Aurorabilia

By Diena_Mzr

3.5K 196 6

Aku pikir, cepat atau lambat kehidupanku akan berakhir. Jadi nggak ada yang perlu aku takutkan lagi. Toh semu... More

PROLOG
1 - Impian
2 - Gitarku, Kamu, & Dia
3 - Kondisi Terpahit
4 - Dia dan Terapi Pertama
5 - Menerima Panggilan
6 - Hari Pertama Di Kafe
7 - Satu Panggung
8 - Pertengkaran
9 - Ini Mimpi Atau Kenyataan?
10 - Hari Lain Bersamanya
11 - Benci. Bukan Cinta!
12 - Jemputan Tak Diharapkan
13 - Pesta Dan Teman-Temannya
14 - Kencan? Maaf?!
15 - Topik Hangat Di Sekolah
16 - Saran Sahabat
18 - Peringatan Terakhir
19 - Ternyata Dia!
20 - Pantai Dan Kotak Itu
21 - Apa Ini Cinta Pertama?
22 - Kamu Dan Harapan
23 - Pesan Darinya
24 - Latihan
25 - Antara Dia Dan Jonas
26 - Siapa Dia Sebenarnya?
27 - Dia Tahu
28 - Kunci Kecil
29 - Luka Masa Itu
30 - Permintaan Terakhir
31 - Kabar Terburuk
32 - Menerima Kenyataan
33 - Keluarga?
34 - Kamulah Bintangku
35 - Pesan Baru
Epilog

17 - Apa Yang Dia Lakukan?

60 4 0
By Diena_Mzr

PULANG sekolah, Aurora melihat Novia dan teman-temannya sudah menunggu di luar kelasnya. Sementara itu, Milla sudah pulang lebih cepat karena perutnya nggak enak karena kebanyakan makan pedas di kantin. Firasatnya mendadak jadi jelek kuadrat.

Gara-gara harus menghapus papan tulis, Aurora terpaksa melihat teman-temannya pulang lebih dulu. Ia bisa terkurung di kelas sendirian kalau nggak cepat-cepat merapihkan buku-bukunya dan menyampirkan tasnya ke pundak. Sambil menelan salivanya, ia melenggang keluar kelas dan berusaha nggak melihat Novia dan teman-temannya.

"Heh, pengamen!" panggil Novia.

Ya Tuhan! Aurora terpaksa menghentikan langkahnya danmendengar cekikikan Bianca serta Dion di belakang Novia. Sepertinya dugaan Milla kurang tepat kali ini. Karena ternyata Novia dan teman-temannya masih belum jera untuk mengganggunya.

"Gimana sih caranya supaya bisa nyanyi di kafe itu? Setahu gue, ijinnya itu susah banget," seru Novia penasaran. Kali ini ia benar-benar heran karena ia masih ingat ketika Aurora bisa menyanyi di kafe One.

Aurora terpaksa menoleh dan menatap mereka. Rasanya ia nggak bisa menghindar dari mereka kali ini.

"Heh! Lo budek ya?"

"Nggak, Nov. Waktu itu gue memang nggak sengaja ketemu salah satu karyawannya."

"Oh... Trus, lo bisa kenal Jonas di mana?"

Jonas? Apa mereka serius ingin menanyakan soal itu? Aurora meringis nggak percaya. "Rumah sakit," jawabnya singkat. Ia sendiri bingung persisnya di mana.

Novia dan gengnya sekejap tersentak sebelum ia menahan tawa gelinya seraya menatap Aurora. "Oh... sekarang lo penyakitan rupanya?"

Aurora tertohok, tapi ia nggak ingin membalas sikap Novia. Bahkan kali ini Dion malah menyikut lengan gadis itu. Mungkin dia juga merasa celotehan gadis itu terdengar berlebihan dan menyebalkan.

Setelah melirik heran ke Dion acuh tak acuh, Novia kembali menatap Aurora. "Trus, dia ngapain di sana?" tanyanya masih ingin tahu.

"Gue nggak tahu, Nov. Gue kan nggak kenalan sama dia waktu itu."

"Anak ini bikin gue darah tinggi mulu deh!" seru Novia geram.

"Cepat, Nov. Kelamaan lo!" pekik Bianca memberanikan diri.

"Iya, Nov! Gue kan, lapar," timpal Dion ogah-ogahan.

"Bilang aja lo jealous ya kalau gue nanya-nanya tentang Jonas?" sembur Novia.

"Nggak. Buat apa gue cemburu sama dia? Memang lo kenal?" tanya Dion balik.

Seketika Novia menginjak sepatu Dion hingga cowok itu mengaduh kesakitan.

"Aduh! Sori, Nov... Sori! Duh! Sakit tahu! Lo nggak perlu iri gitu kalau dia kenal pengusaha, gue juga bisa jadi pengusaha suatu hari nanti!"

Novia mencibir mendengar bisikan Dion, dan kembali menatap Aurora hingga wajah mereka saling berdekatan.

Aurora terpaksa mundur dari posisi berdirinya karena Novia sudah membusungkan dadanya dengan raut wajah seperti hari-hari sebelumnya. Angkuh, sok cantik, dan nggak peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Sepertinya dia memang sudah kebal dengan hukuman-hukuman yang diterimanya di sekolah ini. Sekarang ada apa lagi? tanyanya dalam hati.

"Akh!" Aurora memekik ketika Novia menggamit lengannya hingga mereka melangkah ke halaman di belakang kelas kosong. "Lo mau ngomong apa lagi sih, Nov?"

"Ikut aja, Ra. Gue nggak bakal nyakitin lo kok," seru Novia sambil terus berjalan sejajar dengan Bianca dan Dion. Ia memang nggak ingin percakapan mereka didengar anak-anak yang hendak pulang atau masih berkeliaran di lorong.

Aurora sendiri sebenarnya sudah tahu akan dibawa ke mana dan sempat terpikir untuk menolaknya, tapi lagi-lagi ia hanya nggak ingin berdebat panjang lebar dengan Novia.

Di halaman belakang dekat lapangan basket, Dion sempat tertegun saat tiba-tiba Novia melepaskan ikatan rambut Aurora hingga rambutnya yang hitam legam dan dicepol ke atas jatuh bebas. Ia nggak memungkiri wajahnya yang terlihat benar-benar lebih cantik dan natural dengan rambut yang terurai.

Novia sudah menyudut tubuh Aurora ke dinding dan melihat dari ujung sepatu ketsnya hingga ke ujung rambut kepalanya. "Gue boleh tanya nggak, kenapa lo nggak mau gabung sama kita, Ra?" tanyanya sambil celingukan dan berharap nggak ada yang mendengar.

Selama ini tingkat gengsi Novia memang tinggi sekali dan mungkin dia merasa harga dirinya tercemar karena nggak sanggup untuk mengajak anak biasa-biasa saja sepertiku masuk ke gengnya, pikir Aurora cepat. Cepat ia memutar otaknya untuk menjelaskannya tanpa membuatnya tersinggung.

"Um... Yaa... Karena gue nggak bisa. Bukan karena gue nggak suka sama kalian. Tapi karena gue lebih nyaman sendirian daripada nongkrong di jam-jam sekolah. Lo tahu kan, tugas sekolah kita cukup banyak. Belum lagi gue harus kerja tiap pulang sekolah. Apa salah kalau gue nggak mau gabung sama kalian?" ujar Aurora sambil tersenyum manis.

Novia sempat terhenyak mendengarnya. Karena sehari-hari ia memang suka sekali menghabiskan waktu dengan Bianca dan Dion. Entah itu untuk bolos karena malas belajar, demi shopping, atau sekadar ingin makan di luar kantin sekolah. Karena di sekitar sekolah mereka memang terdapat beberapa kafe untuk ngopi atau makan siang yang harganya lebih mahal dari kantin sekolah. "Tapi lo mau berteman sama Milla?" tanyanya menambahkan.

"Karena dia...," Aurora menyahut sambil berpikir sejenak.

"Dia kenapa?" Novia kembali penasaran.

"Karena dia nggak... um... apa ya?" Aurora mendadak bingung bagaimana menjelaskannya.

"Nggak apa, Aurora?" emosi Novia kembali meletup. Sementara Dion dan Bianca sempat ingin menyudahi pertengkaran ini dengan menahan lengannya saat gadis itu hendak membusungkan dadanya hingga Aurora terdesak dan terpaksa melangkah ke belakang.

"Apa ya?" bola mata Aurora berputar-putar cepat. Ia benar-benar nggak tahu dan sulit untuk menjelaskannya. Pertemanannya dengan Milla memang terjadi begitu saja sejak mereka ketemu waktu SMP dulu. Mereka nggak pernah memikirkan untuk membuat geng dan mengharuskan selalu ke mana-mana bareng. Mereka hanya sama-sama menghormati waktu masing-masing jadi keseharian mereka nggak harus selalu terpaku dengan kegiatan yangs ama.

Obrolan mereka juga selalu nyambung, jadi nggak ada yang perlu dibuat-buat walau hanya karena takut nggak disukai. Bagaimana Aurora menjelaskannya pada tiga murid berkelas di hadapannya ini? Dari ujung rambut sampai sepatunya saja semuanya terawat dan berasal dari merk yang ternama. Ia bukan termasuk orang yang senang bermewah-mewah meskipun Om atau Tantenya selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan yang sesuai dengan keinginannya. Ditambah keuangan mereka yang tengah bermasalah, ia semakin menjauhkan pikiran untuk bergaul.

"Aah, jelasin gitu aja lama. Trus, apa lo pacaran sama Jonas?" tanya Novia semakin penasaran karena Aurora masih belum menerangkan soal itu.

"Nggak." Aurora sontak langsung menggeleng.

Tapi Novia semakin nggak percaya. "Yaelah, Ra. Jujur aja lagi. Gue kan cuma nanya."

"Gue nggak pacaran sama dia, Nov."

"Kalau nggak pacaran, trus kenapa dia selalu jemput lo pulang sekolah?"

"Memangnya kenapa kalau ada teman yang jemput temannya di sekolah?" tanya Aurora balik. Ia bukan sedang membela Jonas, tapi ia hanya kesal dengan pertanyaan Novia yang terdengar begitu cemburu dengan perhatian laki-laki itu.

"Cuma teman? Lo yakin nggak ada hubungan lain sama dia, huh? Jujur aja sih, Ra!" amuk Novia seraya tubuhnya mendekat dan mengejutkan Aurora hingga langkahnya ikut tersentak mundur.

"AAAKKHHH!" Tak sadar Aurora tiba-tiba telah menjejakkan kaki ke sebuah tanah yang berlubang bekas pembuangan sampah kering, dan seragamnya tersangkut ke ranting pohon hingga lengannya sobek dan ia merasa tubuhnya terasa rapuh untuk berdiri tegak. Kaki kirinya sungguh terasa nyeri sekali. Duh, seragam gue! Pekiknya membatin.

Novia, Dion dan Bianca terperanjat.

"Ops! Sori... Gue nggak sengaja, Ra," dengus Novia.

Aurora mendengus kesal. Karena ia nggak mendengar nada penyesalan sama sekali dari bibir Novia.

Dion dan Bianca hanya mendukung Novia dengan anggukan kepala. Uluran tangan mereka untuk Aurora sontak tertahan karena suara langkah seseorang di belakang.

"Sedang apa kalian?"

Novia, Dion, dan Bianca sama-sama terkejut mendengar suara asing itu. Lalu mereka menoleh ke belakang dan melihat seseorang sudah berdiri di sana. Tanpa aba-aba mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan. Dalam sekejap, mereka melangkah cepat meninggalkan Aurora dan menghilang dari tatapan tajam laki-laki itu.

Kalau saja nggak ada yang datang, Aurora nggak akan tahu lagi bagaimana nasibnya. Entah pulang dengan seragam kotor lagi atau dipanggil ke ruang BP. Sayangnya, kenapa harus Jonas yang datang? Ia sungguh nggak berharap kedatangannya sore ini. Ia ingin pulang tanpa bersiteru dengan siapapun. Ia hanya ingin hidup tenang dan damai, tapi memandang sorot matanya yang begitu dingin itu saja sudah membuat sore ini terasa gerah.

"Kamu nggak apa-apa, Ra?" Jonas menatapnya khawatir, tak seperti biasanya. Karena Aurora sudah membungkuk dengan tangan memegang dan memijit kecil salah satu kakinya.

Aurora hanya bisa melihat pergelangan kakinya dan kembali menatap Jonas dingin. "Lo pikir gue kenapa?" tanyanya sinis.

"Bagus! Kalau gitu lo bisa jalan sendiri!" sembur Jonas dengan sorot mata tajamnya.

Aurora terhenyak sejenak, tapi ia tak heran lagi melihat Jonas kembali ketus. "Iya! Gue bisa pulang sendiri!" tegasnya penuh sebal.

"OK!" Tapi belum juga selangkah meninggalkan Aurora, Jonas sudah mendengus kecil, lalu ia kembali membalik badannya dan melepas kancing kemeja putih Armaninya satu per satu sambil menatapnya tajam. Karena sudah melepas dua kancing dari kerahnya, ia bisa lekas melepas blazer biru mudanya yang sempat membalut tubuhnya dengan kemeja yang bermanset terlipat.

"E-e-eh... Lo mau ngapain sih!?" pekik Aurora terheran. Ia benar-benar terperanjat ketika melihat sikap Jonas tiba-tiba melepas blazernya. Berani-beraninya dia ingin berbuat aneh-aneh di sekolahnya? Otaknya sudah gila apa? Pikirannya bergemuruh hebat. Kontan ia langsung menutup matanya dan mengangkat lima jarinya ke depan wajahnya untuk menutup tubuh Jonas dari pandangannya. "Heh! Jangan macem-macem di...," belum selesai Aurora bicara, tanpa basa-basi Jonas langsung memakaikan blazernya dan langsung menggendong tubuh langsingnya.

"Kalau gue harus nunggu lo jalan, gue bisa telat!"

"Ta-tapi!" pekik Aurora malu karena tangannya terpaksa merangkul ke leher Jonas.

"Diam! Atau gue tinggalin lo sendiri!"

Ucapan Jonas seperti ultimatum yang nggak bisa Aurora tolak lagi. Raut wajahnya begitu serius dan dia nggak mau menatap matanya sama sekali. Lagi-lagi ia harus menuruti perkataannya. Ia nggak berani melihat siapa pun yang dilalui mereka dalam keadaan seperti ini. Apalagi posisi mereka cukup jauh dari halaman parkir ataupun gerbang sekolah. Juga mereka harus melewati kantin dan lorong kelas yang sudah pasti akan terlihat ramai sekali.

Aurora bahkan sempat melihat Novia dan gengnya cepat-cepat masuk ke kantin saat melihat langkah mereka semakin mendekat. Namun, Jonas malah bersikap seolah nggak terjadi apa-apa antara dia dan geng Novia. Dingin dan datar sekali. Ia benar-benar nggak mengerti apa yang sedang dipikirkannya. Tapi ia memang sulit untuk berjalan saat ini. Mungkin lebih baik ia memejamkan matanya karena ternyata teman-teman seangkatannya banyak yang belum pulang dan masih nongkrong di setiap lorong. Ini benar-benar memalukan! Batinnya bergemuruh. Dengan amat terpaksa ia menenggelamkan wajahnya di dada Jonas yang bidang ini.

Di tengah kepanikan dan malu yang menyerang, Aurora mulai merasakan ada sesuatu yang aneh. Diam-diam ia bisa mendengar detak jantung Jonas yang terdengar nggak beraturan. Ia ingin bertanya soal itu, tapi rasanya ia nggak berhak untuk menanyakannya. Mungkin sebaiknya ia nggak perlu peduli dengan keadaan laki-laki aneh ini. Ia ingin melupakan pertanyaan dalam benaknya ini.

Aurora segera mengurungkan rasa penasarannya dan tetap berusaha tenang saat mendengarkan pola detak jantung Jonas dengan mata yang terpejam rapat. Entah kenapa detak jantungnya malah ikut bermaraton sekarang. Kenapa dia bisa tahu aku ada bersama Novia? Apa perhatiannya harus jadi sedekat nadi kami? Tiba-tiba jantungku jadi berdegup nggak karuan begini! Haduh! Mustahil aku mulai ada rasa padanya, kan? Ya, Tuhan! Aku nggak mungkin menyukainya! Pokoknya nggak mungkin!!!

"Apa lo mau tidur di sini?" Saat mata Aurora terbuka lebar, Jonas langsung menurunkan tubuhnya di depan mobilnya. "Kenapa? Heran? Lain kali, kalau ada apa-apa telepon gue," serunya sambil memberikan kartu namanya ke tangan gadis itu.

Aurora melihat nama Jonas yang bekerja sebagai direktur perusahaan Gold Corporate. Apa dia ingin menyombongkan diri kalau dia bisa melakukan apa saja untuk menolongku?

"Kenapa? Kok diam? Ayo naik! Gue harus balik lagi ke kantor," seru Jonas dingin.

"Heh, gue nggak akan tergiur oleh trik manis seperti ini, Jonas."

"Gue lagi nggak coba menarik perhatian lo atau lagi negosiasi di sini," ujar Jonas sambil langsung membukakan pintunya dan mengarahkan Aurora untuk langsung naik ke mobilnya.

Dari jarak yang begitu dekat, Aurora terkejut melihat bekas luka jahitan di dada kiri Jonas. Sepertinya Jonas belum sadar kalau kemejanya tersingkap saat dia menurunkan tubuhnya tadi.

Aurorajadi semakin penasaran dan menebak alasan kenapa Jonas terkadang bisa menjadi ketusdan ramah di waktu yang berbeda. Apa dia juga sedang merasakan ketakutan yang sama dengan aku? Apa yang dia lakukan di rumah sakit?

Sepanjang perjalanan, suasana di mobil hening. Jonas nggak banyak bicara, jadi Aurora kembali memendam rasa penasarannya dan mendengar klakson-klakson mobil di sekitarnya. Kenapa mobilnya jadi jalan seperti siput begini? Apa dia sedang sakit? pikirnya makin heran.

Continue Reading

You'll Also Like

2.8K 62 32
[Lengkap] Warning! Ini tulisan semaunya! *** Cover by Canva
2.4M 141K 46
"You all must have heard that a ray of light is definitely visible in the darkness which takes us towards light. But what if instead of light the dev...
3.5K 109 53
Belajarlah! Tentang arti dari sebuah kehidupan, karena dengan belajar kita akan merasakan sebuah proses perubahan di dalam kepribadian kita. Belajar...
10.3K 112 9
Yuk bisa difollow dan vote untuk semangatin author untuk tetap berkarya!❤️ "Kalau kita nikah apa lho bisa menjamin kalau gak ada kata perpisahan dian...