HEART BEAT √

By JaisiQ

48.2K 9.6K 3K

[Sequel Wedding Dress] "Ibarat jantung manusia yang mati, entah kapan ia akan berdetak kembali." Alden dan Ar... More

1 : Senyuman
2 : Hari Pertama
3 : Kematian
4 : Aku Suka Kamu
5 : Arti Menghargai
6 : Ice Cream
7 : Kesepakatan
8 : Sebatas Teman
9 : Hak Asasi
10 : Accident
11 : Masa Lalu
12 : Pupus Atau Tumbuh?
13 : Menanti Detak Jantung
14 : Mencintai Kekuranganmu
15 : Terima Kasih
16 : Satu Fakta Tersingkap
17 : Belajar Mencintai
18 : Pelukan Ternyaman
19 : Berdarah
21 : Sepasang Luka
22 : Detak Jantung Yang Kembali
23 : Sisi Sebenarnya
24 : Sisi Sebenarnya (2)
25 : Menikmati Waktu
26 : Takut Kehilangan
27 : Pelabuhan Yang Benar
28 : Titik Terendah
29 : Sandiwara
30 : Terluka Lagi
31 : Dua Garis
32 : Salah Paham
33. Harus Diakhiri
34 : Jangan Terluka
35 : Aku di Sini
36 : Jangan Khawatir
37 : Rasa Takut
38 : Pertolongan Tuhan
39 : Pernikahan Impian
40 : Detak Jantung Yang Baru (END)

20 : Ayah Terbaik

906 261 107
By JaisiQ

Bismillahirrahmanirrahim
.
.
.

Terima kasih Ayah, untuk segalanya.

Alden meraih ponsel dan segera menghubungi nomor polisi.

Setelah berhasil menghubungi dan kini mungkin polisi sedang berada dalam perjalanan kemari, dia melihat ada panggilan lagi dari Aretha di layar ponsel.

Apa yang harus Alden lakukan? Hampir ponselnya jatuh lagi, tapi masih bisa ia tahan.

Tangan Alden yang gemetar belum bisa mengangkat telepon dari Aretha yang terus memanggilnya. Ia berjalan menjauhi TKP, diiringi dering ponsel dalam genggaman yang terus berbunyi, menuruni anak tangga, kaki dan tangannya tremor hebat.

Aretha tak berhenti menghubunginya.

Tiba di bawah, Alden mengembuskan napas setelah sejak tadi menahannya lantaran sesak.

Apa hubungan ayah Aretha dengan Aksel?

Bagaimana mungkin ini terjadi?

Alden juga melihat senjata tajam dekat tangan ayah mertuanya, bercampur dengan darah.

Alden ingat tembakan ancaman kemarin, apa ada kelidan dengan ini? Lalu bagaimana dengan Aksel?

Wajah Alden memerah, ia tidak bisa berpikir jernih. Bumi yang dipijakinya seperti berputar-putar.

Alden kehilangan arah saat polisi tiba setelah ia memberikan informasi bahwa ia menemukan mayat yang diperkirakan telah terjadinya pembunuhan.

Di luar orang-orang mulai berdatangan, berbondong-bondong menuju kediaman Pak Ridwan yang didatangi polisi.

Baru kemarin, Aretha melihat garis polisi yang melintang, sekarang ia melihat pemandangan yang persis, dan kini garis itu ada di depan rumahnya. Ia berdiri di tempat memandangi keadaan di depannya yang terlihat janggal.

"Nak Aretha, yang sabar, ya," ucap salah seorang tetangga, menepuk bahu Aretha pelan dengan iba dan wajah yang penuh penyesalan.

Belum sempat bertanya, ibu-ibu itu sudah pergi meninggalkan Aretha. Orang-orang di sekelilingnya juga menatap Aretha seakan dialah peran utama dalam adegan ini.

Aretha melewati garis polisi tersebut masih dengan ekspresi bingung. Apa yang terjadi dalam rumahnya? Mengapa banyak sekali orang yang berdiri di halaman? Kenapa orang-orang ini? Kenapa semua memusatkan pandangan ke arahnya?

Akhirnya Aretha menemukan seseorang yang sedang mengobrol dengan polisi. Alden. Ia merasa beruntung sekali melihat Alden ada di sini.

"Alden?!"

Merasa ada yang memanggil, Alden pun menoleh ke belakang.

"Ada apa di dalam, Al? Kok ada polisi masuk? Ada apa?" Aretha berusaha masuk ke dalam, tapi Alden menghalanginya.

"Jangan masuk."

"Ini ada apa, Al? Awas, aku mau ketemu Ayah. Kamu kenapa nggak angkat telepon? Kenapa nggak kabarin aku kalau kamu ke sini?"

"Soal itu aku minta maaf ...."

Aretha tidak peduli lagi, ia hanya ingin masuk ke rumahnya.

Tanpa menjelaskan apa pun Alden terus menghalangi Aretha untuk tidak masuk.

"Ini ada apa? Kamu bilang, dong. Jelasin semuanya. Ini kenapa banyak orang? Kenapa banyak polisi juga?"

Bibir Alden belum bisa menjelaskan apa pun.

Perhatian Aretha berpindah pada kerumunan orang yang berdiri di depan rumahnya. Beberapa reporter juga sudah berdatangan. Aretha semakin bingung dan kesal. Tidak ada satu pun orang yang mau memberi tahu. Ia pun menghampiri para tetangganya.

"Pergi semuanya, jangan berkerumun di rumah saya. Pergi!" Aretha mengusir semua tetangga.

"Pergi kalian! Nggak sopan gosip di sini. Pergi!" Belum pernah mereka melihat Aretha semarah ini. Beberapa orang memilih pergi, namun sebagian tetap ngeyel lantaran penasaran. Dimulai dari ibu-ibu dan bapak-bapak. Anak kecil pun turut menyaksikan.

"Pergi, pergi! Di sini nggak ada apa-apa! Pergi kalian!" Aretha tidak suka rumahnya menjadi pusat perhatian atau bahan perbincangan. "Pergi!"

Alden memegang tangan Aretha, Aretha berbalik, melepaskan tangannya kemudian melayangkan tamparan pipi Alden hingga pria itu membuang muka."Kamu juga! Jahat banget, sih! Masa aku nggak boleh masuk ke rumah aku sendiri? Aku mau ketemu Ayah. Nggak boleh, ya?" Aretha menyingkir dari hadapan Alden dan nekat masuk.

Tangan Aretha ditahan, ia berusaha menapisnya tapi setelah itu ia menghentikan diri begitu melihat sesuatu.

Aretha melihat jenazah yang sudah dibungkus dibawa keluar dari dalam rumahnya. Benaknya mulai bertanya-tanya. Ada dua kantung jenazah yang polisi keluarkan.

Siapa mereka?

"Itu siapa?"

Alden meneguk saliva.

"Maling, ya?" Melepas secara paksa pegangan tangan Alden, Aretha berlari ke teras rumah, hendak masuk tapi seorang polisi menghalanginya.

"Ayah mana? Mobilnya ada di sini. Berarti Ayah ada di dalam. Tapi kenapa Ayah nggak jagain rumah? Ada maling, kan? Ayah!! Kenapa Ayah biarin maling masuk ke rumah kita? Ayaaah!" panggil Aretha berteriak di lawang pintu, berharap ayahnya segera keluar dan menjelaskan apa yang terjadi. Sedangkan yang lain hanya diam melihat Aretha yang mulai frustrasi. "Ayah kalau ada maling nggak perlu panggil polisi segala! Ayah! Denger aku, nggak?! Ayah ...! Ayah!"

Tidak bisa lagi membiarkan, Alden segera menghampiri Aretha dan memintanya untuk berhenti. Tapi Aretha berontak, Alden memaksanya untuk melihat ke arahnya hingga akhirnya Aretha bersedia. Mata Aretha mulai memerah, sepertinya ia mulai mengerti apa yang sedang terjadi.

Aretha menatap Alden penuh pertanyaan, yang ditatap balas menatap sambil memegang dua bahu kencang-kencang, seakan memberi tahu bahwa ia harus sadar sesadar sadarnya tentang apa yang sedang terjadi.

Kamu harus kuat. Kamu pasti bisa.

Alden melirik polisi, memberi isyarat untuk membuka kantung jenazah sekarang.

Mau tidak mau, Aretha pun melihat kantung jenazah di hadapannya. Tangan polisi mulai menarik resletingnya, Aretha menahan napas seiring dibukanya resleting hingga sosok berwajah kaku terpampang di matanya. Alden yang berdiri di belakangnya memejamkan mata.

Belum ada reaksi apa pun dari Aretha selain matanya yang terus menatap wajah sang ayah yang sudah tidak ditemui tanda-tanda kehidupan atau sekadar adanya pernapasan di dada. Dua mata tertutup seperti sedang tidur.

"Apa yang kamu liat, Reth?"

"Dada Ayah." Aretha lebih mendekati ayahnya yang berbaring di atas kasur hingga lengan mereka menempel.

"Ada apa?"

"Katanya kalau orang meninggal itu detak jantungnya bakal nggak ada. Terus dadanya nggak bergerak lagi. Kan tandanya itu manusia bernapas. Kalau nggak bergerak, berarti udah nggak bernapas. Aku takut kalau liat ayah terus dadanya nggak bergerak. Makanya setiap tidur sama Ayah, aku selalu liatin dada Ayah. Takut tiba-tiba nggak bergerak lagi."

"Ayah jangan pernah ninggalin aku, ya? Nanti aku sendirian. Nggak ada yang masakin, antar ke sekolah, dan semuanya.

"Ngapain Ayah ninggalin putri kecil Ayah tercinta inii? Hmmm? Ayah bakal selalu ada di sisi kamu."

Kalau begitu, mayat siapa yang ada di depan Aretha? Katanya tidak akan meninggalkan?

Tidak ada air mata yang jatuh.

Tidak ada teriakan histeris.

Tidak ada yang dia tanyakan.

Aretha berubah menjadi gadis bisu dalam seperkian detik.

Alden maju selangkah lantaran khawatir, Aretha sudah seperti patung tak bernyawa. Benar saja, saat itu pula tubuh Aretha menggelosor, matanya terkatup, ia pingsan tak sadarkan diri, dengan sigap Alden menahannya dan langsung menggendong Aretha.

Salah seorang tetangga dengan berbaik hati menawarkan bantuan, menyuruh Alden untuk membawa Aretha ke rumahnya yang ada di sebelah.

Sepasang mata sejak tadi memerhatikan bagaimana interaksi Aretha dan Alden yang sangat dekat tanpa adanya jarak. Berada dalam kerumunan reporter yang sibuk mengambil gambar.

"Kasian Aretha. Padahal selama ini dia cuma tinggal sama ayahnya," ucap Viola yang berdiri tepat di sebelah Rendy yang sejak tadi hanya fokus memperhatikan Aretha dari jauh. "Kayaknya nggak etis kita dateng ke sini untuk cari informasi. Sebagai teman kerjanya, kita harus

"Kita ke sini cuma untuk nengok Aretha," lanjut Rendy. Matanya mengikuti ke mana Alden membawa Aretha. Perasaan tidak suka mulai merayapi hati dan jiwanya. Viola yang memergogi mimik Rendy langsung mengerti. Dugaannya tentang Rendy yang jatuh cinta kepada Aretha tidak salah tebak lagi.

Masuk ke salah satu rumah, Alden menidurkan Aretha di kursi panjang.

Bibir Aretha terus memanggil ayahnya. Alden meminta tolong diambilkan air putih dan minyak kayu putih.

Akhirnya Aretha sadar setelah beberapa menit pingsan. Dia melihat di sekeliling. Kenapa ramai sekali? Ingatannya masih remang-remang, hingga dia melihat Alden yang duduk di sebelahnya. Aretha berusaha untuk duduk, Alden membantu.

"Kamu ke mana aja? Tadi aku telponin tapi nggak diangkat. Kamu bikin aku cemas. Kamu tiba-tiba hilang setelah angkat telepon sampai aku berpikir macam-macam. Itu sebabnya aku pulang. Aku takut, aku mau minta bantuan sama Ayah. Sekarang aku di mana? Ayo kita pulang." Aretha memegang tangan Alden. "Kamu udah temuin Aksel, kan?"

"Oh, iya, tadi aku mimpi buruk." Aretha melanjutkan, ekspresinya seperti orang linglung.

"Aku mimpi liat jenazah Ayah. Aku mimpi buruk tadi. Tapi rasanya kayak nyata."

"Itu bukan mimpi," ucap Alden.

"Orang itu mimpi, kok. Aku baru bangun tidur, kan? Liat. Aku baru bangun tidur."

"Enggak, enggak, itu mimpi. Enggak, Al. Enggak."Aretha bersikeras bahwa yang tadi ia lihat hanya mimpi saja. "Enggak mungkin."

"Nggak mungkin Ayah meninggal. Tadi pagi dia masih ngobrol sama aku. Banyak hal yang belum Ayah lakuin. Dia belum bikin resepsi pernikahan kita.  Ayah nggak boleh pergi dulu. Dia nggak boleh pergi sebelum aku kasih izin. Tanggung jawabnya belum selesai, aku juga belum bisa jadi anak yang baik buat dia. Kita masih sama-sama punya utang janji!"

"Aretha, Sayang. Kamu harus kuat." Galiena memeluk Aretha, dia baru tiba tadi. Ekspresi shock masih tersisa di wajahnya.

"Kenapa semuanya terjadi secara tiba-tiba? Aku belum siap, aku nggak sanggup terima ini, Bu. Aku belum siap.  Kenapa mendadak? Kenapa? Kenapa dengan cara seperti ini?"

"Kamu harus kuat, Reth. Ada Ibu, ada Ayah, ada Alden, Aina .... Ibu yakin kamu bisa."

"Selama ini aku udah kuat, Bu. Harus jadi kuat kayak apa lagi? Apa harus jadi kuat itu adalah sebuah kewajiban manusia? Enggak, aku nggak kuat. Tuhan salah kasih aku beban ini, aku nggak sekuat itu. Enggak, enggak mau, nggak mau ...."

"Kenapa Ayah bisa meninggal? Apa yang terjadi? Apa penyebabnya? Apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba?"

Alden yang sempat berbicara dengan polisi, sudah mendapat jawaban meski belum pasti. Polisi mengatakan bahwa kemungkinan korban bunuh diri setelah dia membunuh anak kecil yang jasadnya ikut tergeletak di sana. Tidak ada jejak sidik jari orang lain dalam pisau selain sidik jari milik ayah mertuanya.

Tapi sekarang bukan waktunya memikirkan hal itu. Alden melirik Aretha yang kembali tidak sadarkan diri, ibunya berusaha membuat agar Arteha tetap sadar.

Ayah Aretha tidak mungkin membunuh orang yang tidak dikenal ataupun bunuh diri.

Di sinilah Aretha sekarang, berjongkok di depan makam ayahnya.

Ini masih terasa seperti mimpi.

Air mata seakan tidak mau berhenti untuk mengalir.

Aretha memegang batu nisan bertuliskan nama ayahnya. Semua terjadi seperti dalam satu kedipan mata. Sekelebat dan tidak terasa, namun sakitnya begitu menyiksa, hingga menimbulkan luka menganga untuk selama-lamanya.

Memori pagi tadi bahkan masih begitu hangat di ingatan.

Pelukan sang ayah, sentuhan tangan di pipi, serta kata-kata menenangkan, semuanya terekam jelas bak adegan kilas balik dalam sebuah film.

Di sore ini semua itu tinggalah sebuah kenangan.

Tidak bisa diulang apalagi meminta untuk dikembalikan.

"Terima kasih, Ayah."

"Makasih karena sebelum Ayah pergi Ayah udah menikahkan aku dulu. Ayah udah kasih aku kasih sayang dan cinta yang berlimpah. Kalau memang sekarang waktu untuk berpisah, aku akan berusaha untuk ikhlas.

"Sekarang aku paham, kenapa Ayah selalu pengin liat aku menikah daripada berkarir. Maaf, Ayah, mungkin aku terlalu egois, aku terlalu percaya diri kalau Ayah akan selalu ada untuk aku, Ayah nggak bakal pergi, ayah bakal temenin aku. Tapi ternyata ayah pergi secepat ini. Aku terlalu percaya diri kalau Ayah ... Ayah ... Enggak. Gimana caranya aku hidup tanpa ayah? Cukup Ibu yang ninggalin aku, kenapa ayah ikut-ikutan? Tapi aku harus rela dan ikhlas, kan?" Dada Aretha terasa sangat sesak karena menyadari bahwa ayahnya benar-benar sudah tidak ada.

Ketika Aretha menengok ke belakang, ia mendapati postur tubuh yang ia kenali. Ia langsung bangkit dan mengejar sosok itu. Seluruh pasang mata yang hadir di proses pemakaman ayah Aretha tertuju pada putri yang hari ini baru ditinggal pergi ayahnya.

Alden yang ikut melihat pun buru-buru mengikutinya.

"Ibu, tunggu!" teriak Aretha.

Wanita itu berhenti.

"Ibu datang ke sini?"

Perempuan yang Aretha panggil ibu membalikan badan. Ia melepas kacamata hitam yang bertengger di hidungnya.

Dugaan Aretha benar, dia adalah ibunya. Ada rasa bahagia yang menyusup. Aretha berjalan mendekati ibunya, tidak menyangka bahwa ibunya hadir di pemakaman mantan suaminya.

Tangis Aretha lepas lagi begitu mendekap sang ibu meski ia tidak mendapatkan balasan.

"Bu, Ayah, Bu. Ayah udah nggak ada."

Tidak ada jawaban dari Irena.

"Ayah meninggal secara nggak wajar. Aku harus gimana? Bantu aku cari siapa yang udah ...."

"Makanya, kamu jangan main-main sama saya. Jangan pernah mencoba untuk mengancam saya atau kamu akan mendapatkan balasan yang setimpal, bahkan lebih dari ini."

Mendengar ucapan sang ibu, isakan Aretha pelan-pelan melaun, pelukan mengendur. Sebilah pisau bak menusuk tepat ke jantungnya, merenggut daya untuk bergerak.

"Kamu tahu? Sebelum dia meninggal, dia sempat menemui saya. Kamu tahu apa yang dia bicarakan?"

Aretha masih terpegun, tapi ia berusaha untuk membuka mulut. "A .. apa yang Ayah bilang, Bu?"

"Rahasia."

"Apa yang ayah bilang, Bu?!" Aretha benar-benar melepas pelukannya, kemudian menatap wajah ibunya penuh penagihan. "Apa yang Ayah bilang? Jawab! Apa ini adalah perbuatan Ibu? Ibu yang udah bunuh Ayah, ya? Ibu marah sama aku terus Ibu lampiaskan ke Ayah? Gitu?"

"Ayah kamu sendiri yang meminta saya untuk merahasiakannya dari kamu. Jadi saya nggak punya hak untuk bilang sama kamu."

"Bu ...."

"Sepertinya kedatangan saya ke sini cuma untuk menyampaikan hal itu."

"Ibu. Aku mohon, Bu." Aretha akhirnya bertekuk lutut di depan kaki ibunya. Alden yang melihat itu membulatkan dua bola mata. Terlihat sang ibu hanya menarik napas dan membuangnya dengan mengepalkan dua tangan seperti tengah menahan emosi yang bergejolak tanpa ingin melihat putrinya yang kini bertekuk lutut meminta jawaban. Interaksi kaku yang sama sekali tidak terlihat seperti pasangan ibu dan anak seperti biasanya.

"Saking dia nggak mau kehilangan kamu sampai melakukan berbagai cara, ya?"Akhirnya hanya kalimat ambigu yang keluar dari mulut ibunya. "Dasar laki-laki bejat, brengsek!" Irena menggeleng-gelengkan kepala prihatin, menatap Aretha yang setia tertunduk beberapa detik, kemudian melenggang pergi.

Alden menghalangi kepergian Irena dengan tangan yang terulur. "Dia putri Anda, tolong kasih sedikit rasa empati."

"Untuk apa?" Irena melirik ke samping, menatap Alden sedingin es. "Harusnya dia berterima kasih karena saya sudah sudi datang kemari untuk berbela sungkawa. Harusnya dia bersyukur."

"Orang tua yang kejam, nggak punya hati."

Muncul kilatan tajam di mata Irena. "Ya, anggap saya seperti itu. Apa peduli saya tentang tanggapan kalian tentang saya?"

"Minggir." Wanita itu pergi, Alden mempersilahkan dengan memberikan dia jalan, tak menghalanginya lagi.

Alden pun memandangi Aretha yang terduduk di tanah. Air matanya masih bertetesan, kepalanya menunduk. Tapi tak lama kemudian, Aretha berdiri dan berlari mengejar ibunya.

Galiena, Abyan dan semua yang ada di sana menatap heran interaksi Aretha dengan ibunya. Sejauh itukah hubungan mereka? Sementara Alden ikut menyusul, berlari mengejar Aretha.

Keluar dari pemakaman Aretha melihat sang ibu baru menutup pintu mobil. Hingga detik berikutnya mobil melaju meninggalkan pijakan, Aretha langsung berusaha mengejar, sedang laju mobil semakin lama malah semakin kencang, semakin jauh untuk tergapai.

Aretha yang sudah tidak memiliki tenaga lagi akhirnya terjatuh, dua lututnya menghantam aspal lumayan keras. Ia butuh penjelasan ibunya. Apa yang sudah ia lakukan sebelum ayahnya ditemukan tewas?

Alden membantu Aretha berdiri.

"Untuk apa kamu kejar dia?" tanya Alden. "Nggak ada gunanya."

"Buat apa lagi kalau minta untuk kasih penjelasan? Kamu tau apa yang dia bilang tadi? Ucapannya seolah dia yang udah berbuat sesuatu sama Ayah. Sekarang aku paham kenapa Ayah selalu larang aku untuk ketemu Ibu. Dia jahat, dia wanita jahat. Aku nggak bakal ngemis kasih sayang lagi dari dia, aku nggak bakal panggil dia ibu lagi, dia jahat! Dia wanita jahat! Aku benci Ibu! Aku benci dia. Aku benci ... Kenapa ibu aku harus sejahat itu? Aku benci Ibu. Aku benci dia. Aku benci Ibu! Aku benci dia!"

Suara tembakan yang kemarin terdengar berdenging kembali di telinga Aretha. Ia terus menangis sambil meracau. Jika kemarin gagal, apakah dengan cara ini mereka menghancurkan dirinya?

"Aku benci perempuan itu .... Aku benci perempuan itu .... Kenapa aku harus lahir dari rahimnya? Aku benci dia ...."

"Ya, aku tahu. Kamu harus tenangkan diri kamu dulu." Alden membawa Aretha ke dalam pelukannya, tapi Aretha belum bisa menghentikan laju air mata, rasa sakit yang ia rasakan sudah tahap level terumit hingga ia kesulitan untuk bisa menerima. "Kamu boleh nangis sekarang. Setelah ini kita cari jalan keluar dan cari tahu dalang di balik semua ini." Tangan kanan Alden mengelus-elus kepala berbalut kerudung Aretha.

"Reth, denger aku, meski aku belum kenal kamu lama, tapi aku tahu kamu perempuan yang tangguh. Aku yakin kamu bisa melewati ini semua." Alden melepas dekapannya. "Aku akan selalu ada di pihak kamu. I'll always be there for you." Kemudian Alden mencium kening Aretha, cukup lama, yang menerima kecupan pelan-pelan mulai tenang seperti pasien yang tengah menerima suntikan obat penenang.

Setelah itu Alden berjongkok, menyentuh lutut Aretha. "Tadi aku liat kamu jatuh. Sekarang kita pulang. Aku obati."

Alhamdulillah udah sampai 20 bab. Fiuh, rasanya kayak ngos ngosan gitu.

Sudah siap dengan kejutan lainnya?
Jangan lupa vote + komen ya.

Klo bisa sih rekomen ke temen-temennya hihi..

#KawalHeartBeatSampaiTamat

Garut, 9 Maret 2021

Continue Reading

You'll Also Like

6.6M 340K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
20.9K 1.2K 13
Pada umumnya dua insan yang saling mencintai akan bahagia tatkala bersatu dalam ikatan halal. Namun, tidak dengan Mentari Rahayu Kusuma. Menikah deng...
20.3K 592 49
PERHATIAN!!! di book ini kebanyakan adegan 🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞 Ada seseorang yg bernama DOUMA Douma adalah salah satu orang kaya yg ada di...
1.9M 93.5K 56
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...