benar oleh kepala sepupunya? "Apa penting untuk melakukannya?"

Seungwan meletakkan kuenya. Ia mungkin benar-benar tidak akan sempat menikmati kue dari sepupunya itu sekarang. "Untuk pernikahan normal itu penting, sayang."

Tidak punya pilihan, akhirnya Seulgi berakhir dengan mengalihkan pembicaraan. Ia bersumpah, ia sedikit tidak nyaman membicarakan soal rumah tangganya saat ini. "Ngomong-gomong, sudah berapa bulan?"

"Hampir dua," jawab Seungwan sebelum meneguk jusnya.

Berat badan Seungwan yang mulai sedikit berisi itu mulai menjadi pusat perhatian Seulgi. Membuatnya sukses membayangkan, bagaimana jika ia juga mengalami hal yang serupa dengan Seungwan. Apa ia akan menjadi lebih dari bengkak?

"Bagaimana rasanya?"

"Menyenangkan," Seungwan menjawab. Tidak lupa ia mengelus perutnya. Ingin bangga kalau di dalam sana ada calon buah hati yang tengah berkembang. "Aku hanya masih tidak percaya jika aku membawa sebuah kehidupan di dalam sini."

Seulgi kemudian mengangguk paham. "Pantas saja bibi Park sangat menginginkannya. Ternyata bisa sebangga itu rasanya."

"Kau tidak mau punya anak?"

Seulgi meneguk jus jarnya ketika hendak mengatakan, "Kenapa tidak? Aku juga harus memilikinya satu suatu hari."

Seungwan menggeleng. Ia mungkin paham masalah pernikahan Seulgi, tapi dengan sepupunya yang menatapnya dengan masa depan kosong adalah salah satu hal yang dicemaskan Seungwan. "Cobalah untuk menikmati peranmu."

Seulgi hampir tersedak jus ketika mendengarnya. Ia bahkan terkekeh dengan sangat tidak elit setelah menatap air wajah Seungwan yang sangat serius. "Konyol. Mana mungkin aku menikmati peranku? Kami ini tidak lebih dari sekedar menikah karena pelarian."

"Tidak, Seul. Kau sedang terdampar di sebuah pulau bersama Jimin sekarang," jelas Seungwan. Tidak tengah bercanda seperti tanggapan Seulgi akannya.

"Ya, kami terdampar dan berusaha untuk bertahan hidup," kikiknya tanpa henti.

"Lalu kalian akan saling jatuh cinta─" sambung Seungwan terkekeh.

Seulgi semakin terkikik mendengarnya. Punggungnya bahkan sudah bersandar di kursi karena nyaris tertawa sambil beruling-guling. "Candaanmu lucu sekali."

"Mau bertaruh denganku?" Seungwan menyeringai. "Cepat atau lambat kau akan jatuh cinta padanya."

Dan Seulgi masih saja tidak bisa menganggap hal ini menjadi hal yang serius. "Lupakan, ini terlalu konyol.

.

.

.

.

Jangan lupa Vote and Comment ❤️😍

Continue Reading

You'll Also Like

306K 25.6K 37
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...
811K 84.7K 57
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...
220K 33.3K 60
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
279K 28.9K 31
warn (bxb, fanfic, badword) harris Caine, seorang pemuda berusia 18 belas tahun yang tanpa sengaja berteleportasi ke sebuah dunia yang tak masuk akal...