Boyfriend In My Dream

By basocihuy_

24.6K 1.9K 316

MIMPI. Semua orang menganggap apa yang ada di dunia mimpi tak akan terjadi di dunia nyata. Tapi sepertinya i... More

Prolog
1. Kenyataan
2. Si Ganteng Datang
3. Sosok Misterius Dalam Gelap
4. Tragedi Bakso Neraka
5. Zoo and First Love
6. Amnesia?
7. Si Culun Introvert
8. Antara Cinta dan Sahabat
9. Gabriel Terkedjoed
10. Vania Bucin!
11. Zilva Minta Putus?!
12. Gabriel Marah-Marah
13. Bos atau Iblis, sih?
14. Pelukan
15. Zilva Perusak Mood
16. Tragedi Wisuda (1)
17. Tragedi Wisuda (2)
18. Cinta atau Cita-cita?
19. Gak Romantis Sama Sekali
20. Levi si Kulkas Berjalan
21. Dunia Kerja
22. Gadis Tak Tahu Diri
23. Sikap Levi yang Aneh
24. Pertengkaran di Apotek
25. Keinginan Seorang Gabriel
26. Marah Tanpa Alasan
27. Kabar Mengejutkan
28. Ruth yang Malang
29. Ada Apa dengan Gabe?
30. Pemicu
31. Donat Kentang dan Bubur Ayam
32. Tentang Vania (1)
33. Tentang Vania (2)
34. Tiga Kotak Bekal
35. Phili dan Davina
36. Godaan Skincare
37. Fakta Baru
38. Masa Lalu Alex
39. Wisuda yang Hampa
40. Over Thinking
41. Gak Berubah, kok
42. Masih Lanjut, 'kan?
43. PDKT
44. Demam yang Meresahkan
45. Menuju Wisuda Sang Tampan
46. Wisuda yang Dinanti
47. Penantian yang Sia-Sia
48. Pertengkaran
49. Kakak yang Tangguh (1)
50. Kakak yang Tangguh (2)
51. Kakak yang Tangguh (3)
52. Kerapuhan Jiwa Zilva
53. Aku Dimana? Dia Siapa?
54. Tentang Kita
55. Harus Jadi Pacarku!
56. Gabriel dan Masa Kelamnya
58. Semuanya Jahat Termasuk Kamu Kakaknya
59. Maaf untuk Apa?
60. Kenapa Kamu Sembunyikan?
61. Gabriel Sudah Tak Kuat
62. Mantanmu, Kak?
63. Mantan Pacar Levi
64. Mana Maafmu?
65. Manja Banget Kamu!

57. Kamu Kenapa, Zilva?

73 8 0
By basocihuy_

Kamu kenapa, Zilva? Kenapa tiba-tiba bahas tentang 'pelampiasan'?


-Gabriel 👑

♫~♥~♫

Elektrokardiogram yang terhubung dengan tubuh Zilva tiba-tiba berbunyi nyaring. Gabriel yang menggenggam tangan gadis itu seketika tersentak kaget. Ia panik dan dengan segera menekan tombol untuk memanggil dokter atau perawat.

Selang beberapa saat dokter dan perawat tiba di ruangan bercat dominan putih itu. Perawat yang datang langsung meminta Gabriel untuk pergi meninggalkan ruangan agar tenaga medis tersebut bisa memberi tindakan.

"Selamatkan dia, dok!" teriak Gabriel sebelum meninggalkan ruangan.

Mau tak mau Gabriel hanya bisa menunggu di luar ruangan dengan gelisah. Ia menelpon saudaranya Levi dan Christ kakak dari Zilva. Ia meminta mereka untuk segera datang karena kondisi Zilva saat ini sangat membutuhkan dukungan dari orang terdekatnya.

"Gimana keadaan Vania, Gabriel?" tanya Laila langsung ketika tiba di depan ruangan Zilva. Ia memang sedang pergi keluar sebentar untuk membeli makan sementara Gabriel yang menggantikannya menjaga Zilva.

Gabriel menggelengkan kepalanya pelan. "Zilva ..., " ia tak bisa meneruskan ucapannya, takut sang Mama jadi panik.

Laila menjadi semakin khawatir mendengar Gabriel sampai tak bisa merangkai kata untuk keadaan Zilva sekarang.

Sekitar dua puluh menit kemudian, sang dokter keluar dan memberi tahu keadaan Zilva. "Nak Zilva sempat mengalami aritmia sehingga mengalami gagal jantung. Beruntung, dapat ditangani tanpa harus di operasi. Untuk sekarang, biarkan Nak Zilva beristirahat dengan tenang."

Saat dokter yang menangani Zilva hendak kembali ke ruangannya, ia ingat tentang satu hal, "Oh iya, sebelumnya saya sudah mengatakannya berulang kali, karena ada kemungkinan Nak Zilva akan segera sadar dari koma-nya, dimohon untuk tidak memicu faktor traumatis-nya ketika dia baru terbangun, ya."

Gabriel terdiam sejenak. "Baik, dok."

Laila bergegas masuk ke dalam ruangan Zilva dan mendekat ke ranjang putrinya yang sedang tergeletak lemah dengan mata yang terus tertutup. Hati Laila tercubit ketika melihat wajah anaknya yang menjadi sedikit tirus.

"Vania, kamu gak kangen Mama? Kamu tidur udah dua mingu loh. Yuk, bangun yuk. Kalau kamu bangun, Mama bakal masakin semua makanan kesukaanmu."

Tak ada respons dari Zilva. Ia masih setia menutup mata tanpa memberi respons apa pun.

Setelah mengucapkan itu, Laila berinisiatif menyanyikan beberapa lagu yang biasa Zilva dengar dan nyanyikan. Suara lembut milik Laila menggema merdu di ruangan itu.

Ia sendiri begitu menghayati lagu yang sedang ia nyanyikan. Bakat itu bahkan menurun ke anak gadisnya yang sedang terbaring lemah saat ini. Ia bernyanyi dengan tetap menggenggam tangan putrinya, berharap Zilva bisa sadar lewat sentuhan dan suara dari ibunya.

Di satu sisi, Gabriel yang ikut mendengar suara merdu milik Laila, memilih untuk menunggu di luar kamar, membiarkan ibu dari kekasihnya itu menghabiskan waktu berdua.

"Mama .... "

Laila berhenti tepat ketika lagunya selesai dan terkejut bukan main ketika mendengar gumaman lirih di telinganya. Dengan cepat ia mendekatkan diri ke arah Zilva dan berharap ia tak salah dengar.

"Sakit, Ma ..., " lirihnya.

Laila tidak salah dengar, anak gadisnya sudah sadar. "Vania?!"

Tiba-tiba air mata Zilva luruh di pipinya dengan lembut. "Sakit .... "

"Sakit? Sebentar, Sayang, Mama panggilkan dokter."

Laila berdiri dari duduknya dan menekan tombol untuk memanggil perawat dengan tidak sabaran.

Dokter datang dengan tergopoh-gopoh. Dokter wanita itu sudah siaga sejak jantung Zilva ada masalah. Para tenaga medis meminta Laila untuk menunggu di luar terlebih dahulu agar mereka bisa menindak Zilva dengan baik.

"Loh, Zilva kenapa, Ma?" tanya Gabriel heran melihat dokter dan perawat yang kembali ke ruangan Zilva padahal beberapa menit yang lalu baru saja masuk.

Laila mengabaikan pertanyaan Gabriel karena dirinya senang bukan main ketika mengetahui anak gadisnya sudah bangun dari tidur panjangnya.

Dokter memeriksa Zilva hanya beberapa menit saja, lalu keluar dan disambut tatapan Laila yang begitu mendesaknya untuk bicara.

"Syukurlah, Nak Zilva sudah bangun. Sekarang kondisinya sudah stabil dan kalau dalam beberapa hari ke depan sudah jauh lebih baik, Nak Zilva saya izinkan pulang."

Gabriel terkesiap. Apa yang baru saja ia dengar? Kekasihnya yang sangat ia sayangi sudah bangun.

Sebelum masuk, ia sempatkan untuk mengabari Levi dan Christ berita bahagia itu. Lalu dengan cepat ia masuk ke kamar inap dan berjalan mendekat ke arah Zilva.

Gadis itu menangis hingga napasnya sedikit tersengal meskipun alat bantu napas masih melekat di hidungnya. Matanya juga terlihat hampa menatap dinding di seberangnya. Gabriel jadi ragu untuk mendekati gadis itu.

Lain dengan Laila, ia masuk dan langsung menggenggam tangan putrinya erat. Ibu dari dua anak itu menangis haru melihat putrinya membuka mata. "Vania, masih sakit?"

Zilva menoleh perlahan. Matanya jatuh ke sosok tinggi yang berdiri tak jauh dari Mamanya. Tiba-tiba tangisnya menjadi semakin kencang. "Ma ..., aku gak mau ketemu dia. Dia ... dia jahat sama aku, Ma," gumam Zilva yang masih terdengar jelas oleh keduanya.

Gabriel menatap Zilva dengan sendu. Ia sendiri juga sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan besar dengan selingkuh di belakang gadis itu. Hatinya pedih melihat tangisan itu.

"Mama, dia gak cinta sama aku, Ma! Dia jahat sama aku! Dia―dia gak anggap aku sebagai perempuan! Dia cuma mau manfaatin aku, Ma!"

Laila kelabakan dengan sikap tiba-tiba anaknya. "Vania, Mama tahu dia selingkuh, tapi Gabriel masih cinta banget sama kamu, Sayang. Dia sudah menyesal. Maafkanlah dia, Vania."

Zilva masih saja histeris. Jika ia bisa berlari, ia pasti langsung keluar dari ruangan itu sekarang juga. Namun kaki dan punggungnya terasa amat sakit, yang membuatnya hanya bisa tidur tak berdaya.

"Mama, aku gak mau ketemu dia. Dia jahat. Aku gak mau ketemu dia. Aku gak mau lihat wajahnya. Aku bukan Mamanya. Aku gak mau dijadikan pelampiasan. Tolong usir dia, Ma. Dia gak pernah cinta sama aku."

Gabriel membelalakkan matanya. Wajahnya seketika menjadi pucat. Kenapa Zilva tiba-tiba membahas tentang "pelampiasan"?

Kaki laki-laki itu terasa bagai dipaku agar tak beranjak dari sana. Ia bahkan tak mampu bergerak sejengkal saja. Keringat mulai mengucur di wajahnya.

Laila yang sadar Gabriel tetap diam, ia pun menarik laki-laki itu keluar terlebih dahulu. "Gabriel, Mama gak ngerti Vania kenapa, tapi untuk sekarang lebih baik kamu pulang dulu. Nanti kalau Vania sudah baikan, nanti Mama kabari."

Gabriel menurut. Ia melangkah dengan lesu. Menapaki lorong rumah sakit dengan tatapan hampa. Apa yang baru saja terjadi? Kenapa mulut kecil milik Zilva mengatakan hal itu? Ia merasa dirinya akan hancur sekali lagi karena masalah itu.

Lamunannya menjadi pecah ketika dirinya tak sengaja menabrak tubuh seseorang.

"Iel?"

Satu panggilan yang sudah sangat lama tidak ia dengar berhasil membuatnya menoleh secara otomatis. Ia menoleh ke sumber suara dan terkejut bukan main.

"Rosa?"

"Bener Iel, dong!" pekiknya senang seraya memeluk lelaki itu. Gabriel hanya tersenyum singkat.

"Kapan kamu balik ke sini?" tanya Gabriel basa-basi.

"Dari kemarin. Aku pulang karena kangen sama kalian, aku masih belum bisa tenang sebelum bicarain semuanya sama kalian."

Gabriel mengembuskan napas lelah. Masalah satu belum selesai, kini bertambah lagi masalah baru.

"Lain kali aja ya kita bicarain lagi." Gabriel mengusap rambut gadis itu singkat. "Omong-omong ngapain kamu di rumah sakit? Siapa yang sakit?"

Gadis yang Gabriel panggil Oca itu mengerucutkan bibir kesal. "Kamu lupa kalau aku ada kelainan jantung? Aku kan harus rutin kontrol. Dan hari ini hari aku kontrol."

Gabriel mengangguk paham. Ia memang sempat melupakan satu hal penting itu.

"Ebi mana? Kalian kan biasanya bareng."

"Rosa―"

"Oca. Panggil aku Oca!" sela gadis itu.

"Iya, Oca." Gabriel mendesah pelan. "Kita udah dewasa, punya urusan masing-masing. Dia juga pasti masih sibuk kuliah kedokteran."

Rosa terkejut. "Hah?! Si Ebi yang cengeng itu mau jadi dokter? Hahaha."

Gabriel melangkahkan kakinya dan memberi kode agar gadis itu mengikutinya. Tak sopan jika Rosa teriak-teriak di lorong rumah sakit.

"Tapi, Iel, kamu gak berubah ya dari dulu. Dingin dan kaku. Apalagi sekarang jadi polisi, lebih serius lagi tuh muka."

Mereka tiba di kebun belakang rumah sakit. Gabriel duduk di salah satu bangku diikuti Rosa.

"Kamu mau makan sesuatu?" tanya Gabriel dengan tatapan sedikit hampa. "Di kantin ada penjual es krim. Mau aku beliin?"

Rosa sadar dengan raut lelah dan hampa dari Gabriel, ia mengerucutkan bibirnya kesal. Ia tak suka dengan ekspresi itu.

"Kamu lagi ada masalah?" Rosa mendekat dan menatap lekat wajah Gabriel.

Laki-laki itu terdiam. Rosa bukan orang yang tepat sebagai tempat keluh kesahnya. Rosa baru saja tiba, tidak mungkin Gabriel membagi bebannya ke gadis bahkan yang sudah lama tak ia jumpai.

Gabriel menggeleng lemah. "Gak ada apa-apa, kok."

Rosa tidak puas mendengar jawaban itu. Ia menggoyangkan lengan Gabriel dengan gemas. "Ada apa, sih, Iel? Cerita, dong!"

Gabriel bergeming. Meskipun tubuhnya sudah digoyang-goyangkan oleh Rosa, ia tetap membungkam mulutnya.

"Iel, kamu harus cerita, biar aku bisa bantu kamu nyelesaiin masalah," desak Rosa tak sabaran seraya tetap menggoyang lengan kekar Gabriel.

Gabriel menggeleng pelan. Ia menarik tangan Rosa untuk beranjak dan membawanya ke kantin.

"Iel!" teriak Rosa geram.

"Oca, kamu gak perlu tahu masalahku. Dengan diam saja kamu sudah cukup membantu."

Rosa terdiam. Ia berusaha berjalan mengikuti irama langkah laki-laki di sampingnya dengan pikirannya sendiri.

Langkah Gabriel terhenti seketika, dan Rosa otomatis juga menghentikan langkahnya. Ia bertemu dengan Levi di kantin yang membawa beberapa makanan dan minuman.

"Gabriel? Kenapa kamu malah ke sini dan bukan menemani Zilva di ruangannya? Dia baru sadar dan kamu malah―"

Levi melirik ke arah Rosa. Alisnya terangkat sebelah. Kali ini Gabriel selingkuh dengan siapa lagi? batinnya.

"Kak Pi?" Rosa mendekat ke arah Levi. "Eh, bener Kak Pi!"

Sama dengan yang didapat oleh Gabriel, Rosa langsung memeluk Levi erat. Sedangkan Levi hanya bisa bingung. "Siapa?"

"Oca! Aku Oca!" pekiknya seraya melepas pelukan. "Elisabeth Rosanna Orlee. Rosa. Oca."

Levi ingat. "Kamu dari dulu memang cantik."

Rosa tersenyum. "Dan Kak Pi makin tampan."

"Rosa―"

"Oca! Panggil aku Oca, Kak Pi!"

Levi mendengus pelan. "Oca, bisa hentikan panggilan Kak Pi-mu itu? Aku jadi terlihat gak macho lagi kamu panggil begitu."

Rosa menarik Gabriel dan Levi untuk duduk dan menjawab, "Gak mau. Iel dan Kak Pi. Aku akan terus panggil dengan panggilan itu."

Levi menyerah. Ia menoleh ke arah Gabriel. Adiknya itu terlihat lesu. Apa yang terjadi dengannya? Seharusnya Gabriel bersorak ria karena kekasihnya telah bangun dari tidur panjangnya. Levi segera menepis segala dugaan buruk di otaknya.

"Gabriel kamu belum jawab pertanyaanku."

Adik dari Levi itu menoleh lemah. "Zilva, Kak ..., " lirihnya.

Belum sempat Levi bertanya, Rosa menyela, "Siapa itu Zilva?"

"Pacar Gabriel," jawab Levi santai.

Alis Rosa terangkat. "Pacarmu yang sekarang berbeda dengan yang waktu SMA, kan?"

Gabriel mengernyit. Memangnya Rosa tahu siapa pacarnya? Ia sadar sampai sekarang belum pernah cerita tentang Zilva ke Rosa. "Sama. Kita udah delapan tahun pacaran. Kenapa memangnya?"

Rosa membelalakkan matanya. "Pacarmu yang gendut dan jelek itu? Astaga, Iel, aku kira kalian gak akan bertahan lama. Apa sih yang kamu lihat dari dia?"

Levi dan Gabriel menatap Rosa tak suka. Mereka tersinggung dengan ucapannya meskipun bukan mereka yang dihina.

"Oca, kamu keterlaluan. Zilva itu cantik. Dia manis dan senyumnya adalah sumber kebahagiaanku. Kamu gak berhak tanya apa yang kulihat darinya. Dia adalah hidupku. Dia segalanya untuk aku."

Rosa menggigit bibir bawah kesal. Sudah sejauh apa teman masa kecilnya itu dibutakan oleh cinta? Apalagi kekasihnya bukan gadis cantik yang bahkan tidak bisa dibandingkan dengan dirinya, walau hanya sejengkal kuku.

"Iel, kamu sudah dibutakan oleh cinta. Dia gak pantas untuk kamu. Dia cuma cewek matre' yang manfaatin tampang dan uangmu!" Setelah mengatakan itu, ia menoleh ke arah Levi. "Kak Pi, dia pasti manfaatin kamu juga! Dia pasti pakai uangmu supaya dia bisa foya-foya dengan teman-temannya!"

Levi menjadi dingin. "Hentikan ocehanmu itu, Oca."

"Kak Pi?" Ia memanggil Levi dengan takut.

"Kamu gak kenal sama Zilva. Jadi jangan pernah lagi hina Zilva. Dan Oca, jangan sampai kejadian delapan tahun lalu terulang lagi saat ini," ucap Gabriel penuh penekanan.

"Maaf ..., " lirih Rosa sambil menunduk dalam.

Levi beranjak dan merapikan bawaannya. "Ayo, Gabriel, kita ke kamar Zilva."

"Enggak, Kak. Hari ini aku mau pulang dulu." Gabriel beranjak dan mulai berjalan ke arah yang berbeda dari Levi. Langkahnya terhenti kembali ketika mendengar kakaknya itu memanggil.

"Kamu kenapa, Gabriel?"

Gabriel menggeleng pelan seraya tersenyum tipis. "Untuk sementara jangan sampai bahas aku di depan Zilva, ya, Kak." Ia kembali melangkahkan kaki dan keluar dari rumah sakit dengan hati yang berat.

Rosa yang takut mengusik amarah keduanya memutuskan untuk pergi dan kembali ke apartemennya.

🍃🍃🍃

Bersambung :)
Vote dan komen? ❤

Sepi banget hiks :')

Continue Reading

You'll Also Like

4.9M 371K 52
❗Part terbaru akan muncul kalau kalian sudah follow ❗ Hazel Auristela, perempuan cantik yang hobi membuat kue. Dia punya impian ingin memiliki toko k...
634K 65.9K 40
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
3.6M 172K 63
[SEBELUM BACA YUK FOLLOW DAN VOTE SETIAP CHAPTER SEBAGAI BENTUK PENGHARGAAN BUAT AUTHOR YANG CAPE CAPE MIKIR ALURNYA, YA WALAU MUNGKIN ADA YANG GAK M...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

3.9M 229K 29
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...