LOVE LIKE LEMONADE [TAMAT]

Door lunetha_lu

486K 31.4K 1.3K

Semula Vanta tidak tahu, kalau satu perlawanannya bakal menjadi masalah serius. Siapa sangka, cowok yang dita... Meer

Prolog
#1 Vanta Lollyta
#2 Lapangan Basket
#3 Pembalasan Berikutnya
#4 Boyfriend?
#5 So Embarrassed
#6 Jealousy
#7 Rencana Alvin
#8 Hate You 3000!
#9 Semua Orang Punya Rahasia
#10 Unexpected
#11 Bahan Gosip
#12 Panas Dingin (1)
#13 Panas Dingin (2)
#14 Stay
#15 Sleep Well
#16 Last War
#17 Soft Drink
#18 Black Rose
#19 Hide and Seek?
#20 About Her
#21 Rest in Love
#22 Jaminan
#23 New Begin
#24 Past
#25 Cheer Up
Announce
#26 Who is He?
#27 Bala Bantuan
#28 Vodka Beryls
#29 Bukan Pacar
#30 First Attempt
#31 Bertemu Lagi
#32 Teman Baik
#33 Permintaan Sulit
#34 Tentangnya
#35 Pilihan Tepat
#36 Once More
#37 Mulai Berpikir
#38 Akhirnya Terucap
#39 - Move Forward
#40 Perkara Status
#41 Yours
#42 Ungkapan
#43 Benda Keramat
#44 Momen Baru
#45 Namanya Cemburu
#46 Hidden Truth
#47 Tell the Truth
#48 Bucin Detected!
#49 Dilema
#50 Trurth or Lie
#52 Reason
#53 Gamon?
#54 Identitas Black Rose
#55 Dumbfounded
#56 Memulai
#57 Yang Sebenarnya
#58 D-Day
#59 Dajjal Kesayangan (END)

#51 Berawal dari Akhir

1.7K 187 11
Door lunetha_lu


Tahun ketiga perkuliahan, Vanta mendapati dirinya masih tetap betah memandangi lukisan malaikat dan black rose yang pernah dilupakan sebentar. Setelah bertahun-tahun mengamati lukisan itu, Vanta akhirnya menemukan alasan mengapa dia sangat menyukainya. Dia merasa si pelukis dan dirinya terhubung karena beberapa kesamaan yang disimpulkannya dari goresan indah itu.

Mungkin, dia memiliki kecemasan yang sama. Mungkin, dia menyimpan hampa dan kekosongan yang sama. Maka saat melihatnya, Vanta merasa dikuatkan. Lukisan itu seolah menemaninya dan berkata, dia tidak sendirian.

Miris bagaimana rasanya ketika berada di tengah banyak orang, namun dia masih merasa sendiri. Kembali menutup diri dan tidak mempercayai siapa pun. Sedangkan satu lukisan yang tak hidup dapat begitu menenangkan hatinya.

"Ta, lo udah dapet tempat magang?"

Vanta tersentak mendengar pertanyaan dari salah seorang teman seangkatannya dan menoleh. "Udah ...."

"Weits, mahasiswa berprestasi mah beda ya. Cepet banget dapet tempat magang."

Vanta menyahut sambil tersenyum ramah. "Yang lain juga udah banyak kok yang dapet tempat magang."

"Gue tiap beli akua liat ilustrasi di botolnya langsung inget Vanta loh," timpal teman cowok yang lain.

"Siapa dulu dong? Temen gueee ..." Arya yang baru muncul tiba-tiba berceletuk.

Kali ini Vanta hanya tertawa menanggapi pujian teman-temannya.

Pada semester lalu diadakan lomba ilustrasi untuk kemasan botol air mineral. Saat itu dosen mata kuliah Ilustrasi memberi tugas pada mahasiswa yang mendapat kelas ilustrasi untuk berpartisipasi dalam kompetisi tersebut. Berkat ketekunan dan idenya yang kreatif, ilustrasi Vanta terpilih dan berhasil memenangkan juara utama.

Sebetulnya ini bukan kali pertama dia menang dalam kompetisi desain. Bisa dibilang dia salah satu mahasiswa yang langganan membawa nama baik kampus.

Dua setengah tahun berlalu sejak kejadian itu. Kejadian di mana dia harus berhenti dan melepaskan. Salah satu pengorbanan terberat yang pernah dilaluinya. Hari-hari itu, rasanya baru kemarin dilewatinya. Marah, kesal, kecewa, tertawa, dan sempat berakhir penyesalan tak berujung.

Bahkan hingga saat ini, dadanya masih terasa sesak ketika mengingatnya. Hari di mana dia menorehkan pengkhianatan terbesar pada laki-laki itu.

***

Vanta menatap sosok yang bersandar di dinding depan kelasnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Pandangannya yang tajam menatap Vanta lekat saat ia keluar kelas. Membuat langkahnya terhenti begitu saja.

"Kita perlu bicara," ucap Alvin dingin dan datar. Berbeda dengan belakangan terakhir, genangan suara penuh perhatian dan kalimat-kalimat sayang yang terkadang disisipi rayuan itu kini lenyap.

Vanta tidak menjawab, tetapi tidak juga beranjak dari tempatnya. Dia akhirnya mengangguk, mengikuti Alvin yang berbalik pergi dari sana. Membawa Vanta ke area tangga yang sepi.

"Mau ngomong apa?" tanya Vanta. Mereka berdiri diam beberapa saat tanpa saling menatap.

Laki-laki itu kemudian beralih padanya. "Gue nggak tau harus percaya atau nggak. Tapi lo pasti tau maksud gue. Temen lo pasti udah cerita 'kan sama lo, apa yang terjadi di party Andre? Kalo nggak, lo pasti bakal angkat telepon gue."

Kembali Vanta membisu. Bola matanya bergerak ke lain arah. Tidak dapat menatap cowok di depannya. Mulutnya sempat terbuka, namun terkatup lagi. Berusaha memilah kata-kata yang akan diucapkannya.

"Van ..." panggil Alvin menuntut jawaban.

Alih-alih menjawab, Vanta dan kebisuannya yang masih setia. Kedua tangannya meremat tali ransel kuat-kuat. Menahan gemetar yang menyebar hingga ke ujung kuku.

"Jawab gue, Van. Please, jawab ..." Laki-laki itu mendekat, berdiri tepat di hadapannya.

"Kita ..." Jeda sejenak sebelum Vanta melanjutkan, "enggak usah ketemu lagi. Lo nggak usah antar-jemput gue lagi."

"Setelah apa yang kita lewatin, lo mau bilang kalo semua itu cuma bohongan? Alasan lo bener-bener cuma mau bales gue?"

Susah payah Vanta menelan ludahnya dan menghindari tatapan lelaki itu. Tetapi Alvin mencengkeram kedua bahunya keras hingga ia meringis.

"Itu cuma celotehan ngaco karena mabuk 'kan?" desaknya. "BILANG IYA, VAN!" Hingga bentakan frustrasi keluar dari mulut cowok itu. "JAWAB GUE!"

Tak tahan berada di tengah ketegangan atmosfir yang melingkupi mereka, Vanta memejamkan mata erat-erat, hatinya terasa dipelintir. Sekuat tenaga dia menekan rasa sakit yang menjalar ke seluruh persendiannya.

Dia lalu membuka mata, berusaha melepaskan tangan Alvin yang mencengkeram bahunya. Jika ingin mengakhiri, maka jalan satu-satunya adalah dia harus menegakkan kepala. Menatap lurus sepasang mata itu.

"Kalau itu bener, lo mau apa? Emangnya apa lagi yang lo harapkan dari orang yang udah jelas bilang benci sama lo? Bahkan rasanya gue muak cuma berhadapan dengan lo sekarang." Sorot matanya menyala-nyala. Ekspresinya berubah sengit.

Vanta lalu melanjutkan, "Ahh ... jangan bilang kalau lo sebegitu enggak tau malunya, berharap kita masih lanjut?"

Setelah kalimat menohok yang dilontarkannya, ia dapat melihat Alvin membelalak menatapnya tak percaya. Raut wajahnya kusut. Rahangnya mengetat kaku menyimpan emosi.

Ada sesak yang mendadak menghunjam paru-paru Alvin. Bagian paling menyakitkan dari skenario ini adalah ketika semua kebersamaan dan kebaikan hanyalah rekayasa semata. Pergi bersama, saling menghibur, bertukar waktu, dan berbagi sayang. Jadi, semuanya palsu?

Alvin merasa konyol ketika teringat akan sesuatu. Selama mereka jadian, tidak pernah ada satu pun kata suka yang didengarnya. Jelas sudah. Meski ia tetap menolak percaya, kenyataan bahwa Vanta mungkin tidak pernah balik menyukainya merajam dirinya berkeping-keping.

Tiba-tiba Alvin tertawa keras. Tawa yang terdengar begitu hambar. Menyugar rambut dengan cengkeraman kedua tangan. Satu tinju keras berhasil melayang ke dinding di belakang Vanta hingga gadis itu sempat terkesiap kaget.

"Hebat." Laki-laki itu menggeleng sembari bertepuk tangan. "Mestinya lo jadi aktor."

Sesungguhnya bukan hanya Alvin yang merasakan sakit itu. Bagai diterjang palu godam, hati Vanta ikut remuk. Dia kesulitan bernapas. Seolah semua oksigen di sana raib dari jangkauannya.

Matanya terasa perih dan memanas. Kerongkongannya kering tak terjamah. Kepalanya seolah menolak untuk menerima stimulus kejadian tersebut. Namun kakinya mati rasa seolah tak bisa digerakan. Bahkan Vanta tidak bisa untuk segera beranjak pergi dari sana.

"Selamat," kata Alvin lagi. Dengan senyum penuh luka yang menghias bibirnya. "Lo berhasil bikin gue hancur. Lo bebas dari gue." Suaranya rendah dan menusuk.

Selanjutnya, lelaki itu mundur teratur beberapa langkah. Masih jelas dalam ruang ingatannya, sorot mata nestapa yang terakhir kali dilayangkan Alvin padanya sebelum cowok itu membungkuk dalam-dalam.

"Gue minta maaf, buat semuanya." Dan berlalu pergi setelah mengucapkan kata-kata terakhir untuk gadis itu.

***

"Oke, ini ruangan tim desain, ya. Nanti kalau kamu mau tanya-tanya, boleh sama tim desain lain yang ada di sini." Agung, yang merupakan penanggung jawab di agensi desain itu membawa Vanta ke ruangannya setelah mengajak berkeliling.

Vanta mengangguk. "Terima kasih, Kak."

Dia baru saja meletakkan tas di meja yang akan ditempatinya ketika seorang cowok memasuki ruangan.

"Eh?" Vanta tampak linglung melihat siapa senior di tempat kerjanya. Sementara cowok itu terpaku sebentar di tempat sebelum menghampiri mereka.

"Lo ... magang di sini?"

"Lo kerja di sini?"

Keduanya saling tunjuk dan bertanya berbarengan.

"Wah, ternyata kalian udah saling kenal ya? Baru aja gue mau minta lo arahin dia karena gue liat kalian satu almamater," tutur Agung menepuk pundak cowok itu.

"Oh, kenal," sahut cowok yang baru masuk.

"Kalo gitu Alvian, tolong ya ...."

Sepeninggal Agung, keduanya masih berdiri dengan canggung. Sedangkan Vanta seperti tidak percaya pada nama yang disebut kak Agung barusan.

Alvian katanya??

"Al ... vian?" Tanpa sadar dia menyuarakan pertanyaannya dengan sebelah alis terangkat.

"Nama gue emang itu."


=== BERSAMBUNG ===

Hei, kamu ...

Iya, kamu.

Udah baca sampai part ini, tinggalin jejak nggak kamu?

Vote dan comment supaya Otor tetap semangat berkarya ya >3<

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

177K 14.3K 63
Seminggu sebelumnya, Ariendra Pilli masih menjadi Produser Treya di kantor. Seminggu berikutnya, Treya memanggil Rend "Sayang", pakai acara menyanda...
1.8M 147K 56
Pernah dengar istilah "First Love Never Dies"? Naura Alraisa Anhar sudah paham betul makna istilah yang satu itu. Selama belasan tahun, ingatan tenta...
1.4M 148K 46
Masa lalu ada di belakang, tertinggal bersama dengan segala pahit dan manisnya. Tapi kamu adalah masa depanku, dan saat tanganku ada dalam genggamanm...
118K 7.5K 28
Bisa berada satu kampus dengan Bisma-mantan kekasihnya saat SMA-saja, sudah membuat Dara merasa dunia ini begitu sempit. Terasa makin sempit ketika D...