Who's Me? (END)

By Kucinghitam03

153 89 171

[CHAPTER COMPLETE] WARNING!! Cerita ini murni hasil pemikiran author:v -☆- Seorang gadis remaja yang memiliki... More

PROLOGUE
-1- Desa Tlorhen & Hutan Grouka
-2- Aku... Tidak Terlihat?!
-3- Polisi di Desa Tlorhen
-5- Identitas Asli Sang Polisi
-6- Kecewa dan Bahaya
-7- Taktik
-8- Bantuan dari Langit
-9- Pertanyaan dan Pertanyaan
-10- Janji Antar 2 Ruh
EPILOGUE

-4- Tragedi Pembantaian & Seorang Jurnalis Bermata Spesial

16 8 8
By Kucinghitam03


Ternyata, begitulah cara alam semesta bekerja di bawah naungan pencipta-Nya. Selama ini, aku hanya memerlukan satu memori buruk itu. Dan sekarang, aku sudah berhasil menemukannya.

-Yara Kallenberg-

-☆-

Apakah kalian percaya, jika aku mengatakan bahwa aku akan tiada jika tidak kabur dari desa ini hari ini juga?

Ya, tepat!!

Aku sangat tidak percaya.

Dan lihatlah, Sahabatku baru saja mengatakannya. Memangnya, dia peramal? Memangnya, apa yang akan terjadi besok di desa?

"Aku berkata jujur dan seadanya, Yara..." ucap Haveny masih membujukku untuk kabur dari desa ini bersama penduduk desa lainnya, hari ini juga.

"Sudahlah, Havy. Aku lelah untuk tertawa karena mendengar ucapanmu itu. Tidak akan terjadi apa-apa, Havy. Sepertinya, kamu banyak sekali berkhayal hal-hal yang aneh. Sampai-sampai, memikirkan hal itu." Aku terkekeh pelan, merasa lucu dengan kalimat perintah dari Haveny untuk melarikan diri dari desa ini. Desa Tlorhen, tempat aku lahir dan tumbuh.

"Oh, ya ampun. Bagaimana lagi aku harus mengatakannya padamu? Kamu harus pergi dari desa ini, Yara! Hari ini juga, dan juga ajaklah penduduk desa lainnya. Aku takut, besok kalian akan terkena masalah besar."

"Oke-oke. Kesampingkan semua perintahmu itu. Aku penasaran sekali, Haveny. Kenapa kamu menyuruhku untuk kabur dari desa ini? Dan bahkan, kamu tidak ikut denganku juga. Berarti, kamu akan tinggal sendirian nantinya, bukan? Memangnya kamu berani tinggal sendirian di desa ini?" tanyaku penuh curiga dan penasaran. Melihat raut wajah Haveny yang mulai serius dan cemas bukan main, membuatku merasa ada yang aneh.

"Ti-tidak. Bukan begitu. Aku hanya memperingatkan kalian saja. Karena besok... besok itu ada..." Haveny terbata-bata, ia ragu dalam menyampaikan informasi yang ia ketahui.

"Memangnya, besok akan ada apa di desa ini?"

"Em... bu-bukan apa-apa."

"Nah, sekarang berhentilah membujukku untuk pergi dari desa ini!" celetukku mendengus kesal.

"Ta-tapi, Yara... kamu harus mendengarkanku. Kamu harus pergi dari de-" aku seketika langsung menutup mulut Haveny dengan buku.

"Shut!... diam dan mari membaca buku. Kamu bercita-cita menjadi gadis yang sukses, bukan? Ayo, mulailah belajar daripada melantur tidak jelas."

~~~~~

"Tolong!..."

"Ayo, lari semuanya!!.."

"Lari..."

"Ayah, Ibu!!..."

Teriakan para penduduk desa bergema di penjuru Desa Tlorhen. Sesuatu telah terjadi, tapi aku tidak mengetahui apa itu.

"Lihat, bukan?" ujar Haveny dari belakangku. Aku berbalik, dan menatap wajah Haveny yang tampak cemas. "Aku sudah memperingatkanmu, Yara. Aku tidak mau ini terjadi pada kalian nanti. Oleh karena itu, aku menyuruh kalian untuk lari kemarin."

"Havy, kenapa kamu bisa mengetahui hal ini? Memangnya, apa yang sedang terjadi sekarang? Memangnya, apa yang akan menimpa kita semua? Dan kenapa, hanya kamu seorang yang selamat di antara kami semua?" kataku memberi beribu pertanyaan kepadanya. Jujur saja, aku belum keluar rumah sejak mendengar teriakan-teriakan penduduk desa tadi. Yah, aku tidak tahu apa yang membuat para penduduk desa ketakutan dan histeris seperti itu.

"Ayahku, Yara. Kamu harus lari dari beliau."

"Apa?" Keningku berkerut seketika. "Kenapa dengan ayahmu? Kenapa aku harus lari darinya?"

"Dia... bukanlah seorang polisi yang disegani orang-orang. Dia, bukanlah seorang pria yang dapat aku banggakan kepada siapa pun. Karena beliau, ternyata hanyalah sampah negara. Dan wujud beliau itu seorang monster, bukannya seorang polisi." Haveny menunduk, ia lalu hanya diam setelah mengatakan kalimatnya itu.

"Apa maksudmu, Havy? Ayahmu seorang polisi. Dan kenapa bisa, ia menjadi sampah negara? Apa yang membuatmu berpikir seperti itu? Apakah, kamu terlalu membenci ayahmu, sampai-sampai memikirkan hal itu?"

Haveny kembali menatapku, "tidak, Yara! Kau harus percaya padaku. Kau harus lari sekarang juga dari rumah ini. Dari desa ini. Atau kau, tidak akan selamat nantinya. Aku mohon, Yara... demi aku," ujar Haveny dengan mata berkaca-kaca. Sepertinya, ia akan menangis jika aku tidak menuruti kemauannya. Akan tetapi, aku masih bingung dengan semua perkataannya.

"Oke-oke. Tapi, berikan aku waktu untuk mengemas barang terlebih dahu-"

"Tidak ada waktu lagi, Yara! Pergi saja sekarang juga!! Ayahku pasti sudah berada di desa ini. Kau harus pergi, Yara... aku tidak mau melihatmu tiada hari ini. Lebih baik jika kita berpisah untuk sementara waktu, daripada harus melihatmu tiada." Haveny menangis, benar-benar menangis.

Aku menghela napasku pelan, tidak tahu harus bagaimana lagi. "Baiklah. Aku akan pergi sekarang juga."

Aku mendekati Haveny, dan langsung memeluknya dengan erat. Lalu, melepaskan pelukan singkat itu. Aku berharap, Haveny dapat selamat dari apa pun itu. Dan aku berharap, kita dapat bertemu lagi nantinya.

"Aku pamit, Havy."

"Hati-hati Yara. Terima kasih untuk semuanya selama ini."

Aku tidak mengerti salam perpisahan yang diucapkan oleh Haveny ini. Tapi, aku hanya bisa tersenyum untuknya. Tidak ada waktu lagi, aku harus lari dari desa yang sudah kacau balau ini.

Hei, bisa jadi saja, Monster Grougon datang ke desa ini sekarang. Ya, itu mungkin saja untuk terjadi. Dan mungkin, Haveny ingin mencari bantuan dengan menelepon ayah atau kakaknya di sini sambil bersembunyi.

Yah, pasti begitu. Haveny memang bijak. Walau begitu, ucapannya yang membenci ayahnya secara terang-terangan itu sangat mengangguku. Tapi, berpikir positif tidak ada salahnya.

Aku berlari keluar dari rumah. Tampak orang-orang penduduk desa ini sedang berlari ke sana ke mari dengan raut wajah panik. Mereka juga berteriak histeris. Baiklah, aku langsung saja berlari ke arah kanan-- menuju gapura desa dan keluar dari desa ini.

Akan tetapi, langkahku terhenti seketika. Padahal, aku belum berlari sejauh 6 langkah. Aku hanya bisa terdiam, sedangkan telingaku dipenuhi oleh suara bising penduduk yang sedang berlari dan berteriak.

Haveny benar. Ayahnya bukanlah seorang Komandan polisi.

Haveny benar. Ayahnya, tidak pantas untuk dibanggakan kepada siapa pun.

Haveny benar. Ayahnya hanyalah sampah di negara ini.

Dan Haveny benar. Ayahnya, seorang monster, bukannya polisi.

"Akhirnya, aku dapat memiliki kesempatan untuk mengulitimu, anak sialan!!" umpatnya  dari seberang sana sambil memegang gergaji.

Apa... apa yang akan dia lakukan padaku dengan gergaji itu?!

"Semuanya! Dengarkan perintahku ini!! Tangkap semua penduduk desa kecuali anakku, Haveny. Lalu, siksa mereka di tengah-tengah desa. Dan untuk gadis sialan satu ini, adalah milikku. Lakukan sekarang!!" titah Pak Reimold kepada bawahannya dengan lantang. Dan bawahannya pun mulai menangkap penduduk desa.

"Apa... yang sebenarnya terjadi?!" ucapku tidak percaya.

Pak Reimold mulai berjalan mendekatiku. Sedangkan kakiku, lemas dan tidak dapat digerakkan sama sekali. Ayolah, kita harus lari dari monster satu ini!

"Aku akan balas dendam atas segala yang kau perbuat kepada putriku, selama ini. Kau pasti mencuci otaknya untuk membenciku dan mengajarinya untuk melawanku. Aku akan memberimu pelajaran setimpal! Hahaha!!"

Pak Reimold semakin lama semakin dekat denganku. Aku juga mulai berkeringat dan semakin gemetaran saja. Kakiku, tetap tidak mau digerakkan. Sial!!

Dan, Pak Reimold sekarang sudah berada di hadapanku saat ini. Ia mengacungkan gergaji yang ia pegang ke leherku sambil tersenyum menyeringai.

"Ternyata, Anda hanyalah seorang psikopat. Bukannya seorang polisi!" teriakku padanya, walau aku tahu dia tidak akan menurunkan benda tajam itu dari leherku jika aku berteriak seperti ini kepadanya.

"Jangan lakukan itu, Ayah!!.."

Krakk!!

-☆-

Sekarang, aku mengingatnya. Semuanya tentang diriku, kehidupanku, bahkan tragedi pembantaian di Desa Tlorhen ini. Sepertinya Xie benar. Ada memori buruk yang memang selalu kutolak untuk mengingatnya selama ini. Sehingga membuatku lupa akan segalanya. Dan saat aku mengingat memori buruk itu, semua ingatan tentang diriku berhamburan keluar dari kandangnya. Mereka semua menguap ke atas permukaan. Hanya karena memori burukku saja, aku kehilangan ingatanku.

Pelaku pembantaian itu bukanlah Monster Grougon. Akan tetapi, ayah Haveny sendiri-- Reimold Wenhard. Haveny menulis di kertas bahwa pelakunya adalah monster, akan tetapi maksudnya bukanlah Monster Grougon. Melainkan ayahnya. Haveny, telah menganggap ayahnya seorang monster. Wajar, jika ia menulis kata monster.

Aku harus segera memberitahu Xie tentang hal ini. Secepatnya! Sebelum terlambat! Sebelum Pak Reimold mengusir mereka bertiga dari desa ini-- bisa jadi saja, ia merasa terancam dengan kedatangan 3 jurnalis.

"Xie!!..." panggilku sambil berlari mendekati Xie. Xie, Wyl, Zlan dan Pak Reimold sedang berbincang hangat.

Xie menoleh ke arahku dengan kening berkerut. Lalu, ia kembali menoleh ke arah teman-temannya-- sepertinya ia tidak ingin dianggap aneh karena menatap angin kosong.

Setelah aku sampai di sebelah Xie, aku menginjit, berusaha untuk berbisik padanya. "P-Pak Reimold... dia... dia adalah pelaku pembantaian itu!!"

"A-apa?!!" pekik Xie tidak percaya, lalu kemudian ia menjadi kikuk karena diperhatikan oleh yang lain.

"A-ah, maaf. Tadi aku melihat bayangan di dekat sana. Tapi, sepertinya aku hanya berhalusinasi saja," ucap Xie berbohong.

"Ah, kau membuatku terkejut, Xie!" celetuk Wyl mengusap pelan dadanya sambil menghela napas.

"Beruntung, wawancara dengan kameranya susah selesai. Jadi, teriakanmu tadi tidak mengganggu tugas kita." Zlan menegaskan hal itu dengan wajah datarnya. Ia tampak agak murka kepada Xie karena berteriak secara tiba-tiba dan dengan alasan yang tidak jelas.

"Ma-maaf, semuanya." Xie menunduk seketika dengan raut wajah menciut.

Aku kasihan melihatnya. Padahal itu karena aku. Andai saja, aku dapat bicara dengan Zlan atau dengan Wyl juga. Itu akan lebih mudah.

"Em... oke. Lalu, Bapak selama ini tinggal di mana? Apakah, Bapak tinggal di Klinik itu?" tanya Wyl menginterogasi Pak Reimold sambil menunjuk bangunan yang dikunjungi Pak Reimold tadi dengan sekilas.

"Oh, tentu saja tidak. Lihatlah, Klinik itu sudah sangat usang dan rapuh. Seperti bisa runtuh kapan saja. Saya tidak akan mengambil resiko sejauh itu. Jadi, saya mendirikan tenda di dekat sini," jelas Pak Reimold.

"Ah, kalau begitu, apakah kami boleh melihat tenda itu?" tanya Zlan dengan ragu.

"Oh, tentu saja. Dan kalian boleh mendirikan tenda di dekat tendaku itu. Sekarang sudah sore, kalian masih harus mencari sesuatu di desa ini, bukan? Lagipula, di dekat tendaku ada sungai dengan air yang jernih. Kita bisa menangkap dan memanggang ikan, lalu membuat api unggun. Yah, kira-kira seperti berkemah." Pak Reimold tertawa di akhir kalimatnya, menambahkan kesan ramah pada dirinya.

"Oh, ide yang cukup bagus, Pak. Bagaimana, Xie, Zlan? Kita dapat kembali ke kota besok saja."

"Oh, ya... aku setuju-setuju saja. Lagi pula, sudah mau malam," jawab Zlan mengangguk setuju.

"Kau, Xie?"

"Ah, em... aku juga ikut. Kita juga belum mendapatkan banyak bahan untuk diliput di media massa."

"Oke, kami ikut dengan Anda, Pak!" seru Wyl dengan antusias dan nada girang.

"Baiklah, mari-"

"Tu-tunggu!" teriak Xie menyela kalimat Pak Reimold. "Sa-saya ingin tahu, apakah ada toilet yang masih berfungsi di sini? Saya, ingin buang air kecil."

"Yah, karena sudah berada selama 4 bulan di sini. Aku merawat satu toilet di desa ini. Toilet itu ada di samping rumah itu." Pak Reimold menunjuk rumah di dekat klinik.

"Aku akan menemanimu Xie," tawar Wyl kepada Xie.

"Ah, tidak perlu, Wyl. Aku sudah dewasa, bukan anak-anak lagi. Kalian duluan saja ke tendanya Pak Reimold. Aku akan menyusul kalian." Xie tersenyum tipis.

"Oh, oke. Kalau kau tidak mau kutemani."

"Tenda itu ada di belakang Klinik. Atau, kau lihat saja sungai yang ada di belakang toilet. Lalu kau ikuti sungai itu ke arah kiri, nanti kau akan menemukan tenda milikku," ucap Pak Reimold menjelaskan.

"Atau, kamu juga bisa menelpon kami, Xie!" ujar Wyl memberikan ide yang sederhana.

"O-oke! Aku duluan ke toilet, ya!" Xie langsung berlari ke arah toilet yang berada di sebelah rumah yang ditunjuk Pak Reimold tadi. Tentunya, aku mengikuti Xie ke arah sana.

"Ya ampun, larimu sangatlah cepat, Yara!" ucap Xie mengusap keringatnya yang bercucuran.

"Oh, tentu saja. Aku memang ahli dalam bidang olahraga," ujarku membanggakan diriku sendiri. "Kalau begitu, silahkan masuk."

"Oh, yang benar saja. Apa kamu percaya bahwa aku ingin buang air kecil?" tanya Xie dengan nada pasrah.

"Hhaha... tentu saja tidak. Aku tahu kamu berbohong. Jadi, kamu mau bertanya apa? Aku akan menjawabnya," ucapku terkekeh pelan.

"Apa maksud ucapanmu tadi? Tidak mungkin Pak Reimold adalah pelakunya. Dia itu seorang Komandan polisi."

"Yah, aku tahu. Kamu pasti juga tidak akan langsung mempercayainya. Jadi, apa reaksimu jika aku mengatakan bahwa aku sudah mengingat siapa diriku."

Xie mengerjap-ngerjap sebentar setelah mendengar ucapanku tadi. "A-apa?! Jadi, kamu sudah ingat siapa dirimu? Lalu, siapa namamu?"

"Hei, tenanglah. Ini bukanlah berita besar. Namaku memang Yara. Yara Kallenberg. Aku sahabatnya Haveny, gadis yang meninggalkan kertas bertuliskan permohonan maaf untuk sahabatnya sebelum ia tiada. Rumah berlantai 2 itu memang rumah miliknya. Dan, Pak Reimold itu adalah ayah Haveny," balasku menjawab pertanyaannya dan menjelaskan sedikit.

"Oh, apa ini?! Pak Reimold ayah dari Haveny, sahabatmu sendiri?!! Dan, lalu... kenapa kamu bisa berpikir bahwa Pak Reimold pelaku dari tragedi 14 tahun silam?"

"Yah, satu fakta yang selalu menggangguku selama aku hidup." Aku memberi jeda pada kalimatku, dan mengambil napas sebentar. "Hubungan antara Haveny dan ayahnya tidaklah baik."

"Maksudmu, tidak baik...?"

"Ya, benar. Haveny adalah anak kedua dalam keluarganya. Ibunya sudah meninggal sejak ia masih bayi. Kakak perempuannya adalah seorang psikiater dan bekerja di pusat kota. Dan ayahnya, adalah seorang polisi di pusat kota. Haveny selalu merasa kesepian tinggal di desa ini. Ayahnya sangat jarang sekali mengunjunginya. Walau begitu, kakaknya selalu rutin berkunjung dua kali sebulan. Tapi, Haveny sudah ditinggal seorang diri di desa ini sejak ia berumur 8 tahun. Yang ia inginkan selama ini hanyalah kasih sayang dari ayah dan kakaknya. Secara, ibunya sudah tiada."

"Hingga, suatu saat, Ayahnya berkunjung menemuinya. Haveny bertanya pada ayahnya tentang kasih sayang ayahnya kepada dirinya. Pertanyaan itu berujung perdebatan. Dan berakhir dengan kekerasan. Hal itu terus berlanjut setiap kali Pak Reimold pulang ke desa ini. Hingga suatu hari, aku yang sedang menginap di rumah Haveny, mendapati ayahnya sedang memukul Haveny lagi. Aku berusaha melindungi Haveny, walau ujung-ujungnya aku juga terkena pukulan itu."

"Dan suatu hari, kamu tahu apa yang Haveny katakan padaku?" tanyaku dengan suara kecil kepada Xie.

"A-apa?"

Aku tersenyum dengan hambar untuk sesaat, lalu menjawabnya. "Haveny menyuruhku untuk pergi dengan penduduk desa ini hari itu juga. Kalau tidak, aku dan yang lainnya akan tiada."

"A-aku awalnya hanya menganggap hal itu hanyalah bualan dan lelucon semata. Akan tetapi, keesokan harinya. Penduduk desa berlarian ke sana ke mari mencari tempat perlindungan sambil berteriak histeris. Dan Haveny mendesakku untuk segera lari dari rumahnya dan keluar dari desa ini." Aku menunduk, menatap tanah.

"Aku mengikuti arahannya sambil terus bertanya-tanya dalam hatiku. 'Ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi pada desa ini?' Dan aku berhenti berlari. Karena di depanku, sudah berdiri... Pak Reimold. Di tangannya sudah ada gergaji. Dan ia mengacungkan gergaji itu ke leherku, dan... me-menebas kepalaku."

Xie menutup mulut dan hidungnya, raut wajahnya tampak sedikit terkejut mendengar akhir kalimatku. Sedangkan aku? Sepertinya aku akan menangis-- jika bisa-- karena harus kembali mengenang bagaimana caranya aku tiada. Tapi sialnya, aku tidak dapat menangis.

"Sepertinya, begitulah caranya aku tiada. Dan akhirnya menjadi ruh yang kehilangan ingatannya. Mungkin, apa yang kamu katakan memang benar, Xie. Aku selalu menolak memori buruk itu, sehingga aku kehilangan identitas hidupku."

"Yara. Janganlah bersedih. Tidak ada gunanya lagi untuk saat ini. Kejadian itu bahkan sudah berlalu 14 tahun. Kalau memang benar ceritamu itu tentang Pak Reimold. Mari, kita mencari buktinya," ujar Xie dengan lembut, ia membuatku sedikit terhibur.

"Lagipula, aku juga merasa ada yang janggal dengan tulisan Haveny. Ia hanya menulis kata monster saja di sana. Tapi, nama Grougon tidak terdapat di kertas itu satu pun."

"Yah, Haveny memang sudah menganggap ayahnya sendiri sebagai seorang monster," sahutku memberitahunya.

"Dan, aku menemukan bukti yang menguatkan tuduhan pelaku kepada Pak Reimold," sahutku, tiba-tiba teringat apa yang kudapati di gudang yang ada di Klinik.

"Apa itu?"

"Mayat dengan darah yang menggenang di sekitarnya. Aku menyempatkan diri ke Klinik tadi. Dan masuk ke gudang, lalu menemukan banyak mayat di dalam sana. Menurutmu, kenapa Pak Reimold keluar dari Klinik, lalu terkejut melihat kalian?"

"Kamu benar juga. Pasti ada sesuatu yang disembunyikannya. Tapi, hal itu tidak dapat membuatnya menjadi tersangka. Ia bisa saja beralibi saat kita menginterogasinya," ucap Xie berpikir keras.

"Yah, langit sudah mulai gelap. Ayo segera ke tenda Pak Reimold. Nanti saja kita pikirkan tentang hal itu," sahutku mengingatkannya bahwa hari sudah mau beranjak malam.

"Ah, baiklah..."

-☆-

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 80K 36
SELESAI (SUDAH TERBIT+part masih lengkap) "Nek saumpomo awakdewe mati, awakdewe bakal mati pas negakke keadilan. Mergo sejatine hukum kui kudu sing r...
30.3M 1.6M 58
SUDAH TERSEDIA DI GRAMEDIA - (Penerbitan oleh Grasindo)- DIJADIKAN SERIES DI APLIKASI VIDIO ! My Nerd Girl Season 2 SUDAH TAYANG di VIDIO! https:...
7.4M 227K 46
Beberapa kali #1 in horror #1 in thriller #1 in mystery Novelnya sudah terbit dan sudah difilmkan. Sebagian cerita sudah dihapus. Sinopsis : Siena...
167K 725 54
(khusus dewasa) Joshua dan Reinata pernah menjalin hubungan asmara, tapi semuanya kandas karena insiden mengerikan di sebuah hotel. Hingga sepuluh ta...