Aurorabilia

By Diena_Mzr

3.5K 196 6

Aku pikir, cepat atau lambat kehidupanku akan berakhir. Jadi nggak ada yang perlu aku takutkan lagi. Toh semu... More

PROLOG
1 - Impian
2 - Gitarku, Kamu, & Dia
3 - Kondisi Terpahit
4 - Dia dan Terapi Pertama
5 - Menerima Panggilan
6 - Hari Pertama Di Kafe
7 - Satu Panggung
8 - Pertengkaran
9 - Ini Mimpi Atau Kenyataan?
10 - Hari Lain Bersamanya
11 - Benci. Bukan Cinta!
12 - Jemputan Tak Diharapkan
13 - Pesta Dan Teman-Temannya
14 - Kencan? Maaf?!
15 - Topik Hangat Di Sekolah
16 - Saran Sahabat
17 - Apa Yang Dia Lakukan?
18 - Peringatan Terakhir
19 - Ternyata Dia!
20 - Pantai Dan Kotak Itu
22 - Kamu Dan Harapan
23 - Pesan Darinya
24 - Latihan
25 - Antara Dia Dan Jonas
26 - Siapa Dia Sebenarnya?
27 - Dia Tahu
28 - Kunci Kecil
29 - Luka Masa Itu
30 - Permintaan Terakhir
31 - Kabar Terburuk
32 - Menerima Kenyataan
33 - Keluarga?
34 - Kamulah Bintangku
35 - Pesan Baru
Epilog

21 - Apa Ini Cinta Pertama?

53 4 0
By Diena_Mzr

DERU knalpot racing mobil Jonas kencang terdengar di sepanjang jalan Sudirman. Sementara Aurora hanya bisa diam-diam menatap Jonas yang ada di balik stir mobilnya. Dahinya mengernyit, karena Jonas selalu diam. "Kita mau ke mana? Kenapa lo selalu bilang waktu lo nggak banyak, Jonas? Apa lo lagi dikejar-kejar kerjaan? Kalau lo sibuk, nggak usah ngajak gue jalan dan bikin gue ngerasa bersalah."

"Sebentar lagi sampai," sahut Jonas acuh tak acuh.

"Tapi lo sudah bilang itu dari dua jam yang lalu. Gue lapar," Aurora kembali protes. Terus terang, ia sudah berencana akan makan malam lebih dulu bareng Grey. Mungkin ada makanan ringan yang bisa ia pesan di kafe One. Namun, lagi-lagi Jonas mengacau rencana indahnya ini.

"Cerewet! Kalau aja jalanan kita tadi nggak macet, kita pasti sudah sampai dari tadi. Di sini bukan cuma lo yang bisa lapar! Jadi nggak usah banyak protes! OK!"

"I-i-iya. Terserah lo, deh! Energi marah-marah lo dapat dari mana sih, Nas?" Aurora mengerucutkan bibirnya.

Jonas yang mendengar ucapan Aurora hanya melengos sekilas, dan kembali serius menyetir.

Setelah melihat kotak musik itu, entah kenapa pikiran Aurora jadi lebih berbeda memandang Jonas. Ia benar-benar penasaran sekali kenapa laki-laki itu melarangnya untuk menyentuh kotak musik itu.

Tak lama kemudian, mobil Jonas sudah terparkir manis di halaman rumah bergaya arsitektur bangunan di Maroko. Sekilas pandang, rumah itu sungguh terlihat megah dan mewah sekali. Bentuk dan desain ruangannya didominasi oleh gaya Timur Tengah.

Mata Aurora langsung menyusuri rumah itu. Desainnya yang klasik dan indah membuat ia terpukau. Dari halaman hingga interior di dalamnya juga ditata dengan sangat estetik. Hanya saja, nggak ada satu pun orang selain para pegawai yang berseragam putih dan berdasi kupu-kupu. Mereka menyambut kedatangan Jonas dengan senyuman yang lebih dari sekadar ramah. Mereka benar-benar bersikap seolah mereka tengah menyambut pemilik rumah. Apa ini rumah Jonas? pikirannya mulai mengira-ngira.

Ketika mereka tiba di dalam rumah itu, ada sebidang halaman dan kolam renang besar yang tersedia di tengah-tengah rumah itu. Aurora terkesima melihat apa yang disiapkan oleh Jonas tepat di sisi kolam itu. Emosinya yang sempat ingin meledak lagi seketika luruh diterjang hujan deras dan berganti dengan bunga-bunga yang harum. Matanya berbinar-binar.

"Ayo dimakan! Katanya lapar!" seru Jonas ketika mereka sudah duduk di kursi.

"Iya, tapi kayaknya percuma ya makan di suasana begini sama orang nggak romantis kayak lo!? Kenapa kita nggak makan di pinggir jalan aja sih? Daripada lo kurung kita berdua di sini, di sana lebih banyak pemandangan orangnya. Nggak ada romantis-romantisnya juga."

"Dari tadi lo marah-marah terus, lo pikir gue bisa bersikap romantis lagi di sini?"

Mendengar ucapan Jonas, Aurora hanya bisa duduk manis dan membisu. Rasa herannya nggak bisa terbendung lagi. Ia kembali melihat meja makan malam mereka. Meskipun taplak putih susu berbahan satin telah terbentang mulus di sebuah meja bundar, lengkap dengan vas dan sekuntum bunga mawar merah yang terlihat manis, ia nggak melihat makanan yang sekelas dengan kecantikan desain rumah ini.

"Ingat ya. Ini bukan kencan," celetuk Jonas seketika membuyarkan lamunan Aurora.

"Memang masih ada perempuan lain yang mau lo kenalin ke gue?" tanya Aurora menahan keki. Namun, ia mendadak merasa pertanyaannya itu seharusnya ia pendam saja. Karena ia nggak melihat kursi lain di halaman ini.

Jonas meluruskan tatapannya ke arah Aurora. "Menurut lo!"

"Terus ngapain lo ngajak gue ke sini?" Aurora jadi tambah heran. Apa dia ingin main tebak-tebakan? Atau, dia gengsi mau bilang 'aku sayang kamu'. Atau, dia memang nggak mau aku dekat sama Grey. Atau, aku hanya boneka yang bisa dia gunakan sesuka hati untuk menghabiskan waktu luangnya. Siapapun aku di matanya, apa dia harus jadi cowok menyebalkan seperti ini? Pikirannya semakin berkecamuk.

Jonas mendengus tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun. "Keberatan? Ingat ya, gue nggak mau lo buang waktu lo yang berharga malam ini untuk memikirkan gue. OK!"

Aurora terhenyak dari lamunannya. "OKE! Siapa juga yang mau mikirin lo lagi?!"

"Lagi? Apa selama ini lo memikirkan gue?" Jonas coba membetulkan ucapan Aurora.

"NGGAK! Uuh!" Aurora mendengus tambah heran. "Kenapa sih kita harus makan di restoran private kayak gini kalau ini bukan kencan? Kenapa juga lo harus jadi orang aneh kayak gini terus? Nyebelin tahu!" gerutunya sambil melihat piring ceper bulat putih berhias ukiran emas.

"Gue cuma mau lo duduk di situ malam ini. Karena...."

"Lo kira bisa seenaknya memperlakukan gue seperti ini?" Aurora kembali mendelik dan memotong ucapan Jonas.

"Oh, jelas bisa! Kenapa?" Jonas kembali menantang Aurora dengan tatapan tajamnya.

"Ya... Nggak apa-apa. Cuma nanya aja."

Alis Jonas yang lurus bak pedang katana sudah terangkat satu. "Lo nggak marah?"

Aurora menelan ludahnya dan menatap nanar ke arah Jonas. Bisa-bisanya dia bertanya aku marah atau nggak. Dalam keadaan seromantis ini mana bisa aku benar-benar marah sama dia? Aku suka sekali dengan suasana malam ini! Seumur-umur belum pernah ada yang ngajak gue makan malam di restoran seindah ini. Seandainya...

"Kenapa? Kok diam? Lo jadi suka sama gue? Jangan. Nanti lo menyesal."

Dheg! Aurora seketika tertohok mendengar pertanyaan itu. Apa aku benar-benar mendengarnya? Ah, apa aku harus menjawabnya agar dia bisa menertawakanku? Menyesal? Duh! Apa ada cewek yang menyesal dekat sama dia? Selain hobinya yang marah-marah, aku merasa dia bukan orang yang seperti itu. Entah kenapa aku masih bisa melihat perhatiannya dan kebaikan hatinya, batinnya mengaduh semakin dilema. Seandainya saja Jonas memang menaruh rasa padanya, mungkin ia nggak akan tersesat sendirian.

Semakin mengenal Jonas, Aurora sudah nggak tahu lagi kenapa sikapnya bisa begitu dingin namun terkadang berubah menjadi seperti seorang pria sejati yang bisa menghargai wanita yang dicintainya. Kedua sikap Jonas yang bertolak belakang itu sungguh menyentil pintu hatinya. "Nas, lo baik-baik aja, kan?"

"Kenapa lo nanya gitu? Lo nggak sayang sama gue, kan?" Jonas melengos acuh tak acuh.

Aurora masih bergeming. Tapi jantungnya sudah berdegup cepat sekali! Ah! Apa pertanyaannya susah dijawab? Kenapa dia malah bertanya balik?

"Apa lo cinta sama gue? Huh? Jawab, Aurora!?" tanya Jonas semakin ingin menegaskan.

"Memangnya lo mau jawaban apa? Semuanya akan sama-sama menyakitkan, tahu!"

Jonas tersentak dan kembali menatap Aurora. "Kenapa?"

"Karena...."

"Kalau ngomong yang jelas dong!"

"Iya, tapi susah! Gimana ya?"

"Gimana apanya?"

"Kayaknya perasaan sayang gue sudah buat lo semua!"

"Kayaknya?"

"Iya. Makanya gue heran kenapa nggak bisa berhenti mikirin lo! Ya... ini bukan karena gue khawatir sama lo. Tapi... gue memang mulai mencintai orang yang nggak akan mengerti semua perasaan itu," Aurora mendengus sebal.

Jonas kembali bergeming menatap Aurora.

Melihat Jonas hanya diam, Aurora semakin belingsatan. Kesal. "Apa lo senang bisa jadi perhatian gue? Apa lo bahagia bisa bikin hati dan pikiran gue jadi luluh lantak begini? Gue nggak tahu kenapa gue harus punya perasaan ini ke orang yang nggak mungkin bisa ada di sisi gue! Iya, kan? Lo nggak mungkin punya perasaan yang sama ke gue. Gue cuma seorang gadis biasa yang hidup tanpa orangtua dan nggak sebanding dengan laki-laki hebat seperti lo. Selama ini memang keberadaan gue cuma untuk pelipur lara hidup lo yang sudah penuh dengan kesibukan! Ya, kan, Tuan Muda Jonas Erlangga!?" Aurora berterus terang dengan lantang. Kesal. Bingung. Semua bercampur dalam dadanya.

Apa cinta bisa membuat hidupnya jadi serumit ini? Ah! Seharusnya aku memang nggak pernah menyukai laki-laki berdarah dingin bernama Jonas!!! Seharusnya aku nggak perlu berharap kalau kami memang pernah bertemu di masa lalu! Pikiran Aurora semakin kusut sekarang.

Di balik sikap tenangnya, sebenarnya Jonas cukup terperangah mendengar ucapan Aurora. Kebingungan yang begitu besar kini nggak bisa ditutupi dari wajahnya. Dan ia hanya bisa mematung seraya menajamkan pandangannya ke arah gadis itu. Perasaannya kian campur aduk dan sulit ia jelaskan dengan kata-kata apapun lagi.

"Kok diam? Jawab dong? Apa selama ini lo memang cuma mau buang-buang waktu sama gue? Lo cuma mau main-main sama perasaan gue aja ya, Nas? Iya, kan?" kali ini giliran Aurora yang mencecar reaksi Jonas. Sebenarnya ia takut mengungkapkan perasaannya tadi. Ia takut sekali mengecewakan laki-laki itu. Karena ia nggak tahu sampai kapan bisa bertahan dengan penyakit yang bersemayam dalam tubuhnya ini.

Jonas masih terdiam menatap Aurora yang semakin haus akan jawabannya.

"Ugh! Kenapa gue malah jadi suka sama orang nggak berperasaan, dingin, ketus, dan aneh kayak lo begini sih!? Memang lebih baik gue pulang daripada nunggu jawaban dari lo!"

Tapi sebelum Aurora beranjak, Jonas telah mencengkeram tangannya. "Tunggu!"

"Apalagi? Bukannya lo nggak ada perasaan apa-apa ke gue?! Please, nggak usah ngerjain hati gue sampai kayak gini!"

"Gue sudah pesan semua makanan ini supaya lo bisa makan benar," ujar Jonas dengan nada suara yang seketika berubah jadi lebih lembut. "Gue nggak mau lihat lo sakit. Gue lebih senang kalau bisa lihat lo tersenyum setiap hari. Gue cuma mau lihat lo baik-baik aja. Gue mau lo bisa hidup bahagia sampai gue bisa melihat lo menua, Aurora. Tapi karena... lo nggak ngerti-ngerti, lo pikir gue bisa jawab semua pertanyaan lo!?"

Aurora menghela napasnya berat sekali, dan menggeleng heran. Emosinya seketika melunak karena mendengar ucapan Jonas itu. Entahlah. Entah kenapa kami nggak pernah sedikitpun berdamai? Anehnya lagi, aku malah nggak keberatan kalau dia terus menarikku ke dalam keinginannya. Aku jadi ingin mendengar suaranya, amarahnya, juga kata-kata lembutnya. Ya Tuhan! Jangan biarkan aku semakin ingin berada di dekatnya seperti ini...

Melihat Jonas mengedikkan wajahnya ke arah makanan, Aurora kembali duduk di kursi empuknya dengan pasrah dan melihat semua makanan di meja. Ada sup ikan dori, tumis sayur-sayuran, berbagai jenis sumber makanan yang dikukus, buah, air mineral, dan jus wortel. Semuanya dengan porsi yang pas dan ia merasa ginjalnya masih bisa mencerna semua makanan ini karena rasanya juga nggak terlalu asin dan cenderung agak sedikit hambar.

Aurora mulai melahapnya satu demi satu seraya melayangkan pandang ke Jonas yang kini melihat ke hpnya. Apa dia nggak bisa makan semua makanan ini selain kentang rebus yang sudah dihaluskan? Atau, apa selera makannya hilang gara-gara ucapanku tadi?! Ah, aku menyesal membiarkan laki-laki kaku dan nggak berperasaan ini tahu perasaanku. Ini jelas bukan cinta pertamaku, kan? Kenapa dia selalu membuat kepalaku pusing tujuh keliling?

Aurora benar-benar berharap malam ini cepat berlalu. Ia malu sekali. Karena Jonas seakan nggak peduli dengan isi hatinya. Mungkin selamanya aku nggak akan mendapatkan jawabannya. Laki-laki ini memang hanya ingin bersenang-senang dan membunuh waktu denganku. Uuhhh... Kenapa nasib cinta pertamaku harus semenyedihkan ini? Apa? CINTA?

"Aurora, gue mau kenalin lo ke orangtua gue. Dia cuma pengin mampir sebentar ke sini, lalu lo bisa makan lagi sampai habis."

Lamunan absurd Aurora mendadak hilang. "Heh? Tadi lo bilang apa?"

Nggak lama kemudian, orangtua Jonas benar-benar datang. Aurora melihat dari kejauhan dan sontak beranjak dari kursinya sambil menatap sosok wanita yang terlihat anggun dengan kebaya biru tua. Pria paruh baya yang berpakaian blazer putih gading tampak berjalan di sisinya sambil menatap ke arahnya. Setelah jaraknya semakin mendekati kolam renang, pria itu membuang puntung rokok yang dihisapnya sampaihabis ke tong sampah.

"Kenapa lo nggak bilang dari tadi? Eh, mereka ngapain di sini?" tanya Aurora kembali linglung.

Jonas bergeming dan menyuap mashed potato ke mulutnya dengan santai. Saat keduanya sudah tiba di antara mereka, ia meneguk jus jeruknya dan ikut beranjak dari kursi sambil menatap mereka bertiga bergantian. "Pa, Ma, kenalin. Ini Aurora. Cassandra Zafirah Aurora."

Sontak kedua orangtua Jonas terkejut dan berusaha untuk tetap tersenyum menyapanya.

"Jonas sudah banyak cerita tentang kamu."

Jantung Aurora berdegup lebih kencang mendengar seruan wanita berusia sekitar 50 tahun itu daripada ketika ia mengutarakan perasaannya ke Jonas. Dia benar-benar ajaib karena nggak pernah bilang-bilang kalau orangtuanya juga akan datang ke tempat ini. Ia cepat-cepat mengangguk kecil dan tersenyum menatap keduanya. "Malam, Om, Tante, Saya Aurora."

"Lebih tepatnya, kami terpaksa menginterogasi dia karena apa yang dia lakukan ke kamu."

"Pa, bukannya masih ada rapat di kantor?"

"Diam dulu kamu!" sergah Papa Jonas.

Jonas dan Aurora sontak terkejut mendengarnya.

Wanita di samping pria itu terkekeh. "Maaf, ya, Aurora. Kami datang cuma ingin tahu, apa kamu memang sedang mencari pendonor untuk ginjal kamu?"

Aurora terperanjat mendengarnya.

"Ma, Pa, aku mempertemukan kalian bukan untuk membahas soal itu."

"Lalu apa?" tanya Papa Jonas dingin.

"Jonas, kami hanya ingin bicara sama Aurora. Mungkin saja kita bisa bantu dia," ujar Mama Jonas sambil kembali menatap Aurora dengan senyum yang ramah. "Iya, kan, Aurora? Kamu nggak akan menolak bantuan kami, kan?"

"Terima kasih, Om, Tante. Saya...," Aurora menghentikan ucapannya, karena ia sendiri bingung harus bagaimana menjawab pertanyaan orangtua Jonas.

"Nggak usah sungkan. Kamu nggak merepotkan kami sama sekali kok. Kalau kami ada kabar tentang pendonornya, kami akan memberi kamu kabar ya. Karena, kami juga sedang mencari pendonor untuk jantungnya Jonas."

Aurora kembali terkejut mendengarnya, dan langsung menatap Jonas yang kini hanya tertunduk.

"Ma, sudah ya. Aku baik-baik aja. Kita nggak perlu cari sesuatu yang sulit."

Mama Jonas hanya menatapnya sekilas, dan kembalitersenyum ke arah Aurora. "Baiklah, Aurora. Kami senang bisa bicara sama kamu langsung. Kami pamit dulu."

"Tolong jaga Jonas ya, Aurora. Kamu bisa menghubungi ke nomer ini kalau dia kenapa-kenapa," seru Papa Jonas sambil menyerahkan dua kartu ke tangan Aurora.

Aurora melihat kartu nama seorang dokter jantung di rumah sakit ternama yang ada di Jakarta, dan kartu nama perusahaan. Ia menebak baru saja menerima kartu nama Papa Jonas. Karena nama yang tertera di kartu itu Jonathan Erlangga.

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 141K 46
"You all must have heard that a ray of light is definitely visible in the darkness which takes us towards light. But what if instead of light the dev...
16.1K 125 44
A high school dropout who is only friends with a group of greasers. Her mother left her with her dad at age 6. Sage and her father left Tulsa; until...
40.4K 1.3K 29
Dari sekolah gue belajar bagaimana pertemanan itu dari Calum. Dari sekolah gue tahu gimana rasanya ciuman pertama dari Zayn. Dari sekolah gue tau gim...
13K 52 14
"Tubuhku berat banget, seperti ada sesuatu yang menempel di punggungku" ucap Arum Salah satu dari merasa ada yang peka terhadap hal-hal yang berbau g...