Stars Can't Shine Without Dar...

By elsbthchiia

4.6K 238 114

Gloria Wiskasari. Gadis yang identik dengan kata "sendiri". Ia benar-benar menjauh dari kehidupan dunia luar... More

Prolog
1
2
3
4
5
6
Author Note
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Epilog

7

145 11 0
By elsbthchiia

"Sebagai teman," sambung Rejo sambil tersenyum.

Alice tersenyum.

"Oke, sekarang kita keluar, lo harus makan. Radit udah tungguin lo daritadi. Dia khawatir banget sama lo."

***

Setelah makan malam, Kevin --yang sadar diri-- mengangkat piring-piring di meja makan dan mencucinya.

"Gue nggak ada yang bantuin, nih?" tanya Kevin setengah berteriak.

Hening.

"Kampret."

Kevin berjalan menuju dapur sambil membawa tumpukan piring dan meletakannya di wastafel.

"Glo apaan banget coba," gumam Kevin.

Kevin mengambil satu-persatu piring dan mencucinya. Tiba-tiba Kevin merasakan sepasang tangan melingkari lehernya. Gloria.

"Sendirian, ya? Kasian deh," Glo cekikikan gitu.

"Apaan, ih. Bukannya temenin juga. Selesai makan masa aku ditinggal gitu aja," Kevin menepis tangan Glo, "Males sama kamu."

Glo tersenyum dan memeluk Kevin dari belakang, lalu menyandarkan pipinya di belakang Kevin.

"Jangan ngambek-ngambek, ah. Udah kayak cewek aja."

Glo menangkup lengan Kevin dan memutar badannya sampai mereka bertatapan.

"Apa?" Kevin (sok) malas-malasan. Pada faktanya, dia sedang menahan senyum.

Glo menangkup wajah Kevin. "Ngambek?"

Kevin memalingkan wajahnya. Oke, dia blushing.

Glo mengecup pipi Kevin. "Udah?"

Kevin mematung. Setelah sepersekian detik ia mencoba menetralkan detak jantungnya. Kevin tersenyum.

"Udah, kayaknya," Glo tersenyum.

"Kata siapa, udah?" Kevin mengernyit.

"Kata aku."

"Nggak. Pokoknya kamu harus bantu aku nyelesaiin ini dan kita bakal jalan-jalan malam."

***

Hari masih pagi. Terlalu pagi. Glo berjalan keluar kamar sambil merenggangkan otot-ototnya.

Krekk.

"Oh Tuhan! Gue patah! Demi apapun, gue patah!" Glo teriak histeris.

Alice muncul dari balik pintu.

"Sumpah, alay lu. Gesrekan pintu doang aja bisa bikin lo histeris kayak kebakaran bulu kaki."

"Njir lo ah. Nggak asik banget nih," Glo mencibir.

Tersangka --Alice-- hanya nyengir sambil mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya, "Peace!"

"Eh, tapi yang lain mana? Ini villa kesannya horor banget," tanya Glo.

"Kita cek aja, yuk," ajak Alice.

Akhirnya mereka berdua berjalan menuju kamar di sebelah barat yang adalah kamar para cowok. Glo meraih gagang pintu dan membukanya secara perlahan.

Nafas Glo dan Alice tercekat.

Mereka. Bertiga. Tidur. Nggak. Pake. Baju. Sambil. Berpelukan.

"Aaaaaaaaaaaaa!" Glo dan Alice teriak bersamaan.

Teriakan mereka sontak mengejutkan ketiga insan yang sedang nyenyak dan nyaman dengan posisi masing-masing. Rejo berada di bawah ketek Kevin yang kepalanya terjepit kedua kaki Radit.

Rejo yang pertama beranjak dan menutup badannya dengan tangan. "Woy! Lo berdua ngapain gue, woy!"

Kevin yang tersadar menghempas kaki Radit dan meraih selimut terdekatnya untuk menutupi ketek, eh, badannya.

Dan Radit tidak bergeming. Tetap lelap dan bahkan ngorok.

Adegan selanjutnya sepertinya harus di sensor. Yang jelas, Radit mendapatkan penganiayaan dari Rejo dan Kevin. Alice? Dia tidak bergerak dari tempatnya. Shock mungkin.

***

Setelah insiden mengerikan, mereka memutuskan untuk jalan-jalan mengendarai mobil dan melihat apa yang tidak bisa mereka lihat dan merasakan apa yang tidak bisa mereka rasakan di Jakarta.

Sudah 2 jam mereka jalan-jalan, dan sudah ada beberapa tempat yang mereka kunjungi. Sudah beberapa kali juga mereka bertukar tempat duduk.

"Sebentar malam kita bikin pesta barbeque, yuk," usul Kevin.

"Ide bagus, tuh. Gimana, Jo?" tanya Radit.

"Kayaknya di villa ada barang-barang yang diperlukan, deh," tutur Rejo sambil tersenyum.

"Eh, tunggu dulu," cegat Glo. "Kembang api," sambungnya sambil tersenyum.

***

Jadilah mereka malam ini mengadakan pesta barbeque di rooftop villa itu. Udara malam memang benar-benar menyenangkan.

Radit sedang sibuk memanggang daging. Rejo dan Kevin sedang sibuk menyiapkan kembang api. Glo dan Alice sedang sibuk menata barang-barang.

Alice POV

Gue ngelirik Radit yang lagi manggang daging. Entah kenapa, pacar gue itu kelihatan ganteng banget. Gue jadi blushing sendiri. Eh dia keringatan gitu, deh.

"Glo, gue ijin bentar bisa nggak?" tanya gue dengan agak sedikit takut-takut.

Glo ngelihatin gue dengan tatapan herannya dan seketika dia ngelihatin Radit. And then, Glo senyum.

"Mau ke Radit? Gih, sono," ujarnya kemudian.

Gue tersenyum, mengangguk dan berjalan pergi.

Gue berjalan mendekati Radit dan mata gue tertuju pada keringatnya. Salah fokus? Nggak deng. Jadi, gue lari ke bawah--kamar gue--buat ngambil handuk kecil.

Setelah gue dapetin handuk kecil, gue lari balik ke atas. Pas di tangga-tangga, dada gue sesak banget. Asma? Nggak mungkin. Penyakit gue kumat kayaknya.

Sumpah, gue nggak bisa nahan sakit di dada gue. Tangan kiri gue ngeremas handuk kecil dan tangan kanan gue ngeremas kerah baju gue. Ini nyiksa banget, btw.

Akhirnya gue duduk di tangga-tangga masih dengan rasa sakit yang sama. Gue mulai berpikir harusnya sekarang gue lari keatas dan minta ampun sama temen-temen gue. Gue mau masuk surga, man.

Tapi, rasa sakit di dada gue berangsur-angsur hilang. Gue duduk bentar dulu buat netralin napas. Akhirnya gue lanjutin 'perjalanan' gue seolah-olah nggak terjadi apa-apa.

Gue berjalan ke arah Radit yang masih fokus manggang daging. Kata 'fokus' mungkin agak berlebihan tapi gue serius, dia fokus banget. Sampe nggak nyadar gitu kalo gue--yang cantik ini--udah ada disampingnya.

"Hei," tegur gue, akhirnya.

"Eh, kamu ngapain? Aku kira lagi sibuk sama Glo," dia cuma sekilas doang sih ngelirik gue.

Gue nggak nanggepin lagi yang diomongin dia tadi. Gue ngangkat handuk kecil dan ngelap keringatnya pelan-pelan. Yang di-lap-in kaget, dan akhirnya ketawa.

"Kamu lucu deh, Lice. Aku segitu keringetannya, ya?"

Gue ngangguk doang, sih.

Gimana ya, kalau nanti gue pergi? Dia bakal baik-baik aja nggak, sih? Dia kesepian nggak, sih? Ngebayanginnya aja gue udah merinding duluan.

"Alice," teriak Glo. "Bisa bantu gue bentar, nggak? Bentaaaaaaarr, aja," lanjutnya dengan penekanan dan tarikan--apa banget, coba--pada kata 'bentar'.

"Entar, Glo," gue bales dengan teriakan yang nggak kalah kencang.

Fyi, Glo berjarak 5 kaki dari gue.

Cowok-cowok ngepause kegiatan mereka dan ngelihatin kita sambil geleng-geleng. Radit ngelihatin gue, dan tanpa ngomong apa-apa, dia ngangguk. So, gue pikir itu artinya dia nyuruh gue bantu Glo.

Alice POV End

***

Setelah makan, mereka membakar kembang api yang sudah dibeli tadi.

Kevin memeluk Glo dan tangan kanannya memegang kembang api.

"Aku bakar, ya," ujar Kevin.

Radit dan Alice dengan posisi yang sama.

Kembang api malam itu adalah kembang api yang terindah bagi mereka.

Rejo? Mari kita jangan membicarakan dia.

Setelah semuanya selesai, mereka duduk di lapisi selimut di bawah cahaya bulan dan bintang.

Kalian tau siapa yang duduk sendirian, bukan?

Mereka duduk rame-rame, kok. Glo bareng Kevin, Alice bareng Radit, Rejo bareng angin.

"Malem ini dingin," gumam Glo.

"Eh, tunggu bentar. Gue hampir lupa sesuatu," ujar Kevin dan berlari ke bawah.

Setelah beberapa detik, Kevin kembali keatas dengan membawa 5 buah lampion.

"Tada," seru Kevin.

Melihat itu, mereka berlari ke arah Kevin untuk mengambil masing-masing satu lampion.

"Gila, bro, kapan lo beli?" tanya Rejo.

"Lo aja yang nggak merhatiin gue. Tadi kita kan barengan," sahut Kevin.

"Jangan dilepasin dulu, ya. Kita lepasinnya rame-rame," ujar Glo.

"Yoi. Make a wish dulu, terus kita lepas rame-rame," tambah Radit.

Setelah berkata begitu, mereka berdiri di ujung rooftop.

"Gue hitung sampe 3, kita make a wish," ujar Glo. "1... 2... 3..."

Mereka semua memejamkan mata. Setelah selesai mereka membuka mata masing-masing.

"And then, gue hitung sampe 3, kita lepas bareng-bareng, ya," ujar Radit. "1...2...3..."

Wusshh.

Lampion-lampion itu terbang dengan indah.

"Seandainya gue bisa terbang kayak lampion-lampion itu," gumam Alice.

"Hei, sekarang udah jam 11," celetuk Glo.

"Entar dulu napa. Kita 15 menit lagi deh disini," saran Rejo.

Mereka kembali duduk ke tempat semula.

"Hei, kalian mau white coffee, nggak?" tawar Alice.

"Lo tau banget, Lice," senyum Kevin mengembang.

"Ini dia alasan kenapa gue manggil lo temen," ujar Rejo.

"Disaat seperti ini, lo emang paling bisa diandelin, Lice," celetuk Glo.

"Perlu aku bantu?" tawar Radit.

Alice tersenyum dan menggeleng perlahan, "nggak usah, Dit. Kamu disini aja."

Alice turun ke bawah dan menuju dapur untuk membuat white coffee bagi teman-temannya.

"Eh, tadi di toko gue beli cemilan. Entar, ya. Gue ambil dulu. Biar enak gitu, ngemil sambil minum kopi," ujar Rejo.

Ketiga temannya hanya mengangkat tangan dan membentuk 'OK'.

Rejo menuju kamarnya dan mengambil kantong plastik besar yang dipenuhi oleh cemilan.

Alice repot nggak, ya, bikinin kopi buat kita? Anak-anak juga pada mager semua, nggak ada yang mau bantuin dia. Apa gue cek aja, ya? Sekalian gue bantuin gitu. Iya, dia nggak boleh kerja sendiri. Keadaannya akhir-akhir ini nggak baik. Batin Rejo sambil berjalan menuju dapur.

"Alicia! Ya Tuhan!" Rejo menghempaskan kantong plastik dan berlari ke arah Alice yang sudah tergeletak lemas di lantai.

Rejo menepuk-nepuk pipi Alice. "Lice? Alice? Hei, Alicia? Bangun!"

Rejo meninggalkan Alice sebentar dan berlari ke rooftop.

"Hei! Alice pingsan! Bantuin gue, woy!" teriak Rejo.

***

Rejo POV

Gue manggil anak-anak dan mereka bantuin gue gotong Alice ke kamar. Badannya Alice panas tinggi.

Setelah itu, Glo langsung sibuk ngompresin dia. Radit yang paling khawatir, sih, emang.

Gue udah feeling, Alice itu nggak boleh dibiarin sendiri. Tapi gue bisa apa kalau penyakitnya aja cuma gue yang tau?

And then, gue udah mutusin buat besok kita balik ke Jakarta. Gue mau Alice ke rumah sakit. Untungnya yang lain nggak egois, jadi besok kita balik.

Gue berjalan perlahan ke dalam kamarnya Alice. Terlihat Glo yang dengan telaten sedang mengompres Alice.

"Keadaannya gimana, Glo?" tanya gue.

"Panasnya udah mulai turun. Dia juga udah mulai membaik," jawab Glo. "Besok kita pulang, kan, Jo?"

"Hmm. Gue nggak mau dia kenapa-napa," gumam gue.

Seperti biasa, Glo hanya tersenyum.

Rejo POV End

***

Alice sudah sadar dan mereka segera kembali ke Jakarta. Bagaimanapun, Alice menolak ajakan mereka untuk ke rumah sakit dan menyuruh mereka membawanya pulang ke rumahnya.

"Come on, guys. Gue nggak kenapa-kenapa. Mungkin gue kemarin kecapekan doang. Ayolah," tutur Alice.

"Tapi kemarin lo pucat banget, Lice," ujar Glo.

"Iya, sayang. Seenggaknya aku harus tau kamu itu kenapa," kata Radit dengan nada khawatir.

"Hei," Alice tersenyum. "Kalian pasti sayang banget, ya, sama gue? Seriously, gue nggak kenapa-napa. Please, percaya ya?"

Setelah begitu banyak perjuangan yang dilakukan, dan begitu banyak penolakan yang diberikan, mereka menyerah.

"And, guys, gue butuh istirahat," tutur Alice.

"Frontal nih ceritanya?" ujar Glo.

Kevin tertawa sejenak. "Iya, kita pulang dulu, ya, Lice," lanjut Kevin yang langsung mengamit lengan Glo yang sedang melambai pada Alice.

Rejo tersenyum dan berjalan mengikuti Kevin dan Glo.

Radit masih duduk manis di samping Alice.

"Dit, aku butuh istirahat," ujar Alice, lagi.

"Aku nggak akan gangguin kamu. Kamu istirahat aja, Lice, nggak apa-apa."

Alice menangkup wajah Radit hingga tatapan mata mereka bertemu. "Aku butuh istirahat, sayang."

Radit menghela napas dan akhirnya mengangguk. "Oke kalo itu mau kamu."

***

Rejo pulang bersama Kevin dan Glo.

"Eh, Jo, itu Alice kenapa bisa pingsan di Bali? Cerita ngapa," ujar Glo.

"Iya, nih, Rejo. Lo mah gitu banget sama kita. Kita kan peduli sama Alice," timpal Kevin.

"Hey, menurut kalian gue tau dia kenapa? Gue itu niatnya pengen bantuin dia bikin kopi. Tapi, apa yang gue lihat? Dia udah di lantai," jelas Rejo.

"Pingsan?" tanya Kevin.

"Boker," jawab Rejo malas-malasan. "Ya iya lah, pingsan. Pertanyaan lo itu nggak bobot banget tau, nggak?"

"Elah, gitu doang ngambek. Gue pantatin juga, nih," timpal Kevin yang langsung menjitak kepala Rejo.

"Eh malah becanda. Jadi lo bener nggak tau apa-apa, Jo?" tanya Glo.

Rejo hanya mengangguk.

Sorry, guys. Gue bener-bener nggak bisa bilang ke kalian. Gue udah janji soalnya. Maafin gue, ya. Batin Rejo.

***

Gloria POV

Akhirnya setelah beberapa hari bersantai, kami kembali ke sekolah. Kembali ke aktifitas kami--yang menjenuhkan--.

Hari ini berjalan seperti biasa. Gue lagi bosan karena Alice sama Radit lagi sibuk pacaran, Kevin bilang dia lagi ada urusan di kantor, Rejo nggak tau deh kemana. Akhirnya gue memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Membaca buku? No. I need sleep. Di kelas bising banget, soalnya.

Karena perjalanan perpustakaan harus melewati kantor dimana Kevin ada, gue mutusin buat samperin dia sebentar. Ketika tangan gue hampir menggapai gagang pintu, gue ngedenger Kevin lagi ngomong sama seseorang.

'Anak saya bagaimana?'

'Tidak perlu khawatir, bu. Anak ibu sedang melakukan pertukaran pelajar. Selain sekolah merahasiakan, anak ibu bahkan ingin merahasiakan hal ini dari ibu. Jadi saya tidak bisa mengatakan apa-apa. 2 tahun, bu. Setelah 2 tahun, anak ibu akan kembali dengan sehat dan baik-baik saja. Percayakan pada saya.'

Pertukaran pelajar? Gue nggak tau apa-apa tentang ini. Rahasia sekolah? Mungkin saja. Ah, kelihatannya Kevin lagi sibuk. Baiklah, sendiri lebih menenangkan.

Gloria POV End

***

Setelah chapter ini ada sesuatu hal yang harus gue jelasin. Eh, btw jangan bosan ya sama cerita ini. Mohon maaf banget karna gue sering stuck dan kekurangan inspirasi tapi gue udah ngusahain yang terbaik kok.

Salam sayang,
Chia.

13 Mei 2015.

Continue Reading

You'll Also Like

532K 87.6K 30
✒ 노민 [ Completed ] Mereka nyata bukan hanya karangan fiksi, mereka diciptakan atau tercipta dengan sendirinya, hidup diluar nalar dan keluar dari huk...
1.3M 35.4K 8
Di balik dunia yang serba normal, ada hal-hal yang tidak bisa disangkut pautkan dengan kelogisan. Tak selamanya dunia ini masuk akal. Pasti, ada saat...
13.2M 1M 74
Dijodohkan dengan Most Wanted yang notabenenya ketua geng motor disekolah? - Jadilah pembaca yang bijak. Hargai karya penulis dengan Follow semua sos...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.3M 73.2K 53
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...