Hipokrit ✔️

By cutputrikh

361K 89.6K 61.5K

❝Dunia ini dikelilingi oleh orang-orang yang pandai berpura-pura.❞ [.] Baru 14 hari berstatus sebagai anak... More

|Prelude
1| Bingkisan
2| Jangka
3| Teror
4| Kecemburuan
5|Teror Lagi
6| Benci Sentuhan
7| Merasa Bersalah
8| Curiga
9| Kamera
10|Loker Radheya
11| Gelang
12|Banyak Tanda Tanya
13|Salah Sasaran
14| Minuman
15| Menuduh
16|Tabur Tuai
17| Penasaran
18|Investigasi
19| Hati-hati
20|Pusat Perhatian
21|Stereogram
22|Perihal Menfess
23| Kehilangan dan Party
24|Hampir, Jurnal, dan Rencana
25| Flashdisk
26|Mabuk
27|Perangkap
28|Sebentar Lagi
29|Masalah
30|Tidak Banyak Waktu
31|Ancam-Mengancam
32|Membungkam
33|Sebuah Janji
34| Siapa Penyebarnya?
35|Kebohongan
36|Sulit Percaya
37|Postingan Terakhir
38|Dicurigai Tersangka
39|Penyesalan
40|Peneror
41|Deja vu
42|Pengakuan
44|Mengetahui Semuanya
45|Akhir dari Semuanya
HIPOKRIT SEASON DUA

43| Akhirnya Berjumpa

3.5K 1.2K 827
By cutputrikh

Rayyan bunuh diri.

Dari berbagai macam serangan mengejutkan yang datang bertubi-tubi belakangan, yang terjadi pada Rayyan berhasil membuat Raline tak bisa lagi berkata apa-apa.

Bagaimana bisa, lelaki itu menghabisi nyawanya sendiri setelah memberi tahu Raline bahwa ialah dalang semuanya?

Raline duduk terdiam di bangkunya sendiri. Memikirkan kenyataan-kenyataan yang terjadi hingga kepalanya tak mampu menampung kemungkinan apa pun lagi.

Diabaikannya serunei berisik yang mengganggu, tidak ikut melihat bagaimana ambulan membawa jasad Rayyan pergi, atau para polisi yang lagi dan lagi menerima kasus kematian baru di sekolah mereka tanpa muak sama sekali.

Apakah ini adalah akhirnya?

Rayyan telah mengakui semuanya, bukankah teror akan dirinya sudah berakhir?

Raline akan baik-baik saja setelah ini 'kan?

Atau justru... kematian Rayyan malah menambah masalah baru lagi untuknya?

"Raline!"

Semua pasang mata menoleh tatkala salah seorang teman sekelasnya menghampiri meja Raline. Menatap sinis. Seolah menebarkan beribu tuduhan yang terpancar dari matanya. Raline menoleh bingung.

"Lo ngomong apa ke Rayyan? Lo orang terakhir yang ngomong sama Rayyan, apa yang lo bilang ke dia sampai Rayyan bunuh diri?"

Kening Raline mengerut, bibirnya seketika terbuka tidak percaya. "Maksud lo, Rayyan mati karena gue, gitu?"

"Iya bisa aja kan? Kata-kata lo mungkin aja nyakitin Rayyan sampai dia nekat bunuh diri!"

Raline sontak berdiri sembari memukul meja tidak terima. "Jangan nuduh gue sembarangan!"

Teman kelasnya yang lain turut berdiri dan bersuara. "Tapi kita semua juga pada nyadar kok! Kalau lo itu yang mungkin bawa sial buat sekolah ini!"

"Betul!" Yang lain menyahut. "Semenjak kehadiran lo, banyak banget anak murid sekolah kita yang mati!"

Raline mengepalkan tangannya emosi. Dilihatnya Radian yang menatap perselisihan itu sekilas, lalu mengedarkan kembali pandangannya pada seisi kelas itu. Seolah membela diri bahwa bukan Raline-lah penyebab mereka semua mati.

"Kematian mereka nggak ada hubungannya sama gue!"

"Tapi mereka semua mati setelah deket sama lo! Kayak Rafathan, dia mati gara-gara nebengin lo, kan? Jangan pura-pura lupa deh!"

Semua orang terus menyahut dan saling berdiri satu persatu. Melempar tatapan yang sama kepada Raline. Seolah mereke mulai percaya bahwa semua yang telah terjadi adalah penyebab dari eksistensi Raline di Satya Bangsa.

"Ethan juga mati setelah dia hampir ngelecehin lo!"

"Geng kaya lo itu juga! Dea mati gara-gara minuman lo, Sheryl mati setelah dia marah-marah sama lo, Geyzia mati pas lo mau deketin dia. Lo selalu ada hubungannya sama kematian mereka!"

"Sena juga! Sena sempet marah sama lo karena ngira lo yang udah nyebarin aib mereka semua sebelum akhirnya bunuh diri!"

"Yovan juga setelah kecelakaan lo sama Rafathan ngilang, jangan-jangan lo lagi dalang dibalik hilangnya dia!"

Raline menggeleng-gelengkan kepalanya, menyanggah tuduhan demi tuduhan yang diberikan kepadanya. "Itu semua nggak bener! Kalian semua nggak make sense!"

"Lo sadar diri nggak, sih, Line? Lo itu bawa pengaruh buruk ke sekolah kita!Sekolah kita jadi nggak seanteng dulu semenjak ada lo."

Raline terkekeh sinis begitu mendengar penuturan itu. "Jadi menurut lo semua, gue bawa sial gitu? Gue yang bikin mereka mati? Kalian semua lupa? Sekolah ini juga pernah ada yang bunuh diri sebelum gue pindah! Dan kalian semua juga turut andil sama kematiannya Radheya! Mereka semua yang mati juga karena mereka bersalah sama Radheya! Mereka menuai apa yang mereka tabur sendiri!"

"Jangan bawa-bawa orang yang udah mati! Lo yang masih hidup di sini, bisa aja kehadiran lo yang sebenarnya bikin Satya Bangsa apes melulu! Kita nggak mau satu sekolahan sama orang kayak lo! Kita nggak mau mati kayak yang lain!"

Raline menggelengkan kepala tidak menyangka. Teman-teman sekelasnya mulai berpikiran sangat kolot. "Kalian semua udah nggak waras!"

"Lo yang nggak waras! Lo penipu! Lo udah bohongin kita! Lo juga udah bohongin temen-temen lo!"

Raline menoleh, bertanya-tanya apa maksudnya.

"Lo pindah ke sini karena semua orang di sekolah lama lo udah tau semua tentang lo kan?"

Mata Raline seketika membelalak. Jantungnya seakan semakin berdegup.

"Temen gue yang satu sekolah sama lo dulu udah cerita! Kalo lo itu sebenarnya bukan orang kaya! Lo anak pembunuh! Nyokap lo simpanan! Nyokap lo masuk penjara dan bunuh diri di dalam sel! Satu sekolahan udah tau busuknya lo makanya lo pindah ke sini kan?"

"Lo itu cuma anak simpanan yang bawa sial! Iya kan?"

Plak!

Raline menampar penuh tenaga manusia dengan mulut kejam barusan. Ia mungkin sudah akan menghabisi manusia-manusia si sekelilingnya itu kalau saja Radian tidak membawanya pergi menjauh dari ruangan kelas.

Entah apa tujuannya. Raline bahkan tidak tau lagi bagaimana caranya menenangkan dirinya sendiri. Karena mau sejauh apa pun ia lari, fakta itu tidak akan pernah pergi, fakta itu selalu mengikutinya ke mana-mana.

Kehancuran seakan selalu berjalan bersamanya.

"Stop. Stop! STOP KATA GUE!"

Radian melepaskan cekalannya dari pergelangan tangan Raline. Berdiri di depan gadis itu tanpa membalikkan badan. Raline menjongkokkan diri, berteriak frustrasi, lalu meringkuk sembari menangis tersedu-sedu.

"Udah hancur. Semuanya udah hancur." Raline terisak sendiri.

"Gue tau gue nggak bakalan bisa terus-terusan bohong. Mereka pasti bakalan tau faktanya cepat atau lambat. Gue cuma mau hidup normal Radian! Gue mau kayak yang lain, sesalah itu kah?" Raline menutup wajahnya sendiri dengan tangan. Ia seakan tidak punya harga diri lagi. Semua karena ibunya. Ibunya lah yang membuat Raline harus berakhir seperti ini.

"Sekarang semua orang ninggalin gue. Gue harus ke siapa lagi? Gue nggak punya siapa-siapa."

Radian membalikkan badannya, menunduk memperhatikan gadis yang tengah menangis sembari memeluk lutut itu-tangannya menutupi wajah. Dengan perlahan, Radian lantas menjulurkan tangannya.

"If you wanna go home, lemme take you."

Raline mendongakkan kepala, memandangi Radian yang juga tengah menatapnya. Waktu seakan membiarkan mereka bertatapan dalam beberapa saat saja. Sebelum kemudian dengan ragu, Raline menyambut uluran tangannya. Memegang tangan yang dulunya benci disentuh itu.

Lalu kemudian, Radian menyunggingkan senyumannya.

[.]

Raline baru saja selesai mandi tatkala ia mendapatkan sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenal. Mengerutkan kening, Raline sontak membacanya.

+62852********
Ada yang mau aku sampaikan
-affan

Raline membelalak. Dari mana Affan mendapatkan nomornya? Baru saja ingin membalas, nomor itu mengiriminya pesan lagi.

+62852********
Ini soal pertanyaan kamu kemarin. Siapa yang menyuruh aku. Kamu masih penasaran?
Kalau masih, di hari pertama ujian setelah pulang besok, temui aku di kanting belakang sekolah
Aku tunggu kamu di sana, baby bitch

Maka, di sinilah Raline berada di hari yang dimaksud- berjalan seorang diri menyusuri kantin belakang sekolah, menghampiri lelaki yang sedang duduk di meja paling pojok.

Raline agak takut-takut ketika hendak duduk di hadapan lelaki berkacamata itu. Tidak melupakan apa yang ia perbuat pada lelaki itu sampai melukai bagian sensitifnya. Bisa saja Affan ingin balas dendam dengannya kan?

"Terima kasih udah mau datang, Raline." Affan menarik sudut bibirnya perlahan, tersenyum. "Duduk."

Dengan ragu, Raline mendudukkan dirinya di hadapan Affan. Menunggu lelaki itu berbicara lebih dulu.

"Mau minum apa?"

Raline menggeleng. "Nggak usah. Gue mau langsung aja."

"Mau minum apa?"

"Gue nggak mau minum apa-apa."

"Mau minum apa, Raline?"

Raline agak sedikit merinding. Lelaki di hadapannya ini membuatnya tidak nyaman hingga bulu lengannya terasa meremang. Meneguk saliva, Raline kembali mendongakkan kepala pongah.

"Matcha late aja."

"Aku belikan dulu, ya." Affan tersenyum lagi, lalu berdiri dari bangkunya.

"Affan, gue nggak ada waktu buat-" Raline mendengkus. Lelaki itu mengabaikan dan tetap saja membelikan minum untuknya. Lalu kembali lagi dengan segelas matcha dan secangkir kopi di tangannya.

Raline tersenyum malas. "Oke, thanks. Sekarang, langsung to the point aja. Siapa yang nyuruh lo?"

"Minum dulu, Raline."

Raline menaikkan alisnya melihat Affan yang terus tersenyum. Tidak mau membuka suara sebelum Raline meminum minumannya. Memutar bola mata, Raline menurut saja.

"Jadi, siapa yang nyuruh lo?"

"Kamu mau dengar yang mana dulu?" Affan malah balik bertanya.

"Terserah. Yang mana aja. Gue perlu jawabannya. Gue nggak mau terus-terusan penasaran kayak gini. Jadi, siapa yang sebenarnya nyuruh lo?"

"Nggak ada yang nyuruh."

Raline menganga. "Hah?"

"Nggak ada yang nyuruh aku Raline. Aku inisiatif melakukannya sendiri."

"What?" Raline menggelengkan kepalanya. "Lo nggak bilang gini dulu! Lo bilang-"

"Ethan minta aku untuk melecehkan Radheya." Affan menganggukkan kepalanya. "Tapi aku memang mau melakukannya tanpa perlu ia suruh."

Raline membulatkan bola matanya, memandang Affan tidak percaya.

"Memang aku yang letakkin sesuatu di makanan dan minumannya. Untuk kamu. Untuk Radheya. Aku melakukannya sendiri." Affan menyunggingkan senyumannya lebar, seolah bangga telah mengakui hal tercela itu.

"Lo!" Raline sontak berdiri, menuding Affan sembari menatapnya tajam. Namun ucapannya terhenti begitu saja tatkala pusing tiba-tiba menderanya, membuat semua hal jadi terasa berputar-putar, mengaburkan juga pandangannya.

Raline tidak tau lagi apa yang terjadi, karena setelahnya, semua penglihatannya menjadi gelap gulita.

[.]

Raline membuka matanya begitu menyadari adanya sekantong plastik yang menutupi seluruh kepalanya.

Sial, tangan dan kakinya juga turut diikat rupanya.

"Anjing! Affan! Gue tau ini ulah lo! Sialan! Lepasin gue!"

Kantong plastik itu ditarik menjauh dari kepalanya. Membuat Raline pada akhirnya bisa melihat lelaki berkacamata di depannya ini serta keadaan sekitarnya. Raline baru menyadari, mereka sedang ada di atas atap sekolah mereka saat ini.

"Sialan! Lo mau apain gue? Jadi selama ini lo pelakunya? Lo yang neror gue! Lo juga yang neror Radheya! Bajingan lepasin gue!"

Affan menggelengkan kepalanya. Kemudian tersenyum pada Raline yang meronta-ronta. Mengusap rambut gadis itu tanpa dosa.

"Apa yang mau lo lakuin ke gue?" Raline terisak.

Keluh Raline membasahi keningnya, Affan dengan segera menghapusnya. "Eat you?"

Raline bergidik merinding, Affan malah tertawa di depan mukanya. Membuat Raline terus meneriakkan beribu makian untuk lelaki itu.

Affan menggelengkan kepala. "Bukan aku."

Raline mengerutkan keningnya.

"Ada seseorang yang paling mau bertemu kamu."

Affan berdiri tiba-tiba. Menatap Raline di bawahnya beberapa saat. Raline dapat mendengar ada langkah kaki lain yang berjalan di belakangnya. Jantung Raline semakin berdebar tidak karuan rasanya. Terlebih ketika Affan pelan-pelan bergeser untuk tidak menutupi pandangannya. Membiarkan Raline melihat seseorang dengan bekas luka di telinga yang sangat ia kenali berjalan mendekatinya. Berhenti tepat di samping tubuhnya yang terikat, lalu berjongkok di sana. Membiarkan Raline terdiam tidak menyangka dengan matanya yang membelalak sempurna.

"Akhirnya kita berjumpa, babytch."

Tepat setelah menggumamkan kata sapaan itu, Rafathan lantas menyeringaikan sebelah sudut bibirnya.

[]

YOAAA, BAGAIMANA DENGAN PART INI BESTIE?

SATU KATA BUAT PART INI?

LONG TIME NO SEE, HOPE U STILL LIKE THIS STORY WOHOO

DROP EMOJI SESUAI EKSPRESI KALIAN SELAMA BACA HIPOKRIT DONG!

NEXT LAGI NGGAK?

NEXT DI SINI YAAA

Continue Reading

You'll Also Like

Fangirl Tale By Dian Mu

General Fiction

3M 347K 39
Aurora dengan segala kepolosan dan ketulusannya membuat dunia seorang Bryan Byun menjadi pelangi. Kehadiran gadis itu ibarat kehangatan sunrise dalam...
1.9K 383 13
jutaan universe tentang eunbi dan jungkook semua akan kembali dan berakhir padamu
521K 20.3K 20
Hidup Dimas penuh cacat logika setelah mengikuti wasiat sang adik. Jalani peran playboy kelas atas ia harus temukan gadis bernama Reya, gadis berambu...
Sangga By Ririn

Teen Fiction

791K 108K 30
Semenjak kepergian Rigel, Sangga lah yang menggantikan peran Rigel sebagai ketua geng Toxic. Permasalahan demi permasalahan terus datang silih bergan...