Silent In The Rain

By PenFelline

1.5K 214 952

๐˜๐จ๐ฎ๐ง๐ ๐š๐๐ฎ๐ฅ๐ญ 15+ || ๐‚๐š๐ฆ๐ฉ๐ฎ๐ฌ ๐’๐ญ๐จ๐ซ๐ฒ Zenita itu seperti titik di mana angin tenggara dan angin... More

๐๐ซ๐š๐ค๐š๐ญ๐š
๐๐ซ๐จ๐ฅ๐จ๐ 
๐‚๐ก๐š๐ฉ๐ญ๐ž๐ซ 1 : ๐ ๐ž๐ซ๐ฎ๐œ๐ก๐ญ๐ž๐ง
๐‚๐ก๐š๐ฉ๐ญ๐ž๐ซ 2 : ๐•๐ซ๐ž๐ž๐ฆ๐
๐‚๐ก๐š๐ฉ๐ญ๐ž๐ซ 3 : ๐ฏ๐จ๐ฅ๐๐จ๐ž๐ง ๐š๐š๐ง
๐‚๐ก๐š๐ฉ๐ญ๐ž๐ซ 4: ๐๐ฎ๐ง
๐‚๐ก๐š๐ฉ๐ญ๐ž๐ซ 5 : ๐Ž๐ง๐ญ๐ก๐จ๐ฎ๐๐ž๐ง
๐‚๐ก๐š๐ฉ๐ญ๐ž๐ซ 6 : ๐†๐ž๐ฅ๐ข๐ง๐ค๐ญ
๐‚๐ก๐š๐ฉ๐ญ๐ž๐ซ 7 : ๐Š๐ฅ๐ž๐ข๐ง๐ž ๐ซ๐ฎ๐ข๐ฆ๐ญ๐ž
๐‚๐ก๐š๐ฉ๐ญ๐ž๐ซ 8 : ๐“๐ž๐ฅ๐ž๐ฎ๐ซ๐ ๐ž๐ฌ๐ญ๐ž๐ฅ๐
๐‚๐ก๐š๐ฉ๐ญ๐ž๐ซ 9 : ๐ƒ๐ข๐œ๐ก๐ญ๐›๐ข๐ฃ
๐‚๐ก๐š๐ฉ๐ญ๐ž๐ซ 10 : ๐Ž๐ง๐ญ๐ฆ๐จ๐ž๐ญ๐ข๐ง๐ 
๐‚๐ก๐š๐ฉ๐ญ๐ž๐ซ 11 : ๐Œ๐จ๐จ๐ข
๐‚๐ก๐š๐ฉ๐ญ๐ž๐ซ 12 : ๐–๐จ๐ง๐
๐‚๐ก๐š๐ฉ๐ญ๐ž๐ซ 13 : ๐ฐ๐ž๐ž๐ญ ๐ฐ๐ž๐ข๐ง๐ข๐ 
๐‚๐ก๐š๐ฉ๐ญ๐ž๐ซ 14 : ๐ƒ๐ข๐œ๐ก๐ญ๐ž๐ซ๐›๐ข๐ฃ
๐‚๐ก๐š๐ฉ๐ญ๐ž๐ซ 15: ๐ƒ๐ž๐›๐š๐ญ
๐‚๐ก๐š๐ฉ๐ญ๐ž๐ซ 16 : ๐ƒ๐ข๐ž๐ฉ๐ž ๐ฉ๐ซ๐š๐š๐ญ
๐‚๐ก๐š๐ฉ๐ญ๐ž๐ซ 17 : ๐ฎ๐ข๐ญ๐ฅ๐ž๐ 
๐‚๐ก๐š๐ฉ๐ญ๐ž๐ซ 18 : ๐๐ž๐ ๐ซ๐ข๐ฃ๐ฉ๐ž๐ง
๐‚๐ก๐š๐ฉ๐ญ๐ž๐ซ 19 : ๐‹๐š๐ญ๐ž๐ง ๐ฏ๐š๐ฅ๐ฅ๐ž๐ง
๐‚๐ก๐š๐ฉ๐ญ๐ž๐ซ 20 : ๐’๐œ๐ซ๐จ๐ฅ๐ฅ ๐ญ๐ข๐ฃ๐
๐‚๐ก๐š๐ฉ๐ญ๐ž๐ซ 21 : ๐ฏ๐ž๐ซ๐ฅ๐ข๐ž๐Ÿ๐

๐‚๐ก๐š๐ฉ๐ญ๐ž๐ซ 22 : ๐†๐ซ๐š๐ฉ๐ฉ๐ข๐ 

41 4 2
By PenFelline

(lucu)

Jika katanya yang terindah kadang hanya bisa dilihat tanpa dimiliki, maka izinkan akulah yang menjadi sebab ia tersenyum.

***

Setelah menjelaskan ini-itu kepada Sesa, Aydan, dan Ibnu. Kini entah syaraf otak sebelah mana yang putus hingga Raiden menuruti perkataan Aydan untuk mengajak Zenita makan berdua. Ya, sebenarnya Aydan bilang yang penting pergi berdua, tetapi karena tak mungkin Rai tiba-tiba mengajak jalan-jalan atau yang lainnya, jadi dia memilih makan saja. Toh, mereka berdua memang lapar.

Selesai memesan makan dan membicarakan sedikit rencana untuk pertemuan mereka ke anak-anak jalanan yang menjadi project mereka, makanan sudah datang, dan ternyata kwetiau yang mereka berdua pesan lumayan pedas walaupun rasanya dalam menu 'original'.

"Jangan dimakan kalau ga suka."

Zenita menggelengkan kepala lalu mengambil piring berisi kwetiau yang sudah Raiden tarik baru saja. "Nggak, ah. Sayang. Masa nggak dimakan baru aja jadi."

"Pedes. Lo bisa makan itu?" Meskipun Raiden mengenal Zenita baru sebentar, ya dia lumayan peka kalo gadis itu memang tidak begitu menyukai pedas.

"Ini lagi nyoba." Laki-laki itu melihat Zenita yang sudah mengunyah kwetiau yang baru saja datang. Baru beberapa kunyahan mata perempuan itu sudah sedikit berair. Kok Raiden jadi kasihan?

"Pedes itu, heh."

"Eh, nggak terlalu kok, Rai. Coba, deh punya kamu."

"Nggak gue males kepedesan."

Dengan mata berair dan gelak tawa tipis Zenita meledek laki-laki di depannya. "Kamu ga berani, ya?"

Lah, nantangin? Raiden mengangkat alis. "Ngapain ga berani?" jawab laki-laki itu tak terima.

"Karena ini pedes?" Zenita memasukkan kwetiau miliknya lagi. Sekarang wajahnya sudah merona merah jika dilihat dari dekat.

"Berani, cuma MALES."

Satu piring sudah hampir habis, Raiden yang sudah pesan nasi liwet beberapa kali melirik kondisi Zenita.

Ketika perempuan itu akan memakan kwetiaunya lagi, Raiden langsung merebutnya. "Tuh, kan! Meler ingus lo. Sini-sini gue tisuin. Udah lah makannya. Muka lo dah kek tomat."

Zenita menolak dengan menjelaskan sesuatu mengenai kemubaziran, tetapi jujur saat itu Raiden tak peduli. "Sini. Geser deketan ke gue elah."

Zenita menurut. Ia menggeser badannya ke Raiden seperti anak kecil yang mendekati orang tuanya. Selesai mengelap hidung meler Zenita, Raiden kembali bersuara. "Ck. Makanya nurut kalau dikasih tahu."

"Terakhir, deh. Ini sisa sedikit."

Mengembuskan napas malas, Raiden mengambil piring di depan Zenita. "Gue yang abisin."

"Hah? Jangan, Rai, ini bekas aku."

"Kenapa? Lo punya riwayat rabies? Enggak, kan? Ya udah gapapa."

"Kamu ga risih?"

"Bisa ga usah nanya, nggak, lo?" Selain kesal karena terpaksa harus makan pedas, ternyata Raiden juga sedikit terganggu akan jarak Zenita yang bisa dikatakan lumayan dekat. Alhasil laki-laki itu menggeser pantatnya menjauh.

Sebentar, kalau dipikir-pikir kenapa Raiden jadi melakukan hal-hal yang diluar logika begini, sih? Sejak kapan keputusannya melakukan sesuatu jadi mempertimbangkan kondisi orang lain begini?

"Eh, iya maaf."

Lima suap dan piring hanya tinggal beberapa suap saja, tetapi sungguh sialan memang. Kwetiau yang katanya original ini rasa-rasanya malah membakar tenggorokan Raiden.

Entah keringatan, entah hidung yang meler, atau pelipis yang tiba-tiba basah, Raiden rasanya ingin melepas baju lalu menceburkan dirinya ke bak air.

"Ze, ambilin minummm, pedes gini anjir yang buat ga ada otak." Dan begitulah perangai seorang Raiden ketika sesuatu hal terjadi diluar kendalinya.

"Ihhh. Jangan gitu. Dia kan cuma masak pesenan aja, kenapa disalahin."

Raiden membuka mulutnya dengan mata melihat Zenita teler. "Terus salahin siapa? Lo?"

"Nggak semua masalah harus ada yang disalahin." Zenita tersenyum kecil. Membuat Raiden yang ingin memaki jadi tidak jadi.

"Diem, deh, lo. Gue kepedesan, sana ambilin minum lagi."

"Susu aja mau, ya?"

"Ya, udah cepet."

***

Sampai di Simpang 7 tempat Zenita dan Raiden melaksanakan project mereka. Suara adzan zuhur sudah berkumandang. Solat pun juga sudah ditegakkan, tepat pukul 13.00 Zenita memulai pembelajaran.

"Adek-adek, abis ini kita coba main game, ya. Tapi kita hafalan berhitung dulu. Nanti kaya minggu kemarin, ya. Cuma sampai perkalian 5. Yuk, siapa yang mau maju?"

Raiden yang sudah di briefing dan kata Zenita harus lebih banyak berinteraksi dengan anak-anak jalanan Akhirnya jadi ikut bersuara. "Tuh, salah satu maju. Yang pinter aja, yang bego ga usah."

Zenita yang tadinya tersenyum kini melirik Raiden cengo.

"Rai ..."

Raiden menoleh ke lawan bicaranya. "Apa?"

"Masa kamu ngatain mereka bego?"

"Lah, siapa yang ngatain? Gue barusan ngasih motivasi. Kalau nggak mau jadi bego harus maju, gitu."

"Kamu lihat, dong. Nggak ada yang maju."

Cewek emang suka menyalahkan sesuatu yang nggak bisa dikontrol apa bagaimana, sih? Raiden mengerutkan alis bingung semi agak jengkel.

"Ya, terus? Salah gue gitu mereka ga maju?"

"Rai ... " Zenita menarik napas lalu mengembuskannya cepat. "Ok. Ya, udah, kamu nyiapin permainan aja."

Laki-laki yang barusan disuruh lalu melihat Zenita yang sudah mengumumkan hal lain ke anak-anak di depan mereka.

"Loh. Salah gue beneran ini?" Raiden bersuara tanpa dosa.

Selesai Zenita memberi pengarahan dan anak-anak sibuk menghafal dulu sebelum maju, dia berjalan ke belakang.

"Nggak. Salah aku. Puas?"

Raiden menarik baju Zenita. Tangan sang empu melepasnya pelan dan Raiden berkata 'maaf' lirih, tetapi masih bisa Zenita dengar. "Lo marah sama gue?"

"Ngapain aku marah sama kamu?"

"Lo sekarang tu lagi marah beg--"

"Omongan kamu!"

Lah, Zenita kenapa membentaknya? "Kok ngegas, sih, lo? Ketularan Sesa?"

Zenita memejamkan mata setengah frustrasi. "Ya, kamu liat, dong. Ini mau ngatain aku di depan anak-anak?"

Raiden melihat Zenita yang sudah hampir jengkel sepertinya, padahal aslinya sudah jengkel parah, tapi berusaha dikontrol.

"Ribet banget lo," jawab Raiden akhirnya lalu tanpa babibu lagi Zenita meninggalkannya ke arah parkiran motor.

"Kok malah pergi, sih? Heh! Ze! Woe!"

Lah, sejak kapan, ya, Zenita bisa membuat Raiden jadi sekesal ini? Wah, gejala penyakit hati macam apa ini? Jangan bilang rasa suka. Sebab demi Tuhan, Raiden malas harus merasakan sesuatu yang menguras semua tenaganya, seperti ini misalnya.

***

Zenita sudah sampai kosan. Saat pulang dari Simpang 7 ia memang naik Gojek sendiri, tanpa izin dari Raiden. Makanya sejak tadi terdengar bunyi dering panggilan dan juga pesan yang ketika perempuan itu buka pesan dari Raiden.

Raiden : heh

Raiden : maafin elah, oke gue salah

Raiden : udahlah ga usah pake acara ngambek, jangan bikin gue kepikiran dong pake acara gojek sendiri, nanti kalau lo diculik si bangke mantan lo gmn?

***

To be continued.

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 100K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
516K 25.5K 36
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...
251K 13.6K 73
"Jodoh santri ya santri lagi." Di dunia pesantren, adat perjodohan sudah menjadi hal biasa yang sering terjadi. Azka Azkiya merasakan hal itu di tahu...
2.3M 124K 53
[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan den...