Aurorabilia

By Diena_Mzr

3.5K 196 6

Aku pikir, cepat atau lambat kehidupanku akan berakhir. Jadi nggak ada yang perlu aku takutkan lagi. Toh semu... More

PROLOG
1 - Impian
2 - Gitarku, Kamu, & Dia
3 - Kondisi Terpahit
4 - Dia dan Terapi Pertama
5 - Menerima Panggilan
6 - Hari Pertama Di Kafe
7 - Satu Panggung
8 - Pertengkaran
9 - Ini Mimpi Atau Kenyataan?
10 - Hari Lain Bersamanya
11 - Benci. Bukan Cinta!
12 - Jemputan Tak Diharapkan
13 - Pesta Dan Teman-Temannya
14 - Kencan? Maaf?!
15 - Topik Hangat Di Sekolah
16 - Saran Sahabat
17 - Apa Yang Dia Lakukan?
18 - Peringatan Terakhir
19 - Ternyata Dia!
20 - Pantai Dan Kotak Itu
21 - Apa Ini Cinta Pertama?
22 - Kamu Dan Harapan
23 - Pesan Darinya
24 - Latihan
25 - Antara Dia Dan Jonas
26 - Siapa Dia Sebenarnya?
27 - Dia Tahu
28 - Kunci Kecil
29 - Luka Masa Itu
30 - Permintaan Terakhir
31 - Kabar Terburuk
32 - Menerima Kenyataan
34 - Kamulah Bintangku
35 - Pesan Baru
Epilog

33 - Keluarga?

76 5 0
By Diena_Mzr

Asterio Studio & Lounge, Jakarta Selatan...


"KENAPA hidupku mendadak penuh skenario pahit mereka?" Begitulah pikiranku saat ibu kandungku yang nggak memedulikanku selama bertahun-tahun tiba-tiba mau mencariku hanya karena hubungan kami diketahui publik. Apa dia memang menginginkanku? Nggak. Aku nggak akan menanyakan ini. Nggak akan. Aurora melihat sekelilingnya seraya ia mengontrol pikirannya yang seperti benang kusut.

Ruangan yang cukup luas, tertutup, dan berdesain penuh relief kayu dan bebatuan bercat putih ini sungguh terasa asing dan dingin saat Aurora duduk di hadapan dua orang yang belum dikenalnya. Rasanya lebih baik ia mengenal orang sekaku, searogan, namun sangat menghargai waktu seperti Jonas daripada menemui mereka. Kehadirannya masih membuat semangatnya menyala. Sementara mereka malah membuat ia berpikir akan diadili di kursi panas.

"Aurora ... saya Steven. Steven Abisatya," sahut laki-laki yang duduk di depan Aurora. Perawakannya nggak terlalu gemuk, tapi tinggi dan sedikit terlihat lebih muda dari usianya yang sudah memasuki angka lima puluh. Namun, raut wajahnya masih terlihat bugar. Sekilas hidung, alis, dan matanya memang mirip sekali dengan Grey.

Kenapa baru sekarang aku sadar kalau setiap lekuk wajah kami hampir sama. Aku mengira Tuhan menciptakan kemiripan di antara kami bukan untuk keadaan seperti ini. Aku benar-benar belum siap mendengar semua kenyataan ini, batinnya resah.

"Tentunya kamu mengetahui siapa wanita yang duduk di sebelah saya ini, bukan?"

Aurora mengangguk. Bukan karena ia tahu wanita itu seluruhnya. Ia hanya menyetujui pertanyaan Steven. Kebungkaman wanita itu sungguh membuat suasana lounge ini semakin membuat darahnya membeku. Seandainya saja ada Milla di sini, ia pasti bisa diam-diam memegang tangannya untuk mengurangi laju jantungnya. Tapi Milla sudah menolak ikut dan memilih untuk pulang. Mau tak mau, ia harus menghadapi Jaslene dan Steven yang ada di restoran ini. Selain tentunya, Grey yang juga ternyata sudah ada di bangku belakang mobil selama mereka menuju tempat ini. Sepanjang jalan, kami memilih terdiam.

"Kami tahu ini sudah sangat terlambat untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Perpisahannya dengan Jaslene mungkin juga bagian dari kesalahan saya. Karena saya nggak bisa melepaskan pernikahan pertama saya dengan Jaslene, dan sayalah yang telah memberitahu ayahmu tentang Grey jauh sebelum beliau meninggal."

Aurora tersentak.

"Semua yang terjadi pada malam itu murni kecelakaan, Ra. Karena mobilnya tiba-tiba saja keluar dari jalur bebas hambatan dan menabrak sebuah truk yang tengah berhenti di depannya. Itu pun terjadi setelah Jaslene mengijinkan Grey bertemu dengan ayahmu agar bisa menjelaskan tentang dirinya pada kamu dengan baik. Awalnya Jaslene nggak ingin perceraiannya dengan ayahmu membuat kamu ikut merasakan kesedihan yang dialami Grey."

Jadi, perceraian itu benar-benar ada? Aurora semakin heran mendengarnya. Karena Tante Shakila atau Om Garra sama sekali nggak pernah menyebutkan cerita itu. Apa karena ia masih kecil nggak berhak mendengar kenyataan pahit tentang orangtuanya sendiri?

"Saya tahu itu salah. Terlebih Baren benar-benar belum bisa memercayai sepenuhnya tentang anak pertama kami dan karena itulah Grey masih melihat kesedihannya. Saat itu kami telah menyelenggarakan konser tunggal Jaslene di Jepang. Sungguh, saya turut berduka atas kepergian ayah kamu, Aurora. Kalau saja saya tahu Jaslene telah mengandung seorang anak laki-laki tepat setelah perceraian kami terjadi, saya nggak akan mungkin membiarkannya pergi meninggalkan saya. Jaslene juga merasa sedikit bersalah sama ayah kamu saat diam-diam dia meragukan bayi yang ada di kandungannya."

Aurora masih bergeming. Tapi ia tahu penjelasan laki-laki ini sudah membuat api kecil dalam benaknya. Karena ayahnya belum pernah menceritakan apapun tentang Grey, juga pernikahan pertama Jaslene. Ia malah mendengarnya dari Om dan Tante Shakila kalau selama ini ia dan Grey hanya terlahir dari rahim yang sama.

"Maafkan saya, Aurora. Maafkan atas sikap kami. Selama ini saya memang telah egois. Dan sikap saya ini ternyata menurun pada anak saya, Grey. Dia sungguh belum mengerti apa yang telah dilakukannya. Maafkan kesalahannya karena telah membuka rahasia keluarga kalian ke masyarakat luas. Sekarang saya berharap sekali kamu memaafkan semua yang pernah terjadi pada kami. Karena mulai hari ini, saya benar-benar ingin menebus kesalahan saya pada ayah kamu dengan menjadikan kamu bagian dalam keluarga kami."

"Kami sudah memeriksa DNA kamu dan Mommy. Semua hasilnya memiliki kecocokan yang sama," jelas Grey sambil menunjukkan tiga hasil pemeriksaan DNA pada Aurora.

Aurora membacanya dengan perasaan berantakan sekali. Karena ada namanya dan nama Jaslene di kertas itu. Juga kertas pemeriksaan DNA antara Grey, Jaslene, dan Steven. Oh, Tuhan... Mengapa kisah keluargaku harus dipenuhi dengan jalan penuh jurang? Aku bisa mati kapan saja dengan atau tanpa bertemu mereka sekalipun. Apa aku masih bisa menemukan kebahagiaan dengan keluarga baruku ini? Selama ini aku hanya berharap kesembuhanku dan orangtuaku bisa bahagia melihat impianku terwujud. Tapi jalan cerita hidupku berubah.

Aku belum siap melihat ibu kandungku masih hidup dan ada di depan mataku. Rasanya aku ingin menolak ucapannya hingga mereka kecewa seperti apa yang aku rasakan sekarang. Namun, kulihat Grey nampak baik-baik saja dan hanya tersenyum menatapku dari sofanya. Ia sudah sangat banyak membantuku membangun impianku selama ini. Apa aku bisa melihatnya terluka kalau aku menolak keinginan dia dan keluarganya? Karena mereka juga bagian dari sepenggal kisah bersama ayahku.

Sedikit kuteliti, ada yang berbeda dengannya. T-shirt, celana jins, dan sepatu ketsnya telah berganti dengan pakaian yang lebih formal. Selain blazer putih, kemeja biru muda polos, celana jins abu-abu, dan sepatu pantofelnya, aku juga melihat sebuah headphone Sennheiser di sekitar lehernya. Rambutnya juga terlihat keabuan. Penampilannya kali ini terlihat seperti aktor yang benar-benar tampan.

Steven kembali membuka suaranya, tapi kali ini ia mendekatkan diri dan meraih kedua tangan Aurora untuk digenggam. Gadis itu tersentak. Tatapannya terlihat semakin bersungguh-sungguh. "Apa kamu mau menerima kami ke dalam hidup kamu, Aurora?"

Jaslene mengangguk dengan sorot mata yang juga sangat berharap Aurora mengiyakan permintaan Steven. Karena pertanyaannya itu juga telah menjadi harapannya selama ini. Air matanya yang tergenang di pelupuk matanya pun terjatuh. Tapi ia buru-buru mengambil sapu tangan putih dengan bordir bunga anggrek bulan dari dalam tasnya, dan menyeka pipinya.

Aurora menatap Grey. Namun, laki-laki itu nggak ingin berbicara banyak kali ini. Mungkin hatinya sudah tersenyum bahagia karena bisa mewujudkan keinginannya yang sudah bertahun-tahun tinggal dalam pikirannya, seperti yang sudah diutarakannya malam itu. Cepat atau lambat, ia memang sudah menjadi bagian dari Jaslene. Darahnya hidup dalam darahnya. Ia tak bisa memungkiri hal itu. Sampai kapanpun. Ya. Sampai seumur hidup ia akan tetap menjadi anak perempuan terakhir Jaslene.

Melihat Aurora perlahan mengangguk kecil, Jaslene seketika langsung beranjak dari sofanya dan memeluknya erat. "Maafkan Mommy, sayang... Maaf..."

Sambil memaksakan diri untuk tersenyum, Aurora hanya mengangguk. Ia tahu nggak secepat ini ia bisa menerima keadaan yang benar-benar baru ini. Ia bisa menangis kapanpun setiap mengingat ayahnya lagi, serta keinginannya sebelum ia pergi untuk selamanya.

Saat Jaslene merangkul pundak Aurora dan mengelus rambutnya untuk yang pertama kali, Steven kembali mengangkat suaranya. "Kami sudah melihat dan mendengar suaramu, Aurora. And you know what? Kamu benar-benar menuruni bakat dari ayah dan ibumu. I really love your appearance, your gesture, and absolutely your voice, Aurora! Suara kamu benar-benar indah sekali. Bahkan kamu bisa mencapai high notes dengan sangat cantik. Saya bahagia sekali jika kamu menjadi bagian dari kami nggak hanya untuk sebatas keluarga saja. Mungkin kamu bisa bilang kami mendekatimu hanya untuk memanfaatkanmu. Nggak. Kami ingin menyayangi kamu dengan tulus dan semua keputusan hanya ada di tanganmu, Aurora."

Steven menatap Jaslene yang langsung mengangguk seakan memahami maksudnya.

"Kami memang menunggu waktu yang tepat untuk bertemu sama kamu, Ra. Karena itu, akhir-akhir ini kami sengaja tertutup akan berita yang telah beredar. Kami hanya membiarkan keadaan jadi lebih tenang agar bisa memudahkan kami untuk menemui kamu. Sebenarnya, kami memang nggak hanya ingin kamu menerima kami sebagai bagian dari keluarga kami. Ya, nggak hanya itu, tapi juga untuk mengembangkan bakatmu jika kamu benar-benar menginginkannya."

Aurora masih terdiam dan nggak percaya sepenuhnya pada kata-kata Steven. Namun, ada Grey di sini. Mungkin ia akan meengecewakannya kalau menolak keinginan mereka dan mengubur impiannya selama ini.

Steven kian melihat kebingungan di matanya. "Apa kamu sudah memaafkan kami?"

Grey dan Jaslene bisa merasakan rasa terkejut Aurora kali ini.

"A ... aku ... nggak tahu apa aku sanggup menerima dan memenuhi harapan kalian nanti."

"Permintaan kami tadi belum seberapa, sayang," sahut Jaslene sambil menyeka rambut kecil di sisi wajah Aurora.

Steven mengangguk setuju dengan perkataan Jaslene. "Sebenarnya kami juga mau kamu menandatangani kontrak eksklusif dengan perusahaan kami. Grey juga sudah mengatakan kalau dia ingin mendahului kami untuk bisa menyanyi bersama kamu di album pertamanya. Kami pikir, itu ide yang bagus. Karena selama ini dia hanya sering membuat lagu untuk beberapa artis dalam manajemen kami dan rekan-rekan dari manajemen yang lain. Tadinya saya berpikir entah apa yang membuatnya tiba-tiba ingin menyanyi bersama kamu. Tapi setelah saya melihat perfomamu, saya baru tahu alasannya."

Debar jantung Aurora kini sulit dikendalikan seiring kebahagiaan kecil yang menyeruak saat ia mengingat harapan ayahnya. Ia nggak bisa berkata banyak lagi dan hanya bisa membalas sorot mata mereka yang penuh harap dengan seulas senyum.

Setelah mendengar semuanya dari Jaslene dan Steven, Aurora baru menyadari satu hal. Sejauh apapun ia terbuang dari bayang-bayang keluarganya, ia akan tetap kembali pada mereka yang masih menyayanginya dan mengharapkan kebahagiaannya. Tuhan sudah memberinya kesempatan untuk tersenyum kembali dan sangat mencintainya. Karena itu, ia nggak mungkin menyakiti orang-orang yang datang ke dalam hidupnya.

Continue Reading

You'll Also Like

40.4K 1.3K 29
Dari sekolah gue belajar bagaimana pertemanan itu dari Calum. Dari sekolah gue tahu gimana rasanya ciuman pertama dari Zayn. Dari sekolah gue tau gim...
1.1M 61.7K 59
𝐒𝐜𝐞𝐧𝐭 𝐨𝐟 𝐋𝐨𝐯𝐞〢𝐁𝐲 𝐥𝐨𝐯𝐞 𝐭𝐡𝐞 𝐬𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 〈𝐛𝐨𝐨𝐤 1〉 𝑶𝒑𝒑𝒐𝒔𝒊𝒕𝒆𝒔 𝒂𝒓𝒆 𝒇𝒂𝒕𝒆𝒅 𝒕𝒐 𝒂𝒕𝒕𝒓𝒂𝒄𝒕 ✰|| 𝑺𝒕𝒆𝒍𝒍𝒂 𝑴�...
3.5K 109 53
Belajarlah! Tentang arti dari sebuah kehidupan, karena dengan belajar kita akan merasakan sebuah proses perubahan di dalam kepribadian kita. Belajar...
13K 52 14
"Tubuhku berat banget, seperti ada sesuatu yang menempel di punggungku" ucap Arum Salah satu dari merasa ada yang peka terhadap hal-hal yang berbau g...