Songong banget, pengen kutampol.
-Zilva 🐽
♫~♥~♫
Loh kok sekarang aku di kelas SMK-ku dulu? Aku mau dibawa ke mana sih?!
Zilva sedang asyik mengunyah makanan yang dibawakan Laila dari rumah. Tiba-tiba Ruth datang dan mengambil ponsel Zilva yang tergeletak manis di atas bangku.
Teman dekatnya itu memainkan gawai Zilva hingga Zilva selesai memakan makanannya. Ruth terkejut karena tiba-tiba ponsel Zilva berdering.
"Zilva, ada telepon dari nomor gak dikenal nih."
"Waduh, siapa, ya?"
Zilva menatap ponselnya beberapa saat: ragu menjawab telepon itu. "Ah bodo amat, lagipula di sini ramai." Ia menyentuh tombol hijau dan menjawabnya.
Jangan-jangan?!
"Aku traktir makan sama nonton di mall, besok minggu aku jemput di rumah."
"Hah? Oh, ini Om kemarin? Iya, boleh. Ah, tapi jangan jemput di rumah. Depan gang aja. Minggunya aku kabari lagi kalau sudah siap."
Sudah kuduga.
Gabriel mematikan teleponnya sepihak. Zilva menoleh ke arah Ruth yang menatapnya dengan ekspresi penuh curiga.
"Om ...? Zilva, kamu main sama om-om?! Gila ya kamu! Meskipun kamu jelek, masa' kamu ngerelain harga dirimu, hah?! Zilva, kok kamu relain harga dirimu sih?!" Ruth mengguncang-guncangkan bahu Zilva gemas.
"Aduh-aduh bentar Ruth. Jangan kek gini, kepalaku pusing."
Ruth menghentikan serangannya. Matanya terus menatap sedih teman perempuannya itu.
"Jadi kemarin tuh ada orang pingsan, terus aku tolong dan tadi dia telepon buat balas budi ke aku, gitu. Aku panggil dia om dari kemarin karena spontan aja, tapi sebenarnya dia seumuran sama kita kok."
"Oh gitu," jawab Ruth tak tertarik.
Zilva menganga tak percaya. "Gitu doang responsmu?"
"Yah, gak mungkin kamu beneran main sama om-om. Aku yakin Zilva gak kek gitu. Lagipula kamu jelek, om-om gak ada yang minat sama kamu."
"Gila, omonganmu nusuk!"
♫~♥~♫
Aduh-aduh, sekarang di bawa kemana lagi ini? Pusing juga dibawa lompat sana-sini.
Zilva mengutak-atik ponselnya mengetik sebuah pesan: aku udah siap, lima menit lagi aku sampai depan gang.
Aku langsung setuju pergi kencan sama Gabriel? Kenapa naif banget sih?
Gadis itu berlari kecil seraya berharap tetangga rumahnya tak ada yang melihatnya agar tak terjadi salah paham dan mengadukannya ke Laila. Matanya melihat Gabriel yang sedang memandang sedih langit biru. Ia juga tak paham maksud ekspresi itu.
"Aku bawa helm sendiri, Om." Zilva mengangkat helm yang ia gantung di lengannya.
"Nyaman banget ya panggil 'Om'," sindir Gabriel seraya memakai helm-nya.
"Ah! Maaf, Gabriel, hehe."
Oh mainnya di mall?
Setelah selesai nonton film di bioskop, mereka pergi ke salah satu restoran di dalam mall. Zilva yang tak biasa makan berdua dengan laki-laki tampan berusaha untuk menutupi wajah dengan rambutnya. Ketampanan Gabriel sukses membuat Zilva minder.
"Ngapain kayak gitu?" tanya Gabriel heran ketika mellihat Zilva menunduk gelisah.
"Gak PD aja dilihatin."
"Duduk tegak. Rapiin rambutnya."
Zilva tersentak mendengar perintah Gabriel. Dengan buru-buru ia menegakkan duduknya dan juga merapikan pakaiannya. Ia mengambil jepit rambut yang ia simpan di tas lalu ia pakai.
"Begini?" tanya Zilva seraya mengacungkan jempolnya.
Aku nurut banget disuruh Gabriel.
Gabriel mengangguk. Ia mengernyit melihat Zilva mengacungkan jempolnya. "Itu jempol kenapa?"
Zilva cepat-cepat menurunkan jempolnya lagi. Makanan datang dibawa oleh pelayan cantik. Pelayan itu sempat tersipu melihat wajah tampan Gabriel.
"Kamu gak ada niatan jadi model, Gabriel?" tanya Zilva tiba-tiba.
"Hah?!" sarkas Gabriel tak suka.
Jawabnya gitu amat. Emang bener kata Gabe. Gabriel dingin banget ke cewek. Nggak dingin lagi, udah jutek banget itu.
"Ya karena kamu ganteng, postur tubuhmu juga bagus. Kenapa gak coba jadi model? Kek-nya gajinya lumayan deh."
Gabriel mengernyit. "Kamu anggap aku miskin?"
"Hah? Enggak! Bukan gitu, astaga salah ngomong pula. Maaf. " Zilva menepuk pelan bibirnya sendiri. Dengan salah tingkah ia mengambil peralatan makan dan bersiap untuk makan. "Selamat makan, Om."
"Aku benci dengar kamu panggil Om," tegur Gabriel dingin.
Zilva tersedak makanan. "Ah, maaf. Niatku biar suasananya nggak canggung. Maaf, gak akan aku ulang lagi, Gabriel." Ia melanjutkan makannya dalam diam.
Dia tuh berusaha biar suasananya cair, Jainudin!
Gabriel mengembuskan napas pelan. Ia menatap lama Zilva yang makan dengan lahap. "Kamu memang mirip banget sama mama."
Zilva mendongak lalu memiringkan kepalanya bingung. "Mama?"
Dari pertama ketemu kenapa dia bahas mamanya mulu sih?
Gabriel mengangguk. "Mirip banget." Ia mulai memakan makanannya.
"Padahal aku jelek. Tapi dikata mirip mulu sama mamanya," gumam Zilva.
♫~♥~♫
Aduh, dibawa ke mana lagi ini? Tolong, aku masih belum biasa pindah-pindah tempat dalam satu waktu!
Oh? Sekarang ke tempat wahana. Ini di dalam bianglala? Mereka bajunya beda dari yang tadi. Berarti ini lain hari.
Di dalam bianglala setinggi 30 meter, Zilva terpaku menatap langit malam dengan gemerlap lampu. Senyumnya mengembang melihat pemandangan malam dari atas.
Di satu sisi Gabriel menatap Zilva dengan ekspresi yang tak terbaca. Raut dingin selalu tercetak nyata di wajahnya. E mosinya tak pernah bisa dipahami hanya dengan melihat ekspresi laki-laki itu.
Ngapain si Jainudin natap Zilva segitunya? Udah kesengsem sama dia, Mas? Eh tapi gak mungkin secepet ini sih.
"Zilva, kamu punya pacar?" tanya Gabriel tiba-tiba.
APA?!
Gadis yang duduk di depannya menoleh dengan cepat. Matanya yang semula menatap ke luar, beralih ke Gabriel. "Hah? Ngapain tiba-tiba tanya hal privasi kek gitu?"
"Tinggal jawab apa susahnya, sih?" desisnya.
Zilva mengernyit tak suka. Laki-laki itu terlalu memaksa. Ia tak nyaman dengan sikap Gabriel yang semena-mena. "Enggak. Aku dari orok jomlo. Ada masalah?"
"Jawabnya biasa aja, gausah sewot." Gabriel mengusap wajahnya kasar dan berkata, "Hah ... karena ini aku benci cewek."
Anjir banget si Jainudin ini. Dia yang lancang nanya, dia yang tersinggung.
Zilva ternganga mendengar hal itu terucap dari mulut Gabriel. "Hah? Kamu yang tanya apa aku punya pacar dengan lancangnya, dan udah dijawab tapi kenapa malah responsmu kek gitu?"
"Aku gak suka nada bicaramu seperti itu, Zilva."
"Loh? Hahaha ..., " tawa Zilva frustrasi. "Kamu siapa berani atur-atur aku? Kita ketemu baru tiga kali dan apa-apaan sikapmu itu?"
Gabriel terdiam sejenak. "Zilva, dengarkan aku baik-baik .... "
Zilva mengernyit dan mendekatkan tubuhnya untuk mendengar ucapan lelaki di depannya. "Apa?"
"Kamu harus jadi pacarku."
🍃🍃🍃
Bersambung :)
Vote dan komen? ❤