MOONSTONE [ Draco X OC ] (do...

נכתב על ידי xxgumusservi

16.6K 1.6K 103

・‥...━━━━━━━☆°•..•°☆━━━━━━━...‥・ Love is for everyone but us. [ 13+ ] All characters and places belong to J... עוד

Brunette Weasley
Mr. Malfoy
Boggart
Werewolf
Lavenders, Butterflies, and Ced
Animagus
Enmity Dance
Moonstone
Are we dating?
Dumbledore's Army
Draco's ring
He's Back
He deserved it
Apologize
Suspected
Tears
The Potter(s)
The Locket
Inside the Tent
Peverells
Malfoy manor
The Castle
Battle
Cigarette
NEWT
France
Florist
Finally, France!
And The Piano
Rory's Letters
Epilog
Bonus part-Rory's galery

The Art Museum

347 34 5
נכתב על ידי xxgumusservi

Hari ini rabu, pertengahan bulan Juni tahun dua ribu. Hari ini hampir satu tahun setelah Rory bertemu dengan Draco. Mereka berdua sepertinya membutuhkan waktu untuk bertemu. Rory beberapa kali pergi ke Prancis. Tentunya karena  ada beberapa urusan auror yang harus ia urus. Terlebih jabatan sebagai auror nya sekarang sudah sempurna,  ia sudah tidak lagi ikut pelatihan auror. Rory juga sekarang sudah tidak bekerja paruh waktu lagi di toko bunga. Di waktu senggangnya yang ia lakukan adalah melukis. Rory pernah membuat pameran kecil kecilan di Hogsmeade. Ia memilih tempat itu karena ia membayangkan betapa senang dirinya jika ada yang membuat pameran lukisan di sana.

Sama dengan bayangannya. Mayoritas murid murid Hogswart sangat antusias melihat beberapa lukisan yang Rory pamerankan. Bahkan ada beberapa murid yang ingin membelinya. Namun Rory tidak menjualnya. Ia menjual postcard yang ia buat sendiri juga.

Jika boleh jujur, Rory sangat menikmati pekerjaan dan hobi nya saat ini. Hampir semuanya sesuai dengan apa yang ia harapkan. Seringkali ia membayangkan bagaimana reaksi ayahnya jika beliau tahu kalau Rory mencapai cita citanya.

Hari ini Rory mengurus berkas-berkas kasus yang telah ia dapatkan setelah melakukan penelitian. Ia mengurus berkas berkas hingga malam hari. Sampai hanya tinggal beberapa orang yang ada di Kementrian. Karena kebetulan ia juga berkerja sama dengan Ron, jadi hanya tinggal beberapa auror detektif yang tersisa dan Ron.

"Rory, mau tidak?" tanya Ron sambil menyodorkan sebungkus permen cacing.

Rory merogoh bungkusan itu kemudian memasukan dua buah permen cacing ke dalam mulutnya. Kemudian ia mengernyit karena rasanya yang asam. Ron kemudian tertawa menatap ekspresi Rory.

"Kenapa kau tidak bilang!" hidung Rory berkerut.

"Kau mengambil yang warna kuning tadi. Yang rasanya enak hanya yang warna merah" kata Ron sambil mencari cari permen cacing berwarna merah. Lalu memberinya pada Rory. Kemudian Rory mengambilnya lalu melahapnya. Kemudian ia manggut manggut karena rasa permennya yang enak.

"Kau tidak pulang?" tanya Rory pada Ron.

"Ini sebenarnya aku hendak pulang" kata Ron sambil berjalan menuju tempat sampah dan melemparkan bungkus permen cacing yang sudah habis.

Rory melihat Ron melemparkan bungkusan permen itu. "Sudah habis?" tanya Rory, terkejut.

"Yaa, aku akan pulang setelah menghabiskan itu. Kalau begitu aku pulang duluan ya" kata Ron seraya pergi.

"Yaa, hati hati" kata Rory sambil menepuk lengan Ron pelan.

Kemudian Rory kembali berkutat dengan berkas berkasnya. Sebenarnya hanya tinggal beberapa hal yang harus ia urus. Jadi mungkin ia akan pulang sebentar lagi. Seseorang membuka pintu kemudian memunculkan kepalanya. "Ada Rory tidak?" tanya Tony.

Rory menoleh, kemudian mengangkat kedua alisnya. Lalu Tony berjalan menuju meja Rory dan duduk di atas meja nya. "Kau belum pulang?" tanya Rory sambil merapikan barang barangnya, dan memasukannya ke dalam tas.

"Belum. Aku mau mengantarkan ini" kata Tony sambil menyodorkan sepucuk surat.

"Dari siapa?" tanya Rory seraya menarik surat itu, kemudian melihat kedua sisinya.

"Surat ini terselip di antara surat surat dari kementrian Prancis. Sepertinya ia menggunakan alamat kementrian" kata Tony berpendapat.

Rory membaca surat itu. Ternyata surat itu dari Edith. Ia memberi kabar tentang pameran seni nya pada Rory. Juga beberapa lukisannya akan ditetapkan untuk museum. Jadi mungkin pameran ini adalah pameran terbesarnya, oleh karena itu ia mengundang Rory untuk datang.

"Kau mau ikut tidak?" tanya Rory sambil melipat lagi surat dari Edith.

"Ikut ke mana?" Tony bertanya balik.

"Temanku, Edith membuat pameran lukisannya di Prancis" Rory menjelaskan.

"Kapan acaranya?" tanya Tony.

"Jumat ini. Dari siang sampai sore" kata Rory menjawab.

"Yaa, mungkin aku akan menyusul" kata Tony seraya turun dari meja Rory.

"Kau mau pulang?" tanya Tony, saat melihat Rory mengangkat tas nya.

"Yaa" kata Rory menjawab dengan santai.

"Yasudah, ayo! Aku juga akan pulang, sekalian saja" kata Tony berjalan lebih dulu.

Rory mengekor Tony menuju perapian hijau. Lalu setelah sampai di luar, mereka berjalan menuju tempat di mana Tony memarkirkan mobilnya. Mereka berdua masuk ke dalam. Rory langsung menyalakan pemutar musik di mobil Tony, karena ia memang sudah biasa melaukan itu.

"Bagaimana kabar Jane?" tanya Rory pada Tony.

"Kau meledek?" Tony berkata dengan ekspresi khas nya.

Rory tertawa tawa, ia tahu hubungannya dengan Jane tidak berakhir baik. "Kau mau soda tidak?" tanya Tony sambil merogoh penyimpanan mobilnya.

"Tidak" kata Rory menjawab.

Lalu karenanya, Tony hanya mengambil satu kaleng soda. Kemudian menyerahkannya pada Rory. "Tolong" kata Tony. Kemudian Rory meraihnya dan membuka kaleng soda itu, lalu menyerahkannya lagi pada Tony.

Selama di perjalanan Rory hanya diam saja. Sesekali ia bernyanyi jika pemutar musik memutarkan lagu yang ia sukai. Kemudian ia membiarkan dirinya tertidur. Tony membiarkannya tertidur, agaknya Rory lelah karena berkutat dengan pekerjaannya yang terkadang menghabiskan banyak energi dan waktu.

"Rory, bangun" Tony menepuk nepuk lengan Rory dengan pelan.

"Rory" ia memanggil nama Rory lagi, kali ini ia mematikan pendingin mobilnya.

Seketika Rory terbangun karena suhu di dalam mobil mulai naik. Tony terkikih kemudian ia menyalakan kembali pendinginnya. "Sudah sampai ya?" tanya Rory celingak celinguk.

"Yeaa" kata Tony melirik rumah Rory.

"Kalau begitu aku turun, terima kasih!" Rory keluar dari mobil kemudian ia melambaikan tangannya pada Tony.

Rory masuk ke rumahnya. Pintu rumahnya sudah dikunci oleh ibu. Karena saat itu memang sudah malam dan ibu pasti malas sekali menunggu Rory pulang. Rory mengeluarkan tongkatnya dan mengacungkannya pada lubang kunci.

"Alohomora!" ia berseru. Seketika kunci pintu terbuka, kemudian Rory membuka pintu rumahnya dan masuk ke dalam.

Ia berjalan ke dapur lalu menyimpan tasnya di atas counter dapur. Lalu membuka kulkas dan meraih air dingin lalu meneguknya. Kemudian Rory membuka  buka wadah wadah yang ada di dalam kulkas. Ia menemukan blueberry lalu beranjak ke kursi meja makan lalu memakannya satu persatu.

Sampai kemudian ibu membuka pintu kamarnya dan berjalan menuju dapur, mendekati Rory. "Ku pikir ada rakun" kata ibu sambil mengambil gelas dan mengisinya dengan air.

Rory diam saja, ia tidak bicara apa apa karena sedang mengunyah blueberrynya. Meskipun matanya sudah sayu dan mengantuk ia tetap makan karena perutnya lapar. Tapi ia malas untuk makan makanan yang berat, Rory hanya ingin camilan. Jadi sepertinya blueberry sangat cocok untuk malam ini.

****

Rory's POV

Akhirnya, kalian bisa melihat dari sudut pandangku. Akhirnya penulis ini memilih untuk menulis semuanya dari sudut pandangku. Setelah sekian lama tidak pernah jadi giliranku.

Hari jumat ini aku tidak pergi ke kementrian. Setelah semua pekerjaan yang sudah sangat melelahkan rabu kemarin. Akhirnya hari ini aku bisa seharian di rumah. Walaupun siang nanti aku akan pergi ke acara pameran Edith di museun seni.

"Kau tidak ada kegiatan hari ini?" ibu bertanya sambil memasukkan adonan kuenya ke dalam oven

Aku menggeleng. "Tapi nanti siang aku akan pergi ke pameran Edith" kataku sambil berpangku tangan di atas counter dapur.

"Edith? di Prancis?" ibu memastikan, namun pandangannya tetap pada oven.

"Yaa. Kali ini beberapa lukisannya akan ditetapkan di museum" aku menambahkan, mataku mungkin terbuka sangat lebar karena bersemangat. Edith memang sangat keren, di umur yang masih muda ia sudah bisa memamerkan karyanya ke banyak orang.

"Kau tidak ada niatan untuk buat pameran lagi?" ibu bertanya lagi, kini ia duduk di hadapanku.

"Entahlah, mungkin nanti. Aku belum melukis apa apa lagi" jawabku, mengingat pekerjaan yang terkadang menyita waktu seperti dengan sengaja tidak memberiku kesempatan untuk melukis.

Kemudian setelah sarapan, aku menghabiskan waktu di depan televisi. Menemani ibu yang menonton talkshow kesukaannya. Sebenarnya talkshow seperti itu kurang menarik perhatianku karena aku tahu betul selebriti yang mereka undang sudah berulang kali datang. Ibu tahu itu juga, tapi ia tetap saja menikmatinya. Namun kali ini, bintang tamunya adalah Leonardo DiCaprio. Mereka membahas film 'The Beach' yang belum lama di rilis. Itulah yang menjadi satu satu alasanku.

Waktu terus berjalan, siang hari akhirnya datang. Aku sudah siap dengan pakaianku untuk mendatangi acara pameran Edith. Aku berapparatte beberapa kali untuk sampai di sana. Kemudian setelah sampai di depan museum seni. Tanpa ragu aku memasukinya. Museum seni cenderung lebih penuh dari pada terakhir kali aku ke sini. Mungkin karena yang menggelar pameran bukan hanya Edith, melainkan banyak pelukis asal Prancis yang menggelar pameran di sana.

Aku melihat Edith sedang berdiri salah satu lukisannya yang akan ditetapkan menjadi lukisan museum ini. Ia sedang menjelaskan makna dan segala sesuatu tentang lukisan itu kepada pengunjung. Aku berjalan mendekatinya, kemudian segera setelah para pengunjung berpindah aku langsung menyapanya.

"Edith! Selamat ya!" kataku sambil memeluknya.

Edith membalas pelukanku, ia tersenyum senang. "Terima kasih sudah datang ya" katanya dengan kepala sedikit miring saat mengatakannya.

"Aku pasti datang" kataku sambil menepuk nepuk punggung tangan Edith.

"Kau keren sekali, Edith" mataku menelanjangi seluruh rusuk lukisan lukisan Edith.

"Kau selalu berkata seperti itu. Terima kasih!" kata Edith tersipu.

"Kalau begitu, aku mau berkeliling ya" aku melambaikan tangan pada Edith. Kemudian berjalan dengan perlahan sambil memperhatikan lukisan lukisan.

Sesekali aku berdiam di depan beberapa lukisan untuk memperhatikannya, atau untuk mencoba mengerti makna lukisannya. Kemudian seseorang datang dan memanggilku, aku menoleh.

"Rory?" katanya.

"Hey, Nick!" ternyata itu Nick. Parasnya tidak berubah sama sekali, bahkan potongan rambutnya tidak berubah satu inci pun.

"Sudah lama ya tidak bertemu" kataku pada Nick.

"Yaa, bagaimana kabarmu?" Nick bertanya padaku.

"Yaa, baik baik saja. Kau sendiri?" aku bertanya balik.

"Yaa, sejauh ini baik baik saja" Nick manggut manggut.

Kemudian sunyi berseliweran di antara kami. "Bagaimana kabarnya?" Nick bertanya.

"Bukannya kau temannya ya?" aku mengangkat sebelah alisku sambil menatapnya.

Nick tertawa pelan. Kemudian ia lanjut berbicara. "Sudah beberapa bulan dia tidak ke sini. Entahlah mungkin dia sibuk di Inggris. Tapi beberapa kali aku menyuratinya, ia membalasnya" Nick menuturkan.

"Kau ingin mengatakan kalau dia masih hidup?" aku terkikih kikih.

"Kurang lebih begitu" Nick juga tertawa tawa.

"Bagaimana kabar Adrien?" aku bertanya lagi pada Nick.

Nick tertawa lagi, mungkin ia teringat saat Adrien melamarku. "Yaa, dia masih di Amerika. Sepertinya dia sudah bertunangan dengan seseorang, salah satu teman kerjanya" Nick menjelaskan lagi.

Aku manggut manggut sambil tertawa. "Aku duluan ya" kata Nick sambil mengangkat kedua alisnya.

Aku mengangguk. Kemudian lanjut mengamati lukisan sambil berjalan. Hampir sepuluh menit berkeliling. Aku bertemu seseorang lagi. Sebenarnya kami hanya pernah berinterkasi satu kali, itupun sangat canggung. Tapi syukurnya dia tidak seperti kakaknya yang bibirnya sedatar penggaris. Ia tersenyum dan menyapaku.

"Aku belum berterima kasih karena bunga yang kau buat" katanya, ia tersenyum padaku.

"Tidak apa apa, itu sudah lama sekali" aku meresponnya.

"Kau sendirian?" tanya Astoria.

"Temanku bilang dia akan menyusul, tapi entahlah" aku menjawab.

"Kau sendiri?" aku balas bertanya padanya.

"Ohh, aku dengan tunanganku" katanya, pipinya merona ketika mengatakannya.

"Wah, selamat ya" aku ikut senang mendengarnya.

"Dia sedang melihat lihat?" aku bertanya lagi.

"Yaa, tadi dia sedang—" ucapannya terhenti ketika seseorang memanggilnya.

Tentunya bukan Astoria saja yang menoleh, aku juga menoleh. Namun sepertinya, aku mengenal orang itu. Aku mengenal siapa yang memanggil Astoria. Aku berusaha menghentikan pikiranku sendiri yang terus berjalan memberikan ribuan pertanyaan. Aku berusaha menahan pikiranku untuk tidak berpikir ke mana mana, untuk tidak berpikir macam macam. Untuk hanya berpikir bahwa itu hanya Draco, hanya Draco.

"Oh, itu dia memanggilku" Astoria kemudian berkata, ia berjalan ke arahnya.

Seketika, seluruh usaha yang kulakukan untuk menghentikan jalan pikiran ku berakhir. Aku tidak berusaha lagi. Melainkan membiarkannya mengalir masuk ke pikiranku. Dia melihatku, dia melihat mataku. Ia juga diam saja. Badannya seperti kaku ketika mengetahui siapa yang sedang bicara dengan tunangannya.

Aku masih diam, membiarkan mereka berdua berbicara. Meskipun aku tahu ia beberapa kali menatapku. Kemudian, Astoria kembali lagi, ia berjalan mendekat.

"Seseorang memanggilku, jadi aku harus pergi. Sampai jumpa nanti!" katanya sambil melambaikan tangannya.

Aku mengangguk. Kemudian tersenyum, "Sampai jumpa" aku membalas lambaian tangannya dengan lambaian tangan juga.

Kemudian Astoria pergi. Ku pikir Draco pun akan pergi juga. Namun ia berjalan mendekat. Aku tersenyum kepadanya. Ia membalasnya dengan senyuman juga. Senyumannya tidak kaku, senyumannya tulus.

Ia berdiri di sebelahku. Melipat tangannya, meniru gayaku. "Selamat ya" aku memulai pembicaraan.

"Yaa, terima kasih" katanya, ia mengangguk.

"Ku pikir Edith tidak mengundangmu" katanya, ia meledekku.

"Enak saja!" aku menoleh, menyipitkan mataku. Berpura pura marah.

Ia tertawa sekilas. "Aku membaca suratmu" katanya. Kemudian sunyi, aku tidak tahu harus bicara apa.

"Surat itu konyol sekali" aku berkata sambil tertawa pelan.

"Tidak, itu tidak konyol. Maafkan aku karena tidak membalasnya segera" katanya, ia menatapku.

"Itu sudah lama, lupakan saja" ujarku.

Kemudian sunyi lagi. Aku tidak mau membicarakan surat itu lagi. "Jadi kau akan menikah?" aku bertanya padanya.

Draco mengangguk, ia tersenyum padaku. "Kau mau datang?" pertanyaannya membuatku sedikit terkejut.

Aku menggeleng. Kemudian memikirkan kata kata yang tepat untuk menjawabnya. "Nanti orang tuamu mengusirku" aku berusaha tertawa.

Dia tertawa. "Benar juga" katanya.

Lagi lagi sunyi. Walaupun museum seni itu cukup ramai. Tetap sunyi yang bisa ku rasakan. "Senang bisa bertemu denganmu" katanya. Rasanya aneh mendengar Draco berkata seperti itu. Ia tampak lebih baik.

Aku mengangguk, lalu tersenyum. Ia menepuk lenganku pelan. "Jangan lupa dengan ku ya" katanya.

"Kau sangat dramatis" aku meledeknya. Aku tidak ingin melupakannya, aku hanya ingin melupakan memori dengannya.

Kemudian ia berjalan pergi. Beberapa menit setelah itu, Astoria datang lagi. Draco memeluk pinggangnya saat mereka berjalan beriringan. Aku melihat punggung mereka yang kian menjauh. Meninggalkanku sendirian di hadapan sebuah lukisan.

Namun layaknya serpihan kayu yang menusuk jari. Ada sesuatu yang aneh dengan perasaanku. Aku tidak apa apa sebelumnya. Aku benar benar baik baik saja. Ku pikir perasaanku sudah benar benar berakhir. Namun kemudian aku menyadari, perasaan ini belum benar benar berakhir. Karena aku masih merasakan sakitnya.

Tetapi aku tidak ada yang ku sesali. Terutama untuk berakhir dengannya, aku tidak menyesal sama sekali. Karena aku percaya jika hubungan itu tidak cepat berakhir. Maka begitu pula dengan perasaanku.

Aku memutuskan tetap berjalan menyusuri museum. Tidak akan ku sia sia kan pemandangan museum ini hanya karena bertemu dengannya. Lalu Tony datang, ia sepertinya berlari kearahku. Karena napasnya menderu.

"Aku tidak terlalu telat kan?" tanyanya, ia mengatur napasnya.

"Yaa, aku belum selesai berkeliling" aku menjawab

"Bagus deh. Kalau begitu ayo berkeliling" katanya sambil menatapku.

"Ayo!" aku berusaha terlihat seceria dirinya.

Kemudian kami berkeliling museum itu. Berlagak seperti pemerhati seni. Berusaha mengidentifikasi sendiri makna beberapa lukisan. Lalu setelah itu kami menaiki mobil Tony. Entah bagaimana caranya ia bisa beraparatte dengan mobilnya, atau mungkin mobilnya bisa terbang seperti milik Arthur. Entahlah, aku tidak terlalu mau tahu bagaimana caranya. Aku hanya ingin mengelilingi Prancis dengan mobil itu. Menjernihkan pikiranku.

Namun, sekuat apapun aku berusaha menutupi bagaimana perasaanku yang sebenarnya. Tony tahu, ia tetap tahu. Mataku tidak bisa bohong katanya. "Aku hanya bertemu teman lama tadi" aku beralasan.

"Teman lama?" ia memastikan. Aku mengangguk.

"Tampaknya teman lama itu sangat berpengaruh ya" ia berkata lagi.

Aku masih enggan bicara. Aku diam saja, kemudian menyalakan pemutar lagu di mobil Tony. Lalu manggut manggut menikmati irama lagunya. Tony menatapku lalu ia mengelus punggung tanganku. Seolah berkata 'tidak apa apa jika tidak mau membicarakannya'. Aku tersenyum.

Rory's POV end

Lalu ceritanya selesai. Sudah tidak ada lagi yang bisa dibahas mengenai Rory dan Draco. Walaupun Rory tahu perasaannya masih belum berakhir. Ia tahu betul bahwa hubungannya sudah berakhir. Begitu pula ceritanya. Cerita ini harus berakhir di sini. Jangan berharap keajaiban menimpa mereka berdua. Sekalipun ini dunia sihir. Keajaiban itu tidak akan datang, tidak akan.

המשך קריאה

You'll Also Like

505K 37.5K 59
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
210K 22.6K 40
[Draco Malfoy Fanfiction] Lilianne Weasley (Lily), perempuan kedua yang lahir di keluarga Weasley. Kembaran Ginny dan yang paling muda di antara mere...
4.9K 499 17
[edmund x OC] || BOOK 2 from King Edmund || - Written in Bahasa - Credits untuk C.S Lewis, Narnia Movies Company, Pinterest, Google Photos - Cerita...
93.5K 11K 37
FANFICTION Dikirim ke masa lalu untuk menemui Dumbledore, Charlotte bertekad mengubah masa depan. Demi masa depan dunia sihir, demi masa depan diriny...