HEART BEAT √

By JaisiQ

48K 9.6K 3K

[Sequel Wedding Dress] "Ibarat jantung manusia yang mati, entah kapan ia akan berdetak kembali." Alden dan Ar... More

1 : Senyuman
2 : Hari Pertama
3 : Kematian
4 : Aku Suka Kamu
5 : Arti Menghargai
6 : Ice Cream
7 : Kesepakatan
8 : Sebatas Teman
9 : Hak Asasi
10 : Accident
11 : Masa Lalu
12 : Pupus Atau Tumbuh?
13 : Menanti Detak Jantung
14 : Mencintai Kekuranganmu
16 : Satu Fakta Tersingkap
17 : Belajar Mencintai
18 : Pelukan Ternyaman
19 : Berdarah
20 : Ayah Terbaik
21 : Sepasang Luka
22 : Detak Jantung Yang Kembali
23 : Sisi Sebenarnya
24 : Sisi Sebenarnya (2)
25 : Menikmati Waktu
26 : Takut Kehilangan
27 : Pelabuhan Yang Benar
28 : Titik Terendah
29 : Sandiwara
30 : Terluka Lagi
31 : Dua Garis
32 : Salah Paham
33. Harus Diakhiri
34 : Jangan Terluka
35 : Aku di Sini
36 : Jangan Khawatir
37 : Rasa Takut
38 : Pertolongan Tuhan
39 : Pernikahan Impian
40 : Detak Jantung Yang Baru (END)

15 : Terima Kasih

1K 243 53
By JaisiQ

Bismillahirrahmanirrahim
.
.
.

Dari jutaan wanita yang ada, terima kasih ya sudah memilihku menjadi pendampingmu.

Dengan pakaian tidur yang sudah tersemat di badan masing-masing, sepasang keturunan Adam dan Hawa yang beberapa jam lalu telah resmi menjadi suami-istri tengah duduk bersebelahan di sofa yang ada di kamar pengantin. Kamar ini dirias khusus untuk mereka, padahal sebelumnya Alden dan Aretha sudah bersepakat untuk menunda 'malam pertama'. Tapi ayah Aretha keukeuh ingin menyiapkan kamar pengantin seperti pada umumnya.

Tidak ada yang bicara satu pun selain saling lirik. Sekarang Aretha sudah tidak perlu lagi bertingkah seperti ikan yang terlempar ke darat kala auratnya terlihat oleh laki-laki.

Alden yang dulu tidak pernah melewatkan kesempatan menggoda wanita yang menurutnya menarik, kini sifat itu raib ditelan bumi.

Aretha juga sepertinya tengah menyiapkan ancang-ancang untuk memulai obrolan.

"Saya memang belum mencintai putri Om. Tapi saya menyukai kepintaran, kecerdasan, dan pola pikirnya. Perempuan seperti itu jangan disia-siakan, kan, Om?"

Aretha bertopang dagu setelah menjiplak kata-kata Alden yang ia pakai untuk melamar, menatap usil pria yang duduk di sebelahnya. "Diam-diam kamu tertarik ya sama aku?"

Alden sepertinya kaget, kenapa Aretha tahu dialog itu?

"Ayah yang bilang. Ayah aku kan nggak pernah sembunyiin apa pun. Kamu diam-diam ternyata perhatiin aku juga, ya? Nggak sia-sia deh perjuangin.

"Allah bilang, kalau kita berbuat baik sama seseorang tapi orang itu nggak bisa balas kebaikan kita, in syaa Allah, akan ada orang lain yang membalas kebaikan kita, dari mana aja. Dan bagi aku, kebaikan aku selama ini dibalas dengan ketersediaan kamu menikahi aku.

"Makasih ya udah memilih aku. Aku janji, kamu nggak bakal menyesal memilih aku untuk mendampingi hidup kamu.

"Kamu masih inget cerita tentang Nasr yang pernah diusir dari Madinah karena ketampanannya? Laki-laki di zaman Nabi yang pernah jatuh cinta sama perempuan yang udah bersuami hingga menjadikan cinta mereka terlarang? Bahkan saat dia berakhir tinggal di gubuk terpencil pun, Nasr tetap cinta sama perempuan itu. Aku pernah menyamakan kamu sama dia, kan? Julukan kalian yaitu ganteng-ganteng sadboy. Tapi aku nggak bakal biarin kamu berakhir sad kayak Nasr, kamu akan berakhir happy karena menemukan pengganti dari perempuan yang sempat singgah di hati kamu. Kamu melakukan hal yang baik dengan berani membuka hati ....

"Inget, Al ...." Aretha memegang dua kerah baju Alden, membuat suaminya bersandar ke sandaran sofa dengan posisi nyaris rebahan, gelagat Aretha seperti sengaja ingin memancing nafsu pria yang sudah bebas ia sentuh kapan pun ia mau. "Aku akan akan pergunakan kesempatan ini sebaik mungkin, aku bakal bikin kamu jatuh cinta sama aku sampai kamu lupa kalau kamu sebelumnya pernah mencintai perempuan lain ...." Aretha mengedipkan sebelah mata, menebar sisi genit yang selama ini belum dikeluarkan sepenuhnya. "Genit sama cogan sendiri boleh, kan?"

Alden menelan liur yang kini melewati jakun, pemandangan mendebarkan yang berhasil ditangkap Aretha. "Begini-begini juga aku mantan playboy, apa kamu nggak takut?"

Perlahan nyali Aretha mulai ciut. Bisa gawat kalau Alden menikmati malam pertama hanya berdasarkan nafsu, ia kan inginnya pakai cinta juga.

Sabar, Aretha.

Lepaslah tangan Aretha yang tadi memegang kerah baju Alden. Menggoda Alden di malam ini bukanlah waktu yang tepat. Sebuas-buasnya wanita, lebih buas pria.

Aretha menarik tangan Alden masuk ke sebuah minimarket dengan penuh semangat, seakan kejadian tadi tidak pernah ada atau terlewati. Aretha dan Alden memilih kabur setelah membuat si pemilik kafe tumbang dengan luka-luka lebam.

Seperti biasa, Aretha membeli permen yang letaknya hanya ada di meja kasir.

"Kan permen kamu masih banyak di rumah? Udah habis?" tanya Alden. Ada chat masuk ke ponselnya, tangannya mengotak-atik layar ponsel dengan ekspresi serius.

Saat akad kemarin, Aretha meminta hadiah tambahan. Berupa sebuket permen lollipop.

"Aku pengennya makan sekarang. Ya masa harus pulang dulu ke rumah, sih? Kamu gemes banget. Tadi juga aku udah bekal, tapi habis."

"Jangan terlalu sering, nanti gigi kamu sakit, Reth."

"Cieee perhatian banget suami akuuu..." Aretha menangkap dia pipi Alden sambil mengelus-ngelusnya.

"Mbak?" panggil si kasir yang senyum-senyum melihat pasutri di hadapannya. "Totalnya dua puluh ribu rupiah."

Alden yang mengeluarkan dompet, kemudian memberikan selembar uang pecahan lima puluh ribu kepada sang kasir.

"Thank you, Sayang."

"Mbak mirip reporter yang baru-baru ini saya liat. Ah tapi masa iya ini Mbak Aretha? Kan Mbak Aretha belum menikah." Untungnya Aretha memakai masker, jadi orang tidak akan lebih mudah mengenali. Ternyata satu per satu orang mulai mengenal dirinya sebagai reporter.

"Euhm, bukan, Mbak. Cuma mirip aja kali, ya?"

Si mbak kasir tersenyum sambil mengembalikan kembalian beserta permen yang Aretha beli.

"Terima kasih, Mbak."

"Sampai jumpa kembali di DeMart."

Mereka pun keluar dari minimarket.

Aretha membuka satu permen, kemudian disodorkannya ke mulut Alden. "Nih, kamu juga harus makan. Enak, lho. Enggak, ini bukan camilan anak kecil doang, orang dewasa juga."

Mau tidak mau Alden membuka mulutnya, mengulum permen yang menjadi favorit Aretha.

Alden mengetuk pintu rumah. Tak lama kemudian pintu dibuka dari dalam, muncul Galiena. Melihat kehadiran seorang wanita yang berdiri di sebelah Alden membuat matanya lebih berbinar.

"Assalamu'alaikum, ibu mertua. Yang cantik dan baik hati," sapa Aretha dengan tawa mengembang.

"Waalaikumussalam, masyaa Allah. Ada tamu, eh, ada menantu. Kenapa nggak bilang-bilang mau datang?"

"Ngedadak, Bu." Aretha tersenyum sambil mengangguk, kemudian menyalimi tangan Galiena. "Apa kabar, Ibu?"

"Alhamdulillah baik. Sini masuk, Sayang." Galiena merangkul menantu ke duanya. "Kamu sendiri apa kabar, Nak? Sehat?"

"Alhamdulillah sehat, Bu. Maaf ya baru bisa mampir."

"Oh nggak pa-pa, pasti kamu sibuk, kan?"

Aretha tersenyum, sedang Alden pamit ke lantai atas untuk mandi.

"Kebetulan banget kamu datang, ini kita lagi masak buat makan malam. Kita makan malam sama-sama, ya? Kamu tunggu dulu aja atau mau susul Alden?"

"Ikut ke dapur boleh, ya, Bu?"

"Mau ngapain?"

"Ya bantu, lah, sekalian belajar masak juga."

"Kata Ayah kamu ...."

"Kenapa, Bu? Ayah bilang aku ini paling males disuruh masak, ya? Aku nggak bisa masak, ya? Emang dasar ayah, seneng banget jelek-jelekin aku, tapi aslinya dia sayang banget sama aku. Kan sekarang beda, ya walaupun aku sama Alden belum tinggal serumah, tapi harus tetap belajar masak, kan? Biasa, Bu. Perempuan. Pas masih sendiri emang suka malas, tapi pas udah menikah pasti mikir, wah aku harus bisa masak, nih, aku harus bisa ini-itu. Kadang orang tua itu suka takut anaknya nggak bisa ini nggak bisa itu, tapi kan kalau udah menikah, beda lagi. Dikira anaknya bakal terus kekanakan apa?" Aretha terkekeh.

"Masyaa Allah, bawel banget menantu Ibu satu ini." Galiena mencubit pipi Aretha. Entah kenapa ia senang sekali bertemu Aretha, wanita yang mampu membuat Alden mantap untuk menikahinya. Dari sekian banyak wanita yang datang dan pergi dalam hidupnya, akhirnya Alden menentukan pilihan di kala hati dia masih dilapisi sisa-sisa rasa sakit akibat masa lalu yang telah membuat dia berubah 180 derajat. Alden tidak mungkin salah pilih perempuan, dan Galiena sangat meyakini itu setelah mengenal Aretha lebih dalam. Baru kenal saja Aretha bisa cepat berinteraksi.

"Eh ada Kak Aina, nih?" tanya Aretha saat sudah tiba di dapur.

Aina yang tengah berdiri di depan wastafel selesai membersihkan ikan yang akan menjadi salah satu menu makan malam ini berbalik. "Eh, Aretha? Ikut juga?" Cepat-cepat ia membasuh dua tangannya.

"Hihi iya, Kak. Gimana kabarnya, Kak?" Aretha mendekati Aina.

"Alhamdulillah baik, kamu sendiri?"

"Selalu baik. Aduh bumil. Makin cantik aja. Ah kakak gemesss...." Aretha memeluk Aina.

"Udah berapa bulan, Kak?" tanya Aretha antusias.

"Udah jalan enam bulan."

"Masyaa Allah, bentar lagi punya ponakan, yeay. Jadi pengin juga, nih."

"Pengin apa, nih?" goda Aina.

"Enggak jadi, deh, hehe."

"Eh kok nggak jadi? Nggak pa-pa, itu udah jadi kodrat perempuan."

"Udah kalian ngobrol aja, ini sebentar lagi juga selesai," ucap Galiena.

Aretha dan Aina duduk di meja makan, Aina menyucikan air ke dalam gelas lalu disodorkannya kepada Aretha. "Minum dulu, nih."

"Makasih, Kak."

"Aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Terima kasih, ya."

Menghabiskan setengah gelas air putih, Aretha meletakkan kembali benda di tangannya. "Terima kasih untuk apa, Kak?"

"Sudah mencintai Alden." Dua tangan Aretha digenggam Aina, dua ujung bibir tertarik ke samping. Ucapan Aina terdengar sangat tulus.

"Kak Aina nggak perlu makasih, mencintai Alden itu keinginan aku sendiri. Dan kakak nggak perlu khawatir, aku akan terus mencintai Alden sampai kapan pun. Meskipun pernikahan ini baru sah di mata agama, tapi kan yang penting statusnya sudah menikah. Nanti urusan resminya biar waktu yang jawab."

"Iya, aku percaya sama kamu." Aina mengelus tangan Aretha.

"Eum, Kak, boleh cerita nggak?"

"Cerita apa?"

"Duh aku nggak enak bilangnya." Aretha garuk-garuk dagu.

"Jangan tersinggung ya, Kak. Plis. Aku cuma pengin tau aja." Ia merapatkan dua tangan dengan wajah memelas.

"Dulu Alden itu orangnya gimana?"

"Iya, iya aku paham. Aku paham apa maksud kamu. Ya mungkin sekarang Alden masih trauma untuk mencintai lagi, dia masih tertutup, tapi aku yakin seiring berjalannya waktu dia bisa sembuh. Aku yakin kamu bisa bikin Alden seperti dulu lagi. Alden asyik kok orangnya, cuma ya sekarang masih proses aja. Nggak apa, ya? Yang penting kamu jangan pernah nyerah untuk bikin dia menjadi terbuka. Kamu istrinya, kamu bebas ngelakuin apa pun untuk Alden."

"Hayolooh, malah ngerumpi," bisik Galiena  mendekati anak dan menantunya.

"Bukan rumpi, Bu. Cuma konsultasi aja sama yang udah senior, hihiii," jawab Aretha.

Galiena tersenyum. "Bisa aja kamu, Reth. Dulu rumah ini sepi, tapi semenjak kehadiran kalian, Ibu nggak kesepian lagi."

"Alhamdulillah kalau begitu, Bu. Aku senang bisa menjadi bagian dalam keluarga ini. Sini, Bu, aku yang bantu angkutin piringnya, ya." Aretha berdiri dan berjalan menuju rak piring. Niat untuk belajar masak malah tidak terlaksana karena terlalu asyik ngobrol.

Benar kata ayahnya, tidak semua bisa didadak, contohnya belajar masak. Memang sih, orang tua selalu benar. Nanti deh kapan-kapan lagi kalau ada waktu ia akan belajar masak bersama mertuanya, kalaupun tidak, sekarang zaman sudah canggih, tinggal lihat di internet, akan ditemukan banyak sekali resep makanan dari yang paling mudah hingga paling susah.

"Ai, Aska kapan pulang?" tanya Galiena.

"Tadi bilangnya dalam perjalanan, Bu. Nanti juga sampai."

"Owh, untung kita tadi masak yang banyak, ya."

Aina tersenyum dan mengangguk.

Tidak lama kemudian, ruang makan sudah diduduki semua anggota keluarga. Galiena senang karena ini termasuk paket lengkap. Suami, dua anak, dan dua menantu.

Melihat Alden, Aretha memahami. Cerita Delia yang ia dengar di hari pernikahan Aska dan Aina dulu ada benarnya. Berulangkali ia mendapati Alden yang memerhatikan kedekatan Aska dan Aina.

Ya Allah, suamiku ini udah move on belum sih?

Udah terima kenyataan belum, ya?

Mau sampai kapan terjebak di masa lalu?

"Aska, nggak nyangka, ya, kamu jadi kakak ipar aku sekarang," sahut Aretha. Aska yang mendengar langsung mengalihkan pandangan padanya.

"Iya, kamu bener, Aretha." Aska juga tidak menduga status mereka yang awalnya teman bisa berubah menjadi ipar.

"Sekarang aku paham, kenapa takdir pertemukan aku sama kamu, adalah untuk mempertemukan aku sama Alden. Iya, nggak, sih, Bu, Yah, kak Aina? Takdir itu kayak penuh kejutan gitu, banyak banget surprise-nya. Kalau aja aku dulu nolak mati-matian saat ayah bersikukuh jodohin aku sama Aska, mungkin aku nggak ketemu Alden. Tapi ya memang Allah maunya begitu. Nggak ada yang kebetulan. Ya kan Allah pertemukan jodohnya dengan berbagai cara."

Galiena tersenyum mendengar Aretha yang terus bicara. Yang lain juga sepertinya terpukau melihat betapa bawelnya istri Alden ini.

Beda halnya dengan Alden yang lebih banyak diam. Jatah bicaranya sepertinya diborong Aretha semua.

"Allah juga nggak pernah salah mempertemukan jodohnya, Reth. Contohnya si pendiam dengan si bawel," ucap Galiena.

"Hahaha maaf, Ibu, aku banyak ngomong, ya." Aretha menyadari kesalahannya.

"Nggak pa-pa, kok. Justru Ibu senang. Jadi ramai, kan? Ya kecuali kalau lagi makan, dikurangi."

Aretha tertawa lagi. "Maaf, Ibu ...."

"Udah, nggak pa-pa. Makan lagi."

"Kayaknya kamu lagi nggak enak badan, ya?" tanya Aretha melihat wajah pucat Rendy yang hendak bersiap berangkat untuk tugas liputan yang ditugaskan Pak Irwan.

"Cuma demam biasa kok, Tha."

Viola yang mencuri dengar ikut bergabung. Dia turut menilik-nilik wajah Rendy yang sesuai dengan apa yang dikatakan Aretha. Bibir dia juga sampai pucat begitu.

"Kayaknya enggak, deh. Kenapa kamu maksain?" lanjut Aretha lagi.

"Iya, kamu keliatan pucet, Rend. Yakin mau berangkat liputan? Aku gantiin aja, deh," tawar Viola. "Mending kamu pulang. Nanti aku bilangin ke Pak Irwan kamu izin karena sakit, aku bisa gantiin."

Aretha melirik Viola, memberikan kode apakah ini salah satu trik dia untuk mengambil hatinya?

Viola menyenggol sedikit bahu Aretha seolah  mengiakan. Trik yang Aretha berikan dulu ternyata diambil Viola juga. Barangkali dia emang beneran naksir sama cowok softboy seperti Rendy.

"Udah, pulang aja. Pasti yang lain juga memaklumi, kok," ujar Viola.

"Iya, daripada nanti pingsan di lokasi liputan, kan itu lebih repot, Rend," sambung Aretha.

Berpikir sejenak, akhirnya Rendy mengikuti saran dua temannya. Iya, daripada nanti ia tambah drop di lapangan.

"Tenang, biar aku yang nanti jelasin sama pak Irwan. Sekarang kamu langsung pulang aja, udah pusing banget tuh kayaknya," ucap Viola khawatir.

"Oke. Maaf, ya," ucap Rendy.

"Nggak pa-pa, udah!" Viola meyakinkan.

Rendy pun pergi, Aretha menjangkau kepergian lelaki itu dengan wajah cemas.

"Vi, bentar, ya." Aretha berlari menyusul Rendy keluar.

Begitu tiba di tempat parkiran, Aretha menghampiri Rendy yang hendak membuka pintu mobil.

"Kamu yakin bisa nyetir sendirian?"

"Bisa, kok."

"Masa?"

"Iya, in syaa Allah aku bisa."

"Udah nggak pa-pa, mending aku antar kamu, ya?"

"Nggak usah, aku bisa sendiri."

"Bahaya nyetir dalam keadaan begini, Rend. Lagian kamu udah tahu sakit, kenapa maksain datang, sih? Pokoknya nggak ada penolakan. Kamu harus mau aku antar." Aretha menyodorkan tangan.

"Kunci mobil," lanjutnya melihat Rendy kebingungan.

"Beneran kamu?" tanya Rendy.

"Ya bener, lah. Anggap aja ini sebagai balasan kebaikan kamu selama ini. Udah mau pinjamin jaket, beliin aku kopi, dan lain sebagainya."

Rendi tersenyum kemudian memberikan kunci mobilnya.

"Sip! Yuk naik!"

Aretha melajukan mobil Pajero hitam milik Rendy menuju alamat rumah yang sudah Rendy beritahu. Selama perjalanan tidak ada percakapan, hanya ada suara Rendy yang terkadang batuk dan bersin. Aretha sampai geleng-geleng kepala, bisa-bisanya Rendy nekat pergi kerja dalam keadaan seperti itu.

"Mau ke dokter sekalian aja, Rend? Aku antar."

"Nggak pa-pa, ke rumah aja. Kebetulan aku punya obat penurun demam di rumah."

"Yakin?"

"Iya, Tha."

Setengah jam kemudian akhirnya mereka sampai di rumah Rendy.

"Aku buka aja ya, pintunya, nggak enak kalau ditutup."

Rendy mengangguk, Aretha mengikutinya di belakang. Sesampainya di kamar Rendy membaringkan tubuh, Aretha membantu memakaikan selimut.

"Orang tua kamu nggak ada di rumah, ya? Sepi banget, Rend." Rumah Rendy ini cukup mewah walau terbilang kecil.

"Mereka lagi pergi ke luar negeri, Tha."

"Jadi kamu cuma sendirian aja?"

"Iya, aku memang selalu sendirian di rumah. Itu sebabnya aku jarang pulang." Ia tersenyum. "Lagian, aku memang sendiri tinggal di sini. Rumah orang tua aku jauh dari tempat kerja, ya jadi terpaksa aku harus tinggal di sini sendirian."

"Ya Allah kamu kasian banget. Tapi kamu keren, kamu bisa jadi anak yang mandiri." Aretha memamerkan dua jempolnya.

"Kamu udah makan belum? Aku masakin, ya? Setelah itu baru makan obat."

"Nggak usah, ngerepotin, Tha.  Nanti aku bisa order."

"Aku buatin bubur, ya, nggak pa-pa? Kamu lagi sakit, harus makan bubur. Tenang, aku emang nggak bisa masak yang enak-enak, tapi kalau cuma bubur aku bisa. Udah, nggak pa-pa. Kamu tidur aja di sini, nanti kalau buburnya udah jadi aku bangunin kamu."

"Aretha, nggak usah."

"Ish ...." Aretha geleng-geleng kepala. "Kalau bukan aku siapa lagi coba? Tenang, dapur kamu nggak bakal berantakan, kok. Oke? Bakal aku langsung beresin."

"Bukan masalah itu, justru aku yang nggak enak sama kamu."

"Udah, kayak ke siapa aja!" Tanpa mendapat persetujuan dari si pemilik rumah, Aretha pergi ke dapur. Rendy hanya geleng-geleng kepala.

"Maaf, ya, aku itu nggak bisa liat orang kesusahan sendiri."

"Kamu kenapa? Sakitnya bertambah? Mau aku antar ke dokter?" tanya Aretha melihat ekspresi sendu di wajah Rendi, matanya sedikit berkaca-kaca.

"Orang tua aku aja belum tentu mau mengurus aku kayak begini di saat aku sakit. Jangankan bikin bubur, untuk belikan obat juga kayaknya nggak bisa. Tapi kamu yang bukan siapa-siapa ...."

"Aku teman kamu. Ingat, kita teman. Seorang teman harus ada di saat temannya lagi kesusahan. Teman itu bukan ada di saat senang aja, tapi juga di saat susah. Kamu jangan ngerasa sendirian, ya. Kamu bisa anggap aku sebagai keluarga."

"Terima kasih juga, Rend."

"Terima kasih karena apa?"

"Udah bikin aku bersyukur. Aku masih punya Ayah yang sayang sama aku. Yang selalu ada untuk aku. Ya walaupun aku pernah mandiri di negri orang, tapi aku punya Ayah yang hampir setiap hari telfonin aku. Aretha, udah makan belum? Makan dulu! Aretha, jangan terlalu malam tidurnya, bla bla bla. Kadang aku kesal sama segala kebawelan ayah, tapi di sisi lain aku juga harus bersyukur. Nggak semua anak di dunia ini punya orang tua utuh atau bahkan nggak punya sama sekali. Aku masih beruntung karena masih bisa dengar omelan ayah aku, orang lain belum tentu, kan? Ada yang orang tuanya cuek, ada yang orang tuanya udah dipanggil duluan sama sang pencipta, dan lain-lain. Di saat aku kesel sama ayah yang bawel, bersyukur adalah satu-satunya cara untuk bikin aku sadar dan harus mau menerima segala perlakuan ayah meskipun aku kurang suka. Toh, orang tua yang bawel itu kan untuk kebaikan anaknya sendiri ...."

Rendy suka kalau Aretha sudah bicara panjang-lebar begini, dan telinganya hanya bisa mendengarkan.

"Aku kadang suka kesel liat anak muda sekarang yang fokus sama pacaran, yang galau karena pacaran. Kenapa waktu mereka nggak dipakai untuk membanggakan orang tua, berbakti sama orang tua, membahagiakan orang tua, bukan malah galau nggak jelas. Kalau dipikir-pikir nggak ada faidahnya juga, malah yang ada nyiksa diri."

Rendy mengangguk-angguk setuju.

"Makanya, yang masih punya orang tua utuh dan sayang banget sama anaknya itu jangan diabaikan."

"Ibu kamu gimana?"

"Seperti apa yang kamu tahu, Ibu menikah lagi, dan dia cuma sayang sama keluarga barunya. Dia nggak pernah anggap aku ada."

"Pasti menyakitkan, ya?"

"Kalau jujur, sih, iya. Tapi gimana lagi? Setiap orang pasti punya masalah dan kesedihan masing-masing. Di dunia ini bukan cuma aku aja kan yang dicampakkan ibunya, masih banyak. Untuk bikin hati aku tenang, ya aku berpikirnya begitu aja. Ingat aku masih punya napas, kesehatan, ayah, pekerjaan, dan lain-lain yang Allah kasih. Masa cuma karena satu masalah aja bikin aku galau terus dan kufur nikmat? Ya pasti rasa sakit itu ada. Wajar juga. Cuma aku punya resep rahasia biar nggak terlalu dipikirin, yaitu dengan cara bersyukur."

"Kamu bisa cerita apa pun semau kamu. Telinga aku siap dengerin."

Aretha tersenyum. "Aduh, kenapa jadi aku yang curhat, ya? Kenapa jadi aku yang sedih? Padahal kamu lho yang butuh untuk didengerin, kamu yang lagi sedih."

"Nggak pa-pa. Aku laki-laki. Jelas jauh lebih kuat."

Terkekeh Aretha mendengarnya. Teringat beberapa hari lalu saat sebelum menikah, Aretha menunggu di di depan kantor stasiun televisi tempat sang ibu bekerja. Tidak tahu ibunya akan lewat atau tidak, Aretha tetap menunggu sampai akhirnya ia berjumpa sang ibu setelah menunggu kurang-lebih satu jam.

Bagi Aretha ibunya tetaplah ibunya, mau dia sudah meninggalkannya pergi atau tidak menginginkan kehadirannya, dia tetap sosok yang harus ia hargai keberadaannya. Sosok yang harus ia beritahu soal rencana besar dalam hidupnya : menikah. Aretha merasa wajib memberitahu wanita yang melahirkannya ke dunia kendati pernikahan diselenggarakan secara diam-diam.

Aretha meminta sang ibu agar mau datang ke pernikahannya.

Namun waktu akad tiba, sosok yang ditunggunya tidak ada. Lagi-lagi ia kecewa karena terlalu berharap. Ibunya tidak datang hingga acara selesai.

Hal yang membuat Aretha sedih namun ia tidak menunjukkan kesedihan itu kepada orang lain. Ini salahnya karena sudah berharap, toh sang ayah sendiri sudah melarang Aretha untuk mengundang ibunya karena dia sudah tahu mana mungkin sang mantan istri mau datang.

"Kamu masih selidiki kasus tetangga kamu itu?" tanya Rendy mengalihkan pembicaraan.

"Iya, dan aku udah ada satu petunjuk. Aku yakin, saksi utama di kasus itu udah bohong atas kesaksiannya."

"Kamu yakin kamu bakal baik-baik aja?"

"Yakin, dong. Udah, kamu makan lagi, ya?"

"Kalau kamu baik begini, gimana aku nggak makin suka, Tha?"

Aretha tergemap. Matanya bertemu langsung dengan dua mata Rendy yang sayu.

Buru-buru ia meletakkan kembali sendok, kemudian mangkuk di atas bufet. Menyadari kesalahannya. Ia mamakai kembali tas yang tadi di simpan di sana juga. "Eum, aku lupa, aku ada janji sama seseorang. Kamu habisin, ya buburnya, setelah minum obat dan tidur. Oke?"

"Aretha, tunggu."

"Ya?"

"Hati-hati, ya? Dan makasih."

"Iya, sama-sama. Oh iya, tadi aku ambil satu permen di kulkas kamu. Jujur aku kaget pas buka kulkas, kamu nyetok permen lollipop kesukaan aku juga. Aku lupa minta izin." Aretha sedikit cengengesan karena merasa malu, tapi melihat wajah Rendy yang seolah memaklumi membuat Aretha lega, ia pun keluar dari kamar Rendy dan menutup pintu.

Rendy sedikit menyungging senyum. Hampir setiap hari Aretha memberikan permen kepada teman-temannya di kantor, termasuk Rendy. Arteha tipe orang yang mudah berbagai, kadang loyal juga. Prinsip hidupnya traktir teman itu pahalanya besar.

Permen yang pernah Aretha berikan di hari pertama mereka magang menjadi reporter, sampai saat ini belum Rendy makan, menyatu dengan permen lainnya.

Salah besar jika Aretha menganggap ia sengaja menyetok permen, karena kenyataannya, permen-permen itu adalah kumpulan dari permen yang Aretha beri setiap harinya. Tidak ada satu pun permen yang ia makan karena ia tidak menyukainya.

Aretha keluar dari rumah Rendy dengan langkah terburu-buru. Apa tindakannya tadi seolah memberi harapan kepada Rendy?

Kadang ia kesal dengan diri sendiri. Ia tidak bisa kalau diam melihat orang lain kesusahan. Tapi yang Aretha tahu, laki-laki kan tidak mudah baper, jadi ia merasa fine-fine saja ketika menolong orang lain atau seorang pria.

Di satu sisi Aretha tidak mau memberi harapan walau hanya setengah persen.

Namun di sisi lain, kasihan juga Rendy kalau terus menyimpan perasaannya.

Aretha hanya ingin menganggapnya sebagai teman, tidak lebih. Rendy cocok untuk dijadikan tempat curhat. Wajahnya yang lembut, penuh kasih sayang, dan telinganya yang selalu setia mendengarkan tanpa memotong,  membuat Aretha nyaman berteman dengannya. Entah kenapa, kepada Rendy ia bisa lebih terbuka.

Rendy ini tipe orang yang jarang Aretha temui. Di saat mengeluh ia tidak menyuruh orang yang sedang curhat untuk sabar atau membandingkan kesedihan orang lain, ia hanya akan diam dan mendengarkan.

Andai jatuh cinta bisa memilih kepada siapa ia akan berlabuh.

Kasian jg Aretha. Dia curhat sama Rendy panjang lebar gitu, kalau ke Alden gak pernah, gak mau membebani Alden mungkin? :)

Yuk bisa yuk Al, lebih perhatian sama Mbak Tata

Selfie hasil dari paksaan Mbak Tata 🙏🏻😌🤣

Aku kasih tau ke kalian, konflik cerita ini gak bakal ringan, jadi bersiap ya :>

Don't forget Al-Kahfi, jgn pikirin Alden mulu

Garut, 04 Februari 2022

Continue Reading

You'll Also Like

6.4M 333K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
1.9M 90.3K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
1.5K 370 26
#teen fic-spiritual C O M P L I T E D Rayhan Abimana merasa jika keputusan Bunda adalah hal salah, dan drama yang diciptakan Ayah membuatnya hilang a...
750 91 11
Aira, cewek yang baru lulus SMA itu geram saat mendapat pesan bertubi-tubi yang masuk ke ponselnya. Bagaimana tidak? Sudah hampir setahun dia diteror...