ILUSI (Tamat)

Od sinarrembulan120717

3.1M 245K 19.6K

Bagaimana mungkin Raline akan baik-baik saja, jika tepat setelah pesta pernikahannya berakhir, dia mengetahui... Více

Prolog
ILUSI - 1
ILUSI - 2
ILUSI - 3
ILUSI - 4
ILUSI - 5
ILUSI - 6
ILUSI - 7
ILUSI - 8
ILUSI - 9
ILUSI - 10
ILUSI - 11
ILUSI - 12
ILUSI - 13
ILUSI - 14
ILUSI - 15
ILUSI - 16
ILUSI - 17
ILUSI - 18
ILUSI - 19
ILUSI - 20
ILUSI - 21
ILUSI - 22
ILUSI - 23
ILUSI - 24
ILUSI - 25
ILUSI - 26
ILUSI - 27
ILUSI - 28
ILUSI - 30
ILUSI - 31
ILUSI - 32
ILUSI - 33
ILUSI - 34
ILUSI - 35
ILUSI - 36
ILUSI - 37
ILUSI - 38
ILUSI - 39
ILUSI - 40
Voucher Ekstra Part Sesi 1
Voucher Ekstra Part Sesi 2
Voucher Ekstra Part Sesi 3
Dibuang Sayang - 1
Dibuang Sayang - 2
Dibuang Sayang - 3
Dibuang Sayang - 4

ILUSI - 29

59.5K 5.6K 960
Od sinarrembulan120717




Raline keluar dari kamarnya pukul enam pagi. Wangi shampoo menguar dari rambutnya yang masih basah. Ia lalu berjalan ke depan saat tak menemukan siapa pun di dalam rumah.

Pintu depan terbuka lebar dan beberapa bunyi yang sumbernya dari halaman mulai terdengar. Ada banyak orang yang sedang menurunkan besi-besi penyangga dari mobil pick-up. Ibu dan adiknya juga berdiri diantara mereka yang tengah sibuk bekerja.

Dari ambang pintu, Raline bergerak menghampiri. "Mau ada acara apa, Bu?" tanyanya ketika jaraknya dengan sang ibunda tersisa empat langkah.

Anita menoleh, lantas memekik, "Kamu kenapa jalannya begitu?"

Meringis, Raline bingung harus menjawab apa. Lagipula pelaku tindak kejahatan yang telah menyebabkan cedera di pusat tubuhnya entah berada di mana. Laki-laki yang berstatus suaminya itu tidak Raline temukan di kamar ketika ia terjaga dari tidur lelapnya. Sang kumbang telah terbang menghilang setelah berhasil menghisap sari-sari bunga miliknya.

Berengsek memang Si Bangsat!

"Nggak pa-pa, Bu ...," sahutnya dusta. Padahal perih itu masih sangat terasa, sampai sulit baginya merapatkan kedua pangkal paha.

"Nggak pa-pa, gimana? Orang buat jalan aja susah! Ini pasti gara-gara jatuh semalam, kan?"

Membahas tentang kejadian semalam, mau tak mau, menghadirkan lagi kekesalan yang sempat Raline lupakan. Bagaimana tidak? Saat ia berteriak karena kesakitan, ibu dan adiknya sudah mengetuk pintu untuk menolong, tapi memang nasib sial sedang memeluknya erat. Langga bukannya berhenti, malah mengatakan pada keluarganya jika Raline cuma mengigau sampai terjatuh dari tempat tidur. Dan setelah Anita serta Rendra kembali ke kamar masing-masing, Langga pun melanjutkan aksinya.

Kalau saja mulut Raline tak dibekap, pastinya ia akan berteriak meminta tolong agar dibebaskan dari kebiadabpan Langga. Sayangnya ia tak berdaya dan terpaksa ikut hanyut dalam permainan suaminya. Tolong dicatat, terpaksa! Pasalnya, tak ada pilihan lain, kan?

"Ibu panggilkan Mbok Nem, ya?"

Lihatlah ... betapa Anita sangat mengkhawatirkan kondisi kesehatan anak-anaknya. Kekejaman hanya sekedar ada ujung lidahnya saja, tak benar-benar berasal dari hati.

"Mbok Nem tukang urut?" Raline lupa-lupa ingat. Ada banyak nenek-nenek di desanya yang dipanggil 'Mbok'.

"Iya, biar sembuh itu kaki." Anita lalu menengok pada si bungsu yang sedang serius mengawasi para pekerja yang akan memasang tenda. "Rendra ...," serunya.

Rendra lekas mendekat. Panggilan Anita itu bagaikan panggilan seorang raja pada para pengawalnya. Bahaya untuk kesehatan jika diabaikan. "Kenapa, Bu?"

"Tolong panggilkan Mbok Nem."

"Buat?"

Anita menunjuk Raline dengan dagu. "Itu ... kaki Mbamu sakit. Cepetan sekarang!" Selepas mengatakannya, ibu dari dua anak itu masuk ke rumah. Baru ingat kalau belum membuatkan minuman untuk pekerja tenda.

Diperiksanya dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya kaki Raline oleh Rendra. "Lo semalem beneran jatuh, Mba?"

Tidak ada Anita jadi Rendra berani menggunakan kata 'lo' untuk menyebut kakaknya.

Tak dapat dipungkiri, insting remaja terhadap hal-hal yang berbau mesum memang kuat. "Iyalah!" balas Raline. Tidak mungkin 'kan perempuan itu mengatakan, Kagak, gue abis diperawanin!

"Masa, sih?" Rendra memasang raut tak percaya. Diamatinya lagi sang kakak yang membuang muka. "Ko pipinya Mas Langga ada bekas cakaran? Itu lo nyakar dia di dalam mimpi juga?"

Kini Raline terkejut. Bekas cakaran? Ia tak sadar sudah melakukannya. "Mana gue tau, dia nyakar pipinya sendiri kali!" elaknya sambil membuang pandangan.

"Ya kali ada orang begitu." Rendra mencibir. Ia lalu hendak mengungkapkan satu fakta lagi, tapi orang yang sedang mereka bicarakan tiba-tiba datang.

Langga memasuki gerbang sembari menenteng sebuah kantung plastik di tangan kiri. Senyumnya cerah sekali. Bahkan menurut Rendra, terik matahari di jam dua belas siang saja masih kalah cerahnya. Pemuda berseragam abu-abu itu sampai harus menyipit, silau.

"Sudah bangun?" Langga langsung menyapa sang istri. Diabaikannya Rendra yang ia lewati.

"Ya, kalo belum bangun masih di kamar kali, Mas!" Rendra yang menimpali.

Kekehan ringan meluncur dari bibir Langga, pria yang tengah berbahagia itu lantas merogoh kantung celana pendeknya. Diambilnya sepuluh lembar uang pecahan berwarna merah dari dompet, lalu disodorkan pada sang adik ipar.

"Waahh ...." Mata Rendra seketika berbinar, kelopaknya terbuka lebar. "Kalo dikasih uang tutup mulut gini, sih, gue nggak bakalan protes meskipun desahan kalian berdua bikin kuping gue panas."

Sekitar dua puluh menit setelah Raline berteriak, Rendra kembali keluar dari kamar menuju dapur. Dan karena kamar Raline terletak di belakang tak jauh dari dapur, ia bisa mendengar dengan jelas rintihan-rintihan sialan itu.

"Ya udah, gue panggilin dulu Mbok Nem-nya. Makasih, Mas!"

Pemuda itu berlalu begitu saja tanpa rasa bersalah padahal sudah menghadirkan ucapan yang membuat dua kakaknya berdiri kaku sementara wajah mereka langsung memerah.

Rendra dengar? Astaga!

Raline yang lebih dulu tersadar dari keterkejutannya, perempuan yang mengenakan terusan selutut itu lekas berjalan ke dalam rumah, disusul Langga yang memerhatikan cara berjalannya.

"Masih sakit, ya?" Langga menghadang pergerakan sang istri di ruang tengah.

Raline berdecih. "Menurut lo?!"

"Maaf ...." Tangan Langga menyentuh puncak kepala Raline. Sebagian dirinya merasa bersalah sebab sudah memaksa, sebagian lagi bahagia tak terkira.

Mau bagaimana lagi, diminta dengan cara halus tak berhasil, ya sudah sedikit paksaan ia keluarkan. Kalau tidak begitu, Langga yakin ia akan menyandang status perjaka sampai tutup usia.

"Siap-siap gue laporin polisi lo!" ancam Raline sembari melotot.

Ancaman itu justru membuat Langga terbahak.

Raline makin sebal. Apanya yang lucu? Pihak berwajib pasti akan menerima laporannya. Tindak pemerkosaan adalah salah satu delik pidana yang ancaman hukumannya tak main-main. Bukankah begitu?

"Iya ... iya ... nanti saya anterin waktu bikin pengaduan." Langga mendorong pundak Raline pelan supaya duduk di sofa. Ia lalu mengambil benda dalam kantung plastik yang dibawanya, terus menghubungkannya ke sumber listrik.

"Saya tau kamu paling nggak suka sama rambut basah." Hair dryer mulai dihidupkan dan Langga mengarahkannya ke rambut sang istri. "Tapi kamu lupa bawa," sambungnya.

Jadi ... Langga pergi pagi-pagi untuk mencarikan benda itu?

"Beli di mana lo?" Setahu Raline, toko-toko elektronik di kotanya, baru buka jam sembilan atau sepuluh pagi.

Langga menyisir rambut Raline dengan jari-jari tangan kiri. "Pinjem punya Mami. Saya keliling belum ada toko yang buka."

Raline tak berkomentar lagi. Ia menikmati apa yang dilakukan Langga pada kepala dan rambutnya. Selagi mengeringkan, tangan kiri Langga memijit pelan. "Pinter juga lo, pernah kerja di salon, ya?"

Hair dryer dimatikan. Setelah meletakkan benda tersebut di meja, Langga mencium puncak kepala istrinya lama. "Saya liat-liat di youtube," sahut Langga sebelum ciumannya turun ke belakang telinga.

Raline menggeliat. "Apaan, sih lo!"

"Ke kamar, yuk? Saya sisirin biar lebih rapi."

Selepas berdiri, Raline berkacak pinggang. "Nehi! Nehi! Nehi! Gue nggak mau sekarang berduaan sama lo di kamar. Dasar lelaki penuh tipu muslihat!"

Karena Raline bisa menebak tujuannya mengajak ke kamar, Langga mencoba satu bujukan. Yang diharapkan dapat meluluhkan hati sang istri. "Saya janji bakal lebih pelan-pelan lagi."

"Nggak mau!" Dengan lantang Raline menyahut.

Langga pasang muka meyakinkan . "Pasti nggak sakit lagi ...."

"Enggak mungkin! Kecuali ...." Raline bangkit, menjauh, tak lama ia kembali. "Nih!" Diserahkannya benda kecil yang diambilnya dari tas sekolah Rendra.

"Rautan?" gumam Langga sembari mengernyit. "Buat apa?"


*****


Tenda di halaman depan telah terpasang rapi, dilengkapi dengan meja serta kursi-kursi yang juga sudah berjejer dan siap untuk diduduki.

Orang-orang yang dibayar Langga pun sedang menjalankan tugas mereka masing-masing. Ada yang sibuk menyusun makanan di meja, ada yang menyiapkan minuman, ada pula yang serius menghitung jumlah souvenir. Tinggal menunggu para undangan yang sebentar lagi berdatangan.

Acara yang hampir dimulai itu merupakan sebuah pengajian untuk mengenang Almarhum Wisnu Ibrahim. Sebetulnya hari kematiannya masih satu bulan lagi, tapi karena Anita juga akan menggelar pengajian sebelum keberangkatannya ke tanah suci, maka dari itu acara tersebut digabungkan menjadi hari ini.

Acara ini juga yang Langga harapkan bisa Raline hadiri. Namun perempuan cantik itu salah paham, menganggap acara yang suaminya maksud adalah pernikahan Eva. Memang salah Langga yang tak menjelaskan secara detail, sebab Langga pikir Raline sudah mendengarnya sendiri sewaktu ia berbincang dengan Anita lewat telepon di samping sang istri, di suatu malam ketika mereka berada di villa pada saat proses syuting video klip.

Langga tak tahu kalau saat itu Raline tak menyimak obrolannya. Istrinya ternyata hanya fokus memandangi Anita dengan mata berselimut kabut.

Sekarang Langga paham, berbicara pada Raline harus runtut dari A sampai Z, jangan setengah-setengah, karena akibatnya bisa fatal. Langga akan memulainya dari detik ini, lebih banyak membuka suara agar tak ada lagi prasangka.

"Lo sebenernya mijitin apa grepe-grepe, sih?" sinis Raline. Sebentar ia mengalihkan atensi dari handphone dalam genggaman pada sang suami yang tangan kirinya kini menempel di pahanya. Sedangkan tangan kanan Langga juga memegang ponsel. Jadi sambil membaca pesan, Langga memijatnya.

Dua manusia bertolak belakang karakter itu tengah bersantai di karpet yang terbentang sepanjang ruang tamu. Raline berselonjor dan punggungnya menyender di dinding. Langga duduk bersila menghadap kaki istrinya.

Awalnya Langga memang berniat memijat, mulai dari telapak kaki lalu merangkak naik, tapi ketika tiba di paha, niatnya sedikit melenceng.

"Sambil menyelam minum air," jawab Langga santai selepas mematikan layar smartphone-nya, terus meletakkan benda itu di dekat gelas berisi teh. Tatapannya lekas tertuju sepenuhnya pada wajah Raline.

"Gila! Mesumnya nggak ada obat!" Raline geleng-geleng seraya menaikkan salah satu sudut bibirnya.

Langga tak membalas, mungkin pernyataan itu benar adanya. Ia lebih memilih untuk menggeser pantatnya, mempersempit jaraknya dengan si biduanita. "Bibirnya jangan diginin!" Tangannya bergerak, memperbaiki salah satu sudut bibir Raline. Setelahnya, anggota tubuh yang sangat menggodanya itu, dielusnya dengan ibu jari. "Pengen cium ...," lanjutnya lirih.

Raline berdecak kemudian menyombongkan diri. "Bener berarti kata barisan para mantan, bibir gue emang cipokable."

Dalam bayangan Langga, Raline berciuman dengan mantan-mantan kekasihnya seperti yang biasanya ia lakukan, menyesap, melumat, dan bermain lidah. Langga lantas merengut, tangannya ditarik dan dibiarkan terkulai di karpet. Ia jadi ingat, sebuah potret yang memperlihatkan adegan pertemuan bibir antara Raline dengan seorang pria bernama Ricko.

Foto itu yang akhirnya menyeretnya keluar dari persembunyian dan merencanakan banyak hal. Dibantu Alvi, Langga merealisasikannya satu per satu. Mulai dari wartawan palsu di depan restoran sampai ketidakhadiran lawan main Raline di video klip sehingga ia dapat mengajukan diri untuk menggantikannya.

Senyum menahan tawa tersungging di wajah Raline melihat Langga berubah masam. Biarkan saja suaminya itu berpikir macam-macam. "Kenapa lo?"

Bukan jawaban dari pertanyaan Raline yang terlontar, melainkan sebuah tanya yang cukup menyesakkan di dada Langga. "Kenapa kamu selalu menolak kalau saya cium?" Jika keduanya berciuman, bisa dipastikan, ia yang memaksa atau Raline dalam keadaan tak sadar. "Sementara—" Langga tak sanggup meneruskan kalimatnya.

"Sementara sama mantan-mantan gue, gue mau?" tebak Raline, yang sayangnya benar.

Langga mengangguk tak bersemangat.

"Beneran mau tau?" Raline memastikan. Ia lalu mendekat dan berbisik, "Karena gue takut hidung lo insecure sama kemancungan hidung gue."

Tak ayal, kata-kata itu membuatnya terbahak. Sebab pada kenyataannya hidungnya jelas lebih tinggi dari hidung sang istri.

Untuk kesekian kali, Raline dapat dengan mudahnya, membolak-balikkan suasana hatinya.

Tawa Langga masih menggema sementara kedua tangannya sibuk menggelitiki perut Raline. Mereka akhirnya tergelak bersama, dan pemandangan itu disaksikan oleh seorang perempuan berwajah muram yang berdiri di dekat pintu. 


-29 Mei 22-

-----



Rautan buat apaan, si????

Siapa tuh yg di deket pintu, Mba Kunti?










Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

16.7M 726K 42
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
142K 21.1K 73
Sweet Scandal *** Jovanka Alixie, seorang fashion designer sukses di Perancis harus kembali ke Indonesia karena Mama-nya. Tak habis akal, Jovanka pun...
8.6K 743 42
Cinta pertama dengan lelaki pertama dalam hidupnya membuat Velicia memberikan hatinya secara utuh pada pria bernama Pirentz Ronaldo. Seorang laki- l...
505K 3.8K 4
~ Sally Widya ~ Aku tidak perlu kehidupan yang harmonis dan bahagia. Karena aku sudah yakin bahwa Tuhan tidak akan pernah memberikannya kepadaku. Tap...