NEOTEROS

By gib_az4bby

958K 106K 16.1K

[PRIVATE ACAK! SILAHKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "NENEN HIKS.." "Wtf?!!" Tentang kehidupan Nevaniel yang biasa... More

01. [ Pemaksaan ]
02. [ Gagal ]
03. [ Office ]
04. [ Angry ]
05. [ Spoiled ]
06. [ Ryan ]
07. [ Nen ]
08. [ Tragedi ]
09 [ Two crazy man ]
10. [ Pagi buruk ]
11. [ Sakit ]
12. [ Siap itu? ]
13. [ Absurd ]
14. [ Meet ]
15. [ Menikah? ]
16. [ Fail ]
17. [ With zefran ]
18. [ Back school ]
19. [ Angry three brother ]
20. [ Damn ]
21. [ Meet again ]
22. [ Rencana ]
23. [ Bad ]
24. [ Kelahiran ]
25. [ Pertemuan ]
26. [ Grandma home ]
27. [ So bad ]
28. [ Expressed ]
29. [ Nen again ]
30. [ Bad liar ]
31. [ Family? ]
32. [ Kekacauan ]
33. [ Berakhir ]
34. [ Purpose ]
35. [ School ]
36. [ Hospital ]
37. [ Getting messed up ]
38. [ Semakin kacau ]
39. [ Meet! ]
41. [ Back ]
42. [ Ngamuk ]

40. [ Be found ]

13.4K 2K 401
By gib_az4bby

"Daddy found you, baby."

Nafas Nevan tercekat seolah terhenti sejenak, mata yang awalnya membulat terkejut perlahan-lahan berubah menjadi sipit akibat si pemilik mendatarkan ekspresinya. Ia memutar bola mata malas dan langsung melangkahkan kaki untuk pergi.

"Eh, ingin kemana? Ayo kita pulang."

"Tidak mau!" Nevan mendengus seraya menarik tangannya yang di genggam kuat.

"Daddy sudah menjemput--"

"Paman Ryan! Jangan memanggil dirimu seperti itu."

Kening Ryan mengkerut tanda bingung. "Kenapa? Bukankah terlihat keren?" Ia tersenyum pepsodent, lebih mirip seperti psikopat.

"Paman tidak cocok dan aku geli mendengarnya."

"Kurang ngajar, anak dan ayah sama saja. Selalu memancing emosi," gumam Ryan samar. "Cepat masuk."

Nevaniel hanya menatap tak minat pada kursi penumpang yang dibukakan oleh Ryan. "Kenapa mobilnya berbeda?"

Pria di depannya tertawa renyah. "Basement hampir penuh dan mobilku terjepit tidak bisa keluar. Jadi paman meminjam milik teman untuk menjemputmu."

Nevan menunduk menatap sepatunya yang sempat menjadi pelaku penendangan tadi pagi. Ia pikir seseorang yang membantunya bukan Ryan. Ah, kenapa ia jadi berharap seperti ini?

Ryan sedikit membungkuk menatap lamat bocah dengan pipi gembul di depannya. "Ada apa? Kau terlihat murung."

Nevaniel menggeleng sambil mengangkat wajahnya. "Tidak apa-apa."

"Yasudah, kita pulang."

"Tidak mau, ayo jalan-jalan."

"Kau baru saja hampir terluka, tapi masih memikirkan hal lain?"

Nevan cengengesan. "Aku baik-baik saja, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Ryan mencubit kedua pipi anak di depannya dengan gemas. "Astaga, siapa yang mengajarimu, huh? Seperti kata-kata orang dewasa saja."

"Nevan memang sudah dewasa!"

"Benarkah?" Ryan mengulum bibirnya tak tahan ingin tertawa.

"Ya, tentu saja."

"Tapi orang dewasa tidak pernah mengompol di celana."

Nevan mengernyit dan langsung menunduk memperhatikan celananya. Nampak area selangkangan terlihat basah dan banyak terdapat jejak air yang menuruni kaki hingga mengakibatkan kaos nya ikut basah.

Wajah Nevan memerah dan bibirnya melengkung ke bawah. "Hiks paman, huaaaaaa.. Nevan pipis di celana."

Tubuh Ryan ditubruk begitu saja oleh si kecil. Dokter muda itu tertawa sambil mengusap gemas surai Nevan yang semakin lebat di pelukannya. "Hei, jangan menangis. Tidak apa-apa."

"Tidak nyaman huhuhu~"

Lagi-lagi Ryan harus mengigit pipi dalamnya saat Nevaniel mendongak dengan mata berair, pipi dan hidungnya juga ikut memerah. "Celana dalam mu pasti basah kuyup bukan?" Ryan menggoda sambil tertawa semakin lepas.

Hidung Nevan kembang-kempis akibat kesal. Ia mendekatkan wajah pada lengan Ryan yang terlapis kemeja, lalu tanpa babibu langsung mengigit dengan keras.

"Akhh! Ya ampun, nakal sekali." Ringis Ryan seraya mengusap lengannya yang terasa nyeri.

Nevan menghembuskan nafasnya dengan keras, ia kesal sekali.  "Pulang hiks.. Ayo pulang~"

"Iya iya, bukankah sedari tadi paman mengajakmu pulang? Kau sendiri yang ingin jalan-jalan."

Ryan menggendong tubuh remaja berumur 14 tahun tersebut tanpa beban. Kaki nya berjalan menuju kursi di samping pengemudi dan membuka pintunya. Sebelum menurunkan tubuh si kecil, Ryan sempat mengambil banyak tisu untuk mengurangi merembesnya urine yang bisa saja mengotori mobil milik temannya.

Nevan menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan. Ryan memasangkan seatbelt untuk bocah kesayangannya agar tetap aman. Ia terkekeh sambil mengacak surai Nevan dengan gemas saat mendengar isak tangis si kecil. Ia sama sekali tidak marah, melainkan senang saat sifat Nevan seperti kembali semula.

🕸🕸🕸

Gerald memukul setirnya dengan kuat akibat tak bisa menahan rasa kesalnya. Sudah lebih dua jam ia terus memutari tempat-tempat yang mungkin saja menjadi pilihan Kevan untuk menyembunyikan si bungsu. Namun naas, tidak ada satupun yang membuahkan hasil.

"Apa Kevan ikut membawa Nevan bersamanya?" Monolog Gerald sambil mencoba berfikir jernih. "Tidak mungkin, Kevin pasti tidak suka."

Pria itu menyandarkan tubuhnya pada kursi pengemudi tanpa mengurangi fokusnya untuk membelah jalanan kota. "Dimana kamu Nevan, papa mencarimu."

Sebuah handphone yang menempel pada holder dashboard mobil menyala, terlihat layar tersebut menampilkan notifikasi pesan. Pesan itu dari klien yang sedang bekerjasama sama dengan perusahaannya.

Namun, bukan itu yang mencuri perhatian Gerald. Melainkan sebuah wallpaper terdiri atas 5 laki-laki yang berbeda umur, saling melemparkan senyum ke arah kamera. Gerald yang paling dewasa di antara keempat anak yang mengelilinginya.

Tanpa disadari fokusnya mengarah pada bayi mungil berumur sekitar 6 bulan yang tengah ia gendong. Bayi yang tak bukan adalah Nevaniel ikut tersenyum seolah mengerti ia sedang dipotret, hingga memperlihatkan dua gigi susu kelincinya yang baru tumbuh sangat terlihat lucu.

"AWAS!!"

Suara teriakan keras membuat atensi Gerald teralihkan. Matanya membulat terkejut saat hampir menabrak orang di depan sana kalau saja ia tidak sempat menginjak rem.

Shit, sial. Terlalu fokus dengan ponsel ia sampai lupa jika sedang berkendara. Beberapa orang mulai berkumpul mendekati mobilnya, sudah pasti mereka akan memarahi Gerald karena ugal-ugalan.

Gerald menumpukan kepalanya pada setir mobil. Menghela nafas berat karena mulai merasa lelah. "Nevan, papa mohon cepatlah kembali."

🕸🕸🕸

"Kenapa dia?"

Mata Mira memicing ke arah Nevan yang berjalan sedikit mengangkang seperti orang yang baru saja selesai di sunat.

Ryan menatap bocah di belakangnya sejenak, lalu menatap wanita yang telah melahirkannya. "Pipis di celana."

"Uhuk uhukk."

Mira yang sedang memakan kacang almond sembari menonton televisi seketika tersedak. Pipi Nevan sontak memerah, ia menarik lengan kemeja yang di kenakan Ryan.

"Paman, jangan mengejekku," rengeknya jengkel.

"Siapa yang mengejek mu? Aku hanya mengatakan fakta." Ryan mendengus, kemudian menarik kerah seragam Nevan dan membawanya ke arah kamar bocah itu sendiri seperti tengah mengangkat anak kucing.

Mira hanya bisa menggelengkan kepalanya. Sudah remaja tapi masih mengompol, yang benar saja!

Jika ia adalah orang tua Nevan, pasti akan mati muda akibat habis kesabaran. Nyatanya ia ditakdirkan melahirkan Ryan, meski sifatnya tak beda jauh dari monyet, sama-sama hobi mencari masalah.

Sesampainya di kamar, Ryan lantas membantu melepaskan celana serta dalaman remaja kecil itu. "Bersihkan sendiri."

Tanpa disuruh dua kali, Nevan segera berlari kecil ke arah toilet. Hingga nampak cim terpontang panting kesana kemari. Hal itu mengundang kekehan gemas dari Ryan.

Lima menit kemudian, Nevan keluar dengan basah di sekujur kaki bantetnya. Ryan melambaikan tangan agar Nevan mendekat dan bocah itu langsung menuruti.

"Pakai diaper ya?"

Nevaniel menggeleng cepat membuat senyum Ryan luntur. "Tidak mau! Diaper hanya untuk anak bayi."

Oh, ayolah.. Ia baru lepas dari benda penyerap cairan itu baru beberapa bulan. Dan sekarang di suruh memakainya lagi?

"Kata siapa benda itu hanya untuk bayi? Bahkan kakek-kakek seperti papamu saja bisa memakainya."

Nevan diam tak bergeming, hal itu membuat tanda tanya di kepala Ryan. Beberapa detik hening saling tatap, akhirnya dokter muda itu baru menyadari ucapannya yang mungkin sensitif untuk Nevan.

"Bukankah kau ingin jalan keluar? Pakai diaper untuk berjaga-jaga. Paman akan membawamu jika menurut."

Mendengar itu wajah Nevan mulai berseri. "Janji?"

"Janji!"

🕸🕸🕸

Gerald membuka pintu rumahnya dengan tak bertenaga. Setelah masalahnya dengan orang yang hampir ia tabrak selesai, Gerald memilih untuk pulang karena hari juga mulai sore.

"Papa dari mana?"

Langkah kaki Gerald terhenti ketika suara Zefran muncul dari arah dapur. "Kita bicarakan nanti saja."

"Bukankah dokter mengatakan jika papa harus banyak istirahat?"

"Ya, tapi sekarang sudah baik-baik saja."

"Papa dari mana?" Zefran kembali mengulang pertanyaannya.

Gerald menghela nafas lelah. "Mencari adikmu."

"Untuk apa?"

Kening pria dewasa mengerut tak suka. "Nevaniel hilang dan dengan tenangnya kau bertanya untuk apa?"

Zefran mengusap wajahnya kasar. "Bukan itu maksud zefran, pa."

"Lalu?" Salah satu alis Gerald terangkat.

"Biarkan aku yang mencarinya, papa hanya perlu beristirahat agar cepat pulih."

"Papa tidak lumpuh zefran, jangan selalu memaksa untuk beristirahat."

"Ini demi kebaikan papa!"

"Tapi bukan untuk kebaikan Nevan!"

Kedua anak dan ayah itu kini saling melempar tatapan tajam. Sifat keras kepala Gerald tentu juga menurun kepada sang putra, zefran. Hal itu membuat bomerang tersendiri untuknya.

"Tidakkah kau berfikir bagaimana nasib adik mu di luar sana?"

"..........."

"Kevan dan kevin di luar kota, lalu siapa yang bersama Nevan. Papa tidak bisa membayangkan jika bocah itu hidup sendiri."

"Bang kevan tidak mungkin setega itu meninggalkan bocah yang bersifat masih seperti bayi tinggal sendiri. Dia pasti mempunyai rahasia yang papa tidak tahu."

"Kau membenci Nevan?"

Pertanyaan dari sang ayah membuat mulut Zefran bungkam sejenak.

"Zefran, papa menunggu."

"Tidak."

Gerald tersenyum samar. "Kau bahkan terlihat ragu dengan jawabanmu sendiri."

"Aku tidak membencinya, tapi..." Zefran menjeda beberapa detik ucapannya. "Jika Nevan tidak gegabah, pasti kejadian satu bulan yang lalu tidak akan membuat papa hampir meregang nyawa."

"Itu sebuah kecelakaan. Kau tidak bisa menyalahkan seseorang dalam sebuah takdir."

"Bisakah papa berhenti membela Nevan?"

"Papa tidak membelanya."

"Tapi setiap kali--"

"Kau iri dengan adikmu?" Potong Gerald cepat.

"Ya! Jujur saja aku merasa sedikit iri. Bukan hanya zefran, tapi bang kevan dan kevin juga pasti merasakan hal yang sama. Sudah tidak mendapatkan kasih sayang seorang ibu, lalu di tambah dengan kurangnya perhatian dari seorang ayah karena lebih fokus pada anak bungsunya."

Perkataan Zefran mengingatkan Gerald pada sang anak sulung yang juga mengatakan hal yang hampir mirip pada saat masih di rumah sakit. Seburuk itukah ia selama ini menjalani tugas sebagai orang tua?

"Maaf."

Hanya satu kata yang bisa Gerald ucapkan saat ini. Pikirannya linglung, tidak bisa fokus akibat terlalu banyak masalah menghantuinya.

"Tidak perlu meminta maaf, aku mengerti susahnya menjadi ayah tunggal dengan empat anak."

Hening

Zefran berdehem sejenak. "Aku akan mencari Nevan, papa di rumah saja."

Tanpa menunggu jawaban orang yang berjasa dalam hidupnya, zefran segera berjalan cepat keluar dari rumah meninggalkan Gerald yang masih terdiam.

Mengiyakan nasehat anaknya untuk diam di rumah? Tentu saja tidak. Selama Nevan belum di temukan, Gerald tak pernah merasa tenang.

Niatnya ingin beristirahat sejenak ia urungkan. Pria itu berjalan menuju garasi untuk mengambil mobil dan kembali mencari si kecil.

Gerald butuh bantuan, meskipun ia tahu resikonya pasti akan babak belur. Tapi ini pilihan terakhir, berharap masalah kali ini menjadi sedikit ringan.

🕸🕸🕸

"Ingin ayam?"

Nevan menggeleng.

"Daging?"

Menggeleng.

"Ikan?"

Menggeleng.

"Telur?"

Menggeleng.

"Lalu mau apa?" Tanya Ryan lelah. Ia mulai menyerah dalam menyuruh bocah berpipi chubby itu untuk makan siang.

"Mie." Nevan memainkan jari-jari mungilnya.

"Tidak!" Tolak Ryan mentah-mentah. "Lusa kemarin kau sudah memakannya."

"Tapi itu sedikit, tidak enak lagi. Berwarna hijau seperti rumput. Nevan bukan kambing." Ucapnya misuh-misuh mengingat mie yang diberikan Ryan beberapa hari lalu terlihat aneh.

"Tidak enak? Tapi habis tak bersisa."

"Ugh~ waktu itu Nevan lapar."

"Terserah, makan apa yang ada. Kalau kau tidak menurut, kita tidak jadi jalan-jalan," ancamnya.

Nevan mengembungkan pipinya kesal. Sementara Ryan terlihat tak peduli. Bocah itu aneh, sudah menumpang ngelunjak lagi.

"Tapi--"

Rengekan Nevan terhenti kala terdengar suara bell rumah. Ryan mendengus karena acara makannya terganggu.

"Buka." Mira yang sedari tadi diam memerintah mutlak.

"Iya." Jawab Ryan malas dan segera menuju pintu.

Saat pintu terbuka kedua mata Ryan refleks melotot. "Kau?!"

"Tolong bantu aku."

Kalian tentu tahu siapa tamu tak di undang yang datang ke rumah Ryan, bukan?

Mulut Ryan nampak kaku dalam menjawab. "B-bantu apa?"

"Tapi jangan marah, sebenarnya..."

Gerald bingung dalam merangkai kata sampai ia tidak sadar jika lelaki di depannya sudah berkeringat dingin seolah buronan yang akan tertangkap.

"Paman~~ kata nenek aku boleh memakan mie, ayo buatkan!"

Tubuh Ryan mendadak membatu. Astaga ibunya itu tidak bisa di ajak bekerja sama.

Terdengar langkah kaki kecil yang semakin mendekat.

Sedangkan Gerald mendorong tubuh Ryan agar pria itu mundur dan ia bisa masuk kedalam. "Siapa itu?"

"Paman kenapa diam saja, Nevan bilang--"

"Nevan?"

Tamatlah riwayat Ryan!

||TBC||

Maaf baru up pren, mabuk ml wkwk

Semoga gk terlalu kaku storynya

Pda Dm kangen Nevan mlu, gk kangen yg nulis apa?

Suka Nevan manja apa mandiri?

Nexy nya kapan² ya, hehe..

Papay~

Jum'at, 16 September 2022
19:11 (wita)
436k

Continue Reading

You'll Also Like

STRANGER By yanjah

General Fiction

191K 22K 31
Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak t...
1.3M 93K 50
JUDUL AWAL "Aku Hanya Ingin Bahagia" Biasakan follow dulu sebelum baca gaes✨ Tinggalkan jejak disetiap chapter juga🙌 "Eh" "Tidur an sudah malam" "Gu...
992K 45.4K 44
(BUDAYAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA) Warning! Mengandung unsur kata kasar! Harap bijak dalam memilih bacaan! Suatu hal yang paling buruk bagi Atlantik...
483K 16K 70
Elia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adr...