Aurorabilia

By Diena_Mzr

3.9K 207 6

Aku pikir, cepat atau lambat kehidupanku akan berakhir. Jadi nggak ada yang perlu aku takutkan lagi. Toh semu... More

PROLOG
1 - Impian
2 - Gitarku, Kamu, & Dia
3 - Kondisi Terpahit
4 - Dia dan Terapi Pertama
5 - Menerima Panggilan
6 - Hari Pertama Di Kafe
7 - Satu Panggung
8 - Pertengkaran
9 - Ini Mimpi Atau Kenyataan?
10 - Hari Lain Bersamanya
11 - Benci. Bukan Cinta!
12 - Jemputan Tak Diharapkan
13 - Pesta Dan Teman-Temannya
14 - Kencan? Maaf?!
15 - Topik Hangat Di Sekolah
16 - Saran Sahabat
17 - Apa Yang Dia Lakukan?
18 - Peringatan Terakhir
19 - Ternyata Dia!
20 - Pantai Dan Kotak Itu
21 - Apa Ini Cinta Pertama?
22 - Kamu Dan Harapan
23 - Pesan Darinya
24 - Latihan
25 - Antara Dia Dan Jonas
26 - Siapa Dia Sebenarnya?
27 - Dia Tahu
28 - Kunci Kecil
29 - Luka Masa Itu
30 - Permintaan Terakhir
31 - Kabar Terburuk
33 - Keluarga?
34 - Kamulah Bintangku
35 - Pesan Baru
Epilog

32 - Menerima Kenyataan

89 5 0
By Diena_Mzr

BEBERAPA hari ini, Aurora ingin sekali bolos sekolah. Karena ia harus terbiasa dengan memakai kacamata, topi kupluk, dan tas yang berbeda setiap mau pergi atau pulang sekolah.

Kalau bukan karena ada para pemburu berita yang masih penasaran dengan pendapatnya tentang pengakuan Grey, hidup Aurora nggak akan diliputi kecemasan setiap waktu. Apalagi ia sudah digosipkan telah menjadi simpanan seorang pengusaha yang belum diketahui namanya, karena Jonas membantunya mengirimkan supir untuk mengantar dan menjemputnya pulang sekolah.

"Capek ya, Ra?"

"Iyalah, Mil." Aurora mengangguk. Ini memang sungguh melelahkan! Tapi aku harus membiasakan diri dengan kehidupan baruku, batinnya. Ia juga melihat netizen di media sosial bahkan ikut mengincar berita tentang identitas dan masa lalunya dengan Grey. Kehidupannya yang tenang, aman, dan damai sudah berubah drastis. Ia nggak bisa merasa aman kalau gosip itu terus merebak seperti bunga yang rontok di musim semi.

Kata-kata Tante Shakila saat memberitahu Jaslene hanya memberikan kebutuhan materi semata masih terngiang-ngiang dalam benak Aurora. Ia sebal sekali mendengarnya. Ditambah betapa besarnya jumlah uang di rekening barunya di salah satu bank swasta di Jakarta ini membuat jantungnya tersengat listrik ribuan volt. Ia masih syok sampai sekarang. Karena jumlahnya sudah hampir 700 juta. Ya Tuhan! Ini benar-benar sulit dipercaya sekali kenapa Jaslene sampai harus berpisah dengan ayahku. Berita simpang siur yang tersebar di berbagai media sungguh membuat kepalaku pusing untuk memilah informasi yang benar dan salah.

Sampai sore ini, Aurora masih nggak bisa mengira-ngira apa yang harus ia lakukan ataupun katakan pada sosok ibu yang sudah belasan tahun bahkan nggak pernah mau menemuinya. Kepalanya ini sudah hampir terbelah dua walau hanya memikirkan rencana kalau ia bertemu ibunya. Ia nggak tahu bagaimana harus bersikap kalau tiba-tiba Jaslene muncul di hadapannya. Apa ia akan mencakar wajahnya dan mengatakan kalau dia bukan ibu yang baik? Entahlah. Ia pusing.

"Lo nyaman dengan keadaan kayak gini, Ra?" tanya Milla yang ikut-ikutan memakai topi, kacamata yang nggak minus, dan bahkan mereka sudah membeli beberapa wig untuk dipakai berganti-ganti setiap hari. Jelas mereka harus melepas semua aksesoris itu ketika di kelas. Karena jadi sahabatnya, dia juga nggak bisa langsung pulang.

Mobil Milla terpaksa ditinggal sampai lapangan parkir sekolahnya benar-benar sepi. Karena teman-temannya yang terkadang masih ingin bercengkerama dengan Aurora selalu berhasil mengundang perhatian para pencari berita. Merepotkan saja! pikirnya. Ini gara-gara wajahnya juga pernah terliput oleh salah satu media sebagai sahabat Aurora saat ia berbincang-bincang dengan Grey di depan sekolah dan sewaktu mereka ada di kafe.

Aurora hanya mengangkat bahunya sambil melebarkan senyumnya. "Yang gue rasakan sekarang ... sekencang apa pun langkah kaki berlari, kenyataan akan terus ada di depan mata. Kalau mata dan kaki ini nggak bisa melihatnya, mereka harus bisa menghadapinya dengan caranya sendiri. Perasaan lemas dan perih ini hanya sementara. Gue akan baik-baik saja tanpa mereka, Mil."

"Gue senang banget bisa kenal sama lo, Ra." Milla sontak memeluk Aurora.

Apa Grey dan Jaslene juga akan baik-baik saja tanpa dirinya? Aurora mencelos. Tentu saja, pikirnya. Apa aku harus bicara pada Milla tentang ketidakpedulian Jaslene dan Steven? Tapi untuk apa? Ya. Untuk apa aku memikirkan mereka lagi? gerutu Aurora dalam hati. Setelah Grey mengatakan tentang keluarganya pada beberapa pers, nggak ada satu pun yang menghubungi atau ingin menemuinya. Mungkin semua berita ini akan tenggelam dengan sendirinya dan kehidupan normalnya akan kembali lagi.

"Ra, lo mikirin apa? Jemputan dari Jonas belum datang ya?" tanya Milla ketika masih duduk di perpustakaan dan mengintip dari jendelanya.

Aurora meringis mendengarnya. Terakhir kali ia mengembalikan pakaian yang dipinjamkan Jonas ke sekretaris di kantornya yang megah itu, ia sempat bertemu dan berkenalan dengan Meril. Katanya Jonas kembali disibukkan dengan pekerjaannya dan akan sulit ditemui.

Pantas saja Aurora hanya menerima WhatsApp dari Jonas yang selalu mengingatkan untuk tetap menjaga pola makannya dengan baik, dan cukup istirahat. Kata Meril, selama Jonas menghabiskan waktu bersamanya, dia selalu saja melewatkan waktu rapat bersama beberapa klien penting dan para pemegang saham. Ia nggak ingin mengganggu waktu kerjanya lagi, tapi ... Apa menghabiskan waktunya denganku sekarang sudah nggak lagi begitu berharga untuknya? Sampai-sampai dia nggak bisa meneleponku? Rasanya perasaanku memang harus berakhir di sini ... Ya. Paling nggak aku tahu kalau keadaannya memang baik-baik saja.

Sejujurnya Aurora nggak terlalu peduli dengan saham sekitar lima persen setelah ayahnya yang hanya lulusan teknik mesin menjadi salah satu investor dan memberi bantuan teknis dalam usaha batubara yang baru dirintis orangtua Jonas di Jerman. Ia hanya menyerahkan sepenuhnya pada Jonas saat mendengar penjelasannya di kantor

Aurora bisa merasakan kalau Jonas hanya ingin membalas kebaikan ayahnya. Karena Om Garra dan Tante Shakila diijinkan tinggal sementara di salah satu apartemen miliknya saat beberapa jurnalis masih menanti di depan rumah. Mereka juga menolak tinggal bersamanya karena nggak ingin berurusan lagi dengan Jaslene yang sewaktu-waktu bisa mencari ke rumah ayahnya.

Aurora juga masih ingat sekali waktu ayahnya pamit untuk bekerja di Garzweiller dan ia harus tinggal sementara dengan Tante Shakila dan Om Garra. Setiap harinya, mereka hanya video call walau hanya untuk menyapa ayahnya yang sedang bekerja.

Namun, selama ini ayahnya selalu mengajarkan kalau nggak semua masalah bisa diselesaikan dengan uang seperti yang telah dilakukan Jaslene padanya. Mungkin aku juga nggak pernah berarti di mata ibuku, batin Aurora kembali gelisah.

"Mil, lebih baik lo nggak usah dekat-dekat gue dulu untuk sementara waktu daripada lo ikut repot begini," ujar Aurora. "Lo bisa minta izin pulang lebih cepat, Mil."

"Nggak. Kalau lo pulang, gue baru bisa sampai di rumah dengan tenang."

Aurora tersenyum kecil menanggapi keresahan Milla. Ia juga ingin masalahnya ini cepat selesai. Sungguh. Ingin sekali rasanya aku menghamburkan uang Jaslene untuk mengatasi masalah yang terjadi karena berita itu, tapi aku nggak mau menganggapnya sudah menjadi ibu yang baik karena aku mau menerima bantuannya untuk biaya hidupku. Aku nggak bisa apa-apa ketika Milla ingin berada di sisiku seperti ini. Aku nggak ingin melihatnya ikut kelelahan karena berkali-kali menemaniku sampai petang, Aurora heran menatap Milla.

"Nggak apa-apa, Ra. Gue kan nggak mau ngebiarin lo susah sendirian. No problem. Gue nanti bisa balik lagi kalau sudah sepi. Daripada gue bengong di kelas, mending kita nunggu berdua di sini," ujar Milla. "Eh, Ra. Kayaknya di luar juga sudah agak sepi, deh! Pulang yuk?"

Aurora ikut mengintip ke jendela, dan mengangguk.

"Biar aman, kita tetap pakai wig aja sampai kita masuk ke mobil gue. Ya, kan? Habis gue antar lo ke halte, gue pulang deh! Mereka pasti ada di luar, jadi nggak bakal melihat kita ke tempat parkir."

Aurora mengangguk setuju, dan memakai perlengkapan menyamarnya.

Tak lama mereka melewati halaman parkir sekolah, Milla menggaruk kepalanya yang gatal.

"Kayaknya gue harus beli wig yang baru aja deh! Yang ini gatel ... nggak enakkk!" seru Milla sambil mengeluh dan menggaruk kulit kepalanya yang masih sedikit gatal meskipun sudah digaruk.

"Terserah ... eh, MIL!" Bola mata Aurora hampir saja ikut melompat turun, karena wignya Milla terlepas.

Aurora nggak sadar kalau seseorang yang duduk di depan pagar sekolah adalah salah satu wartawan yang sedang beristirahat. Bukan keluarga yang ingin menjemput salah satu murid Bina Bangsa. Sepertinya dia sudah melihat wajahnya karena mengenali Milla.

"I-itu temannya Aurora, kan? Itu Aurora! AURORA!"

"Oh, damn!" Milla menyadari kesalahannya karena wig panjangnya sudah merosot cepat dari kepalanya saat ia menggaruk-garuk. "Soriii," ucapnya sambil buru-buru memungut wignya lagi.

Aurora dan Milla sontak berlari dari satu mobil ke mobil lain yang terparkir di parkiran sekolah hanya untuk menghindari kejaran wartawan itu. Karena satpam sekolah sudah nggak bisa melarang semuanya memasuki pelataran parkir.

"Aurora!"

Aurora menoleh dan melihat Novia serta teman-temannya memanggil agar mereka berlari ke mobil mereka untuk bersembunyi. Mau nggak mau Aurora dan Milla masuk ke mobilnya.

"Wah! Sekolah kita sekarang ada artis," seru Novia sarkastik. "Selamat ya, Ra!"

Aurora mencelos. "Gue lagi nggak pengin basa-basi, tapi makasih sudah manggil kita ke sini."

Dari jendela mobil, mereka melihat para wartawan yang nggak bisa masuk ke parkiran sekolah kembali menunggu dan beberapa yang celingukan masih mencari mereka.

Atmosfir sekolahnya ikut berubah ketika beberapa media masih ingin meliputnya. Aurora sudah berusaha semampunya untuk nggak menonjolkan diri karena ia lebih suka dengan hidup yang sederhana dan nggak dipenuhi dengan gemerlap dunia seperti yang dijalani oleh Jaslene. Waktu berangkat ke sekolah, ia baru menyadari kalau wajah Jaslene memang sudah ada di mana-mana seperti yang sudah diberitahu ayahnya.

Selain Aurora bisa menatap sosok Jaslene di papan billboard, baliho, atau videotron yang ada pada gedung-gedung bertingkat, ia juga bisa melihat dan mendengar suaranya di Youtube dan juga layar TV. Karena selain menjadi bintang iklan dan berakting, Jaslene juga sudah menjadi satu-satunya artis Indonesia yang menjadi penyanyi yang cukup terkenal hingga ke mancanegara. Meskipun musiknya beraliran pop dan easy listening, tapi suaranya sungguh mengagumkan. Jaslene benar-benar bisa menjadi apa pun yang ia inginkan dan nggak sedikit pula orang-orang yang mengidolakannya. Hampir semua video musik hingga beberapa video konsernya telah dilihat dan diikut oleh puluhan juta youtuber.

"Kayaknya mereka nggak akan pulang sampai ketemu lo, Ra. Gue nggak bisa lama-lama di sini. Sori, ya, Ra, Mil. Lo berdua harus turun," seru Novia sambil meringis lebar dan mengambil foto selfinya bersama Aurora tanpa permisi.

Aurora mengerjap karena cahaya blitz yang juga menyala dari hp Bianca dan Nina yang duduk di bangku tengah. Ia dan Milla terpaksa turun dari jok belakang dengan hati gondok. Mereka pasrah. Karena para wartawan kembali melihat mereka.

Dengan amat terpaksa Aurora dan Milla berlari ke luar sekolah. Karena mobil Milla ada di pojok, mereka kesulitan untuk menuju ke sana. "Ayo, Mil! Kita naik taksi aja?"

Milla mengangguk setuju dan ikut lari bareng Aurora. Namun, sebelum para wartawan menghampiri mereka lagi, tiba-tiba saja sebuah mobil Alphard berhenti tepat di depan pintu parkir sekolah.

Sontak Aurora dan Milla menghentikan langkah mereka. Karena beberapa mobil sedan hitam di belakang mobil itu juga ikut berhenti dan orang-orang yang ada di dalamnya serentak keluar untuk menghalangi langkah para wartawan. Tak terkecuali para wartawan yang sudah berebut mengambil foto. Kilatan kamera pun tersebar ke arah mereka.

Aurora dan Milla sama-sama mengerutkan dahi, penasaran melihat pemandangan teramat asing ini. Apa ini ulah Jonas? pikir Aurora malas. Akhir-akhir ini ia sudah nggak melihat batang hidungnya dan hanya mengirim seorang supir untuk menjemputnya. Namun, sebenarnya ia sudah melarang supir itu untuk datang ke sekolah lagi.

Melihat pintu mobil mpv silver metalik itu terbuka, Aurora tersadar dari lamunannya dan melihat seseorang yang duduk di dalam mobil. Seketika perasaannya berkecamuk hebat.

"Ra, lo pulang aja. Gue bisa lari langsung masuk ke mobil," seru Milla merasa aman. Karena orang-orang yang sudah menghalangi para wartawan di sekitar mereka.

Aurora mengangguk paham dan kembali melihat Grey yang menatapnya sambil tersenyum dari dalam mobil.

Continue Reading

You'll Also Like

4.3M 281K 60
"Why the fuck you let him touch you!!!"he growled while punching the wall behind me 'I am so scared right now what if he hit me like my father did to...
6.1K 220 20
Aku bahagia menjadi matahari yang bersinar ceria untuknya. Melelehkan hati sedingin es. Namun saat kau berubah menjadi matahari, mengapa sinarmu begi...
4K 79 14
Senandika: Artinya, wacana seorang tokoh dengan dirinya sendiri di dalam drama yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan, firasat, atau konflik batin...
1K 167 23
[TERSEDIA DI TOKO BUKU ONLINE] ⚠️Part 11-19 dihapus, selengkapnya ada di buku⚠️ SUDAH REVISI PADA VERSI NOVEL Setiap orang, memiliki ceritanya masing...