(Walaupun sudah ending, jangan sungkan untuk berkomentar. Akan sely balas kok, karena selalu sely pantau kemajuan cerita ini😁👌)
15 tahun yang lalu.
"Kejar anak itu!"
Gadis kecil berjubah putih berlari kencang semampunya, meski kaki mungilnya telah terluka dan berdarah-darah akibat ranting, duri, dan bebatuan runcing. Darah menjejak di atas tanah yang ditapaki. Dia menangis, namun tangisnya bukan karena kaki yang terluka, namun sarat akan ketakutan.
Tidak, ia tidak boleh tertangkap lagi. Jika ia tertangkap lagi, maka orang-orang berkuasa itu akan memaksa nya menggunakan kekuatannya untuk hal yang tidak baik. Ia tidak mau, dan ia tidak bisa.
"Tolong!" Teriakannya yang gemetar bergema di tengah hutan belantara di perbatasan kerajaan.
Wush
Entah dari mana dan bagaimana, tiba-tiba muncul seorang pria paruh baya yang masih terlihat gagah langsung menyambarnya dan membawanya ke semak belukar. Di semak-semak itu mereka bersembunyi.
"Hah, mana penyihir kecil itu? Larinya cepat sekali," seorang prajurit berhenti karena merasa sangat lelah.
"Tentu saja, dia kan penyihir. Kita seperti orang gila. Tak memiliki kekuatan apa-apa tapi mengejarnya. Mari kembali, kita laporkan ini pada Tuan."
Setelah sekelompok prajurit itu pergi, ia dilepaskan oleh orang tadi.
"Kau tidak apa-apa?"
Ia mendongak dan merasa lega. "Paman?"
"Iya, ini Paman. Mengapa kau dikejar-kejar oleh mereka? Mana ayah dan ibumu?"
Tiba-tiba ia teringat dengan kejadian yang baru saja terjadi. Ia menangis lagi. "Orang-orang itu membunuh ibu, ayah, dan keluargaku. Mereka ingin menculik ku. Aku dan kakakku berpencar dan kini aku ingin mencari kakak."
Tangan pria itu terkepal kuat. Keluarganya dibantai? Ia tidak akan membiarkan ini berakhir tanpa keadilan. "Ikut paman pergi dari negeri ini."
* * * *
Kini, malam itu.
"Paman, tolong dia. Jangan sampai penyihir itu menghancurkannya. Kerajaan ini ada ditangannya. Jika dia hancur, semua orang akan hancur. Tolong dia, Paman."
Seorang wanita berbaju putih penuh darah bersimpuh di kakinya. Memangnya dia bisa apa? Dia hanyalah seorang pria yang tidak sengaja menyelamatkan wanita ini dari komplotan pembegal di dekat desanya. Itu tidak disengaja, selebihnya dia tidak memiliki kekuatan apa-apa. Jangankan untuk membunuh penyihir, membunuh semak belukar di ladangnya saja ia hampir patah pinggang.
"Hamba tidak dapat melakukan apa-apa, Ibu Ratu. Saya hanya orang biasa," jawabnya pada akhirnya.
"Amora sudah dewasa dan ingat perjanjian kita. Lakukan itu segera Paman."
Pria itu menggeleng. Tidak tahu apa maksud dari ucapan ibu ratu yang hidup kembali walaupun hanya dalam mimpi.
* * * *
"Paman! Lihat aku bawa apa!" Teriakan cempreng itu sudah menjadi hal yang tidak asing didengar setiap hari. Terutama saat pagi seperti ini. Keponakannya itu tidak pernah berubah walaupun usianya sudah 22 tahun. Saat adiknya mengandung gadis itu, sepertinya adiknya mengidam trompet.
"Paman tidak bisa melihatmu. Bawalah apa yang kau bawa ke dalam!" balasnya dengan suara yang sudah tak sanggup berteriak.
Brak! Pintu dibuka dengan kuat. Beruntung pintu rumah sederhana mereka sudah terbiasa diperlakukan kasar seperti itu. Jika tidak, mungkin akan langsung rusak. Dan inilah keponakannya, berlari ke arahnya dengan sesuatu yang dijinjing ke atas. Nama gadis itu Sharma Ghungzi.
"Kakak membawa banyak uang!" Sharma mengangkat kantung koin emas tepat di depan wajahnya.
Kakak? Berarti Ader sudah kembali? Mengapa kakak Sharma itu kembali di saat seperti ini? Bukankah kerajaan sedang membutuhkannya?
Ia menurunkan tangan mungil Sharma, ia tidak tertarik sama sekali dengan uang-uang itu. "Mana kakakmu?"
Benar. Ia tidak melihat keberadaan Ader. Tadi Sharma keluar pagi-pagi sekali untuk menjemur pakaian, dan sekarang tiba-tiba masuk dengan sangat heboh. Lalu di mana Ader?
"Kakak sedang menjemur pakaian. Aku yang menyuruhnya tadi. Heheheh."
Ia tersenyum lembut pada keponakannya ini lalu mengusap kepala gadis itu. Di dunia ini, yang bisa memerintah Ader mengerjakan pekerjaan rumah hanyalah Sharma. Pria yang memegang pedang dan pandai menyelinap untuk memata-matai musuh itu tidak akan berdaya jika sudah dihadapkan dengan seorang Sharma. Sharma memang hebat.
"Kau ini. Kakakmu itu pasti lelah. Panggil kakakmu ke mari," ucapnya.
Sharma mengangguk patuh. "Oke, Paman."
Sharma baru akan memanggil kakaknya, tiba-tiba seseorang masuk. Seseorang itu adalah Ader, pria tampan berusia 26 tahun yang bekerja di kerajaan Alrancus. Ader adalah mata-mata kepercayaan Kaisar Ariga. Dan kini pria itu pulang tiba-tiba, entah ada apa.
"Apa kabar, Paman Ajoz. Sudah satu tahun tidak bertemu." Ader langsung menghampiri kursi pamannya kemudian memeluknya dengan erat.
"Paman baik-baik saja," jawabnya sambil membalas pelukan Ader. "Kau ini tidak sopan memanggil namaku."
Ader hanya tertawa kecil kemudian menatap adiknya yang masih berdiri di samping kursi Ajoz. "Hei, pakaiannya sudah selesai dijemur. Sekarang buatkan kakakmu ini air minum. Teh hangat, tidak pakai gula."
Sharma langsung cemberut. "Bukannya memelukku, malah memerintah. Kakak pikir aku pelayan seperti di istana? Tidak, aku tidak mau."
Satu jitakan mendarat di kening glowing Sharma. "Jangan manja. Cepat buatkan."
Walaupun sering melawan dengan kata-kata, akan tetapi nyatanya Sharma selalu menurut. Ya walaupun sambil menggerutu sendiri. Setelah Sharma pergi ke dapur, Ader mengambil posisi di sambil pamannya. Ia duduk santai di sana.
"Aku dengar perbatasan Barat sedang ada masalah, lalu mengapa kau pulang?" tanya Ajoz.
Ader menghela nafas. "Kebetulan ada tugas menyampaikan surat pada kepala desa sebelah mengenai keterlambatan membayar pajak, jadi sekalian saja aku pulang sebentar. Besok aku akan kembali ke istana, kemudian langsung kembali ke perbatasan Barat."
Tiba-tiba saja Ajoz melamun. Ia teringat dengan mimpi yang menganggu akhir-akhir ini. Mungkinkah karena tanggal perjodohan antara Sharma dan Kaisar Ariga semakin dekat? Tapi ia sudah berencana membatalkannya karena Ibu Ratu sendiri sudah tiada satu tahun yang lalu. Ia membatalkannya karena yakin Kaisar Ariga sendiri tidak mungkin mau menjadikan Sharma sebagai Selir. Sharma hanyalah gadis biasa dan mereka tidak saling kenal.
Niat perjodohan ini berasal dari Ibu Ratu. Dulu Ibu Ratu sering jalan-jalan ke perkebunan teh di desa ini. Sampai pada suatu hari, kedatangan Ibu Ratu dicegat oleh sekelompok bandit yang tidak tahu bahwa itu Ibu Ratu karena Ibu Ratu menyamar. Kebetulan sekali pada saat itu ia dan Sharma melewati tempat kejadian. Dan entah keberuntungan dari mana, hanya bermodalkan cangkul dan bambu, ia dan Sharma berhasil mengusir para bandit itu.
Sejak saat itu mereka kenal dengan Ibu Ratu. Setiap kali Ibu Ratu berkunjung, Ibu Ratu pasti akan mampir ke rumah mereka. Ibu Ratu sangat menyukai Sharma yang ceria, ramah dan baik hati. Oleh sebab itu Ibu Ratu memohon agar Sharma menjadi menantunya, yakni menjadi Selir Kaisar Ariga.
"Mengapa Paman melamun?" tanya Ader membuat lamunan Ajoz buyar.
"Paman hanya sedang memikirkan perjodohan Sharma dan Kaisar," jawab Ajoz jujur.
"Bukankah Paman sudah memutuskan untuk membatalkan perjodohan ini karena Ibu Ratu sudah tiada?" tanya Ader. Ia tahu Ajoz sendiri kurang setuju dengan perjodohan ini. Menjadi Selir bukalah hal yang mudah dan menyenangkan, akan ada banyak masalah dan bahaya. Apalagi Sharma terbilang polos yang tak tahu menahu tentang kehidupan istana.
"Ya, benar. Tapi beberapa malam ini paman diteror oleh mimpi. Ibu Ratu datang dengan baju penuh darah. Beliau meminta paman membantu Kaisar Ariga. Beliau mengatakan seorang penyihir akan menghancurkan Kaisar. Setelah itu beliau meminta paman melakukan perjodohan ini. Dan anehnya, dalam mimpi itu beliau tahu bahwa Sharma adalah Amora."
Seketika Ader terkejut. Fakta tentang Sharma yang satu ini hanya diketahui oleh Sharma, Ajoz, dan dirinya. Selebihnya tidak ada yang tahu.
"Ibu Ratu meminta perjodohan ini tetap dilaksanakan seolah-olah hanya perjodohan ini yang bisa menjadi penolong Kaisar," lanjut Ajoz.
Ader tegang seketika. "Jangan-jangan sebenarnya Ibu Ratu sudah tahu tentang Amora yang sebenarnya?"
Penasaran tidak? Yuk ah tunggu episode berikutnya. Author ingatkan ya. Jangan lupa tekan gambar bintang biar Author tambah semangat.